Anda di halaman 1dari 10

BAB III

BIOGRAFI KH. ABDULLAH ABBAS (1922-2007)

A. Sislilah Keturunan KH. Abdullah Abbas


KH. Abdullah Abbas merupakan putra sulung dari Kiai Abbas dan Nyai I’anah.
KH. Abdullah Abbas lahir di Buntet Pesantren Cirebon pada tanggal 7 Maret 1922.
Sedangkan ayahnya KH. Abbas adalah putra KH. Abdul Jamil. Ia adalah putra KH.
Muta’ad, cucu menantu pendiri Pondok Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqoyyim. KH.
Abdullah Abbas mempunyai dua orang adik perempuan yaitu Nyai Hajjah Sukaenah, Ny.
Hj.Maemunah serta adik laki-laki yaitu KH. Nahduddin Royandi Abbas.1
Dari perkawinan dengan istri pertamanya yaitu Nyai Hajjah Aisah, Kiai Abdullah
Abbas mempunyai seorang puteri yaitu Nyai Hajjah Qoriah yang dipersunting oleh KH.
Mufassir dari Pandeglang Banten. Pada tahun 1965, Nyai Hajjah Aisah meninggal dunia.
Tak lama kemudian Kiai Abdullah Abbas menikah dengan Nyai Hajjah Zaenab, Putri
Qori terkenal KH. Jawahir Dahlan. Dari perkawinan dengan Nyai Hajjah Zaenab, Kiai
Abdullah Abbas dikaruniai sebelas putra-putri, yaitu Ani Fatimah, Ayip Abbas, Asiah,
Ismatul Maula, Layla Masyitoh, Muhammad Mustahdi, Muhammad, Yusuf, Neneng
Mar’atussholiha, dan Abdul Jamil.
Menurut sebuah sumber mengatakan bahwa KH. Abdullah Abbas ternyata masih
keturunan orang China. Bermula dari kisah pertemuan Ki Nurkati (sumber lain
menyebutnya Kiai Nur Khatim) dengan seorang gadis keturunan China. Ki Nurkati
tertarik dengan seorang gadis keturunan China yang menjadi seorang pelayan di sebuah
toko. Ternyata keinginan Ki Nurkati tidak bertepuk sebelah tangan. Si gadis China yang
lebih dikenal di Buntet Pesantren dengan sebutan Nyonya Bonteng menyambut keinginan
Ki Nurkati. Maka terjadilah hubungan asmara antara dua sejoli yang berbeda etnis ini.
Namun kisah cinta Ki Nurkati tidak mulus begitu saja. Orang tua gadis China
tidak menyetujui anaknya menjalin asmara dengan orang pribumi, akan tetapi cinta
mereka berdua sudah begitu mendalam sehingga sulit untuk dipisahkan. Akhirnya orang
tua si gadis China ini pun mengalah. Ia merestui anaknya menjalin cinta dengan Ki

1
Hasil wawancara dengan Ibu Ismatul Maula, putri KH. Abdullah Abbas, tanngal 18 April 2013,
pukul 20.30 wib. Di kediamannya di Buntet Pesantren.
Nurkati tapi dengan dua syarat. Yang pertama, anaknya boleh menikah dengan Ki
Nurkati tapi tidak boleh membawa apapun dari rumahnya kecuali hanya yang menempel
di badannya. Yang kedua, keturunan yang dihasilkan nanti harus menjadi orang yang
terbaik di Cirebon.
Persyaratan tersebut tentulah harus dipikirkan matang-matang oleh Ki Nurkati.
Mungkin persyaratan yang pertama masih bisa dianggap ringan, akan tetapi syarat yang
kedua jelas sangat berat. Siapa yang tahu sehebat apa keturunannya kelak. Ki Nurkati
sangat bingung dengan persyaratan yang kedua. Akhirnya Ki Nurkati melakukan puasa
dan istikhoroh. Ki Nurkati akhirnya memutuskan untuk menerima dua syarat yang
diajukan oleh orang tua gadis pujaannya.
Akhirnya menikahlah Ki Nurkati dengan si gadis China tersebut. Dari
pernikahannya dengan gadis China tersebut, Ki Nurkati dikaruniai anak yang diberi nama
Syatori. Ternyata sesuai dengan persyaratan orang tua si gadis China, Syatori, Puteranya
tersebut terkenal sangat pandai. Ia menguasai ilmu agama dan ilmu dagang. Karena
kepandaiannya itulah akhirnya Syatori diangkat menjadi penghulu landrat Cirebon.
Setelah Syatori dewasa, ia menikah dengan seorang gadis yang kemudian dikarunia putri
yang diberi nama Nyai Kariah atau Nyai Qariah. Nyai Kariah sendiri akhirnya dinikahi
oleh Kiai Abdul Jamil yang sebenarnya saat itu sudah menikah dengan Nyai Sa’diyah
yang merupakan puteri Kiai Kriyan. Kiai Abdul Jamil sendiri menikah dengan Nyai
Kariah atas perintah Kiai Kriyan. Dari penjelasan di atas maka jelaslah bahwa KH.
Abdullah Abbas merupakan keturunan China.2
Silsilah Keturunan K.H. Abdullah Abbas sampai Sunan Gunung Jati :

Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Pangeran Pasarean

Pangeran Dipati

2
Munib Rowandi Amsal Hadi, Op.Cit., hal 42-43.
Pangeran Panembahan (ratu Cirebon kang awwal)

Pangeran Dipati

Pangeran Pangeran Panembahan

Pangeran Sutajaya kang seda Ing tambak

Pangeran sutajaya kang seda ing grogol

Pangeran Kebon agung

Pangeran Dalem Anom/Sultan Senopati

Pangeran Sutajaya / Sultan Matangaji

Raden Bagus Penguluh Cirebon

Pangeran Punjul

Raden Ali
Raden Nurudddin

Raden Muridin

K.H. Muta’ad

KH. Abdul Jamil

KH. Muhammad Abbas

KH. Abdullah Abbas3

B. Riwayat Pendidikan KH. Abdullah Abbas


Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya,
Kiai Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh
Kiai Abdullah Abbas. Seperti halnya menurut Zamakhsyari Dzofier bahwa, sarana para
kiai dalam usaha untuk melestarikan tradisi pesantren ialah membangun solidaritas dan
kerjasama sekuat-kuatnya dengan cara antara lain mengembangkan tradisi transmisi
pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antar sesame kiai dan keluarganya.4 Selain
itu, Kiai Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa pesantren. Pesantren yang
pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin oleh Kiai Makmur. 
Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, KH. Abdullah Abbas menimba ilmu pada
Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, ia juga sempat berguru pada
Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Dan terakhir ia digembleng

3
Data diambil dari Buku silsilah keluarga Buntet, di perpustakaaan Buntet Pesantren Cirebon.
4
Zamakhsyari Dzofier, Op.Cit.,hal. 101
oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.5 Selepas dari pondok pesantren, Kiai Abdullah
Abbas langsung berkiprah di masyarakat.
C. Perjuangan KH. Abdullah Abbas pada Masa Revolusi Fisik (1945-1949)
KH. Abdullah Abbas sejak usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan
sumbangan pemikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut
memang sudah terpatri dalam dirinya. KH. Abdullah Abbas termasuk yang ikut
meletakan sendi-sendi kemerdekaan. Karena ia lahir dan dibesarkan dalam masa
penjajahan, akhirnya timbul dalam diri KH. Abdullah Abbas semangat anti penjajah dan
memiliki keberanian yang luar biasa.
Pada usia muda, KH. Abdullah Abbas ikut serta dengan ayahnya, yaitu Kiai
Abbas, bertempur di Surabaya pada 10 November 1945 melawan penjajah. KH. Abdullah
Abbas ikut serta melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono. Bukan
itu saja, ia dengan pasukannya sering diminta untuk membantu pasukan lain seperti di
Tanjung Priok, Cikampek, Manengteung (Kuningan), dan pernah juga berhasil
menyerang pabrik gula Sindang Laut. KH. Abdullah Abbas aktif menjadi pasukan
Hizbullah.6
KH. Abdullah Abbas diserahi tugas sebagai Ketua Batalyon Hizbullah, KH.
Abdullah Abbas berjuang merebut kemerdekaan dan menjadi Kepala Staf Batalyon
Hisbullah dan anggota Batalyon 315/Resimen 1/Teritorial Siliwangi (Letnan Muda TNI).
Seperti yang ditulis oleh Ariezq Alq, bahwa pada akhir tahun 1944, saat Jepang kian
tersudut dalam Perang Dunia II, KH. Wahid Hasyim menawarkan “bantuan” kepada
Jepang untuk melawan sekutu. Menurut ayah dari KH. Abdurrahman Wahid ini, tentara
bahkan laskar-laskar yang sudah dibentuk Jepang masih belum cukup untuk menghadapi
sekutu, mau tidak mau Jepang harus melatih bela diri dan kemampuan berperang “kaum

5
A. Syatori, Pondok Pesantren di Wilayah III Cirebon, (Cirebon: Kaukaba 2014) hal. 125
6
Hizbullah secara bahasa berasal dari dua kata bahasa arab yakni Hizba yang berarti kelompok
atau kumpulan manusia, dan Allah. Hizbullah menurut istilah yaitu sebuah partai politik dan milisi syi’ah
yang berperan penting dalam mengusir Israel dari Lebanon. Hizbullah: Laskar atau Tentara muslim
Indonesia, Hizbullah pernah dipergunakan sebagaimana laskar dalam perjuangan secara fisik melawan
serdadu penjajah Belanda dan Inggris. Bahkan, pada akhir kekuasaan bala tentara pendudukan Jepang di
Indonesia di samping pasukan-pasukan Pembela Tanah Air (PETA), ada juga kader-kader inti yang
mendapat latihan di Cibarusa, Bogor, khusus bagi para pemuda Muslimin, yang diberi nama Hizbullah.
(Dzikri Rohman, Dzikrirohman.blogspot.com/2012/08/hizbullah-in-indonesia.html. (diunduh 21 Agustus
2016)) Di Buntet pesantren sendiri Hizbullah dipimpin oleh KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas.
pesantren” yang secara kuantitas begitu potensial. Bujukan KH. Wahid Hasyim
sebenarnya merupakan sebuah tipuan agar kaum pesantren mempunyai kemampuan
bertempur yang kelak akan dimanfaatkan demi kemerdekaan bangsa ini ternyata diterima
oleh Jepang pada awal Desember 1944 dan sebulan kemudian hingga pertengahan Mei
1945 di Cibarusa Bogor, digemblenglah 500 pemuda dari pesantren-pesantren se-
Indonesia, diantaranya KH. Abdul Halim Majalengka, KH. Munasir Ali Mojokerto, KH.
Wahab Chasbullah Jombang, KH. Hasyim Latief Surabaya, dan dari Cirebon tepatnya
dari Buntet Pesantren yaitu KH. Abdullah Abbas yang waktu itu usianya belum genap 24
tahun.7
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, penjajah Belanda yang
berencana menjajah kembali Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaannya,
penjajah Belanda membuka markas dan menaruh sebagian pasukannya di kompleks
pabrik gula Sindanglaut Cirebon kurang lebih 4 km dari Pesantren Buntet.
Kegiatan pengajian dan belajar mengajar di pesantren Buntet vakum dengan
sendirinya, karena seluruh kiai dan tenaga pengajar menghadapi Belanda dan bergabung
dalam Hizbullah yang dikomandani oleh KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas.
Praktis pesantren Buntet menjadi benteng pertahanan Laskar Hizbullah.
Pada 1 Maret 1946 telah diresmikan markas Batalyon Hizbullah sebagai
Batalyon II. Resimen II dan Divisi Syarif Hidayatullah berkedudukan di Mundu Pesisir
Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon dengan pimpinan;
- Komandan Batalyon : KH. Hasyim Anwar
- Wakil Komandan Batalyon

: Rachmat Hayim

- Kepala Staf Batalyon : KH. Abdullah Abbas

Hizbullah adalah Laskar Perjuangan aktif dan agar lebih terarah maka
satuannya dimasukkan dalam “Resimen Perjuangan” wilayah Cirebon dan dikendalikan
di bawah komando tentara selaku Komandan Sektor. Dalam mengahadapi Agresi

7
Arieza Alq : www.buntetpesantren.org/2015/08/pahlawan-dari-buntet-pesantren-kisah.html?
m=1. ( diakses pada 02 Januari 2016, pukul 22:30 wib.)
Belanda, Laskar Hizbullah yang dipimpin oleh KH. Hasyim Anwar bergabung dengan
pasukan TRI (Tentara Republik Indonesia) dari kesatuan Batalyon IBE “Divisi II Sunan
Gunung Jati” yang dipimpin Kapten D. Mahmud Pasya dan membentuk Daerah
Pertahanan Gerilya I yang dibagi 2 sektor. Pertama, Basis pertahanan Sektor I di
pegunungan Kalimanggis dengan kawasan operasi di daerah Kuningan dipimpin Kapten
D. Mahmud Pasya. Kedua, Basis pertahanan Sektor II di Pegunungan Maneungteung
dengan kawasan operasi di daerah Cirebon dipimpin oleh KH. Hasyim Anwar.8
Pada 1950 sampai 1965, KH. Abdullah Abbas menjadi Juru Warta pada Juru
Penerang Agama Kabupaten Cirebon, ia juga menjadi Anggota Badan Pemerintah
Daerah Tk. II Kabupaten Cirebon, turut aktif menjadi Anggota Badan Pemerintah Harian
DT. II Kabupaten Cirebon, dan pernah menjadi Ketua Panitia Pemeriksaan Daerah
Kabupaten Cirebon dan Anggota DPRD Tk.II Kabupaten Cirebon.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, KH. Abdullah Abbas dipilih menjadi Juru
Tk.I Dinas Pendidikan Agama Kabupaten Cirebon, ia juga masuk menjadi Anggota
Legium Veteran Kabupaten/Kota Madya Cirebon, serta aktif menjadi Pengatur Guru
Agama Islam Kabupaten Cirebon dan pada tahun 1980, ia menjadi Kepala MAN Buntet
Pesantren.
Pengabdian sepanjang masanya juga telah memposisikannya dalam berbagai
macam jabatan puncak pada organisasi sosial keagamaan seperti di PWNU, PBNU
hingga Idarah ‘Aliyah Jam'iyah Ahlu Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah
(JATMAN).
Pada tahun 1984, KH. Abdullah Abbas bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan
KH. Abdurrahman Wahid, melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun
1926.9 KH. Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah
8
Ahmad Zaeni Hasan, Op.cit.,hal. 101-102
9
Kata Khittah berasal dari akar kata Khaththa, yang bermaksud menulis atau merencanakan.
Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan). Kata Khittah ini sangat dikenal masyarakat
Nahdliyyin, terutama sejak tahun 1984. Pada tahun itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di
Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke
dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”. Dewasa ini, kata ini telah umum dipakai, tidak
sebatas komunitas NU. Penggunaan maknanya mengacu pada prinsip, dasar ataupun pokok. Selain
penggunaan “Khittah NU”, kadang juga digunakan kata “Khittah 26”.
Kata “Khittah 26”, ini merujuk pada garis, nilai-nilai dan model perjuangan NU yang
dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. (NU Online:
http://www.nu.or.id/post/read/39709/khittah-nu. diakses tanggal 22 Agustus 2016)
yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah 1926. KH.
Abdullah Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Ia pun
pernah menjadi Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat.10 Di usia senjanya, ia menjadi
Mursyid Tareqat Syatariyah Buntet Pesantren dan terakhir menjadi Sesepuh dan
Pengasuh Pondok Pesantren.11
D. Sosok Tauladan KH. Abdullah Abbas
Kesederhanaan Kiai Dullah, demikian panggilan hormat masyarakat sekitar tidak
berubah. Sosok ulama yang sangat tawadlu dan sederhana. Keikhlasan merupakan
filosofi hidup yang selalu ia pegang teguh. Diam, sabar dan ikhtiar merupakan garis
juang KH. Abdullah Abbas sebagai sesepuh pesantren dan sesepuh masyarakat Jawa
Barat, KH. Abdullah Abbas tidak pernah sepi dari tamu di kediamannya. Mulai dari para
santri, murid tarekat, hingga para umara silih berganti mendatanginya untuk sekedar
sowan, meminta nasihat dan doa12.
KH. Abdullah Abbas merupakan kiai yang merasakan hidup pada tiga masa yaitu
pada masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan kemerdekaan. Ia juga merupakan
sosok pejuang lima zaman mulai jaman penjajahan, jaman perjuangan mempertahankan
kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Selalu membimbing
perjalanan bangsa, dengan memberikan taushiyah kepada semua pemimpin antara lain
untuk selalu bersatu dalam membangun bangsa.
KH. Abdullah Abbas adalah seorang pendiam terhadap seseorang yang belum
dikenalnya. Ia memiliki sikap kehati-hatian terhadap perkara yang akan disampaikan
kepada orang lain. Akan tetapi ia sangat terbuka dengan seseorang yang ia percaya. Sikap
egaliter dan demokratis selalu ditampakkan terhadap keluarga dan masyarakat.
Sebagai ulama dan tokoh masyarakat, kedalaman ilmu dan dengan perbuatan
yang dilengkapi dengan sikap tawaddlu, telah menjadikan ia sebagai seorang ulama
sekaligus pemimpin yang memiliki ciri khas tersendiri. Adapun beberapa keteladanannya
yang patut untuk diteladani. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang lurus dan selalu

10
Buletin IKAPB Buntet Pesantren
11
Ahmad Zaini Hasan, Op.cit., hal. 136.
12
Hasil wawancara dengan KH. Anas Arsyad, 03-08-2016, pukul 16.30 wib, di kediamannya, di
Buntet Pesantren.
tampil dalam kesederhanaan. Mulai dari pakaian, tempat tinggal dan fasilitas lainnya,
terbilang sangat sederhana. Kesehariannya hanya mengenakan pakaian sarung, baju koko,
dan kopyah yang kesemuanya berwarna putih. Walaupun begitu, pemikirannya modern
dan maju dibandingkan kiai pada umumnya.
 Selain tegas dalam pendirian, Kiai Abdullah Abbas dikenal teguh memegang
prinsip, Ikhlas dalam beramal dan berjuang. KH. Abdullah Abbas adalah seorang tokoh
yang sangat menghargai manusia dengan apa adanya. Ia tidak membeda-bedakan
manusia baik dari segi ras, agama dan keturunan maupun kekayaan. baik pejabat seperti
Presiden, Gubernur, Bupati, dan rakyat kecil.
Ini dibuktikan dengan banyaknya tamu dari berbagai kalangan yang datang ke
rumah KH. Abdullah Abbbas, semuanya diterima dengan baik. Seperti saat menyambut
TB. Silalahi dan Ir. Wiranto yang meminta nasihat tentang masalah kemasyarakatan pada
tahun 1999.13 Dan Dr. Ferdy Sulaeman, STh, Ketua wadah Komunikasi dan Pelayananan
Umat Beragama Jakarta Timur, ketika mengadakan Live In Pemuda Pemudi Lintas
Agama pada tanggal 5 sampai 8 Januari tahun 2006 di Pondok Buntet Pesantren, KH.
Abdullah Abbas menyambutnya dengan hangat dan terbuka.14
Adapun saat warga Desa Buntet Blok Bulak mendapat tekanan dari aparat karena
mendemo Galian C yang hampir sampai ke rumah mereka, mereka memohon
perlindungan kepada KH. Abdullah Abbas. Walaupun saat itu ia dalam keadaan sakit,
Kiai Dullah menemui mereka dan memberi semangat, “Teruskan perjuangan dan semoga
berhasil,” pesan Kiai Dullah singkat.15
Beberapa kali KH. Abdullah Abbas terlibat aktif dalam berbagai pertemuan para
kiai sepuh di Jawa Timur, pertemuan untuk mempersiapkan muktamar NU di Solo.
Menurut kesaksian KH. Anas Arsyad, betapa hebatnya KH. Abdullah Abbas saat
berkumpul dengan kiai-kiai dan para tamu yang lain. Ia menempati posisi yang sangat

13
Wawancara dengan KH. Anas Arsyad, 03.08.2016, pukul 16.30 wib. Di kediamannya, di Buntet
pesantren.

Zulfaini, http://zulfanioey.blogspot.com/2010/07/kh-abdullah-abbas.html, diunduh pada 14


14

Agustus 2011
15
Raka Wiryawan: KH. Abdullah Abbas Buntet, (http://way4x.wordpress.com/kiai-abdurrahman-
wahid/foto-para-ulama/kh-abdullah-abbas-buntet. ) di akses pada tanggal 07 Agustus 2016, pukul 13.20
wib.
dihormati bukan hanya dari kalangan kiai tetapi juga kalangan pejabat, politisi bahkan
kalangan wong cilik. Sama halnya dengan apa yang dikatakan Hiroko Hirokoshi bahwa
Seorang Kiai dipercayai memiliki keunggulan baik secara moral maupun sebagai seorang
alim. Pengaruh kiai diperhitungkan baik oleh pejabat-pejabat nasional maupun oleh
masyarakat umum jauh lebih berarti.16
Dalam pengajian kitab Kuning, KH. Abdullah Abbas cenderung mengajarkan
kitab-kitab yang sederhana dan simpel, seperti Kitab Safinah Annajah, Sulam Annajah,
Sulam Attaufiq, Uqudulujjain dan kitab-kitab yang relatif tipis. Hal itu karena ia
mengikuti pola pendidikan Kiai Muqoyyim (Pendiri Pondok Buntet Pesantren) yang
populis, “Ajarkan Kitab Safinah (dengan bahasa yang sederhana) dengan wawasan Ihya
Ulumuddin (penjelasan yang komprehensif)”.
Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, KH. Abdullah beberapa kali masuk
Rumah Sakit Ciremai hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 04.30 WIB
tanggal 10 Agustus 2007.

16
Hiroko Horikoshi, Op.Cit., hal. 212

Anda mungkin juga menyukai