Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Musikalisasi puisi di Indonesia sebenarnya telah tumbuh subur sejak era 80-an.
Seniman-seniman pelopor musikalisasi puisi di tanah air seperti Ferdi Arsi, Sapardi
Djoko Damono, bahkan Emha Ainun Nadjib dapat disebut sebagai tonggak awal
musikalisasi puisi di tanah air. Di ranah yang berbeda dengan tapi boleh disepakati
sebagai salah satu bentuk musikalisasi puisi adalah semisal Ebiet G. Ade. Penyanyi
balada itu memiliki kebiasaan menulis puisi terlebih dulu sebelum menciptakan
aransemen musik bagi puisinya sebelum matang menjadi sebuah lagu yang utuh.
Musikalisasi puisi sesungguhnya dapat didesain menjadi salah satu cara untuk
mendekatkan puisi kepada khalayak yang lebih luas, tidak hanya peminat sastra.
Musikalisasi puisi dapat memberi penajaman makna sehingga dapat
membantu masyarakat yang yang tidak berminat pada sastra akhirnya bisa memahami
puisi. Puisi-puisi yang kemudian lebih populer sebagai lagu masih dapat
dikategorikan sebagai musikalisasi puisi. Para penggemar Iwan Fals yang semula
tidak mengenal WS Rendra dan karyanya akhirnya penasaran untuk membaca karya-
karya Rendra. Itu terjadi ketika puisi Rendra yang berjudul "Kesaksian" dinyanyikan
Iwan Fals bersama Kantata Taqwa pada tahun 1991. Kasus lainnya adalah puisi
"Panggung Sandiwara" karya Taufik Ismail yang dimainkan begitu apik oleh God
Bless di era 70-an. Taufik Ismail pun menulis "Pintu Surga" pada tahun 2005 yang
berhasil dipopulerkan kelompok musik Gigi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Mengenal Musikalisasi Puisi


Musikalisasi puisi, seperti halnya deklamasi atau pembacaan puisi, rampak
puisi, dan dramatisasi puisi, adalah salah satu cara yang digunakan untuk
menyampaikan dan mengekspresikan puisi kepada audien. Pada deklamasi puisi,
penyampaiannya disesuaikan dengan syarat-syarat deklamasi. Seperti: dengung
vokal, artikulasi, ekspresi, dan gestikulasi yang baik serta tepat, sesuai dengan isi dan
maksud puisi. Pada puisi yang disampaikan dengan cara musikalisasi, alat bantu
utamanya ada pada musik (irama, nada, tempo, dan sebagainya). Musik diolah
sedemikian rupa sebagai hasil dari penafsiran puisi yang dilakukan oleh pembuat
musikalisasi puisi. Jenis penyampaian puisi dengan cara dimusikalisasi puisi ini ada
banyak macamnya. Tetapi yang penting, musik yang dibuat adalah semata untuk
kepentingan puisi. Sehingga musik tersebut dapat menyampaikan pemahaman dan
penghayatan tentang puisi itu kepada apresian, seperti halnya deklamasi dan
dramatisasi puisi.
Semarak pertumbuhan musikalisasi puisi seperti digambarkan di atas tidak
mengherankan apabila kita meninjau sejarah perkembangan sastra dan musik itu
sendiri. Sejak awal pertumbuhannya, sastra dan musik memang saling terkait. Seperti
kita ketahui, munculnya bidang hidup yang bernama kesenian berawal dari
kepentingan ritual dalam upacara-upacara yang dilakukan masyarakat tradisional.
Dalam kegiatan ini, segala aspek yang kini disebut seni, seperti sastra (mantera),
musik, nyanyian, dan tarian, merupakan satu kesatuan yag saling mengisi tanpa ada
pengkategorisasian.
Begitu pula dalam perkembangan selanjutnya yang terwujud dalam kesenian-
kesenian rakyat dan tradisi sastra lisan. Syair-syair, cerita-cerita di dalam tradisi lama
kita, kerap disampaikan dan dibawakan dengan iringan musik atau dibawakan dalam
lantunan tembang. Pawang penglipur lara/Pawang Kaba di Sumatra misalnya,
bercerita/bersyair dengan iringan musik (yang alat-alatnya terbuat dari kulit binatang,
kayu, dan bambu). Di daerah Jawa Barat dikenal Tukang Pantun (contohnya dalam
Seni Beluk). Tukang Pantun ini bercerita semalam suntuk dalam bentuk lantunan
tembang sambil memetik kecapi. Cerita-cerita yang kerap dibawakan adalah karya
sastra berisi hikayat yang terkadang membutuhkan waktu sampai 7 malam berturut-
turut untuk menyelesaikannya.

2
Hal seperti ini terdapat pula dalam tradisi Barat. Pada tradisi mereka dikenal
istilah Troubadur. Troubadur awal mulanya berkembang di Prancis abad 11.
Troubadur atau kaum penglipur lara di Eropa Lama ini, merupakan suatu
kelompok/kaum yang selalu berkeliling mementaskan syiar/cerita melalui nyanyian
dan tarian dengan iringan musik.
Keterkaitan seperti itu tampak pula dalam perkembangan musik zaman Barok
(1600-1750), terutama di Italia, yang terlihat dari seni opera. Seperti tercatat dalam
sejarah musik, seni ini bermula dari keinginan para seniman, bangsawan, dan
cendekiawannya menghidupkan kembali drama klasik Yunani dalam ciptaan baru
yang mensintesakan seni sastra, drama, musik, dan tari. Pada seni ini, drama Yunani
dalam terjemahan Itali dideklamasikan dan diselingi sejumlah lagu solo vokal dengan
diiringi beberapa alat musik dalam gaya monodi, yang disebut dengan intermezzi,
sebagai tanggapan terhadap cerita.
Dalam perkembangannya kemudian, para seniman opera menyusun syair-
syiar baru dan aransemen musiknya. Setiap seniman memiliki pola-polanya sendiri.
Ada yang mengkompromikan deklamasi dan nyanyi, ada yang berprinsip musik
hendaknya mengabdi pada kata-kata dan bukan menguasainya. Ada pula yang
berkehendak mengungkapkan makna kata melalui musik. Pengungkapan makna
dalam musik ini, bukan hanya pada musik vokal, tapi juga pada musik instrumental.
Dalam perkembangan sastra modern kita, Upaya memadukan musik dengan puisi ini
terus berkembang hingga mencapai bentuk yang sekarang, yang kemudian mendapat
nama: musikalisasi puisi.
Musikalisasi puisi bukan barang baru di dunia seni. Namun, perlu diketahui bahwa
definisi musikalisasi puisi adalah taksemata membacakan puisi dengan diiring musik
agar lebih asyik dinikmati. Yang terjadi adalah proses pengiringan pembacaan puisi
dengan alat musik seperti piano, gitar, seruling, dan alat-alat yang bernuansa ritmis
lainnya. Padahal, yang disebut musikalisasi puisi sudah ada ranah totalitas
menjadikan karya sastra berupa puisi sebagai seni musik karena memang sudah
dilengkapi dengan pemilihan tangga nada, permainan melodi, akurasi ritme, serta
aturan-aturan khusus dalam hal vokalisasi sebagai bentuk ekspresi puisi itu.
Contoh akurasi vokal dan musik ini, jika puisinya penuh dengan amarah, irama musik
dan vokal pun akan ikut menghentak-hentak. Tidak menarik jika yang terjadi malah
sebaliknya. Puisinya penuh semangat, tetapi dimusikkan dengan lemah gemulai.
Musikalisasi puisi adalah genre baru dalam apresiasi karya puisi. Saat ini,
musikalisasi puisi masih merupakan istilah yang menjadi perdebatan di kalangan
guru Bahasa Indonesia. Para guru mempunyai konsepsi yang berbeda-beda dalam

3
memahami istilah dan mengimplementasikan dalam pembelajaran. Akibatnya
pembelajaran yang berkaitan dengan musikalisasi puisi cenderung bias dan
membingungkann bagi banyak guru dan siswa. Kerancuan konsep musikalisasi puisi
itu dalam pandangan guru Bahasa Indonesia berimplikasi pada dua aktivitas yaitu
bahwa musikalisasi puisi adalah: 1) Kegiatan membaca puisi dengan diiringi musik,
2) Kegiatan menyanyikan/ melagukan puisi yang disertai atau tanpa disertai dengan
iringan musik.
Perbedaan pandangan ini tentu saja perlu dipertemukan dalam sebuah konsep
yang jelas. Apabila dirunut lebih lanjut, ruang lingkup musikalisasi puisi sebenarnya
sangat terbuka. Artinya kegitan itu tidak menutup kemungkinan munculnya berbagai
kreativitas yang berbeda. Musikalisasi puisi bukanlah sekadar kegiatan membaca
puisi yang diiringi dengan musik. Lebih dari itu kegiatan ini menuntut pembaca untuk
mampu menghayati dan menikmati isi bait-bait puisi dengan cara melagukan dalam
titi-titi nada tertentu dengan atau tanpa iringan musik. Dengan demikian, pembacaan
puisi tidak hanya berlangsung secara konvensional, tetapi bisa dilakukan dengan lebih
”terasa” dan ” bermakna” melalui pembacaan yang diekspresikan dalam sebuah lagu
yang dapat disertai iringan musik. Penyatuan puisi dengan lagu/musik itu merupakan
kegiatan yang sering disebut musikalisasi puisi (Dirjen Dikdasmen, 2005:15).

B. Pemahaman Yang Selama Ini Berkembang


1. Bahwa dalam musikalisasi puisi tidak boleh ada orang membaca puisi, jika ada
pembacaan puisi, maka itu bukan musikalisasi puisi.
2. Bahwa dalam musikalisasi puisi boleh saja ada orang membaca puisi, sebab
tidak semua kata-kata dalam puisi bisa dimusikalisasikan.
3. Bahwa orang membaca puisi diiringi alat musik bukan musikalisasi puisi; dan
4. Bahwa orang membaca puisi diiringi alat musik juga merupakan kegiatan
musikalisasi puisi.

Mengapa musikalisasi puisi tidak terdefinisikan? Dan mengapa pula istilah


itu sering ditolak?
Pertama, bahwa secara etimologi musikalisasi puisi merupakan dua konstruksi
yang hampir identik, yakni musik dan puisi. Puisi telah memiliki musik tersendiri,
maka mengapa pula lagi harus dimusikalisasikan dengan memberikan unsur musik
kepada puisi. Imam Budi Santosa pernah mengusulkan istilah musik puisi, yang
tekanannya pada kolaborasi musik dan puisi. Sementara dalam musikalisasi puisi,

4
puisi yang memiliki aturan-aturan dan kaidah-kaidah sendiri dipandang harus tunduk
menjadi objek, yang bisa diperlakukan apa saja dalam proses itu.
Kedua, musikalisasi puisi merupakan kegiatan yang bersifat kreatif. Kreatif,
artinya gagasan memusikalisasikan puisi didasari oleh dan dari keinginan-keinginan
individual bersifat subyektif yang bertujuan untuk kepuasan pribadi. Puisi, selain
sebagai karya sastra yang harus diinterpretasikan, juga dapat menjadi medium
kreativitas. Sama seperti dramatisasi puisi, yang juga merupakan kegiatan kreatif.
Dan ketiga, karena bersifat kreatif, maka musikalisasi puisi pun tidak
memiliki kategori-kategori, batasan, atau aturan-aturan yang bersifat mengikat.
Membaca Puisi Diiringi Alat Musik Bukan Musikalisasi Puisi!!!? Pemikiran ini
mungkin tidak bisa begitu dipaksakan. Dalam Materi Pelatihan Bahasa dan Sastra
Indonesia Kurikulum Berbasis Kompetensi dijelaskan, bahwa kegiatan membaca
puisi diiringi alat musik termasuk kegiatan musikalisasi puisi. Penjelasan ini, bagi
para juri atau panitia lomba musikalisasi puisi, harus dipertimbangkan, agar tidak
bersikukuh mengatakan membaca puisi diiringi alat musik bukan musikalisasi puisi.
Namun tetap diperhatikan, bahwa alat musik tersebut tidak hanya sekedar mengiringi
pembacaan puisi belaka, yang mungkin membuat puisi cuma jadi semakin enak
dinikmati. Fredy Arsi, pemimpin Sanggar Matahari yang bekerja sama dengan Pusat
Bahasa telah mengeluarkan album musikalisasi puisi, menyarankan agar musik atau
alat musik di sini harus mampu berintegrasi dengan puisi, di mana musik yang
dipergunakan memang diaransemen atau diimprovisasikan untuk dapat mengikuti
irama dan musik yang ada pada puisi dan semakin memperjelas suasana puisi.

Lagu-lagu Ebiet G. Ade sering dijadikan contoh sebagai hasil musikalisasi


puisi. Ini jelas kurang tepat dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Kita lupa,
bahwa Ebiet G. Ade tidak mencipta puisi, tetapi dia memang mencipta lagu. Ebiet G.
Ade tidak dapat dianggap sebagai penyair, dia adalah pencipta lagu dan penyanyi.
Belum pernah ada, misalnya antologi puisi-puisi Ebiet G. Ade.
Benar, sebagian lagu-lagu yang dibawakan oleh Bimbo adalah hasil
musikalisasi puisi, sebut saja lagu “Salju”, puisinya Wing Kardjo, “Balada Sekeping
Taman Surga”, “Sajadah” atau “Rindu Kami Padamu Ya Rasul” merupakan puisi-
puisi Taufik Ismail. Benar pula ada lagu-lagu Iwan Fals berangkat dari musikalisasi
puisi, seperti “Kantata Takwa” dan “Sang Petualang” dan “Paman Doblang” adalah
puisi-puisi Rendra, di mana dalam lagu ini kita mendengar Rendra membaca puisi,
sementara lagu “Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan” adalah musikalisasi puisi

5
mbelingnya Remi Sylado. Sementara “Perahu Retak” karya Taufik Ismail
dimusikalisasikan oleh Franky Sahilatua.
Benar pula lagu-lagu Leo Kristi, Ulli Sigar Rusady, Franky dan Jane, lagu-
lagu Gombloh 1970-an dan juga sebagian lagu-lagu Katon Bagaskara memiliki kata-
kata yang puitik, tetapi itu semua bukan puisi. Itu semua adalah lagu! Bahkan, banyak
lagu-lagu puitik tersebut tidak begitu berhasil ketika dibacakan atau dideklamasikan,
karena memang struktur dasarnya adalah untuk dilagukan, bukan dibaca.

C. Beberapa Jenis Musikalisasi Puisi


Berdasarkan atas ketepatan melodisasi dan apresiasi terhadap sebuah puisi. Jenis
musikalisasi puisi terbagi menjadi tiga jenis. Penjelasan lebih detailnya, penulis
paparkan di bawah ini:
1) Musikalisasi Puisi Murni (Versi Musisi)
Musikalisasi murni adalah pengubahan puisi menjadi syair lagu tanpa
mengikutsetakan pembacaan puisi. Pementasan puisi dengan cara benar-benar
menampilkan sebuah lagu, dan puisi hanya berperan sebagai syair lagu.
Perbedaan lagu hasil musikalisasi dan lagu yang diciptakan bukan dari puisi
tidak terlalu kelihatan. Hanya perbedaan isi syair dan kedalaman maknalah
yang membedakan syair puisi dan syair nonpuisi. Model musikalisasi puisi
semacam ini sebenarnya telah tumbuh lama. Syair-syair lagu yang dibawakan
oleh BIMBO sebagian merupakan puisi-puisi ciptaan Taufiq Ismail. Misalnya
saja lagu Panggung Sandiwara dan Sajadah Panjang. Model musikalisasi ini
semakin terangkat pamornya ketika muncul musikalisasi puisi Aku Ingin
karya Sapardi Djoko Damono.

2) Musikalisasi Puisi Versi Sastra (Versi Sastrawan/ Aktor Teater)


Musikalisasi puisi versi sastra adalah pembacaan puisi yang diiringi oleh
permainan alat-alat musik. Pementasan puisi dengan cara pembacaan puisi
tanpa dinyanyikan, tetapi selama pembacaan puisi ada backsound live
permainan alat musik seperti biola, gitar, atau alat musik lainnya. Jelas bahwa
fokus utama musikalisasi puisi versi ini adalah keahlian olah vokal
pembacaan puisi. Model musikalisasi seperti ini sudah tumbuh lama di dunia
pementasan karya sastra dan teater.

6
3) Musikalisasi Puisi Campuran (Kombinasi)
Musikalisasi puisi campuran adalah kombinasi musikalisasi jenis murni dan
versi sastra. Pementasan puisi dengan perpaduan pembacaan puisi dan
nyanyian. Porsi pembacaan dan nyanyian bergantung ketepatan apresiasi dan
kenyamanan melodisasi terhadap puisi.

Contoh Musikalisasi Puisi :

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Karya : Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur sayang
Sebuah lubang peluru bundar didadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang


Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah


Meenangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 Nopember, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tetapi yang tampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur sayang
Sebuah lubang peluru bundar didadanya
Senyum bekunya mau berkata, aku sangat muda

7
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Musikalisasi puisi sendiri hingga hari ini belumlah merupakan sebuah alat
atau metode apresiasi karya sastra. Dia sebagaimana juga dramatisasi puisi
merupakan kegiatan yang bersifat kreatif dan inovatof, sebagai ungkapan kita dalam
mengeksresikan sebuah karya sastra secara bebas. Sebagai perbandingan, parafrase
puisi pada awal-awalnya pun adalah sebuah teknik kreatif untuk memahami puisi,
namun saat ini telah diterima sebagai metode atau teknik apresiasi yang fixed.
Namun, dalam sebuah kegiatan khusus, dalam lomba misalnya, perbedaan ini
akan jadi konflik jika tidak terjembatani.

Saran
Dalam lomba musikalisasi puisi, perbedaan persepsi tentang musikalisasi
wajib dipahami oleh panitia atau penyelenggara lomba, sehingga tidak total
menyerahkannya saja kepada otoritas dewan juri, yang tentu memiliki persepsi
sendiri apa itu musikalisasi puisi. Penentuan kriteria yang jelas tentang konsep
musikalisasi puisi yang dipakai dapat meminimalisasikan konflik yang akan timbul.
Penjelasan ini dapat dilakukan dalam pertemuan-teknis yang dilakukan beberapa hari
menjelang lomba.
Jangan memberikan kesempatan kepada peserta lomba untuk menafsir kriteria
lomba! Fakta, selain kriteria tertulis sendiri yang sering kabur dan multi-tafsir, bahwa
dalam pertemuan-teknis (technical meeting) sebelum lomba, lazim yang dilakukan
oleh panitia hanyalah penentuan nomor urut tampil, langka ditemui dalam pertemuan
teknis, panitia beserta dewan juri memberikan penjelasan tentang kriteria yang akan
dipergunakan.

8
DAFTAR PUSTAKA

- Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.


- Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra
Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
- http://www.jurnalnasional.com/artikel/…. sjifa amori: bukan lirik
konvensional.
- http://www.minggupagi.com/print.php?sid=93970…. sri wintala
ahmad: festival musik puisi lagi untuk 2005? siapa penyelenggaranya?
- Jamalus dan Hamzah Busroh. 1992. Pendidikan Kesenian. Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Dikti, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
- Nurhadi (ed.). 1987. Kapita Selekta Kajian Bahasa, Sastra dan
Pengajarannya. Malang: IKIP Malang.
- Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Soewandi, Emong. 2007. Menuju Proses Kreativitas Penyair Bengkulu.
Makalah untuk Simposium Sastra Sumatera, Desember 2007, Pekanbaru –
Riau.

Anda mungkin juga menyukai