Anda di halaman 1dari 110

BAB III

MEMBANGUN JATI DIRI, MENEGUHKAN EKSISTENSI:


K.H. MAIMOEN ZUBAIR, SERTA PEMIKIRAN DAN KIPRAHNYA
DALAM PENDIRIAN PONDOK PESANTREN AL-ANWAR SARANG
REMBANG, 1928-2003

Bab ini membahas tentang riwayat hidup K.H. Maimoen Zubair dalam
membangun jati diri, meneguhkan eksistensi, serta kiprahnya dalam pendirian
Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang dari sejak ia lahir pada 1928 sampai dengan
2003. Pembahasan dimulai dari masa kecil dan latar belakang keluarga, memban-
gun jaringan keilmuan Jawa-Haramain, membina rumah tangga dan menyiapkan
generasi, berjuang menuntun umat dengan beberapa gagasan yaitu; Nasionalis-Re-
ligius, hubungan Islam dan Negara, dan mengakhiri konflik perselisihan, karya-
karyanya, dan pendirian Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang. K.H. Maimoen
Zubair dikenal sebagai seorang ulama, politikus dan tokoh masyarakat yang
mendirikan pesantren di daerahnya. Pembahasan mengenai biografi K.H.
Maimoen Zubair sangat penting untuk menjadi dasar bagaimana ia dapat
mendirikan pondok pesantren yang awalnya berbasis salaf, kemudian dapat
berkembang menyesuaikan dengan zaman dengan tetap mempertahankan
kesalafannya, sehingga banyak santri dari berbagai daerah di Indonesia
berbondong-bondong untuk mengaji kepadanya.

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga


Maimoen adalah putra pertama dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai
Mahmudah. Ketika Nyai Mahmudah sedang mengandung semua keluarga ayah
dan ibunya menanti-nanti kelahiran Maimoen. Mereka semua berharap agar bayi
yang lahir dari rahim Nyai Mahmudah nanti akan menjadi orang yang dapat
membawa manfaat untuk agama, nusa dan bangsa. Banyak usaha-usaha yang
telah dilakukan agar anak Kiai Zubair Dahlan lahir dengan selamat dan kelak
menjadi manusia yang menebar kemanfaatan. Doa-doa bukan hanya keluar dari

98
99

Kiai Zubair Dahlan, tetapi ada beberapa ulama lain yang ikut andil untuk
mendoakan jabang bayi yang sedang dikandung oleh Nyai Mahmudah. Ulama itu
adalah Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Bisri Syansuri.
Ketiga ulama tersebut diminta oleh Kiai Syuaib1 agar berkenan membacakan doa
yang ditiupkan ke dalam air agar diminum oleh Nyai Mahmudah yang
kandungannya sudah berusia sembilan bulan. Tujuan dari permintaan tersebut
adalah untuk mencari berkah, supaya kelak jabang bayi yang dikandung oleh Nyai
Mahmudah keluar dengan selamat dan menjadi anak yang saleh dan salehah yang
dapat memberikan manfaat bagi agama, nusa, dan bangsanya. Kelahiran bayi yang
dikandung Nyai Mahmudah itu, bertepatan dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober
1928 M para pemuda-pemuda Indonesia sedang melakukan pergerakan nasional
untuk melawan penjajah. Penjajah tidak akan bisa diusir kecuali pemuda-pemudi
Indonesia menyatukan tekad, dan saat itulah lahirlah Sumpah Pemuda. Di saat
para pemuda-pemudi dari Sabang sampai Merauke mengikrarkan Sumpah
Pemuda, bayi yang ditunggu-tunggu kelahirannya oleh Bani Syu’aib dan Bani
Dahlan akhirnya lahir dengan selamat di Desa Karangmangu Kecamatan Sarang
bertepatan pada Kamis Legi bulan Sya’ban 1348 H atau 28 Oktober 1928 M.
Kemudian Kiai Zubair Dahlan memberikan nama yang indah untuk putranya yaitu
Maimoen. Nama tersebut mempunyai arti “yang diberkati” atau “yang
beruntung”. Nama yang mengandung sejarah dan makna yang terserat.2

1
Kakek dari K.H. Maimoen Zubair.
2
Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 58-61.
100

Gambar 3.1 K.H. Hasyim Asy’ari, publikasi 4 Oktober 2016


(Sumber: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/mengenal-lebih-dekat-kh-
hasyim-asyari/2016/10/4/)

Gambar 3.2 Kiai Wahab Hasbullah, publikasi 18 November 2020


(Sumber: https://www.facebook.com/2020/11/18/)
101

Gambar 3.3 Kia Bisri Syansuri 1971


(Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Bisri_Syansuri/1971/)

Kiai Zubair Dahlan memberi nama putranya dengan Maimoen, bukan


sekedar makna belaka. Namun ada sejarah yang mengantarkan akan hal itu. Suatu
ketika, Kiai Zubair Dahlan bermimpi. Dalam mimpinya, Kiai Zubair Dahlan
bertemu dengan seorang wanita tua yang berpesan kepadanya, “Jika kamu diberi
rezeki anak laki-laki, maka namakanlah dia Maimoen”. Akhirnya, Kiai Zubair
Dahlan menjalankan amanah yang didapatkan dari mimpinya untuk menamakan
putra pertamanya dengan nama Maimoen. Maka dari itu, nama ini tidak diganti
oleh K.H. Maimoen Zubair meskipun sudah menunaikan ibadah haji berkali-kali.
Hal itu, berbeda dengan Kiai Zubair Dahlan yang sebelum menunaikan ibadah
haji bernama Anwar. Menurut masyarakat Jawa Islam mengganti nama setelah
menunaikan ibadah haji itu sudah menjadi sebuah tradisi. Sebagai rasa syukur dan
kegembiraan atas kelahiran Maimoen, Kiai Syuaib menyuruh Kiai Ahmad 3 untuk
memintakan berkah doa kepada Kiai Faqih Maskumambang yang tidak lain
adalah guru Kiai Zubair Dahlan. Kiai Faqih Maskumambang berkenan
mendoakan jabang bayi Maimoen agar menjadi orang yang faqih (paham ilmu
agama Islam) dan menjadi orang yang ahli takwil (ahli tafsir). Maimoen
merupakan putra pertama dari lima bersaudara yaitu Makmur, Mardiyah, Hasyim
dan Zahro. Akan tetapi, saudara Maimoen semuanya meninggal dunia.4

3
Mertua dari Kiai Zubair Dahlan.
4
Maimoen Zubair, Tarajim (Sarang: PP. Al-Anwar, 2002), hlm. 59.
102

Hidup sebagai seorang putra kiai di lingkungan pesantren yang kuat akan
pendidikan agama Islam, membuat Maimoen selalu diawasi dengan ketat oleh
ayahnya. Selain ayahnya yang berperan penting dalam pendidikannya adalah sang
kakek, Kiai Ahmad dan sang buyut, Kiai Syu’aib. Mereka sangat berperan aktif
dalam pembentukan karakter keulamaan Maimoen. Maimoen mempelajari dasar-
dasar ilmu agama Islam dari ayahnya dan keluarga, terlebih Bani Syu’aib dan
Bani Dahlan. Ia sangat bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu agama. Ia
menghafalkan beberapa matan kitab yang disimak langsung oleh Kiai Zubair
Dahlan, seperti matan Kitab al-Jurumiyyah, Nadham al-‘Imrithi, al-Fiyah Ibnu
Malik, Nadham Matan Jauharatu al-Tauhid, al-Sulam al-Munawraq, dan al-
Rahabiyyah. Kegiatan menghafal kitab-kitab dasar ini sudah menjadi sebuah
tradisi yang diwajibkan bagi santri-santri yang belajar di Pondok Pesantren Sarang
dari zaman dahulu hingga sekarang. Selain menyimakkan hafalan kitab-kitab
dasar ilmu agama kepada Kiai Zubair Dahlan, Maimoen juga mengikuti pengajian
yang diselenggarakan ayahnya, seperti pengajian Kitab Fathal Qarib, Fathal
Muin dan Fathal Wahhab.5
Akan tetapi, dalam masalah bacaan Al-Qur’an, Maimoen belajar kepada
ibunya, Nyai Mahmudah. Setiap selesai shalat Ashar, Kiai Zubair Dahlan selalu
membaca Al-Qur’an sambil memahami arti per ayat. Ia tahu dan bisa merasakan
letak awal dan akhir kalimat, tanpa terpaku pada tanda wakaf dan tanda akhir ayat.
Ia sering kali berpesan kepada putranya (Maimoen) agar selalu terbiasa membaca
Al-Qur’an dengan memahami artinya, meski hanya membaca beberapa ayat saja.6

Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 64.


5

Tim Karya Ilmiah MGS, Mengenal Lebih Dekat Masyayikh Sarang, hlm.
6

111.
103

Gambar 3.4 K.H. Maimoen Zubair saat muda, publikasi 31 Agustus 219
(Sumber: Youtube RAS tv, 31 Agustus 219)

Kiai Zubair Dahlan tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga
mengajarkan ilmu umum. Terlebih ilmu-ilmu yang ada keterkaitannya dengan
nasionalisme dan patriotisme. Sebab saat itu, Indonesia sedang dalam kondisi
dijajah oleh Belanda, Jepang, dan dilanjutkan dengan kembalinya Belanda
yang membonceng Netherland Indies Civil Administration (NICA). Ketika
umur Maimoen empat tahun, Kiai Zubair Dahlan mengajarkan menulis huruf
Latin, huruf Hanocoroko, dan cara berbahasa Melayu dengan baik. Saat
umurnya 15 tahun, Kiai Zubair Dahlan menyuruh Maimoen untuk membaca
dan mempelajari koran, majalah, buku-buku penyemangat, seperti majalah
“Penyebar Semangat”, buku karya Imam Supriadi, Budi Utomo, dan buku-
buku terbitan Budi Pustaka Jakarta. Maimoen juga menguasai bahasa Belanda
yang ia pelajari dari ayahandanya. Maimoen sering diajak oleh Kiai Zubair
Dahlan untuk sowan (berkunjung) kepada ulama-ulama alim yang bertebaran
di Pulau Jawa, salah satunya adalah Kiai Ihsan dari Jampes. Ia juga sering
diajak untuk melihat peninggalan-peninggalan sejarah orang-orang terdahulu,
104

seperti untuk melihat makam leluhurnya yang tidak ada batu nisannya. Tidak
heran jika banyak sejarah-sejarah penting yang terekam dalam diri Maimoen,
baik yang ia dapatkan dari pengalamannya sendiri atau yang ia dapatkan dari
cerita-cerita Kiai Syu’aib, Kiai Ahmad, Kiai Zubair Dahlan, Kiai Bisri
Syansuri, Kiai Bisri Mustofa dan ulama-ulama yang lain yang pernah ia
temui. Dari banyaknya pengalaman itu, ia dapat dengan mudah menerangkan
tentang sejarah Islam maupun Nusantara.7
Kiai Zubair Dahlan merupakan salah satu bagian terpenting dari para kiai
Nahdlatul Ulama (NU), khususnya wilayah Rembang. Ia senantiasa setia dengan
bangsanya dengan menanamkan rasa cinta Tanah Air kepada keluarga dan murid-
muridnya. Semangat “Hubbul Wathan Minal Iman” ini ia wariskan kepada
putranya Maimoen.8

Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 65-66.


7

Ulum, K.H. Zubair Dahlan, hlm. 228.


8
105

Gambar 3.5 Kiai Bisri Mustofa, publikasi 19 Agustus 2016


(Sumber: https://www.nu.or.id/2016/8/19/)

B. Membangun Jaringan Keilmuan Jawa-Haramain


Kehebatan K.H. Maimoen Zubair tidak terlepas dari ijtihadnya dalam mencari
ilmu dan hadirnya guru-guru hebat yang membentuk karakter dan mentransfer
ilmu kepadanya. Tidak hanya itu, K.H. Maimoen Zubair juga berasal dari
keturunan ulama alim baik dari jalur ayah maupun ibunya, sehingga hal tersebut
juga menjadi salah satu alasan kehebatannya. Orang besar selalu beristifadah
(mengambil ilmu dan faedah) kepada orang-orang yang diberi kelebihan ilmu dan
akhlak di manapun dan kapanpun. K.H. Maimoen Zubair selalu merasa bahwa
ilmunya masih sedikit. Maimoen dari kecil sudah dididik oleh ayahnya sendiri
dengan berbagai ilmu. Jadi, ayahnya merupakan guru pertama baginya. Kiai
Zubair merupakan sosok yang dikenal sebagai ulama yang bertangan dingin. Ia
mampu melahirkan ulama-ulama hebat, seperti K.H. Sahal Mahfudh, K.H. Ahmad
Fayumi Munji, dan ulama-ulama lainnya. Pengembaraan ilmunya di Pesantren
Jawa sampai Haramain membuat ia ingin hal tersebut diturunkan kepada anaknya,
salah satunya Maimoen. Sehingga, untuk mewujudkan keinginannya tersebut dari
Maimoen kecil sudah diajak berkeliling untuk sowan ke ulama-ulama. Dari
sanalah akhirnya Maimoen berijtihad dalam mencari ilmu kepada ulama-ulama
yang ada di Jawa sampai Haramain.9

a. Belajar di Pesantren Lirboyo


9
Sunan Bejagung, “Guru-guru Mbah Moen”, https://sunanbejagung. pon-
pes.id/blog/2019/09/06/guru-guru-mbah-moen/ (diakses pada 03 November 2021
pukul 11:13 WIB).
106

Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya


pada 17 Agustus 1945 M, Kiai Zubair meminta Maimoen untuk menuntut ilmu ke
Pondok Pesantren Lirboyo Kediri di Jawa Timur. Pada waktu itu, Kiai Zubair
sendiri yang mengantarkan Maimoen untuk dikenalkan kepada kiai. Pertama
kali, Maimoen diajak Kiai Zubair bertemu Kiai Ihsan Jampes, 10 setelah sampai
di kediaman Kiai Ihsan Jampes, tanpa disangka-sangka Kiai Zubair langsung
memulai perbincangan dengan Kiai Ihsan menggunakan Bahasa Arab, tetapi
Kiai Ihsan selalu membalasnya menggunakan Bahasa Jawa. Setelah lewat
beberapa obrolan panjang, barulah Kiai Ihsan meminta Kiai Zubair untuk
menggunakan Bahasa Jawa saja, karena ia hanya bisa memahami Bahasa
Arab yang ada di dalam kitab-kitab, tapi tidak bisa Bahasa Arab. Saat
mendengar pernyataan tersebut, Maimoen terheran dan bertanya-tanya di
dalam hati, mengapa kiai sepintar itu tidak bisa Bahasa Arab, namun ia justru
bisa mempunyai karangan Kitab Sirojut Thalibin fii Syarh Minhajil Abidin11
yang tidak ada satu orang pun yang bisa membuat syarah (membuat penjelasan
lebih rinci) dari kitab Imam Ghazali, tapi mengapa kitab Minhajul Abidin mampu
disyarahi oleh orang Jawa yang tidak bisa Bahasa Arab. Pengakuan Kiai Ihsan
tersebut merupakan hal yang unik, sesuatu yang tidak lazim untuk seorang
ulama kelas atas dan memiliki karangan yang sangat monumental atau
10
Ia adalah ulama besar asal Kediri yang berpengaruh dalam penyebaran
ajaran Islam di wilayah nusantara pada abad ke-20. Ia adalah pendiri Pondok
Pesantren Jampes di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo,
Kabupaten Kediri. (Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat
Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar
Media Indonesia 2009), hlm. 408-412).
11
Penjelasan dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali. Kitab “Sir-
ajut Thalibin” ditulis dalam bahasa Arab. Hingga sekarang, kitab ini adalah satu-
satunya kitab penjelasan atas teks “Minhajul Abidin” yang paling populer dan
beredar luas di seluruh penujuru dunia Islam. Karena itu, tidaklah mengherankan
jika kitab karangan Kiai Jampes ini dicetak oleh banyak penerbit di Timur
Tengah, sekaligus dipelajari dan dijadikan rujukan otoritatif dalam kajian bidang
tasawuf di banyak institusi pendidikan dunia Islam.. Lihat (Ginanjar Sya’ban,
“Sirajut Thalibin, Syarah Kiai Ihsan Jampes atas Kitab Tasawuf Imam al-
Ghazali”, (https://www.nu.or.id/post/read/76762/sirajut-thalibin-syarah-kiai-
ihsan-jampes-atas-kitab-tasawuf-imam-al-%20ghazali, (diakses pada 15 Oktober
2021, pukul 01.51).
107

bersejarah, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa pengakuan itu


hanya sikap
tawadhu’ seorang kiai
di hadapan
sesama kiai. Kiai
Zubair mengajak
Maimoen untuk
sowan ke
beberapa kiai, tentu
memiliki tujuan yaitu semata-mata mencari berkah. Sebagai seorang ayah,
Kiai Zubair ingin memperkenalkan kiai-kiai Jawa yang memiliki kapabilitas
keilmuan yang mumpuni. Maimoen juga diajak untuk belajar kepada Kiai
Abdul Karim atau yang lebih terkenal dengan sebutan Mbah Manab. Jadi,
ketika ia mempunyai pandangan berbeda dengan kiai lain, karena semua itu
sesuai dengan yang sudah diajarkan oleh ayahnya.12

Gambar 3.6 Kiai Ihsan Jampes, publikasi 3 Juli 2013


(Sumber: https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/07/30/)

12
ppalanwarsarangPpalanwarsarang, “Tausiyah K.H. Maimoen Zubair dan
Haflah Akhirussanah MGS”, (Youtube, April 29, 2018.
https://www.youtube.com/watch?v=nMzDjPCqWLA&t =522s, (ppalan-
warsarangdiakses pada ….. 00:01).
108

Pada masa itu, usia Maimoen adalah 17 tahun, masa pemuda dalam
kesemangatan belajar. Tidak hanya kepada Mbah Manab, di Pesantren
Lirboyo ini Maimoen juga belajar kepada Kiai Marzuki Dahlan, Kiai Mahrus
Ali (keduanya adalah menantu andalan Mbah Manab) dan Kiai Ma’ruf
Kedunglo yang terkenal sebagai ulama yang mempunyai banyak karomah dan
mustajab doanya. Dari Kiai Ma’ruf Kedunglo ini, Maimoen mendapatkan
ijazah beberapa doa dan wirid.13

Gambar 3.7 Kiai Abdul Karim (Mbah Manab), publikasi 1 Juli 2016
(Sumber: https://facebook.com/SyaikhunaMaimoenZubair/2016/7/1/)

13
Wawancara dengan dengan K.H. Zaki Mubarok, 7 menantu dari K.H.
Abdullah Ubab (Putra K.H. Maimoen Zubair), 07 Maret 2021. Ia adalah menantu
dari K.H. Abdullah Ubab (Putra K.H. Maimoen Zubair).
109

Gambar 3.8
Kiai Marzuki
Dahlan, publikasi 28 Januari 2020
(Sumber: https://bangkitmedia.com/2020/1/28/)

Gambar 3.9 Kiai Mahrus Ali, publikasi 27 September 2020


(Sumber: https://jatim.nu.or.id/2020/9/27/)
110

Gambar 3.10 Kiai Ma’ruf Kedunglo, publikasi 27 Januari 2014


(Sumber: https://nurnadhroh.blogspot.com/2014/01/27/)

Saat menjadi santri di Lirboyo, Pesantren Mbah Manab ini masih


berupa kombongan (sejenis gotaan atau kamar sederhana yang terbuat dari
bambu). Setiap santri yang ingin belajar kepada Mbah Manab diperintahkan
untuk membuat kombongan sendiri. Mbah Manab tidak berambisi untuk
mempunyai sebuah pesantren. Ia hanya ingin mengajar dan mensyiarkan
agama Allah. Jadi, para santri yang harus membuat tempat tinggalnya sendiri
yang kemudian menjadi cikal bakal dari sejarah berdirinya Pesantren Lirboyo
dengan Mbah Manab sebagai pendirinya. Mbah Manab ini dikenal kuat dalam
ilmu alat, karena ia cukup lama belajar ngaji dengan Syeikh Kholil Bangkalan
yang dikenal kuat dalam ilmu alat. Manab belajar dengan Syeikh Kholil
Bangkalan selama 24 tahun, merupakan waktu yang sangat panjang, sampai-
sampai Syaikh Kholil mengusir Manab karena ilmunya sudah dikuras habis
dan tidak tersisa. Manab dikenal sebagai santri yang berasal dari keluarga
biasa, tapi ahli tirakat. Kebiasaannya adalah puasa setiap hari, dengan tujuan
ingin menjernihkan mata hati. Manab mengakhiri petualangannya di
Pesantren temannya,
yaitu Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang di
bawah asuhan K.H.
Hasyim Asy’ari. Atas
saran K.H. Hasyim
Asy’ari, Manab
dinikahkan dengan putri
seorang tokoh agama di Kediri.14

Ponpes Sunan Bejagung, “Guru-guru Mbah Moen”, https://sunanbejagung.


14

ponpes.id/blog/2019/09/06/guru-guru-mbah-moen/ (diakses pada 25 Oktober


2021, pukul 14.42).
111

Gambar 3.11 Syaikhona Kholil al-Bangkalani, publikasi 19 Juli 2019


(Sumber: https://www.atorcator.com/2019/07/19/)

Saat Maimoen mondok di Lirboyo, santri dari Mbah Manab masih


sedikit, sekitar puluhan orang. Hubungan Maimoen dengan Mbah Manab
begitu dekat. Kedekatannya ini salah satunya didukung oleh keberadaan Kiai
Khozin yang diambil anak angkat oleh Mbah Manab, karena wajahnya yang
mirip dengan Kiai Nawawi. Jadi secara tidak langsung Maimoen adalah buyutnya
Mbah Manab, karena Maimoen Zubair merupakan cucu dari Kiai Khazin. Kiai
Khazin bercerita kepada Maimoen bahwa ia diajak ke Makkah untuk menemani
Mbah Manab, karena Mbah Manab ingin meninggal di Makkah. Saat sudah
sampai di Makkah, hal yang terjadi justru sebaliknya, Mbah Khozin meninggal
terlebih dahulu, sedangkan Mbah Manab belum meninggal.15
Maimoen terkenal sebagai salah satu santri Mbah Manab yang mumpuni
dalam bidang keilmuannya dan ditokohkan. Dari kecerdasannya ini, maka
tidak mengherankan jika ia menjadi salah satu santri andalan Mbah Manab
dari beberapa santrinya. Ada tiga santri Mbah Manab yang menjadi andalan
pada waktu itu, yaitu Maimoen, Abdul Wahab dari Sulang Rembang, dan Ali
Bakar. Selama menjadi santri di Lirboyo, Maimoen selalu giat dalam belajarnya.
Ia mengurangi makan-minum dan menyedikitkan tidur. Semua itu ia lakukan agar
mendapat kepahaman ilmu yang diajarkan oleh kia-kiainya. Ia juga aktif ber-

15
Wawancara dengan dengan K.H. Zaki Mubarok, 7 Maret 2021. menantu
dari K.H. Abdullah Ubab (Putra K.H. Maimoen Zubair), 07 Maret 2021.
112

tafaqquh fiddin16 kepada ulama-ulama yang mengajar di masjid-masjid setempat.


Maimoen juga belajar ilmu adab pada As-Syeikh Ma’ruf yang bertempat
tinggal di Desa Kedung Ulo Kediri di Jawa Timur. Salah satu ilmu yang
menonjol dalam diri Maimoen adalah ilmu Nahwu dan Sharaf. Ia hafal Nadlom
Al-fiyah yang berjumlah seribu bait di luar kepala.17
Maimoen tidak hanya mengaji. Namun, ia juga ikut berperang dalam
memperjuangkan keutuhan NKRI yang telah berdaulat 17 Agustus 1945 M.
Bersama dengan Kiai Mahrus Ali dan para kiai lainnya yang dikomando dalam
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 M, Maimoen ikut berjuang melawan penjajah
yang ingin kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan misi Agresi Militer
Belanda I (21 Juli – 5 Agustus 1947 M) dan Agresi Militer Belanda II (19-20
Desember 1948 M).18
Pada 18 Desember 1948 M, Belanda masuk di Lirboyo. Hal tersebut yang
menjadikan ia harus berhenti belajar di Lirboyo. Maimoen memilih mengikuti
Mbah Manab dan istrinya ke Mojokudi, tetapi baru 3 hari ia sudah tidak betah.
Selanjutnya, ia pindah ke tempat K.H. Hasyim Asy’ari di Prabon, baru sehari
semalam sudah tidak betah. Terakhir, ia berpindah ke Pesantren Mojosari yang
teletak sebelah timur Nganjuk. Saat berada di sana, ia bertahan lumayan lama
yaitu 7 hari. Akhirnya, setelah berpindah ke beberapa pesantren, pada 1949 M ia
memutuskan untuk pulang ke Sarang guna mengamalkan ilmu yang sudah ia
dapat dari Lirboyo. Jadi, Maimoen mondok di Pesantren Lirboyo tidak lama,

16
Menurut terjemahan tafsir Kementerian Agama, Tafaqquh fiddin yang
tersurat dalam ayat 122 dari surat at-Taubah adalah: kewajiban menuntut ilmu
pengetahuan yang ditekankan dalam bidang ilmu agama. Namun agama adalah
sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dari segi kehidupan manusia. Setiap
ilmu yang berguna dan dapat mencerdaskan umat serta mensejahterakan
kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama. (Keme-
nag, “Meneguhkan Unggulan Tafaqquh Fiddin Madrasah”, https://dki.kemenag.-
go.id/artikel/ meneguhkan-keunggulan-tafaqquh-fiddin-madrasah, (diakses pada
15 Oktober 2021, pukul 23.56).
17
Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 68.
18
Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 70.
113

mulai 1945-1949 M. Maimoen menyatakan bahwa hanya satu pesantren saja


yang ia jadikan sebagai tempat mencari ilmu, yaitu Pesantren Lirboyo.19

Foto-foto Maimoen di masa muda:

Gambar 3.12 K.H. Maimoen Zubair muda, publikasi 20 Maret 2019


(Sumber: https://santri.laduni.id/2019/3/20/)

Sahal Kinan, “Nostalgia Mbah Maimoen waktu mondok. Haul Lirboyo”,


19

Youtube, Oktober 11, 2018. https://www.youtube.com/watch?v=-vKwLur56bM


(Kinan 15:17).
114

Gambar 3.13 K.H. Maimoen Zubair muda, publikasi 6 Agustus 2019


(Sumber: https://muslim.okezine.com/2019/8/6/)

Gambar 3.14 K.H. Maimoen Zubair muda, publikasi 3 Januari 2020


(Sumber: : https://KiaiMaimoen-Santrijagad.html/2020/1/3/)
115

Gambar 3.15 K.H. Maimoen Zubair muda, publikasi 7 Februari 2019


(Sumber: : https://KiaiMaimoen-Santrijagad.html/2019/2/7/)

Gambar 3.16 K.H. Maimoen Zubair muda, publikasi 29 September 2019


(Sumber: https://KiaiMaimoen-Santrijagad.html/2019/9/29/)
116

Gambar 3.17 K.H. Maimoen Zubair muda 1950


(Sumber: : https://dutaislam.com/1950/)

Gambar 3.18
K.H. Maimoen Zubair muda, publikasi 10 Agustus 2019
(Sumber: : https://KiaiMaimoen-Santrijagad.html/2019/8/10)
117

Gambar 3.19 K.H. Maimoen Zubair muda, publikasi 7 Februari 2019


(Sumber: https://KiaiMaimoen-Santrijagad.html/2019/2/7/)

Gambar 3.20 K.H.


Maimoen Zubair
muda, publikasi 9
Agustus 2019
(Sumber: :
https://KiaiMaimo
en-Santrijagad.html/2019/8/9/)

b. Belajar di Haramain
Setelah Belanda keluar dari Indonesia, pada 1950 M Maimoen yang saat itu
berusia 21 tahun, meninggalkan kampung halaman bersama Kiai Ahmad bin
Syu’aib dan pamannya Kiai Abdurrahim bin Ahmad untuk berangkat menunaikan
ibadah haji. Selain menunaikan ibadah haji, tujuan Maimoen diajak ke Haramain
(Makkah dan Madinah) adalah agar ia dapat belajar kepada ulama-ulama
Haramain untuk lebih memperdalam ilmu agamanya. Tradisi seperti ini sudah
dilakukan oleh leluhurnya mulai dari Kiai Ghozali bin Lanah, Kiai Syu’aib bin
118

Abdurrozak, Kiai Ahmad bin Syu’aib, dan Kiai Zubair Dahlan. Biaya sepenuhnya
ditanggung oleh Kiai Ahmad bin Syu’aib.20
Saat di Haramain, Maimoen belajar kepada ulama-ulama yang mengajar
di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum Makkah yang merupakan
madrasah rintisan ulama Jawiyyin (ulama Nusantara-Melayu di Haramain).
Mengikuti jejak ayahnya, Maimoen belajar kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-
Maliki, Maimoen mempelajari kitab Nadham Baiquniyah yang menerangkan
tentang disiplin ilmu Musthalahul Hadist mulai awal hingga akhir dan juga
mengaji Syarah Ibnu Aqil. Kepada Syekh Hasan al-Masyath yang merupakan
ulama pakar Hadist dan ilmu Ushul, Maimoen mempelajari Nadhom Tholiatul
Anwar dan syarahnya. Kepada Syekh Muhammad Amin al-Kutbi yang merupakan
ulama pakar Gramatika Arab dan Hadist, Maimoen belajar kitab Riyadus Shalihin
karya Imam Nawawi. Kepada Syekh Abdul Qodir al-Mindili yang merupakan
ulama asal Mandailing, Sumatra Utara yang bermukim di Makkah, Maimoen
belajar Nadham Waraqat karya Imam Haramain dan syarahnya. Kepada Syekh
Yasin al-Fadani yang merupakan ulama asal Padang, Sumatra Barat, Maimoen
mempelajari kitab Sunan Abi Dawud. Kepada Syekh Yasin bin Isa al-Fadani ini,
banyak sanad keilmuan Maimoen yang bersambung kepada mushannif (penulis)-
nya. Kepada Syekh Abdullah bin Nuh yang merupakan ulama asal Malaysia yang
bermukim di Makkah, Maimoen mempelajari tata cara membaca Al-Qur’an
dengan baik dan benar. Dari sekian banyak kitab yang dipelajari Maimoen kepada
ulama-ulama Haramain, yang berhasil dikhatamkan dengan sempurna hanya ada
tiga, yaitu Waraqat, Baiquniyyah dan kitab karya Syekh Zam-Zami dalam bidang
ilmu Tafsir. Maimoen tidak dapat mengkhatamkan semua kitab karena ia hanya
sebentar di Makkah, yaitu dari 1949-1951 M. Sebenarnya Maimoen ingin belajar
di Haramain sampai 1953 M, tetapi karena adanya musibah yang menimpa umat
Islam asal Indonesia yang bermukim di Haramain, maka ia memutuskan untuk
kembali ke tanah air.21

20
Ulum, K.H. Maimoen Zubair, hlm. 74.
21
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Membuka Cakrawala Keilmuan, hlm. 6-7.
119

Kembalinya Maimoen ke tanah air, tidak menyurutkan niatnya untuk terus


belajar memperdalam ilmu agama. Ia tabarukan22 (mencari berkah) lagi ke
berbagai ulama di Jawa, seperti Kiai Bisri Musthofa di Leteh, Rembang; Kiai
Abdul Wahib bin Hasbullah di Tambak Beras, Jombang (mantan Menteri Agama
ke-9); Kiai Ma’sum Ahmad di Lasem, Rembang; Kiai Bisri Syansuri di Denayar,
Jombang; Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih di Malang; Habib Ali bin
Ahmad al-Athas di Jakarta; Kiai Thohir (pengasuh Yayasan ath-Thohiriyyah di
Jakarta; Kiai Ali bin Ma’sum di Krapayk, Yogyakarta; Kiai Abdul Hamid di
Pasuruan); Kiai Muslih bin Abdur Rahman di Mranggen, Demak; Kiai Abbas di
Buntet,
Cirebon; Kiai
Khudhori di
Tegalrejo,
Magelang;
Kiai Asnawi di
Kudus), Kiai
Ihsan di
Jampes,
Kediri; Kiai Abdul Fadhol di Senori, Tuban; dan Kiai Abdul Khoir di Jatirogo,
Tuban.23

Foto-foto K.H. Maimoen Zubair dan para ulama:

Makna Tabarruk berasal dari kata barakah, yang berarti bertambah. Se-
22

mentara tabarruk adalah mencari berkah dengan hal-hal baik dari Allah SWT. Se-
cara khusus Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya mencantumkan bab tentang
mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Lihat (Yusuf
Khatthar Muhammad, al Mausu’ah al Yusufiyah (, (Damaskus: Nadr, 1999), hlm.
174.
23
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Membuka Cakrawala Keilmuan, hlm. 8.
120

Gambar 3.21 Syekh Hasan al-Masyath, publikasi April 2011


(Sumber: http://mangsuhe.blogspot.com/2011/04/)

Gambar 3.22 Syekh Muhammad Amin al-Kutbi, publikasi 15 September 2019


(Sumber: https://www.facaebook.com/MDTA-miftahulathfalnu-02-suradadi/2-
19/8/15/)

Gambar 3.23 Syekh


Abdul Qodir al- Mindili,
publikasi 17 Desember 2017
121

(Sumber: https://daerah.sindonews.com/2017/12/17/)

Gambar 3.24 K.H. Maimoen Zubair bersama Syekh Yasin al-Fadani, publikasi 30
November 2016
(Sumber: https://www.facebook.com/serambisarang/2016/11/30/)

Gambar 3.25 Syekh Abdullah bin Nuh, publikasi 24 Mei 2019


(Sumber: https://bogor.ayoindonesia.com/2019/5/24/)
122

Gambar 3.26 K.H. Maimoen Zubair bersama Syekh Muhammad Said Romadlon
Al-Bhuty (Damascus), publikasi 8 Maret 2015
(Sumber: https://www.facebook.com/muhadloroh-alanwarsarang/2015/3/8)

Gambar 3.27 K.H. Maimoen Zubair bersama Syekh Yusri Rusydi al-Hasani,
Januari 2017
(Sumber: https://langit7.id/2017/1/)
123

Gambar 3.28 Masyayikh Sarang (dari kiri ke kanan: K.H. Maimoen Zubair, K.H.
Musa Nurhadi, K.H. Ali Masyfu’, K.H. Kholil Bisri dan K.H. Faqih Imam),
publikasi 9 Desember 2016
(Sumber:
https://https://www.facebook.com/muhadloroh-ppalanwarsarang/2016/12/9)

Gambar 3.29 K.H. Maimoen Zubair bersama Syekh Abu Kamal, 8 Februari
2017
(Sumber:
https://www.facebook.com/muhadloroh-ppalanwarsarang/2017/2/8)
124

Gambar 3.30 K.H. Maimooen Zubair bersama K.H. Aqil Sirojd, publikasi 2
Agustus 2020
(Sumber: https://twitter.com/generasi_mudanu/2020/8/2/)

Gambar 3.31 K.H. Maimoen Zubair dengan K.H. Abdul Nashir, publikasi 16
April 2020
(Sumber: https://zawaya.id/2020/4/16/)
125

Gambar 3.32 K.H. Maimoen Zubair bersama Gus Dur & Gus Baqoh, publikasi 26
November 2019
(Sumber: https://alif.id/2019/11/26/)

Gambar 3.33 K.H. Maimoen Zubair bersama Syekh Rajab Dieb (Suriah)
dan Syekh Hisyam Kabbani (USA), publikasi 15 Juni 2016
(Sumber: https://https://www.facebook.com/muhadloroh-alanwarsarang/
2016/6/15)
126

Gambar 3.34 K.H. Maimoen Zubair bersama K.H. Ma’ruf Amin (Wakil Presiden
RI),
publikasi 4 September 2018
(Sumber: https://jateng.inews.id/2018/9/4/)

Gambar 3.35 K.H. Maimoen Zubair bersama KH. Sahal Mahfudz dalam sebuah
acara NU pada Februari 1986
127

(Sumber: https://www.facebook.com/ponpesalanwarsarang/1986/2/)

Jaringan keilmuan K.H. Maimoen Zubair sudah tidak bisa diragukan lagi.
Berkat perjalanannya dalam menuntut ilmu agama ini, K.H. Maimoen Zubair
dikenal sebagai ulama karismatik yang dikenal tidak hanya di Indonesia, tetapi
sampai Haramain. Ia juga menjadi ulama Ahli Fiqh yang menjadi rujukan para
ulama di Indonesia. Jadi, jaringan keulamaan K.H. Maimoen Zubair dari Nusan-
tara (lebih tepatnya Jawa) sampai dengan Haramain. Kiprah keulamaan K.H.
Maimoen Zubair tidak hanya melalui ilmu, tetapi juga melalui kiprahnya dalam
berbagai organisasi. Jaringan tersebut ia dapatkan dari pendahulunya, kemudian
sekarang dilanjutkan oleh anak-anaknya.24

Rakhmad Hidayatullah Permana, “Sosok K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai


24

Karismatik yang Rajin Berhaji”, https://news.detik.com/berita/d-4654002/sosok-


kh-maimun-zubair-sang-kiai-karismatik-yang-rajin-berhaji (diakses pada 03 No-
vember 2021 pukul 18:31 WIB).
128

Gambar 3.36 Penghargaan Ahlul Bait dari Palestina untuk K.H. Maimoen Zubair,
05 Juni 2018
(Sumber: Buku K.H. Zubair Dahlan Kontribusi Kiai Sarang untuk Nusantara &
Dunia Islam, 2018/6/5)

C. Membina Rumah Tangga dan Menyiapkan Generasi


Pernikahan merupakan tradisi sakral yang dilakukan oleh hampir setiap manusia
untuk melestarikan keturunan. Kiai, tokoh agama dan para ulama juga
melaksanakan tradisi tersebut agar dapat melahirkan generasi yang dapat
meneruskan perjuangan agama. Selama hidup K.H. Maimoen Zubair pernah
menikah sebanyak 3 (tiga) kali.

Gambar 3.37 K.H. Maimoen Zubair dan Nyai Hj. Fahimah, publikasi 11 Agustus
2019
(Sumber:

https://www.facebook.com/lembagagarudamudaindonesiaorganization/2019/8/11/
)
129

Pertama, pada 1953 M saat K.H. Maimoen Zubair berusia 25 tahun, ia


menikah dengan Fahimah yang berusia 12 tahun, yang merupakan putri dari K.H.
Baidhowi bin Abdul Aziz Lasem yang terkenal dalam bidang ilmu Thariqah,
dan Nyai Hamdanah. Pernikahan ini atas permintaan Kiai Ahmad bin Syu’aib
dan mendapatkan sambutan gembira dari kedua keluarga. Mereka
menginginkan antara keluarga ulama Sarang dan ulama Lasem bukan hanya
menjalin ikatan keilmuan, tetapi mereka juga ingin menjalin ikatan
kekeluargaan. Ketika antara dua keluarga sudah saling sepakat, maka akad
pernikahan dijalankan. Namun, untuk masalah resepsinya, kedua belah pihak
keluarga baru melangsungkan setelah satu tahun berlalu dari waktu
pernikahan tersebut. Fahimah lahir pada 1942 M bertepatan dengan
kedatangan Jepang ke Indonesia. Sejak kecil, Fahimah sudah memperoleh
pendidikan Islam dari orang tuanya, sehingga ia mempunyai dasar-dasar
agama yang kuat. Selain belajar kepada orangtuanya, ia juga belajar kepada
Nyai Utsman (Nyai Khadijah) yaitu kakak dari ayahnya. Dari Nyai Utsman, ia
mengaji ilmu membaca Al-Qur’an. Sejak kecil, Fahimah merupakan sosok
muslimah yang menghabiskan hari-harinya dengan menjalankan aktivitas
yang bermanfaat, mengaji ilmu agama baik di pesantren ayahnya atau di
rumah langsung dengan bimbingan kedua orangtuanya.25
Saat-saat indah menapaki kehidupan baru bersama sang suami tercinta,
Nyai Fahimah tetap aktif mengikuti pengajian dalam keadaan mengandung. Ia
juga sempat tabarukan dengan mengaji kepada Kiai Wahab Hasbullah yang
tidak lain adalah besan Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz. Layaknya manusia
yang selalu hidup dengan beraneka ragam masalah, Nyai Fahimah juga
sempat berhadapan dengan lika-liku bahtera rumah tangga yang cukup rumit,
sehingga ia bercerai dengan Maimoen pada 1971 M/1391 H. Pada sela-sela
kesibukan mengasuh putra-putrinya, ia masih menyempatkan diri untuk
menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya pada 1994 M, kemudian ia
terpanggil kembali untuk menunaikan ibadah haji kedua kali bersama dengan

Amirul Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, (Sarang: Lembaga Pendidikan


25

Muhadloroh PP. Al-Anwar, 2014), hlm. 76-77.


130

putra pertama beserta sang menantu, K.H. Abdullah Ubab dan Nyai Hj.
Roudlotul Jannah. Pada 1999 M, Nyai Hj. Fahimah menunaikan ibadah haji
lagi bersama putra kedua dan menantunya, K.H. Muhammad Najih dan Nyai
Hj. Mutammimah.26

Gambar 3.38 Ibu Nyai Hj. Fahimah, publikasi 22 Juli 2019


(Sumber: https://ulamanusantaracenter.com/2019/7/22/)

Pada 2002 M/1423 H, Maimoen yang telah menjadi sosok kiai


kharismatik, rujuk kembali dengan Ibu Nyai Hj. Fahimah. Jadi, Keduanya
berpisah selama 31 tahun. Ketika kembali lagi membina rumah tangga dengan
K.H. Maimoen Zubair, Ibu Nyai Hj. Fahimah beraktivitas sebagaimana
layaknya istri seorang ulama. Ia ikut berkiprah dalam mengasuh Pondok
Pesantren Putri Al-Anwar. Sisa umurnya ia habiskan untuk mengajar,
beribadah dan melayani suami tercinta. Ibu Nyai Hj. Fahimah kembali ke
Rahmatullah pada malam Rabu 18 Oktober 2011 M. Saat itu, K.H. Maimoen
Zubair sedang menjalankan ibadah haji. K.H. Maimoen Zubair berangkat ke
tanah suci sekitar 3 atau 4 hari sebelum Ibu Nyai Hj. Fahimah wafat. Detik-

26
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 78.
131

detik wafatnya, Ibu Nyai Hj. Fahimah hendak mengambil air wudhu untuk
menjalankan ibadah shalat, tidak lama setelah peristiwa itu ia dipanggil ke
Rahmatullah. Santri-santri yang waktu itu sedang menjalankan rutinitas
musyawarah, langsung bubar di saat mendengar kabar tersebut. Bacaan Al-
Qur’an tidak henti-hentinya dilantunkan para santri dari malam hingga Ibu
Nyai Hj. Fahimah dikebumikan. Berita duka cepat tersebar hingga ke plosok
Nusantara dan Timur Tengah. Sarang dipenuhi dengan begitu banyak manusia
untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ibu Nyai Hj. Fahimah.
Ucapan bela sungkawa, baik melalui karangan bunga atau yang lainnya selalu
berdatangan mulai dari pejabat pusat hingga rakyat biasa. Semuanya ikut
berduka atas wafatnya Ibu Nyai Hj. Fahimah. Shalat jenazah dikerjakan silih
berganti hingga lebih dari 17 kali dengan gelombang jamaah yang besar,
memadati Mushalla Pondok Pesantren Al-Anwar. Selain itu, shalat jenazah bil
ghaib (shalat jenazah yang dilakukan tanpa adanya jenazah) juga dikerjakan di
Makkah, di Dar al-Ulum dengan jumlah yang besar juga.27
Pada pernikahan dengan Nyai Hj. Fahimah, K.H. Maimoen Zubair
dikaruniai tujuh putra, empat meninggal dunia ketika masih kecil, sedangkan
yang tiga orang anak masih menyertainya. Mereka antara lain adalah sebagai
berikut.

1. K.H. Abdullah Ubab


Abdullah Ubab adalah putra pertama dari tujuh bersaudara hasil pernikahan
K.H. Maimoen Zubair dengan Nyai Hj. Fahimah binti K.H. Baidhowi Lasem.
Lahir di Sarang pada 10 Agustus 1954 M. Saat kecil, ia sudah sangat akrab
dengan lingkungan pesantren, mengaji, dan shalat berjama’ah, sehingga tidak
heran jika ia berkembang menjadi pribadi yang saleh dan memiliki kadar
intelektual yang tinggi. Ia mengenyam pendidikan di MGS pada 1960-1970
M, kemudian ia melanjutkan belajarnya ke Madrasah Darul Ulum Jombang
pada 1971-1973 M. Setelah mengenyam pendidikan di Jombang, ia
memperdalam ilmunya di Pondok Pesantren Lirboyo pada 1974-1977 M,

27
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 80.
132

mengikuti jejak sang ayah yang dahulu pernah menjadi santri di sana. Saat di
Kediri, selain mondok ia juga belajar di Universitas Tri Bakti Kediri.
Abdullah Ubab dewasa terkenal dengan pergaulan yang supel, baik dengan
kawan maupun lawan, serta mempunyai solidaritas yang tinggi dan
tawadhu’.28
Setelah lulus dari Lirboyo, ia melanjutkan perjalanan belajar ke tanah
Haram (Makkah) untuk mengabdi dan mengaji di bawah bimbingan Sayyid
Muhammad bin ‘Alawi al-Malikiy. Setelah ia kembali dari Makkah, ia
mengembangkan dan memperjuangkan ajaran ulama salaf di kelas
Muhadlarah. Ia memegang cabang Ushul Fiqih dengan mengajar kitab
Ghayatul Wushul. Bersama dengan para Masyayikh (kiai-kiai), ia ikut
mengembangkan pesantren Sarang khususnya Pondok Pesantren Al-Anwar. Ia
juga gigih memperjuangkan Islam lewat medan politik, terbukti dari 1990 M
ia masih menjabat sebagai pengurus Dewan Pengurus Cabang (DPC) PPP
Kabupaten Rembang. Ia menikah dengan putri dari K.H. Abdul Ghofur
bernama Raudhatul Jannah dari Senori Kabupaten Tuban Jawa Timur dan
dianugrahi putra putri sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu Agus Rosyid, Agus
Robah, Agus Roqib, Agus Rojih, Ning Afro’, Agus Rofi’ Mahdi, Agus
Rauhan, Ning Aliyah, Ning Azza, dan Agus Roghib Sa’ad.29

28
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 102.
29
Tim Mading Ishmah, ”K.H. Abdullah Ubab Maimoen (Putra Pertama)”
(http://ppalanwar.com/index.php/news/12/33/KH-Abdullah-Ubab-Maimoen-
Putra-Pertama.html, diakses pada 7 Januari 2021).
133

Gambar 3.39
K.H. Abdullah Ubab, publikasi 16 Oktober 2020
(Sumber: https://www.twitter.com/ppalanwarsarang/2020/10/16)

Gambar 3.40 K.H. Abdullah Ubab dan K.H. Maimoen Zubair 28 Juni 2016
(Sumber: Buku K.H. Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan, 2016/6/28/)

2. Muhammad Abid (almarhum).


3. Ning Mas’adah (almarhumah).
4. Ning Azza (almarhumah).
5. K.H. Muhammad Najih
Muhammad Najih adalah putra kedua K.H. Maimoen Zubair. Ia lahir di
134

Sarang pada 11 Agustus 1963 M dengan nama lengkap Muhammad Najih


yang terinspirasi dari nama seorang ulama yang konon berasal dari Jawa
Timur. Detik-detik kelahirannya, sang kakek, Kiai Zubair Dahlan ikut serta
menunggui jabang bayi yang akan keluar dari rahim ibunya. Sang kakek
berharap semoga memberikan manfaat bagi agama, nusa, dan negaranya.
Semenjak kecil ia sangat bersungguh-sungguh belajar ilmu agama, sehingga
di antara teman-temannya yang lain, keilmuannya terlihat sangat menonjol.
Dalam masalah apapun ia tidak pernah mengenal kata main-main. Semua itu
membuat sang kakek, yaitu Kiai Zubair Dahlan sangat menyayanginya,
karena mulai kecil ia sudah terlihat tanda-tanda akan menjadi seorang ulama’
yang gigih memperjuangkan ajaran Ahlussunnah Waljamaah. Dalam proses
mencari ilmu, Najih selalu menjauhi maksiat supaya cahaya ilmu dapat
merasuk di dalam hati sanubari dengan mudah. Salah satu maksiat yang ia
hindari adalah maksaiat yang ditimbulkan oleh mata. Sebab, maksiat mata ini
dapat mempengaruhi seluruh jiwa. Dari mata turun ke hati, sehingga
berpengaruh pada sekujur tubuh manusia.30
Ketika belajar di MGS, Najih berangkat pagi-pagi sekali. Hal ini
dilakukannya karena ia ingin menghindari maksiat yang ditimbulkan oleh
mata. Sebab, di waktu pagi banyak aktivitas warga Sarang yang keluar
rumah, terlebih para wanita yang hendak pergi ke pasar atau hendak ke
sekolah. Jika sudah menghindar, akan tetapi masih saja ketemu dengan
maksiat mata, ia sangat menyesalkan (menangis) hal tersebut. Meskipun Najih
putra seorang ulama yang terkenal, namun hal itu tidak menyurutkan dirinya
untuk tetap bergaul dengan santri-santri ayahnya., belajar bersama, dan
terkadang juga ikut makan bersama di dapur pesantren dengan para santri. Ia
juga sempat belajar dengan para santri senior Al-Anwar yang sudah diberi
kepercayaan ayahnya untuk mengajar. Ketika sudah dewasa dan menamatkan
pendidikan di MGS, Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Malikiy berkunjung ke
Indonesia dan bermukim di Malang. Selama bermukim di Malang, Sayyid
Muhammad ‘Alawi al-Malikiy banyak mengajarkan kitab-kitab salaf yang

30
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 104.
135

pesertanya banyak dari kalangan para santri di antaranya adalah Muhammad


Najih. Dari pertemuannya itulah, Sayyid Muhammad menunjuknya untuk
menjadi murid Sayyid di Makkah.31

3.41 K.H. Maimoen Zubeir bersama Sayyid Muhammad A’lawi al-Malikiy,


publikasi 11 Agustus 2019
(Sumber: https://www.facebook.com/serambirsarang/2019/8/11)

Pada 1982 M, ia berangkat ke tanah suci Makkah untuk mencari jati diri
dengan berbekal semangat dan tekad yang sungguh-sungguh untuk
memperdalam ilmu agama. Saat berada di sana, ia belajar di Darut Tauhid
yang diasuh Sayyid Muhammad Alawi al-Malikiy. Gus Najih merupakan
murid yang sangat tekun dan rajin. Selain belajar, ia juga setia berkhidmat
pada Sayyid Muhammad Alawi al-Malikiy dengan cara meladeni Sayyid
Muhammad Alawi al-Malikiy serta melaksanakan tugas-tugas yang
diperintahkan olehnya. Ia mengaji kepada Sayyid Muhammad Alawi al-
Malikiy selama dua kali dalam sehari semalam, setelah sholat Subuh dan
Magrib. Meskipun waktunya terbagi begitu banyak, hal itu tidak pernah
menyurutkan minatnya untuk tetap bersemangat menjadi pelayan ilmu. Berkat
semangat belajar yang selalu membara dalam jiwa, akhirnya ia menjadi
seorang santri yang menonjol dan berkualitas. Ia menjadi salah satu santri

31
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 105.
136

kepercayaan Sayyid Muhammad Alawi al-Malikiy.32


Selama menjadi santri Sayyid Muhammad Alawi al-Malikiy, Gus Najih
diberi kepercayaan oleh sang sayyid untuk mengoreksi kembali kitab
karyanya jika hendak dicetak. Jika sudah diteliti oleh Gus Najih, maka kitab
tersebut baru akan dicetak. Habib Abdurrahman Al-Khirrid Sumenep Madura
mengatakan: “Jadi orang yang paling banyak tau terhadap karangan sayyid
adalah Gus Najih. Karena kitab-kitab karangan Abuya sebelum dicetak itu
diteliti dulu ke Gus Najih. Jika Gus Najih sudah mengatakan cetak maka
langsung masuk percetakan.” Kealiman Gus Najih diakui oleh teman-tmannya
yang juga menjadi santri Sayyid Muhammad Alawi al-Malikiy ketika belajar
di Ribatnya. Suatu ketika, Kiai Lutfi Bashori (pengasuh Ribath al-Murtadla al-
Islami Singosari Malang) diberi tugas oleh Abuya Sayyid Muhammad Alawi
al-Malikiy untuk menyalin kitab yang hurufnya memakai khath Utsmani yang
asli (tidak ada titiknya) koleksi perpustakaan Abuya, maka tatkala ia
membacanya, ternyata ia mengalami kesulitan. Akhirnya ia meminta bantuan
Gus Najih untuk membacakannya, sedangkan ia sendiri yang menyalinnya,
sebab khathnya bagus.33
Selanjutnya, setelah bertahun-tahun menimba ilmu di Makkah, akhirnya
ia memutuskan pulang ke kampung halaman dan langsung terjun ke lapangan
membantu sang ayah mengembangkan pesantren yang telah didirikan. Ia
dinikahkan dengan putri K.H. Fathoni dari Brebes yang bernama Hj.
Mutammimah. Melihat keilmuan yang mumpuni dan pendidikan yang tinggi,
pada 1995M sang ayah mengamanahinya untuk membimbing dan mengasuh
salah satu khos di Pesantren Al-Anwar, yang bernama Darus Shohihain (DS)
sesuai dengan kecintaannya pada ilmu hadis.34

32
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 107.
33
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 108.
34
Tim Mading Ishmah, ”K.H. Muhammad Najih Maimoen (Putra Kedua)”
(http://ppalanwar.com/index.php/news/13/33/KH-Muhammad-Najih-Maimoen-
Putra-Kedua.html, diakses pada 7 Januari 2021).
137

Gambar 3.42 K.H. Muhammad Najih, publikasi 16 Oktober 2020


(Sumber: https://www.facebook.com/muhadloroh-alanwarsarang/
2020/10/16/)

Metode yang K.H. Muhammad Najih gunakan untuk mendidik para


santrinya yang menetap di Khos Dar al-Shahihain adalah sesuai dengan apa
yang diajarkan oleh gurunya selam mondok di Makkah. Metode tersebut
adalah seorang
santri
hendaknya
menjalankan
empat perkara
selama mencari
ilmu, yaitu
ilmu, amal,
berdzikir, dan
cinta terhadap Raulullah SAW. K.H. Muhammad Najih menghabiskan hari-
hari yang ia miliki dengan melakukan berbagai acam kebaikan, khususnya
mengaji ilmu-ilmu syari’at Islam. Kebaikan dari pengajian ia selenggarakan
seusai sholat wajib di Mushalla khos Dar al-Shahihain. Selain aktif mengaji di
pesantren, ia juga mengajar di Muhadloroh Al-Anwar serta MGS. Kesibukan
mengajar ternyata tidak menghalangi K.H. Muhammad Najih untuk menjadii
138

seorang ulama yang produktif dan kreatif dalam menghasilkan sebuah karya.
Kebiasaan ini sudah dikerjakannya sejak belajar di Makkah. Tercatat, selama
menjadi santri di Makkah, ia telah menghasilkan beberapa karya, salah
satunya adalah at-Tajrid al-Mushoffa li Marfu’at al-Muwatto’ ila al-
Musthofa. Kebanyakan karya-karya K.H. Muhammad Najih selama sudah di
Indonesia adalah tentang menanggapi paham-paham yang melenceng dari
ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, seperti Liberalisme, Pluralisme, Wahabisme,
Syiah, dan lain-lain dari berbagai macam paham sesat yang berkembang di
Nusantara. Jika ada paham sesat yang muncul, maka ia bergegas akan
menampiknya dengan cara perbuatan, dengan ucapan dan mengarang sebuah
kitab atau buku.35

Gambar 3.43
K.H.
Muhammad
Najih dan K.H.
Maimoen
Zubair, 28 Juni
2016
(Sumber: Buku K.H. Maimoen Zubair Snag Kiai Teladan, 2016/6/28/)

6. Ning Rofiqoh (almarhumah).

35
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 110.
139

7. Ibu Nyai Hj. Shobikhah Mustofa


Ibu Nyai Hj. Shobikhah Mustofa saat ini menetap di Cirebon. Usai
menamatkan pendidikan jenjang akhir di MPG, ia dipersunting oleh putra dari
K.H. Aqil Siradj yang bernama K.H. Musthofa Aqil Siradj. Sekaran mereka
sudah mendapatkan anugerah 4 (empat) keturunan sebagai calon penerus
perjuangan Islam.
Semuanya yaitu
Agus Moch. Shofi,
Agus Shidqi, Agus
Shobah, dan Agus
Sholah.36

Gambar 3.44 Ibu


Nyai Hj.
Shobihah
Musthofa,
publikasi 27 Agustus 2018
(Sumber: https://youtube.com/khas-kempek/2018/8/27/)

Khoiriyah Thomafi Sya’roni, Menyibak Pondok Pesantren Putri Al-Anwar


36

(Al-Anwar: Rembang, Tanpa Tahun), hlm. 24.


140

Gambar 3.45 Ibu Nyai Hj. Shobihah Musthofa & suami bersama K.H.
Maimoen Zubair, 28 Juni 2016
(Sumber: Buku K.H. Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan, 2016/6/28/)

Gambar 3.46 K.H. Maimoen Zubair dan Nyai Hj. Masti’ah 1970
(Sumber: Buku K.H. Maimoen Zubair Membuka Cakrawala Keilmuan 1970)

Kedua, K.H. Maimoen Zubair menikah dengan Nyai Hj. Siti Masti’ah
putri dari Kiai Idris Cepu atas kemauannya sendiri. Nyai Hj. Mati’ah yang
saat itu berstatus sebagai janda merupakan seorang yang aktif dalam kegiatan
majlis ta’lim dan kegiatan sosial keagamaan. Alasan inilah yang membuat
K.H. Maimoen Zubair tertarik akan jiwa juang dan kemuliaan hatinya.37
Secara geneologis Ibu Nyai Hj. Masthi’ah berasal dari keturunan Mbah
Syambu Lasem, sebagaimana nasab Ibu Nyai Hj. Fahimah. Ia adalah putri
pertama dari Kiai Idris bin Kiai Umar bin Kiai Abdul Karim bin Ki Tawangsa

37
Sya’roni, Menyibak Pondok Pesantren Putri Al-Anwar, hlm. 17.
141

bin Ahmad bin Muhammad bin Abdur Rahman yang populer dengan sebutan
Mbah Syambu Lasem. Kiai Idris adalah putra dari seorang ulama pengasuh
pondok pesantren di Gagaan Cepu Blora Jawa Tengah. Selain mengaji pada
ayahnya sendiri, ia juga pernah mengenyam pendidikan di Cirebon Jawa
Barat. Sekembalinya dari pesantren, ia mengajar di daerah sekitar Cepu. Ia
menjalani kehidupan dengan penuh kesederhanaan, segala amaliyah sehari-
hari yang ia lakukan merupakan cermin akan keluhuran budi pekerti yang ia
miliki. Ia mengajar anak-anak sekitar untuk mengaji di Masjid Jami’ Cepu. 38
Ibu dari Hj. Masthi’ah bernama Rusmini dari Cepu. Ibu Rusmini adalah
sosok wanita yang rajin beribadah. Puasa Senin Kamis merupakan kegemaran
tersendiri yang tidak pernah ia tinggalkan, sedangkan tirakat merupakan
kebiasaan yang selalu ia jalani. Ia juga istiqomah melakukan shalat tahajjud di
tengah malam bersama suami, Kiai Idris. Apabila mendengar anak-anak
sedang menghadapi ujian sekolah, maka sang ibu pasti berpuasa setiap hari
hingga ujian selesai. Hal ini ia lakukan semata-mata demi kesuksesan
ananknya. Ada sebuah hal menarik yang ia alami saat mengandung pertama
kali. Kelak, bayi yang lahir dari kandungan tersebut akan menjadi seorang
wanita bernama Masthi’ah. Pada tengah malam, Ibu Rusmini bermimpi
menerima cincin dari Rasulullah SAW. Seketika itu ia segera bangun dan
merenungkan cikal bakal siapa yang kelak lahir. Beberapa hari kemudian, ia
berkunjung ke rumah kakaknya, Kiai Siroj yang terkenal alim dan meminta
supaya sang kakak menjelaskan perihal maksud mimpi yang pernah ia alami.
Kiai Siroj memaparkan dengan tersenyum menaruh harap dan yakin bahwa
jabang bayi yang lahir akan menjadi sosok yang istimewa, tangguh dan tabah
dalam menghadapi setiap masalah. Mendengar penjelasan tersebut, ia merasa
bahagia. Atas arahan sang kakak, maka bayi tersbut diberi nama Mathi’ah.39
Masthi’ah lahir pada 1945 M, pada saat Indonesia mengalami kemelut
perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada saat itu, sang kakek yang
bernama Kiai Umar sedang mengemban tugas dari Kiai Mahrus Ali Lirboyo
38
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 81.
39
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 82.
142

sebagai prajurit penumpas tentara sekutu yang ternyata diboncengi oleh


pasukan Belanda yang bermaksud untuk menjajah Nusantara. Tiga hari
setelah kelahiran Masthi’ah sang kakek pulang. Kiai Umar merasa bahagia
saat mendengar kabar kelahiran cucu perempuan pertama, dengan spontan ia
berkata: “wah... cucuku semua laki-laki, sekarang telah lahir perempuan, saya
rasa hidupku tidak akan lama lagi.” Kebahagiaan Kiai Umar sangat terlihat,
setiap hari ia selalu menggendong dan menimang sang cucu dengan penuh
kasih sayang. Tidak lama berselang, ia kembali ke Rahmatullah.40
Masthi’ah menerima pendidikan dari orang tuanya sendiri sejak kecil. Ia
mengaji kepada Kiai Siroj yaitu pamannya sendiri. Bukan hanya sebagai
keponakan saja, Masthi’ah merupakan sosok santri yang istimewa dan
disayangi. Saat menginjak remaja, sang ayah mengirimnya untuk mencari
ilmu ke luar daerah. Darah yangmenjadi tujuan utama adalah Termas, sebuah
daerah yang kala itu banyak dihuni tokoh-tokoh ulama handal yang mumpuni
dalam berbagai bidang ilmu agama. Salah seorang ulama yang terkenal dari
Termas adalah Kiai Mahfudz At-Turmusy. Termas juga terkenal akan
pesantren yang giat menjalankan tirakat, dan juga suatu daerah yang
penduduknya terkenal menggunakan singkong sebagai makanan pokok sehari-
hari, sehingga zakat fitrah yang dikeluarkan juga berupa singkong bukan padi
atau beras. Selama kurang lebih 3 (tiga) tahun, Masthi’ah menjalani
kehidupan pesantren di Termas. Berkat kemampuan menempatkan diri pada
posisi yang tepat serta kegigihan berfikir yang ia miliki, tidak sedikit santri-
santri yang menilai bahwa Masthi’ah adalah sosok wanita cerdas, gesit,
lincah, pantang menyerah dan peduli pada sesama. Masthi’ah membiasakan
hidup mandiri, tirakat dan penuh kesederhanaan saat di Termas. Ia juga sudah
terbiasa dengan perjuangan-perjuangan jiwa yang menjadikan seseorang dapat
menahan hawa nafsu dan mampu bersikap arif dalam setiap situasi dan
kondisi.41
Saat kembali ke kampung halamannya, ia tidak pernah menyia-nyiakan
40
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 83.
41
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 84-85.
143

kesempatan untuk mencari ilmu. Saat mendengar kepopuleran Kiai Ma’shum


Lasem sebagai seorang ulama yang alim dalam bidang Al-Qur’an dan Tafsir
menjadikan hati nurani Masthi’ah terketuk untuk pergi belajar kepada Kiai
Ma’shum. Setiap hari ia belajar Al-Qur’an kepada Ibu Nyai Nuriyah
Ma’shum. Bukan hanya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an saja,
ia juga mendapatkan berbagai pelajaran lain terutama ilmu tingkah laku yang
banyak ia peroleh melalui tata cara mendidik dan segala bentuk keseharian
yang dipenuhi nuansa keilmuan. Segala bimbingan dan perintah dari sang
guru senantiasa ia jalani dengan ikhlas. Ia selalu mengambil hikmah dari
kejadian yang ada untuk dijadikan bekal kembali ke kampung halaman yang
kala itu masih didominasi penganut faham komunisme. Ia juga terbesit di
dalam hatinya untuk mewariskan ilmu yang ia dapatkan kepada anak cucunya
demi kejayaan agama Islam. Setelah menghabiskan waktu beberapa lama
nyantri di Lasem, Masthi’ah memutuskan untuk pulang ke kampung halaman
dan mengikuti jejak sang ayah. Masthi’ah mulai bermasyarakat dan sekuat
tenaga menjalankan amanah yang dibebankan kepada setiap orang berilmu. Ia
merasa wajib menyebarkan ilmunya semata-mata karena perintah Allah SWT,
bukan karena ambisi ingin menjadi tokoh yang disegani, berpengaruh ataupun
dihormati, apalagi untuk mencari keuntungan materi. Ketika membimbing
masysarakat, ketelatenan adalah kunci yang ia gunakan. Ia senantiasa berbagi
dan peduli pada keadaan masyarakat sekitar. Berbekal semangat perjuangan
yang telah mendarah daging dalam jiwa, ia melakukan segala usaha demi
tercapainya cita-cita luhur, yaitu masyarakat Islami yang diridhoi Allah
SWT.42
Kecintaannya terhadap lingkungan dan kemahiran dalam berbagai
disiplin ilmu membuatnya terkenal di berbagai lapisan masyarakat. Pada masa
mudanya, bahkan banyak laki-laki yang datang pada Kiai Idris untuk
meminangnya. Lelaki yang beruntung mendapatkannya adalah Kiai Abdul
Qodir dari Kudus. Sebelum Kiai Idris menerima Kiai Abdul Qodir, ia
mengujinya terlebih dahulu dalam bidang Al-Qur’an. Ujian tersebut berhasil

42
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 86.
144

dilalui Kiai Abdul Qodir dengan baik. Beberapa hari kemudian, akad
pernikahan dilaksanakan. Mereka berdua dikaruniai seorang putri bernama
Nurus Shobah. Saat kehamilan kedua, rumah tangganya diuji oleh Allah,
sehingga Nyai Mathi’ah menjadi seorang janda. Semasa janda dan dalam
kondisi hamil, ternyata tidak mengurangi rasa cinta dan kepeduliannya pada
lingkungan, ia tetap berjuang menyebarkan agama Islam. Ia selalu berfikir dan
merenung bagaimana caranya Islam semakin jayadi bumi Cepu. Mengingat
faham komunis masih dominan dan harus dicarikan jalan keluar untuk
menumpasnya, maka Nyai Masthi’ah selalu aktif mengadakan dan mengikuti
kegiatan-kegiatan yang berbau penyebaran tentang Islam. Contoh saat ia ikut
meramaikan perlombaan membaca Al-Qur’an se-Kabupaten Blora dengan
hasil sangat memuaskan karena berhasil meraih juara pertama. Selanjutnya,
bayi di dalam kandungan Nyai Mathi’ah lahir dan diberi nama Nur Laila. Ia
juga masih terus menegakkan agama Allah dengan penuh kelembutan dan
ketelatenan, sehingga ia berhasil mengetuk nurani dua orang Tionghoa untuk
memeluk agama Islam dan ia menuntunnya langsung dalampembacaan dua
kalimat syahadat. Sebagai ucapan syukur kepada Allah dan rasa terima kasih
kepada Nyai Masthi’ah yang telah menuntun kepada agama Islam, kedua
orang Tionghoa tersebut merelakan rumahnya yang terbilang mewah saat itu
untuk dijadikan kegiatan keagamaan yang kemudian diasuh oleh Nyai
Masthi’ah. Berbagai aktivitas yang dijalani Nyai Masthi’ah di luar, ternyata
menarik simpati setiap insan. Banyak di antara mereka yang ingin
meminangnya, namun ia belum mampu menerima karena masih trauma akan
kegagalan rumah tangga yang pernah ia alami, hingga datang pinangan dari
K.H. Maimoen Zubair yang diterima langsung oleh Kiai Idris karena ia sudah
mengetahui akan kealiman calon menantunya tersebut. Sebelumnya, Kiai Idris
sempat sowan kepada Mbah Hamid Pasuruan dengan tujuan mengutarakan
masalah rumah tangga putrinya. Sesampainya di kediaman Mbah Hamid, dan
sebelum sempat mengutarakan tujuannya, Mbah Hamid berkata: “Pulang
sana !! mau diambil oleh wali mastur (tertutup) kok malah ke sini.”43

43
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 89-90.
145

Saat sudah menikah dengan K.H. Maimoen Zubair, ia diajak pindah ke


Desa Karangmangu, Sarang. Ia bertekad akan menjadi pendamping suaminya
dengan baik dan mengikuti segala bimbingan serta berusaha menjadi
motivator perjuangan sang suami. Sejarah sudah membuktikan bahwa sukses
yang dicapai para Nabi dan tokoh-tokoh besar tidak lepas dari peranan wanita
pendampingnya. Bersama sang suami, ia selalu berusaha memberi
penghormatan maksimal kepada setiap tamu, mengingat sang suami adalah
seorang tokoh agama yang cukup disegani, sehingga banyak orang yang
datang untuk meminta nasehat atau meminta do’a. Ibu Nyai Masthi’ah
berusaha membantu suaminya memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
berdagang terasi, baju, kerudung atau apa saja yang sedang banyak diminati
masyarakat. Relasi kerjanya ia peroleh dari tamu yang mengajak berbisnis
bersama atau kenalan-kenalannya saat mengarungi bahtera rumah tangga di
Kudus. Melihat kegigihannya dalam membantu sang suami, secara berangsur-
angsur tingkat kehidupannya meningkat. Sebagai contoh pada 1970 M, ia
sering makan nasi jagung yang diolah dengan campuran parutan kelapa, terasi
dan garam, atau singkong sebagai persediaan makanan sehari-hari.
Selanjutnya, berkembang adanya ayam yang setiap bertelur diambil untuk
memberi hidangan kepada tamu. Pada 1980 M, sang suami telah memiliki
kendaraan mobil gundul, karena sebelumnya hanya memiliki sepeda onthel
sebagai alat transportasi utama untuk berdakwah. Setelah selesai menunaikan
haji pertama, dapat dipastikan setiap pagi sudah tersedia telur dan sambal
terong. Setiap ada tamu agung misalnya ulama atau pejabat negara, maka
segera dicarikan nasi uduk yang dijual oleh warga setempat.44

Beberapa tahun berikutnya, setiap tamu yang sowan dalam situasi


apapun dapat dipastikan dapat hidangan prasmanan kecil maupun besar
kecuali untuk momen-momen tertentu, para tamu mendpatkan jamuan dengan
sistem piringan. Hal ini dimaksudkan agar semua tamu merasa terhormat
dengan hidangan dan sambutan yang telah diterima. Kehidupan di luar rumah

44
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 91-92.
146

juga tidak terlepas dari pengamatan Ibu Nyai Hj. Masthi’ah semenjak
kedatangannya di Sarang. Ia beradabtasi dan bersosialisasi dengan para
tetangga yang kala itu keluar rumah bagi kaum perempuan adalah sesuatu
yang dipandang sebelah mata. Menurut pandangannya, ia menemukan sebagia
masyarakat masih ada yang belum istiqomah (teguh pendirian) dalam
melaksanakan shalat 5 (lima) waktu. Ia juga melihat bahwa kemampuan
masyarakat dalam hal membaca Al-Qur’an dirasa masih kurang. Bermodal
pengalaman yang pernah ia miliki, dengan lemah lembut dan sopan santun Ibu
Nyai Hj. Masthi’ah mengajak mereka untuk selalu rutin dalam melaksanakan
rukun Islam yang kedua tersebut. Kepedulian terhadap masyarakat
menjadikan munculnya talenta kepemimpinan dalam jiwanya. Ibu Nyai Hj.
Masthi’ah tidak mau diam dan berpangkutangan sambil menunggu hasil bagus
datang tanpa usaha yang gigih. Segala upaya yang ia lakukan tidak lepas dari
pantauan dan restu sang suami. Selanjutnya, K.H. Maimoen Zubair membeli
tanah untuk dibangun mushalla yang berdinding bambu sebagai media
dakwah Islam. Saat mushalla sudah berdiri, para tetangga menjadi rajin
berdatangan untuk mengikuti jama’ah shalat lima waktu., apalagi di malam
Jum’at. Mereka sangat senang mengikuti jam’iyah dzibaiyyah meski dengan
alat penerang yang sangat sederhana berupa uplik (lentera). Selain itu, Ibu
Nyai Hj. Masthi’ah juga mengajar Al-Qur’an serta Kitab Durroh An-Nasihin.
Pelan tapi pasti, para ,tetangga mulai berkeinginan menitipkan putrinya agar
mendapatkan didikannya secara langsung. Akhirnya dibangun kamar-kamar
kecil untuk menampung mereka. Kamar-kamar kecil ini lah yang merupakan
cikal bakal pendirian Pondok Pesantren Putri Al-Anwar.45
Peka dengan keadaan adalah salah satu sifat yang dimiliki Ibu Nyai Hj.
Masthi’ah. Setiap langkah yang diambil ia selalu menimbang dan
memperhatikan manfaat maupun akibat. Sebagai contoh, pada 1983 M, ia
mulai merintis pendirian TK (Taman Kanak-kanak) yang berada di Desa
Babak Sarang. Halini bertujuan agar anak-anak di daerah tersebut
memperoleh pendidikan dan pengajaran secara Islami sejak usia dini dengan

45
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 93-94.
147

tidak menutup mata terhadap segala budaya Indonesia. Ia juga tidak pernah
lelah berusaha meningkatkan perkembangan santri yang ia asuh. Ia mendidik
para santri untuk bersosialisasi dengan lingkungan tanpa
menghilangkan jati diri seorang santri. Tanpa henti, ia mengarahkan
santri agar dapat mengemban tanggung jawab atas tugas dan
kepercayaan yang telah diberikan. Salah satu bukti nyata pelatihan yang
telah ia lakukan adalah mengirimkan santri untuk ikut berkiprah di
TK, mengajari anak- anak bermin drum band, atau menggantikan Ibu Nyai
Hj. Masthi’ah untuk berpidato atau sejenisnya di berbagai desa. Para santri
putri juga sering hadir dalam pengajian untuk membaca Al-Qur’an,
hadrah, sholawat dan sebagainya. Ibu Nyai Hj. Masthi’ah senantiasa
memantau jalannya organisasi kepesantrenan demi kemajuan santri yang
ia asuh. Tanpa segan-segan, ia pasti menegur kesalahan yang dilakukan oleh
setiap pengurus, namun karena kebijaksanaan dan kelembutannya, para santri
tetap merasa terayomi dengan keputusan yang ia tetapkan. Mereka semakin
betah bernaung d bawah bendera Al-Anwar putri dalam asuhan K.H.
Maimoen Zubair.46

Gambar 3.47 Ibu Nyai Hj. Masthi’ah, publikasi 15 Mei 2019


(Sumber: https://www.facebook.com/serambisarang/2019/5/15/)

Ibu Nyai Hj. Masthi’ah selalu berjuang mensosialisasikan TK, majlis


ta’lim (pertemuan keilmuan atau pengajian), organisasi muslimat dan
keputrian lain ke berbagai penjuru daerah. Pada 1985 M, ia dipercaya menjadi

46
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 95-96.
148

ketua Muslimat serta sebagai kepala sekolah TK, selain itu pada 1990 M ia
mengemban tugas sebagai bendahara pusat organisasi GOP TKI (Gabungan
Organisasi Pengurus Taman Kanak-kanan Indonesia), dan pada 1996 M
mendapat penghargaan TK terbaik kedua se-Kabupaten Rembang atas praktek
manasik haji yang ditampilkan oleh TK Roudlotul Atfal (TK YKU) Sarang.
Pada 2002 M yang merupakan akhir hayatnya telah berdiri 15 unit TK dan
berbagai majlis ta’lim yang tersebar di berbagai penjuru. Pada sela-sela
kesibukannya mengrus berbagai organisasi, eksistensi kepesantrenan Ibu Nyai
Hj. Masthi’ah tidak pernah pudar. Shalat jama’ah 5 waktu dan mengajar Al-
Qur’an kepada semua santri tidak pernah ia tinggalkan meskipun baru datang
dari bepergian. Berbagai kesibukan yang ia jalani, ia tetap menyempatkan diri
untuk memantau perkembangan putra-putrinya, mendidik mereka bagaimana
cara bergaul dengan lingkungan. Ia tidak bosan-bosan memberikan nasehat
kepada anak-anaknya. Perhatian terhadap adik-adik juga menuntut Ibu Nyai
Hj. Masthi’ah untuk ikut bertanggung jawab sebagai seorang kakak yang
berusia lebih tua.tidak seidkit keuntungan usaha sehari-hari yang ia gunakan
untuk membantu biaya pendidikan adik-adiknya. Hal ini mengingat usia sang
ayah semakin bertambah tua sehingga tidak mungkin memikirkan keluarga
sendiri.47
Ibu Nyai Hj. Masthi’ah adalah orang yang sangat dermawan, apalagi
jika berhubungan dengan menyebarkan agama Islam. Ia selalu memberi uang
saku tambahan dalam jumlah yang tidak sedikit demi terealisasinya kegiatan
yang akan diadakan. Ketika memberi ia selalu berusaha agar tangan kiri tetap
tidak mengetahuinya. Sikap supel tanpa pandang bulu pada semua golongan,
baik kaum elit maupun alit menjadikannya mudah diterima oleh berbagai
lapisan masyarakat. Ketika berdakwah ke desa pelosok-pelosok Ibu Nyai Hj.
Masthi’ah harus melewati jalan yang becek dan berlumpur. Bahkan ketika
berdakwah di Desa Pelang Sarang, hampir saja ia tenggelam kedalam sungai

47
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 97-98.
149

yang selaluia lalui karena satu-satunya jalan hanya dengan menyeberangi


sungai tersebut.48

Ibu Nyai Hj. Masthi’ah wafat pagi mendadak pada 1 Agustus 2002 M,
hanya ditemani sang suami, K.H. Maimoen Zubair. K.H. Maimoen Zubair
bercerita bahwa saat itu bertepatan kedatangan Menteri Agama di Jombang, ia
menjemput bersama istrinya serta ketua PBNU saat itu yaitu saudara Kiai
Hasyim Muzadi. Pagi hari saat K.H. Maimoen Zubair akan berangkat (untuk
menjemput menteri agama), istrinya meminta waktu sebentar. Ibu Nyai Hj.
Masthi’ah mengumpulkan beberapa kain kafan yang berasal dari Makkah, dan
pagi itu Ibu Nyai Hj. Masthi’ah juga membeli mukena, tetapi K.H. Maimoen
Zubair marah-marah. Ibu Nyai Hj. Masthi’ah menegur suaminya dengan
berkata: “jika sudah tidak sabar ya sudah.” K.H. Maimoen Zubair pun
menjawab: “Sabar.” Mereka berdua kemudian berangkat ke Jombang.
Sesampainya di Jombang, saudara K.H. Maimoen Zubair yang sedang
mengadakan acara pernikahan dan keponakan dari Kiai Abdul Karim Lirboyo
mengalami kecelakaan, sehingga ia dan istrinya terpaksa pergi ke Rumah
Sakiy untuk menjenguk. Saat perjalanan pulang karena merasa sangat lelah,
K.H. Maimoen Zubair tidak bisa melaksanakan Sholat Dhuhur dan Ashar di
Jombang, tetapi ia baru bisa melaksanakan Jama’ Ta’khir saat sampai
perbatasan. Saat di mobil Ibu Nyai Hj. Masthi’ah berbicara dengan K.H.
Maimoen Zubair, karena saat di Masjid K.H. Maimoen Zubair ditawari tukang
gigi untuk memperbagus giginya. Ibu Nyai Hj. Masthi’ah berkata: “kamu kok
macam-macam masalah gigi, gigiku yang rusak ini aku tambal semua, tapi 3
(tiga) hari ini aku cabutkan semua.” K.H. Maimoen Zubair bertanya kepada
istrinya apa maksud dari perkataannya tersebut. Istrinya menjelaskan bahwa
seseorang itu akan merasakan kenikmatan bertemu Allah ketika giginya iu
asli. K.H. Maimoen Zubair menyanggah ucapansang istri dengan berkata
bahwa perkataan istrinya itu tidak baik, sebab membahas penilaian hukum
bertemu Allah, karena menurutnya gigi yang asli dan tidak asli itu tidak ada

48
Ulum, Syaikhuna Wa Usrotuhu, hlm. 99.
150

bedanya. Tapi istrinya tetap bersikeras, Ibu Nyai Hj. Masthi’ah mengatakan
bahwa ia sudah bertekad bagaimanapun juga jika ia bertemu Allah giginya
harus yang asli. Pada jam 11 (sebelas) Ibu Nyai Hj. Masthi’ah sakit, tidak ada
orang kecuali K.H. Maimoen Zubair dan istrinya. Pada pukul 12 (dua belas)
kurang akhirnya Ibu Nyai Hj. Masthi’ah wafat.49
Pada pernikahan dengan Ibu Nyai Hj. Masthi’ah, K.H. Maimoen Zubair
dikaruniai 8 (delapan) orang putra, satu meninggal dunia. Mereka adalah
sebagai berikut:

1. K.H. Majid Kamil


Majid Kamil atau biasa disebut dengan Gus Kamil, merupakan putra pertama
dari K.H. Maimoen Zubair dengan istri kedua, Ibu Nyai Hj. Masthi’ah yang
lahir di Sarang pada 20 Juni 1971 M. Sejak kecil, ia juga merasakan
gemblengan ilmu agama seperti saudara-saudaranya yang lain. Santai dan ulet
adalah kepribadiannya, tetapi diiringi dengan kesungguhan dalam belajar.
Setelah ia menamatkan pendidikan di MGS pada 1992 M, ia dikirim ke
Ma’had Darut Tauhid Makkah Al-Mukarromah untuk menimba ilmu kepada
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Saat di sana, ia mengaji klasikal
sampai sorogan kepada para ulama yang didatangkan ke Ma’had Darut
Tauhid.50

49
ppalanwarsarang, “Cerita Syaikhina Maimoen Zubair Menjelang Wafatnya
Istrinya Ibu Nyai Masthi’ah”, Youtube, Januari 16, 2020.
https://www.youtube.com/watch?v=SYGrG160CNI (sarang, 0:01).
50
Tim Mading Ishmah, “K.H. Majid Kamil Maimoen (Putra Keempat)”
(http://ppalanwar.com/index.php/news/14/33/KH-Majid-Kamil-Maimoen-Putra-
Keempat.html, diakses pada 7 Januari 2021, pukul 19.55).
151

Gambar 3.48 K.H. Majid Kamil 28 Mei 2005


(Sumber: https://www.facebook.com/serambisarang/2005/5/28/)

Pada 2003 M, ia diizinkan pulang ke Sarang oleh K.H. Maimoen Zubair.


Setelah ia pulang dari Makkah, ia menetap di Sarang dan mengajar di Pondok
Pesantren Al-Anwar. Ia menikah dengan Ibu Nyai Hj. Mufarrohah dari
Bangilan, Tuban. Pernikahannya ini dikaruniai 5 (lima) putra, yang satu
meninggal yaitu Ning Maimanah (Almarhumah). Mereka yang masih
menyertainya adalah Agus Muhammad, Ning Maya Mahmudah, Agus
Muzammil, dan Agus Muhammad Zubair. Gus Kamil mengadakan pengajian
yang bisa dijumpai setelah Shalat Dhuhur dan Magrib. Kitab Ibnu Aqil adalah
cabang tetap yang diwarisi dari sang ayah yang diajarkan setelah Shalat
Dhuhur, sedangkan setelah Shalat Magrib kebanyakan ia mengaji kitab-kitab
hadist semisal Shahih Bukhari, Adzkar An-Nawai dan lain-lain. Selain
mengajar, ia juga aktif dalam politik. Selama 3 (tiga) periode, ia menjabat
sebagai anggota MPR tingkat II Rembang dan Ketua DPRD Rembang, utusan
dari PPP.51

51
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 113.
152

Gambar 3.49 K.H. Majid Kamil dan K.H. Maimoen Zubair 28 Juni 2016
(Sumber: Buku K.H.Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan, 2016/6/28/)

2. K.H. Abdul Ghofur


Gus Ghofur, demikian putra kedua K.H. Maimoen Zubair dengan Ibu Nyai Hj.
Masthi’ah biasa dipanggil. Lahir di Sarang 16 Maret 1973 M. Sejak kecil ia
dikenal bandel. Tidak seperti kakak-kakaknya, ia terhitung sering bermain
seperti layaknya anak-anak di kampung nelayan. Namun, dengan keshalehan
yang ditanamkan orang tuanya, membuat ia berbeda dari anak kampung
sebayanya. Pendidikan dasar hingga menengah ia tuntaskan di MGS. Gus
Ghofur sudah dikenal cerdas dan kritis, sejak kecil ia banyak meraih prestasi.
Bintang kelas dan Ketua kelas sebuah jabatan prestisius di lingkungan Pondok
Pesantren Sarang, hampir tidak pernah luput dari genggamannya. Tidak hanya
urusan pelajaran, di bidang organisasi prestasinya juga cukup mengkilap.
Selama dua periode berturut-turut Gus Ghofur dipercaya sebagai ketua Demu
MGS (semacam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Berbagai macam
prestasi ditambah kedudukannya sebagai putra ulama, tidak membuatnya
angkuh, sombong dan
semena-mena.
Setelah
menyelesaikan
pendidikan di MGS pada
1992 M, Gus
Ghofur sempat
153

membantu ayahnya mengajar di pondok dan memimpin keamanan pusat.52


Pada 1993 M, ia melanjutkan belajar di Al-Azhar Kairo. Hal ini
merupakan sesuatu yang baru dalam tradisi pendidikan putra-putri K.H.
Maimoen Zubair. Saat berada di Kairo, kecerdasannya kembali menorehkan
prestasi mengkilap. Selama 4 (empat) tahun menyelesaikan program S1
Ushuludin Jurusan Tafsir, semua ujian dilaluinya dengan nilai Jayyid Jiddan,
sebuah prestasi langka di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo. Materi
program S2 di jurusan yang sama selama dua tahun juga dilahap dengan hasil
akhir Jayyid Jiddan. Keberhasilan ini tidak terlepas dari ketekunan dan
kesabaran yang tiba-tiba menjadi kebiasaannya selama belajar di Kairo.
Ketika di MGS, ia tidak termasuk orang yang rajin. Akan tetapi, sejak di
Kairo ia bisa dan biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar.
Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, pada 2002 M ia berhasil
mendapatkan gelar Master.53
Gus Ghofur mengakhiri masa lajangnya pada 2003 M. Gadis yang
beruntung dipersungtingnya adalah Ning Nadia putri K.H. Jirjis bin Ali
Ma’shum Krapyak Yogyakarta. Dari pernikahannya, ia telah dikaruniai
seorang putra bernama Nabil. Gus Ghofur diamanahi K.H. Maimoen Zubair
untuk mengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 3. Ia juga diberi amanah untuk
menjadi rektor di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) yang didirikan oleh
ayahnya.54

52
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 114-115.
53
Tim Mading Ishmah, “K.H. Abdul Ghofurl Maimoen (Putra Kelima)”
(http://ppalanwar.com/index.php/news/15/33/Dr-KH-Abdul-Ghofur-Maimoen-
MA-Putra-Kelima.html, diakses pada 7 Januari 2021, pukul 20.00).
54
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 118.
154

Gambar 3.50 K.H. Abdul Ghofur, publikasi 12 Februari 2019


(Sumber: https://www.facebook.com/ponpes.alanwar3/2019/2/13/)

Gambar 3.51 K.H. Abdul Ghofur dan K.H. Maimoen Zubair 28 Juni 2016
(Sumber: Buku K.H. Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan, 2016/6/28/)

3. K.H. Abdul Ro’uf


Ia adalah putra ketiga dari K.H. Maimoen Zubair dengan Ibu Nyai Hj.
Masthi’ah, dan sering disapa degan panggilan Gus Ro’uf. Lahir di Sarang 03
Desember 1974 M. Ia menyelesaikan belajarnya di MGS, kemudian
melanjutkan belajar di Pethuk, Kediri Jawa Timur. Ia kemudian melanjutkan
belajarnya lagi di Pondok Pesantren Sayyid Muhammad ‘Alawi Al Malikiy,
tepatnya pada 1996 M. Kegigihan serta keuletannya dalam belajar ilmu
agama, menjadikannya salah satu santri kepercayaan Sayyid Abbas ‘Alawi
Al-Malikiy.55

55
Tim Mading Ishmah, “K.H. Abdur Ro’uf Maimoen (Putra Keenam)”
(http://ppalanwar.com/index.php/news/16/33/KH-Abdur-Rouf-Maimoen-Putra-
Keenam.html, diakses pada 7 Januari 2021).
155

Gambar 3.52 K.H. Abdur Ro’uf, 24 Oktober 2008


(Sumber: Arsip PP. Al-Anwar Sarang, 2008/10/24/)

Pada penghujung 2006 M, ia memutuskan kembali ke tanah


kelahirannya. Hanya dalam hitungan hari sejak kepulangannya, ia kembali ke
tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Bertepatan dengan hari itu
juga ia dinikahkan dengan putri K.H. Imam Mahrus asal Lirboyo, Kediri Jawa
Timur yang bernama Ning Etna Iyyana Miskiyyah. Dari pernikahan ini, ia
dikarunia 3 (tiga) orang anak yaitu Agus Ahmad Karim, Ning Alya
Miskiyyah, dan Agus Anwar. Kesibukan sehari-hari yang ia jalani adalah
mengabdikan diri sebagai pelayan ilmu dengan mengajar kelas Muhadlarah
memegang pelajaran Qowa’idul Fiqih di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang.
Selain itu, ia juga mengajar di Pondok Pesantren Lirboyo. Ia sekarang
memegang jabatan Direktur Umum Muhadloroh Al-Anwar Sarang
danmengasuh Ribath Dar al Sunan al-Arba’ah.56

4.
5.
6.
7.

56
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 120.
156

8.
9.
10.
11.
12.
13. Gambar 3.53 K.H. Abdur Ro’uf dan K.H. Maimoen Zubair, publikasi
15 Juli 2015
14. (Sumber: https://www.facebook.com/muhadloroh-ppalanwar/
2015/7/15)
15.
16. K.H. Muhammad Wafi
Ia merupakan putra keempat K.H. Maimoen Zubair dengan Ibu Nyai Hj.
Masthi’ah yang biasa dipanggil Gus Wafi. Ia lahir di Sarang 15 Maret 1977 M.
Ia mengenyam bimbingan agama sejak kecil melalui sang ayah dan para guru
di MGS. Gus Wafi kecil tumbuh dengan budi pekerti yang baik dan memiliki
kepedulian keilmuan yang tinggi. Pada 1998 M, ia lulus dari MGS, kemudian
ia melanjutkan di Universitas Al-Fattah Al-Islamiy Damaskus, sebuah
universitas terkemuka di Syiria. Saat di sana, ia mendapatkan ‘sentuhan
tangan dingin’ dari Dr. Sa’id Romdhon Al-Buthiy, Dr. Wahbah Az-Zuhailiy,
dan dosen-dosen senior di bidangnya. Selanjutnya, setelah menyelesaikan
jenjang pendidikan 4 (empat) tahun di Syiria, ia meneruskan belajar di
Universitas Zamalik, Kota Tua Kairo Mesir. Ia kembali ke Sarang pada 2004
M, dengan semangat yang membara dan ide-ide brilian, ia ikut membantu
meningkatkan mutu pendidikan di Sarang, khususnya Pondok Pesantren Al-
Anwar Sarang.57 Ia mempunyai jadwal pengajian pada malam Selasa dan
Jum’at dengan cabang kitab Al-Hikam. Adapun istri Gus Wafi adalah Ibu
Nyai Nur Hafshah binti Kiai Mudrik Hudhari dari Tegalrejo Magelang. 58

57
Tim Mading Ishmah, “K.H. Muhammad Wafi Maimoen (Putra Ketujuh)”
(http://ppalanwar.com/index.php/news/17/33/KH-Muhammad-Wafi-Maimoen-
Putra-Ketujuh.html, diakses pada 7 Januari 2021).
58
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 121.
157

Gambar 3.54 K.H. Muhammad Wafi, publikasi 21 November 2020


(Sumber: https://www.twitter.com/ppalamwarsarang/2020/11/21/)

Gambar 3.55 K.H. Muhammad Wafi bersama K.H. Maimoen Zubair, 28 Juni
2016
(Sumber: Buku K.H. Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan, 2016/6/28/)

17. Ning Nihyatus Sa’adah (Almarhumah).


18. Ning Hj. Rodliyah Ghorro’
Ning Rodliyah adalah satu-satunya putri K.H. Maimoen Zubair yang masih hidup
dari pernikahannya dengan Ibu Nyai Hj. Masthi’ah, sebab saudara perempuannya
158

yang sekandung sudah mendahului pulang ke Rahmatullah. Area pendidikan Ning


Rodliyah adalah daerah Sarang sendiri. Usai mengenyam pendidikan di MPG, Ia
dipersunting oleh santri kesayangan K.H. Maimoen Zubair yang bernama K.H.
Zuhrul Anam Hisyam pengasuh Pondok Pesantren Attaujieh Al-Islamy Leler
Banyumas dan ikut menetap di sana. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai 3 (tiga)
putra yaitu Agus Roudlun Nadhir, Ning Zahro’Muthi’ah, dan Agus Rofiq Ahmad
Saif. Ia adalah sosok yang cerdas, hal itu terlihat dari kesehariannya dalam
mengajar. Cabang-cabang ilmu yang diberikan kepadanya cukup berat untuk
ukuran perempuan. Ia mengajar Ushul Fiqh, Balaghah dan Qadlaya Fiqhul
Mu’ashirah yang membahas masalah fiqih kontemporer di pondok pesantren
suaminya.59

Gambar 3.56 Ning Hj. Rodliyah Ghorro’ dan Suaminya, publikasi 19 Juli
2021
(Sumber: https://www.facebook.com/GusAnamLeler/2021/7/19)

59
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 122.
159

Gambar 3.57 Ning Hj. Rodliyah Ghorro’ beserta keluarga dan K.H. Maimoen
Zubair beserta Ibu Nyai Hj. Heni Maryam, 28 Juni 2016
(Sumber: Buku K.H. Maimoen Zubair Sang Kiai Teladan, 2016/6/28/)

19. K.H. Taj Yasin Maimoen


Ia biasa dipanggil dengan sebutan Gus Yasin. Ia lahir di Sarang, 02 Juli 1983
M. Saat kecil, ia selalu mendapatkan bimbingan dari ayahnya. Selain itu ia
juga mengenyam pendidikan di MGS. Pada 2002 M, ia selesai pendidikan di
MGS, kemudian ia melanjutkan ke Syiria tepatnya di Ma’had Ta’hil
Mujamma’ as-Syaikh Ahmad Kafiar. Selama menimba ilmu, ia selalu rajin
belajar. Selain itu, ia juga aktif dalam berbagai organisasi. Sehingga dari
kemahiran ini, pada 2007-2009 M, ia dipercaya untuk memegang amanat
menjadi Ketua Tanfidziyyah NU Cabang Istimewa Syiria.60
Seusai menimba ilmu di Timur Tengah, ia kembali ke tanah air untuk
menyebarkan ilmu yang ia dapatkan sebagaimana jejak-jejak ulama terdahulu.
Sebelum berkecimpung dalam dunia mengajar, ia terlebih dahulu menikah
dengan Ning Nawal Nur Arofah seorang santriwati dari Perguruan Islam
Mathali’ul Falah Kajen Pati, yang merupakan putri dari K.H. Abdurrahman
Ibnu Ubaidillah dan Hj. Fuadiyyah dari Cirebon. Dari pernikahan ini, ia
dikaruniai satu putra yaitu Agus Nail Al-Amal Al-Fayad. Pengajian Gus
Yasin dapat kita jumpai sesudah adzan Ashar (kurang lebih pukul 15.00
WIB). Salah satu kitab yang selaluia kajia adalah Bulugh al-Maram. Ia juga
aktif mengajar di Muhadloroh Al-Anwar. Saat ini ia juga menjabat sebagai
Wakil Gubernur Jawa Tengah mendampingi Bapak Ganjar Pranowo.61

Tim Mading Ishmah, “K.H. Taj Yasin Maimoen (Putra Kedelapan)”


60

(http://ppalanwar.com/index.php/news/952/33/KH-Taj-Yasin-Maimoen.html,
diakses pada 7 Januari 2021).
61
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 123.
160

Gambar 3.58 K.H.


Taj Yasin
Maimoen, pub- likasi
26 November 2020
(Sumber:
https://twitter.co m/
ppalan-
warsarang/
2020/11/26/)
161

Gambar 3.59 K.H. Taj Yasin Maimoen & istri bersama K.H. Maimoen
Zubair, publikasi 14 Januari 2018
(Sumber: https://www.haibunda.com/2018/1/14/)

20. K.H. Muhammad Idror


Ia merupakan putra terakhir K.H. Maimoen Zubair. Ia menempuh pendidikan
di MGS dan tamat pada 2002 M. Kemudian, ia melanjutkan belajarnya ke
Pujon Malang selama kurang lebih 2 (dua) tahun. Pada 2004 M, ia
melanjutkan belajar ke Makkah di Ma’had Darut Tauhid di bawah asuhan
langsung oleh Abuya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Malikiy. Selama di
Makkah ia termasuk pelajar yang tekun, sehingga ia dengan rajin mendalami
beberapa cabang ilmu kepada guru-gurunya di sana. Gurunya yang merupakan
ulama ternama selain Abuya ialah Sayyid Ahmad bin Muhammad Al-Malikiy,
Syaikh Rukaimy, dan Syaikh ‘Aly As-Shobuni.62
Gus Iid sapaan akrabnya merupakan pribadi yang sopan, rendah hati,
dan berwibawa. Sifat ini ia teladani dari ayahnya beserta guru-gurunya bahkan
ia mendapat gelar dari Abuya Sayyid Muhammad dengan nama yang sesuai
dengan ayahnya, yaitu Maimoen bin Maimoen Zubair. Gelar itu ia dapatkan
karena Abuya memandang bahwa ada banyak kemiripan antara Gus Iid
dengan ayahnya, mulai dari karakter, pribadi, dan lain sebagainya. Pada 2015
M, ia menyelesaikan belajarnya dari Makkah dengan menempuh pendidikan
selama 10,5 (sepuluh tahun setengah). Saat kembali di tanah kelahirannya, ia
membantu mengajar di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang serta mengajar di
Muhadlarah dan MGS. Selang beberapa bulan setelah kepulangannya, ia
mempersunting Ning Nabila Salsabila putri dari Kiai Muhammad Abdullah
Faqih salah satu pengasuh Pondok Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur.63

Tim Mading Ishmah, ”K.H. Muhammad Idrar Maimoen (Putra


62

Kesepuluh)”, http://ppalanwar.com/index.php/news/953/33/KH-Muhammad-
Idror-Maimoen.html (diakses pada 7 Januari 2021, pukul 20.20).
63
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 124.
162

Gambar 3.60 K.H.


Muhammad Idror, publikasi 21 April 2017
(Sumber: https://facebook.com/muhadloroh-alanwarsarang/2017/4/21)

Gambar 3.61 K.H.


Muhammad Idrar bersama K.H. Maimoen Zubair, publikasi 6 Agustus 2020
(Sumber: https://www.facebook.com/serambisarang.com/2020/8/6/)
163

Gambar 3.62 K.H. Maimoen Zubair bersama Nyai Hj. Heni Maryam,
publikasi 8 Agustus 2019
(Sumber: https://www.facebook.com/NahdliyyinMedia/2019/8/8/)

Ketiga, K.H. Maimoen Zubair menikah dengan Nyai Hj. Heni Maryam
putri salah satu ulama dari Kudus Jawa Tengah, namun sebenarnya ia lahir di
Desa Telas Pandangan yang termasuk wilayah bagian timur Kabupaten
Rembang. Semenjak dipersunting K.H. Maimoen Zubair, ia banyak
menghabiskan waktunya untuk menyertai sang suami berpartisipasi aktif dalam
Pondok Pesantren Putri Al-Anwar. Ia dekat dengan santri-santri yang sedang
mengaji, dan kerap memberikan wejangan-ejangan kepada para santri demi
kemajuan mereka. Ia juga sering memberikan pidato-pidato penyegar jiwa dalam
acara resmi Pondok Pesantren Putri Al-Anwar. Selain aktif dalam pesantren, ia
juga giat bersosialisasi dengan masyarkat baik secara langsung maupun melalui
forum organisasi. Salah satu organisasi yang ia ikuti adalah Wanita PPP Anak
Cabang Sarang. Jabatan yang ia emban adalah sebagai penasehat. Ia sering
menyampaikan pidato dalam pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh
organisasi tersebut.64 Dari pernikahan ini, K.H. Maimoen Zubair dan Ibu Nyai Hj.
Heni Maryam tidak diberi keturunan. Ibu Nyai Hj. Heni Maryam ini adalah istri
K.H. Maimoen Zubair yang selalu menemani dalam berdakwah ketika kedua

64
Ulum, Syaikhuna Wa Usratuhu, hlm. 100.
164

istrinya telah wafat.65


K.H. Maimoen Zubair lahir dalam dunia pesantren. Pengetahuan awalnya
dalam dunia ini tidak terlepas dan tidak jauh dari dunia pesantren. Kepesantrenan
begitu kuat dalam dirinya. Ayahnya, Kiai Zubair Dahlan adalah guru dari banyak
kiai generasi berikutnya. Ia adalah sosok kiai pencetak kader-kader kiai. Dalam
kesehariannya, dunia yang terlihat adalah mengajar model pesantren. Kakeknya
dari jalur ibu Kiai Ahmad bin Syu’aib tidak jauh berbeda dari ayahnya. Dunia
yang ia geluti juga dunia kepesantrenan. Ia adalah pengasuh pertama Pondok
Pesantren MUS. Kakeknya dari jalur ayah, Kiai Dahlan adalah sosok pertama
dalam keluarganya yang terjun dalam dunia kiai. Ia merupakan sosok penting
yang menanamkan keikhlasan dalam menjalani tugas sebagai kiai. Sosok ini
penting dalam diri K.H. Maimoen Zubair terutama pengaruhnya dalam mendidik
santri-santri yang tidak dari keluarga kiai. Banyak santri-santri tidak dari keluarga
terpandang, tetapi diposisikan K.H. Maimoen Zubair untuk menjadi seorang
kiai.66
K.H. Maimoen Zubair berhasil mendidik anak menjadi ulama dan tokoh
yang mendalam ilmunya, santun akhlaknya, dan ikhlas perjuangannya di tengah
masyarakat. Banyak kiai yang kagum terhadap keberhasilan K.H. Maimoen
Zubair dalam mendidik anak, sehingga keteladanan dalam mendidik anak oleh
K.H. Maimoen Zubair ini perlu dilakukan. Prestasi K.H. Maimoen Zubair dalam
mendidik ini sama dengan K.H. Abdullah Zaub Salam Kajen Pati yang berhasil
mendidik anak-anaknya menjadi generasi unggul.67
Ada 7 (tujuh) poin penting yang ditekankan oleh K.H. Maimoen Zubair
dalam menyiapkan generasi yaitu; pertama, peran ibu sangat sentral sebagai
Madrasah Pertama. Maksudnya di sini ibu adalah madrasah pertama yang

65
Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 94-95.

Sumber penulis dapatkan dari kata pengantar K.H. Abdul Ghofur (Putra
66

K.H. Maimoen Zubair) dikutip dari Asmani, K.H Maimoen Zubair Sang Maha
Guru.

Jamal Ma’mur Ma’mur Asmani, Keteladanan KH. Abdullah Zain Salam,


67

Kiat Sukses Membangun Pendidikan Keluarga (Yogyakarta: Global Press, 2018),


hlm. 40.
165

nantinya akan memberikan keteladanan bagi sikap, perilaku dan keprbadian anak.
Ketika ibu persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya ibu mempersiapkan
bangsa yang baik pokok pangkalnya. Jika seorang ibu itu baik maka baik pula
anaknya. Secara tidak langsung semua tingkah laku ibu akan menjadi panutan
atau sebagai suri tauladan bagi anaknya. Ketika seorang ibu menjalankan
kewajiban dan fungsinya dengan baik dalam rumah tangga, bukan tidak mungkin
akan melahirkan anak-anak yang sholih-sholihah yang kelak menjadi tunas
berdirinya masyarakat yang berbakti kepada kedua orang tua, berkualitas, berbudi
pekerti luhur dan Islami. Seorang anak senantiasa mendambakan ibu yang baik
dan juga sholehah. Ibu yang ideal secara Islam adalah seorang ibu yang memiliki
budi pekerti luhur, ta’at dalam beribadah menjalankan syari’at agama Islam dan
juga ibu yang memberikan manfaat bagi anaknya. Seorang ibu yang ideal menurut
pandangan Islam juga, ibu yang mengerti, bagaimana mengajarkan nilai-nilai
ketauhidan kepada anaknya ketika masih didalam kandungan, sampai anak itu
lahir seorang ibu harus mengerti bagaimana mendidik anak dengan nilai-nilai ke-
Islaman, mengajarkan hal-hal mengenai permasalahan agama. Dengan cara
mengajarkan dan membiasakan anak sedari kecil sholat, membaca Al-Qur’an,
mengenalkan anak dengan  nama-nama dan sifat-sifat Allah, sejarah-sejarah Nabi
dan Rasul dan meneladaninya. K.H. Maimoen Zubair selalu menekankan kepada
para santirnya untuk mencari istri shalihah yang ahli tirakat. Istri shalihah tidak
begitu kedonyan (tidak tergila dunia). Tapi menjadikan dunia sebagai wasilah
(sarana) beribadah dan berjuang. Istri K.H. Maimoen Zubair adalah perempuan
yang cinta ilmu, ahli tirakat, dan cinta ulama. Sehingga anak-anaknya tumbuh se-
bagai generasi-generasi Islam yang cinta ilmu dan cinta ulama.68
Kedua, pentingnya rezeki yang halal dan tidak syubhat (samar-samar).
Rezeki halal menjadi sebuah keharusan. Sebab, darah daging yang dimasuki
makanan haramakan membentuk karakter dan kepribadian seseorang. K.H.
Maimoen Zubair dikenal kiai yang sangat hati-hati dalam memberikan makan
kepada anak dan santrinya. Ia memberdakan rezeki dari aktivitas politik, ceramah,
amplop pejabat, dan dari usahanya sendiri. Rezeki yang digunakan untuk makan

68
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 149.
166

keluarga dan santrinya benar-benar dari usaha yang bebas dari syubhat, apalagi
jelas haramnya. K.H. Maimoen Zubair selalu menekankan rezeki halal dan
menjauhi hal-hal syubhat, apalagi yang haram. Maka wajar jika makanan anak
yang berasal dari rezeki halal mendorongnya untuk beribadah kepada Allah, rajin
menuntut ilmu, mudah dibina akhlak mulianya, dan cepat mewarisi spirit
perjuangan para ulama.69
Ketiga, selalu memohon berkah ulama. K.H. Maimoen Zubair sebagaimana
sering ia sampaikan di berbagai forum dan disampaikan kepada putra-putranya
bahwa salah satu pendidikan penting dalam mendidik anak-anak atau para santri
adalah memohon berkah para ulama. Air ludah para ulama, hal tersebut dilakukan
dengan maksud bahwa diyakini para kiai akan mendapatkan keberkahan. Hal ini
tidak lepas dari keyakinan bahwa para ulama adalah orang yang dekat dengan
Allah, yang permohonannya cepat dikabulkan. Maka dekat dengan ulama dan
memohon keberkahan ilmu, amal, dan perjuangannya bisa dikatakan sebagai
“jalan tol” dalam memperbaiki diri. K.H. Maimoen Zubair sering memanggil
santrinya masuk dalam kamar untuk diberi ijazah khusus.70 Rumah K.H. Maimoen
Zubair menjadi persinggahan para ulama, habaib, dan orang-orang shaleh. K.H.
Maimoen Zubair tentu memohon kepada mereka untuk mendoakan keluarga dan
santrinya menjadi kader penerus agama yang berkualitas tinggi dan berhati mulia.
K.H. Maimoen Zubair sering meminum air sisa yang sudah diminum habaib dan
ulama. Anak-anak K.H. Maimoen Zubair meneruskan teladan ini, dan ternyata
akhlak ini juga dilakukan para kiai, seperti yang dilakukan Kiai Anwar Manshur
Lirboyo. Hal ini menunjukkan bahwa mencari berkah kepada para habaib dan
ulama sangat penting karena mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah
SWT. Hal ini juga menunjukkan bahwa K.H. Maimoen Zubair adalah tokoh yang
sangat mencintai ulama sebagai ahli waris para nabi yang benar-benar takut
kepada Allah dan konsisten mengemban tugas sebagai hamba Allahn dan khalifah

69
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 150.
70
Wawancara dengan Abdul Ghofur, (alumni dan salah satu guru di Pondok
Pesantren Al-Anwar 2) pada Selasa 19 Oktober 2021. Ia adalah alumni angkatan
…. dan salah satu guru di Pondok Pesantren Al-Anwar 2.
167

di muka bumi.71
Keempat, teladan istiqomah. K.H. Maimoen Zubair tidak hanya aktif
mengaji kitab dan ceramah di tengah masyarakat. Ia juga mempraktikan
pentingnya istiqomah dalam kebaikan. Salah satu indikator istiqomah K.H.
Maimoen Zubair adalah mengaji kepada santri dan masyarakat meskipun baru
saja datang dari acara luar yang menyita banyak waktu dan tenaga. K.H. Maimoen
Zubair mengajarkan pentingnya istiqomah sebagai akhlak para ulama yang harus
diteladani sebagai cara untuk meraih keberkahan dan kesuksesan hidup. Saat usia
senja, K.H. Maimoen Zubair tetap mengaji seperti biasa. Dalam mendidik putra-
putrinya, K.H. Maimoen Zubair menyamakannya dengan santri. Putra-putri K.H.
Maimoen Zubair belajar di pondok, di MGS dan aktif dalam berbagai kegiatan
pondok. K.H. Maimoen Zubair juga menyuruh santri senior untuk mengajari
anak-anaknya secara khusus. Praktik istiqomah K.H. Maimoen Zubair dalam
mendidik santri secara otomatis menjadi teladan bagi anak untuk meneladaninya
sebagai kunci menggapai keberkahan ilmu. Urgensi istiqomah dalam mendidik
santri dijelaskan K.H. Abdul Ghofur. Menurut pengalamannya, saat ia sering
pergi untuk memenuhi acara, sehingga santri di pondoknya terbengkalai, maka
mengharapkan santri-santrinya memahami agama secara mendalam sungguh sulit.
Namun, sejak K.H. Abdul Ghofur Maimoen tidak banyak meninggalkan santri,
tetapi mendidik dan mengajar mereka dengan istiqomah, maka kualitas dan akhlak
santri semakin baik. Hal ini menunjukkan bahwa keistiqomahan K.H. Maimoen
Zubair menjadi inspirasi anak-anaknya ketika mengasuh santri. Istiqomah
berkaitan dengan intensitas dan ekstensitas kiai dalam mendidik santri secara lahir
dan batin. Istiqomah menjadi sesuatu yang sangat penting karena di dalamnya
terdapat loyalitas, totalitas, dan kapabilitas dakam melakukan sesuatu dengan
kemampuan terbaik dalam rangka menggapai ridha Allah SWT.72 Dengan
demikian, penting bagi kita belajar istiqomah. Menurut ulama, istiqomah adalah
konsisten patuh kepada Allah SWT.73
Kelima, tawadhu’(rendah hati). Jika ingin menjadi orang mulia yang
71
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 154.
72
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 155-156.
168

derajatnya diangkat Allah, jadilah orang yang tawadhu’. Jangan merasa pintar,
suci, banyak amal, dan merasa lebih dari orang lain. K.H. Maimoen Zubair
membrikan teladan pentingnya tawadhu’ dalam ilmu dan akhlak. K.H. Maimoen
Zubair menghindari kata-kata yang menonjolkan kesombongan. Ia tidak merasa
pintar sehingga selalu membaca, membaca, dan membaca. Ia merupakan sosok
yang demokratis dan toleran. Ia merasa sedikit amalnya dan selalu berdoa dan
memohon doa santri dan ulama supaya dianugerahi rezeki berupa mati dalam
keadaan husnul khatimah. Sebuah akhlak ulama besar yang sangat inspiratif yang
meneteskan air kesejukan, kesahajaan, dan kedamaian jiwa. Jiwa yang tawadhu’
terhindar dari konflik, agitasi, dan hal-hal negatif destruktif lainnya. Tawadhu’
membuat kita menjadi pembelajar sepanjang hayat, karena selalu merasa bodoh,
sedikit amal, dan penuh dosa. Tawadhu’ juga mendorong seseorang berbaik
sangka kepada orang lain. Putra-putri K.H. Maimoen Zubair sangat kelihatan
tawadhu’nya. Mereka bergaul secara egaliter (tidak membedakan status sosial)
dengan para santri dan masyarakat umum. Kedekatan putra-putri K.H. Maimoen
Zubair dengan para santri dan masyarakat tidak lepas dari didikan dan keteladanan
K.H. Maimoen Zubair yang tidak pernah membeda-bedakan siapa pun.74
Keenam, senang sedekah dan sederhana. K.H. Maimoen Zubair adalah
sosok yang dermawan. Ia banyak membantu pembangunan masjid di banyak tem-
pat. K.H. Maimoen Zubair selalu memberikan jamuan makan sederhana kepada
setiap tamu yang datang. Hal tersebut merupakan cerminan kesederhanaan dan ke-
sahajaan. Selain ahli sedekah, K.H. Maimoen Zubair juga sosok ulama yang
sederhana, rumahnya sederhana meskipun reputasi keulamaannya nasional dan
dunia. Hal tersebut menjadi bukti bahwa K.H. Maimoen Zubair adalah sosok yang
mengedepankan kesederhanaan, kemegahan. Kemewahan, dan keduniaan.75

73
Abu Zakaria Yahya An-Nawawi, Riyadlus Sholihin (Depok: Keira Publish-
ing, 2014), hlm. 58-59.
74
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 158.
75
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 159.
169

Gambar 3.63 Ndalem K.H. Maimoen Zubair, publikasi 16 Januari 2016


(Sumber: https://www.facebook.com/muhadloroh.ppalanwarsarang/
2016/1/16/)

Ketujuh, kaderisasi. K.H. Maimoen Zubair meneruskan peran kaderisasi ini


dari pendahulunya. Ulama-ulama besar, seperti Syekh Kholil Bangkalan Madura,
K.H. Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahid Hasyim, dan Kiai Sahal Mahfudh adalah
sosok yang mengader putra-putri dan santri-santrinya dalam mengembangkan Is-
lam sesuai bidangnya masing-masing. Banyak santri Pondok Pesantren Al-Anwar
Sarang yang alim dan berasal dari keluarga biasa dijodohkan dengan putra kiai
daerah yang punya pesantren kecil. Akhirnya, pesantren kecil tersebut berkem-
bang setelah santrinya memimpin pesantren tersebut. Sebagai contoh Kiai Naf’an
berasal dari Demak yang berkarir di Kudus. Ia belajar di Pondok Pesantren Al-
Anwar selama 16 tahun, dan ia mempunyai pesantren di Kudus dengan nama Al-
Maimuniyah. Nama Al-Maimuniyah ternyata nama yang diberikan K.H. Maimoen
Zubair, dan K.H. Maimoen Zubair juga yang meresmikan pesantren tersebut. K.H.
Maimoen Zubair pernah mengunjungi pondok santrinya tersebut sebanyak tiga
kali. K.H. Maimoen Zubair rajin mengunjungi santri-santrinya, sehingga jaringan
alumni Pondok Pesantren Al-Anwar solid dan mempunyai komitemen kuat dalam
mengawal Islam Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah yang dikenal dengan
Islam Nusantara.76

76
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 160.
170

K.H. Maimoen Zubair merupakan ulama yang sangat mencintai Ahlul Bait
(keturunan Rasulullah SAW) dan Ahlul Ilmi (para ulama). Semenjak kecil, K.H.
Maimoen Zubair sering diajak ayahnya, Kiai Zubair Dahlan untuk sowan dan
bersilaturrahim di kediaman para kiai dan meminta doa keberkahan, seperti sowan
kepada Kiai Faqih Maskumambang, Kiai Ihsan di Jampes, dan Kiai Fadhol di
Senori. Karena cintanya kepada Ahlul Ilmi, dan lebih khusus kepada Ahlul Bait,
Kiai Zubair Dahlan pernah memberikan wasiat kepada K.H. Maimoen Zubair agar
putra-putranya nanti dipondokkan di Ribath Sayyid Alawi al-Maliki, yang
merupakan guru K.H. Maimoen Zubair ketika belajar di Haramain. Ketika hendak
memondokkan putra-putranya pertamanya, yaitu K.H. Abdullah Ubab di sana,
Sayyid Alawi al-Maliki sudah wafat terlebih dahulu 29 Oktober 2004 M /25
Shafar 1391 H, maka putra pertamanya dipondokkan di Ribath Rusyaifah yang
diasuh oleh putra Sayyid Alawi al-Maliki, yaitu Sayyid Muhammad Alawi al-
Maliki. Putra-putra K.H. Maimoen Zubair yang mondok di Ribath Sayyid
Muhammad Alawi al-Maliki adalah K.H. Abdullah Ubab, K.H. Muhammad
Najih, K.H. Majid Kamil, K.H. Abdurrouf, dan K.H. Muhammad Idrar.77
Beberapa putra K.H. Maimoen Zubair menuntut ilmu kepada Sayyid
Muhammad Alawi al-Maliki. Hubungan K.H. Maimoen Zubair dengan keluarga

Sayyid Muhammad Alawi


al-Maliki sangat akrab. Setiap K.H. Maimoen Zubair pergi menunaikan ibadah
haji, ia pasti berkunjung di kediamannya. Ketika Sayyid Muhammad Alawi al-

Sumber penulis dapatkan dari kata pengantar K.H. Ahmad Wafi (Putra
77

K.H. Maimoen Zubair) dikutip dari Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang Kiai
Teladan.
171

Maliki sudah wafat pada 29 Oktober 2004 M/15 Ramadhan 1425 H, maka K.H.
Maimoen Zubair masih menjalin kekerabatan tersebut dengan mengunjungi
keturunan Sayyid Alawi al-Maliki, seperti Sayyid Abbas al-Maliki dan Sayyid
Ahmad al-Maliki. Kecintaan K.H. Maimoen Zubair terhadap keluarga Sayyid
Muhammad Alawi al-Maliki tidak hanya berupa jalinan silaturrahim saja, tetapi
lebih dari itu. Ia selalu mendoakan mereka. Hal ini terbukti dalam amalan Yasin
Fadhilah yang dibacakan rutin setiap malam Selasa dan Jum’at di Pondok
Pesantren Al-Anwar Sarang. Nama Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki selalu
disebut dalam doa yang tertera. Ketika Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki wafat,
digantilah nama putranya, yaitu Sayyid Ahmad al-Maliki. Karena saking
hormatnya K.H. Maimoen Zubair dengan keturunan gurunya, namanya tidak
berkenan disebut pertama kali, tetapi setelah Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki
atau Sayyid Ahmad al-Maliki.78

Sumber penulis dapatkan dari kata pengantar K.H. Ahmad Wafi (Putra
78

K.H. Maimoen Zubair) dikutip dari Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang Kiai
Teladan.
172

Gambar 3.64 Silsilah Keluarga Besar K.H. Maimoen Zubair, publikasi 18 April
2020.
(Sumber: https://alanwar02.com/silsilah/2020/4/18/, diakses pada ….)

7 (tujuh) rahasia K.H. Maimoen Zubair mendidik anak dalam menyiapkan


generasi tersebut seharusnya dapat menginspirasi para santri, kiai, dan seluruh
elemen bangsa untuk meneladaninya, sehingga hadir kader-kader hebat yang akan
meneruskan perjuangan agama, masyarakat, bangsa, dan umat manusia. Saat ini,
banyak sekali keluarga yang gagal mendidik anak-anaknya. Pergaulan bebas yag
tidak terkendali, ditambah dengan perkembangan teknologi modern membuat
pertumbuhan anak sekarang dalam bahaya jika tidak diimbangi internalisasi
moral dan filter yang kuat dari keluarga. Keberhasilan K.H. Maimoen Zubair
dalam mendidik anak menjadi inspirasi dan motivasi untuk seluruh elemen bangsa
ini untuk benar-benar melakukan evaluasi, instrospeksi, dan proyeksi, khususnya
dalam konteks pendidikan keluarga supaya lahir dari rahim keluarga kader-kader
penerus bangsa yang akan membawa kemajuan di berbagai aspek kehidupan.79
Tantangan zaman yang kini sangat kompleks, khususnya revolusi teknologi
informasi dan komunikasi, harus disikapi orang tua secara cerdas dan bijaksana.
Pendidikan informal dalam keluarga menjadi pondasi utama yang harus
diperkokoh. Jangan sampai pendidikan keluarga ini luntur dan dikalahkan oleh
pergaulan dan teknologi. Orang tua harus berusaha lahir batin untuk mendidik
anaknya berada di jalan yang benar dan terhindar dari teknologi dan pergaulan
negatif yang membahayakan masa depan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa
dan umat manusia.80

D. Berjuang Menuntun Umat: Percik Pemikiran K.H. Maimoen Zubair

79
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 163.
80
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 164.
173

Masyarakat Indonesia saat ini berada di tengah situasi yang memprihatinkan.


Nilai-nilai toleransi seakan mulai terkikis, sehingga perbedaan pandangan dan
pendapat di tengah masyarakat sering kali menjadi ajang permusuhan, caci maki,
dan saling menghina antara satu dan lainnya. Masyarakat masih tidak bias
memahami makna perbedaan yang seharusnya menjadi media untuk mengeratkan
persatuan dan kestuan. Salah satu hal yang mengagumkan dari K.H. Maimoen
Zubair adalah ia merupakan sosok ilmuwan multidimensi yang menguasai banyak
disiplin ilmu. Hal itu ditunjukkan dengan ceramahnya di berbagai tempat. Kitab-
kitab yang telah ia tulis juga meunjukkan kedalaman ilmu, cara pandang, dan
wawasannya yang merupakan lintas disiplin ilmu. K.H. Maimoen Zubair sosok
ahli sejarah, Nahwu, Shorof, Fiqh, Ushul Fiqh, sufi, ahlul kalam, pakar sanad,
dan lain-lain. Salah satu pemikiran besar K.H. Maimoen Zubair yang
menghadirkan banyak pencerahan pada umat adalah ijtihad dalam kerangka
kesatuan. Menurutnya, ijtihad antara satu ulama dengan ulama yang lain jangan
sampai mengakibatkan perselisihan dan perpecahan. Sebaliknya, perbedaan
pandangan dan pendapat harus semakin mengeratkan hubungan satu dengan yang
lain. Masing-masing harus bisa menghargai pendapat yang didasarkan alasan yang
kuat dan benar. Namun, yang terjadi di masyarakat saat ini adalah perbedaan
pendapat justru mendatangkan permusuhan. Masing-masing mengakui diri dan
kelompoknya yang paling benar. Bahkan, ada yang menyesatkan kelompok lain
karena perbedaan pendapat. 81
Beberapa gagasan dan pemikiran K.H. Maimoen
Zubair tersebut adalah sebagai berikut. :

1. Gagasan tentang Nasionalis-Religius


K.H. Maimoen Zubair memiliki sumbangsih yang cukup besar dalam hal dakwah.
Menurutnya, metode dakwah disampaikan dengan cara yang berbeda-beda,
disesuaikan dengan kondisi wilayah mapun waktu ketika berdakwah, yang

81
Asmani, K.H. Maimoen Zubair Sang Maha Guru, hlm. 94-95.
174

terpenting tujuannya sama yaitu untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar agar
mencapai kenikamatan dunia maupun akhirat.82
K.H. Maimoen Zubair dalam setiap pengajiannya selalu menanamkan
konsep nasionalis-religius sebagai sebuah konsep kebangsaan. Menurut K.H.
Maimoen Zubair, santri sebagai warga negara Indonesia yang memiliki potensi
untuk meneruskan perjuangan para ulama harus memiliki sikap nasionalis dan
tingkat religius yang tinggi. Dalam konsep nasionalis-religius tersebut, K.H.
Maimoen Zubair juga merinci adanya empat pilar yang harus dipertahankan oleh
para santri dan masyarakat untuk Indonesia. Pesan khusus untuk santri dan
masyarakat dapat dilihat dalam dokumentasi Al-Anwar sebagai berikut.:
Sekarang di abad ke-14, benar apa yang difirmankan oleh Allah:
“Adakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah menurunkan air dari
langit”. Apa air itu? Kehidupan. Apa kehidupan itu? Mengokohkan.
Manusia itu saling mengokohkan dan tidak dapat dipisahkan dengan
sesama manusia yang lain. Hal ini diumpamakan seperti air.
Selanjutnya, Allah juga berfirman: “Dari air itu, timbul kelompok-
kelompok yang berbeda. Beda tapi sama, sama tapi beda. Dari
kekuatan-kekuatan ada gunung-gunung yang berdiri kokoh. Itu
adalah jalan terang menuju arah persatuan bangsa”. Dari firman
Allah itu disebutkan makna putih dan merah. Jadi, jika di zaman nabi
dulu dikatakan putih dan merah itu, sekarang kita bangsa Indonesia
dikatakan merah dan putih. Jika tidak ada merah, tidak ada semangat,
tidak ada darah. Jika tidak ada putih, tidak ada keikhlasan, tidak ada
kekuatan. Maka dari itu bendera bangsa Indonesia berwarna merah
putih. Saya ingatkan di sini, bahwa bangsa Indonesia diproklamirkan
pada 17 Agustus, bertepatan pada 8 Ramadhan. Sama dengan Kanjeng
Nabi diangkat resmi menjadi pembawa utusan Allah pada 8 Agustus,
bertepatan pada 17 Ramadhan. Apa yang terjadi? Nabi dikatakan
pernah hijrah dari ibu kota Makkah menuju kota Madinah pada bulan
Oktober, sedangkan pemerintah Republik Indonesia (RI) pernah hijrah
dari ibu kota negara, Jakarta ke Jogjakarta, Jawa Tengah, saat Agresi
Militer Belnda datang. Oleh karena itu, RI waktu dulu diserang, kira-
kira usia saya kira-kira sudah berumur 20 tahun lebih, tahu bahwa
pusatnya negara Indonesia berada di Jawa Tengah. Mudah-mudahan
acara yang bertepatan dengan bulan Rajab ini mendapat keberkahan.
Saya masih ingat, dulu waktu ramai-ramainya apa yang disebut
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia di mulai bulan Rajab,
kemudain bulan Sya’ban dan memasuki bulan Ramadhan, bangsa
82
Ungkapan tersebut dilengkapi dengan bacaan al-Qur’an pada Q.S ar-Ra’du
[13]: 41. Kanthong Umur, Oase Jiwa 2 (Surabaya: Rene Turos Indonesia, 2019),
hlm. 55.
175

Indonesai memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Oleh


karena itu, kepada kawan-kawan saya, saudara-saudara saya di Jawa
Tengah, Jawa Tengah ini merupakan Central Java. Sejarah bangsa
Indonesia tidak luput dari berdirinya NU pada 1926 M. Namun,
Muktamar NU didatangi oleh para cabang-cabang di seluruh
Indonesia terjadi pada 1928 M. Tahun bersejarah ini sama dengan
peristiwa terjadinya Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda ini,
para pemuda berikrar Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa, dan
akhirnya ditambah Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu Tanah
Air. Inilah empat pilar penting Indonesia. Nabi saat membentuk
sebuah negara di Madinah tidak keluar dari negeri Arab. Kanjeng
Nabi tetap berjiwa nasionalis membawa misi dakwah. Inilah yang
perlu saya utarakan. Saya serukan Jawa Tengah supaya benar-benar
al-awal wal akhir, pertama sampai tak ada habis-habisnya. Jadikanlah
Jawa Tengah seperti NU saat mengadakan Muktamar yang dihadiri
cabang-cabangnya di seluruh Indonesia. Jadikanlah Jawa Tengah
sebagai jujukan pemerintahan RI sebagaimana pada bulan Oktober
dulu pusat pemerintahan Indonesia dipindah ke Jogjakarta, Jawa
Tengah. Sama dengan Nabi, Nabi proklamasi Agustus tapi pindah ke
Madinah bulan Oktober. Persamaan ini, merah-putih. Dahulu di Al-
Qur’an dikatakan putih-merah, sekarang merah-putih. Podo tapi bedo,
bedo tapi podo. Sekian saya mhon maaf. Mudah-mudahan apa yang
kita maksud kumpul di Simpang Lima ini semuanya kembali kepada
Pancasila. Ketahuilah bahwasannya Pancasila mempunyai segi empat.
Empat segi itu mengepung Ketuhanan Yang Maha Esa., sehingga
Indonesia jika masih berpegang pada empat pilar ini akan tetap ada
dan merdeka yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Undang-Undang 1945 yang disebut PBNU.83

K.H. Maimoen Zubair dikenal sebagai seorang ulama sekaligus ahli sejarah,
yang selalu menceitakan dan menjelaskan dalam setiap pengajiannya tentang
bagaimana proses sejarah Negara Indonesia dan seberapa besar peran umat Islam
di dalamnya. Ia selalu mengajarkan kepada para santri untuk selalu menjunjung
tinggi sikap nasionalisme. Ia juga dikenal dengan sifatnya yang luhur, mengasihi
kepada sesama, baik itu dari kalangan rakyat jelata, ulama, hingga pejabat tinggi.
Ia sangat menghargai perbedaan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tamu
yang datang ke rumah K.H. Maimoen Zubair, sehingga semua mendapatkan
perhatian sesuai dengan status mereka masing-masing. Dari sifatnya yang mulia

Pondok Pesantren Al-Anwar, “Dokumentasi Pesan K.H. Maimoen Zubair),


83

17 Maret 2009.” sumbernya apa???


176

ini, banyak kalangan yang menaruh hormat kepadanya.84 K.H. Maimoen Zubair
merupakan kiai yang menjaga tali silaturrahmi dengan tokoh manapun.85
K.H. Maimoen Zubair pernah berkata bahwa Islam dan kekafiran tidak
dapat bersatu. Adapun tindakan-tindakan dan ucapan-ucapannya yang
menunjukkan hubungannya dengan non-muslim itu hanya sebatas perdamaian,
sebab bangsa Indonesia ini adalah negara yang majemuk, terdiri dari berbagai
etnis dan agama. Ia menginginkan agar bangsa ini damai, tidak ada sengketa dan
peperangan. Jadi, bukan berarti ia mempunyai aliran atau pemikiran liberal
ataupun plural. K.H. Maimoen Zubair merupakan seorang kiai yang aktif di
politik. Politik dalam pandangan K.H. Maimoen Zubair bukan sekedar
kepentingan sesaat, tapi lebih jauh dari itu, yakni benar-benar berfungsi
mengharmoniskan Islam dan kebangsaan, religiusitas dan nasionalitas,
mengharmoniskan ulama dan umara agar berjalan beriringan.86
Sebagai ulama, K.H. Maimoen Zubair selalu menekankan keharmoniasan,
persatuan dan dialog dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Dalam artian, ia
menghargai perbedaan dan tidak merasa yang paling benar dalam menyampaikan
pendapat, menerima pendapat orang lain. Dalam dinamika pilpres kemarin
misalnya, ia tidak menghalangi dua kubu yang saling mencalonkan dirinya untuk
sama-sama datang kepada K.H. Maimoen Zubair dan didoakan. Ia juga perlu
berdakwah melalui ranah politik, agar praktik perpolitikan sesuai dengan ajaran
dan nilai-nilai Islam. Melalui politik juga dapat menjadi pijakan untuk membuat
suatu keputusan, tidak heran dalam menuntun umat yang dilakukan K.H.
Maimoen Zubair adalah mengedepankan perdamaian dan bersifat netral K.H.
Maimoen Zubair dalam berdakwah dapat menembus sekat-sekat agama dan tidak

Sumber penulis dapatkan dari kata pengantar K.H. Abdur Rouf (Putra K.H.
84

Maimoen Zubair) dikutip dari Ulum, K.H Maimoen Zubair: Membuka Cakrawala
Keilmuan.

Zahrul Anam Hisyam, Membaca dan Menulis Mbah Moen (Sebuah


85

Refleksi) (Sarang: Pondok Pesantren Al-Anwar: 2019), hlm. 11.

Baha’uddin Nur Salim, Al Intishor Li Madzahibi Syaikhina Indonesia


86

Damai, Meneladani Mbah Moen (Sarang: PP. Al-Anwar, 2019), hlm. 11.
177

merasa benar sendiri, lantas menyebut yang lain sesat. Ia juga menebarkan Islam
yang ramah, bukan Islam yang marah.87
Setelah partai yang dianutnya yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
melemah, suaranya kecil, akhirnya ia membuat terobosan atau strategi seperti
halnya mendukung calon gubernur atau bupati yang kadang tidak didukung oleh
PPP. Namun, pada masa-masa berikutnya, PPP banyak mengikuti arahannya
perihal calon yang didukung. Terkadang ia mendukung calon yang non-agamis,
tetapi ia mengusulkan pendamping yang agamis, sehingga terciptalah pasangan
yang nasionalis-religius. Hal ini disebabkan karena ia sangat berharap agar umat
Islam di Indonesia, khususnya warga nahdliyin mempunyai jiwa nasionalis-
religius, ini untuk urusan luar. Ia sering mengajarkan ajaran Kiai Zubair Dahlan,
yaitu: “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan pakaian dalam dan pakaian
luar.” Banyaknya aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang terjun dalam dunia politik,
masuk dalam jajaran pemerintahan, maka ia berharap agar mereka berjiwa
nasionalis-religius atau religius-nasionalis. Mereka dapat bergandengan dengan
orang luar pesantren. Namun, kalau bisa, kontrak politik tersebut ada kesepakatan
bersama, semisal jangan mengganggu pesantren, masjid dan jangan membuat
gereja di daerah yang mayoritas muslim.88
Ketika K.H. Maimoen Zubair berinteraksi dengan orang luar (luar
pesantren), maka ia dapat berhubungan dengan baik, terlebih dalam urusan
kenegaraan, maka ia sangat loyal terhadap Negara Kesantuan Republik Indonesia
(NKRI). Sumbangsih K.H. Maimoen Zubair dalam hal ini adalah melalui
argument-argumen yang ia sampaikan secara kreatif dalam membela NKRI dan
Pancasila. Ia juga menjelaskan betapa pentingnya umat Islam merawat NKRI dan
Pancasila, hal tersebut merupakan bagian dari hubbul wathan, cinta tanah air.

87
Agus Fathuddin Yusuf, Belajar Kehidupan dari Mbah Moen (Semarang:
Suara Merdeka, 2019), hlm. 43.
88
Sumber penulis dapatkan dari kata pengantar K.H. Muhammad Najih
(Putra K.H. Maimoen Zubair) dikutip dari Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang
Kiai Teladan.
178

Sebab ia ikut berjuang dalam mengusir penjajah dan merasa bertanggung jawab
untuk menjaganya.89
Keluhuran akhlak yang dibarengi dengan cinta menjadikan ia sosok yang
dicintai oleh semua golongan maupun kelompok. Terhadap hal kemanusiaan,
cinta K.H. Maimoen Zubair diwujudkan dalam menyelesaikan berbagai
persoalan. Kecintaannya terhadap Islam disampaikan dengan ilmu, organisasi dan
politik. Terhadap Indonesia, Cinta K.H. Maimoen Zubair dibuktikan dengan
100% cinta tanah air. Jiwa nasionalis K.H. Maimoen Zubair dapat terlihat ketika
mendengar lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka ia pasti berdiri sebagai bentuk
penghormatan kepada negara ini meskipun usianya sudah tua. Kecintaannya
terhadap Indonesia juga sering ia ungkapkan dalam berbagai ceramahnya. Bahkan
ialah yang mempopulerkan singkatan PBNU yang merupakan kepanjangan dari
Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. K.H. Maimoen Zubair
selalu menggabungkan Islam dan hubbul wathan, sehingga dalam menyampaikan
argumennya ia menyesuaikan dengan perubahan zaman dan kondisi. Ia juga
merupakan kiai sepuh yang memiliki kebijaksanaan dalam menerjemahkan ilmu-
ilmu tradisional yang dipelajari di pesantren dalam konteks perubahan zaman.90
Ia pernah menyampaikan arti yang terkandung dalam lambang Garuda
Pancasila, di antaranya Garuda mempunyai 17 helai pada masing-masing sayap,
yang selain mempunyai arti sebagai tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
juga sebagai simbol jumlah rakaat dalam shalat lima waktu, sedangkan Pancasila
merupakan simbol dari Rukun Islam. Jika Pancasila mempunyai isi lima poin
yang menjadi pokok NKRI, maka Rukun Islam juga mempunyai lima pokok yang
harus dijalankan bagi pemeluk agama Islam.91

89
Baha’uddin, Indonesia Damai, Meneladani Mbah Moen, hlm. 6.
90
Islam tradisional merupkan gabungan dari unsur-unsur khas seperti
merawat tradisi ilmu-ilmu Islam tradisional, adaptasi dengan budaya lokal, dan
cinta tanah air. (Yusuf, Belajar Kehidupan dari Mbah Moen, hlm. 74).
91
Sumber Coorporation, “Ceramah K.H. Maimoen Zubair tentang Filosofi
Garuda Panca Maturidy sila”, Youtube, Agustus 21, 2018.
https://www.youtube.com/watch?v=ZpX9aS6Qhv0&t=1s (Coorporation 4:00).
179

Bukti Nasionalis-Religius K.H. Maimoen Zubair juga nampak dalam


rumahnya, dalam hiasan dinding yang dipasang di ndalem terlihat hiasan dinding
yang paling atas sendiri adalah kaligrafi bertuliskan lafadz “Allah” dan
“Muhammad”, dibawah kaligrafi tersebut terdapat simbol Garuda Pancasila,
dibawahnya lagi terdapat gambar NU, dan dibawahnya lambang NU terdapat
gambar Ka’bah PPP.92

Gambar 3.65 K.H. Maimoen Zubair menunjukkan Lambang Garuda, publikasi 28


Oktober 2018
(Sumber: https://www.facebook.com/serambisarang/2018/10/28/, diakses pada
….)

Menjelang akhir hayatnya, K.H. Maimoen Zubair sering memberikan


nasihat pentingnya kerukunan dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya,

92
Bukti nasionalis-religius yang ada dalam diri K.H. Maimoen Zubair
memang tinggi. Hal tersebut juga dapat dilihat pada gambar 3.60 K.H. Maimeon
Zubair menunjukkan Lambang Garuda Pancasila nampak jelas terlihat pada
hiasan dinding ndalem K.H. Maimeon Zubair.
180

“Kita harus mempunyai jiwa nasionalis yang diperkokoh dengan jiwa


religius. Kita bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri
dari berbagai etnis dan aliran, maka harus menjaga toleransi supaya
hidup saling rukun. Minoritas jangan sampai menjajah yang
mayoritas, begitu juga etnis yang minoritas jangan sampai menguasai
yang mayoritas.”

Konsep semacam ini yang pernah diajarkan K.H. Maimoen Zubair kepada
putra-putranya. K.H. Maimoen Zubair juga memberi nasihat tentang bahayanya
Salib. Seperti halnya yang terjadi di rumah sakit milik orang non-muslim yang
terkadang didatangi pastur atau pendeta, sehingga sangat rawan orang Islam yang
dirawat di sana meninggal su’ul khatimah (kematian yang buruk). Hal ini supaya
seorang muslim tidak meninggal kecuali dalam kondisi Islam.93
K.H. Maimoen Zubair dikenal sebagai orang yang alim, murah hati dengan
siapa saja. Sifat semacam ini sebagaimana yang kebanyakan melekat dalam diri
orang melayu yang dikenal dengan keislamannya. Melayu (Nusantara) dalam
istilah K.H. Maimoen Zubair ada dua. Pertama, Melayu Marikiyah yang
merupakan bangsa melayu yang ada di Sumatra, Kalimantan atau kepulauan
lainnya. Kedua, Melayu Mriki yang merupakan bangsa Jawa. K.H. Maimoen
Zubair juga sering mewasiatkan agar meramaikan masjid-masjid, mushalla-
mushalla, pesantren-pesantren, madrasah-madrasah dan sekolah umum dengan
kajian Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Jika hal semacam ini dilaksanakan, maka
banyak umat Islam yang akan menjalankan shalat, membayar zakat, menjalankan
puasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji. Jika ajaran Islam
diamalkan di Indonesia sebagaimana mestinya, maka Islam di Indonesia akan
menjadi kiblat dan panutan bagi negara-negara yang lain sebagaimana yang
pernah dicita-citakan oleh K.H. Maimoen Zubair. Jadi, sebagai tokoh agama K.H.
Maimoen Zubair tidak hanya memberikan pandangan mengenai nasionalis-
religius atau religius-nasionalis. Pesan yang disampaikan K.H. Maimoen Zubair

93
Sumber penulis dapatkan dari kata pengantar K.H. Muhammad Najih
(Putra K.H. Maimoen Zubair) dikutip dari Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang
Kiai Teladan, hlm. ???.
181

tidak hanya berupa pandangan Islam, namun juga pesan Islam yang di gabungkan
dengan politik.94

Ada beberapa contoh pemikiran K.H. Maimoen Zubair terkait gagasan


tentang nasionali-religius atau religius-nasionalis yang diterapkan pada kehidupan
sehari-hari di antaranya; a) ketika berpakaian K.H. Maimoen Zubair cenderung
biasa saja tidak memilki ciri khas, padahal ia adalah seorang ulama terkenal. Ia
lebih memilih berpakaian santai dan menyesuaikan keadaan, yaitu dengan sarung,
sorban dan peci, b) menghormati tidak harus megikuti dan perbedaan tidak harus
saling membenci. Sebagai sesama umat manusia kita harus memiliki tenggang
rasa atau saling menghargai satu dengan yang lain, terlepas dari ras, suku, agama,
dan lain sebagainya. Kepada yang lebih muda kita juga tidak boleh saling
menjatuhkan. Harus saling merangkul, c) orang Islam banyak yang tidak
menyukai hitungan Jawa, tetapi K.H. Maimoen Zubair merupakan seorang yang
ulama alim yang menyukai hitungan Jawa, d) pembahasan tentang Shalat Rebo
Wekasan95. Beberapa ulama melarangnya termasuk K.H. Hasyim Asy’ari, tetapi
K.H. Maimoen Zubair justru menganjurkannya, e) pembuatan patung banyak
ulama yang melarangnya dengan alasan menyerupai orang jahiliyyah yang suka
membuat patung dan menyembahnya. K.H. Maimoen Zubair mempunyai
pemikiran berbeda, ia memperbolehkan pembuatan patung dengan catatan tidak
untuk disembah tetapi dijadikan sebuah karya seni yang dapat dinikmati serta
dijadikan sebagai monumen bersejarah, terbukti di Indonesia sendiri setiap ada
peristiwa sejarah akan diabadikan pada patung dengan tujuan agar masyarakat
dapat mengingatnya, f) beribadah, K.H. Maimoen Zubair lebih mementingkan
ibadah dalam segi dalamnya (ruh) dari pada segi luarnya. Contoh dalam Sholat
Dhuha K.H. Maimoen Zubair memilih melaksanakannya hanya 2 rakaat dengan

Sumber penulis dapatkan dari kata pengantar K.H. Muhammad Najih


94

(Putra K.H. Maimoen Zubair) dikutip dari Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang
Kiai Teladan.

Shalat Rebo Wekasan adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada
95

hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Shalat ini juga biasa disebut Shalat Lidaf’il
Bala yang dilakukan dengan empat rakaat terdiri dari dua kali salam.
182

khusuk, dari pada melaksanakan dengan beberapa rakaat tapi tidak khusuk, g)
politik dan pemerintahan, K.H. Maimoen Zubair memilih bergaul dengan
pemerintah dan partai selain Islam. Pemikiran itu berdasarkan dawuh dari Imam
Ghozali. K.H. Maimoen Zubair masuk ke pemerintahan tidak dipengaruhi, tetapi
ia malah mempengaruhi dalam hal positif. Maka dari itu ia memperbolehkan
putra-putranya, cucunya bahkan santri-santrinya untuk menjadi pejabat.
Alasannya zaman dahulu pesantren dicurigai sebagai sarang teroris dan tidak setia
dengan NKRI. Tapi setelah banyak santri yang menjadi pejabat, pesantren
menjadi aman dan bebas melaksanakan ritual keagamaan karena sudah terbukti
kesetiaannya pada pejabat sudah jelas, h) K.H. Maimoen Zubair melarang untuk
membenci sesuatu dengan melebihi batas dan jangan menyukai sesuatu dengan
melebihi batas juga. Mempunyai ideologi masing-masing diperbolehkan,
sedangkan fanatik itu tidak diperbolehkan. Toleransi juga boleh, tetapi jangan
terlalu melebihi batas-batasnya, i) menurut K.H. Maimoen Zubair kita tidak
diperbolehkan untuk menjelek-jelekkan orang yang belajar umum. Kita juga harus
menyeimbangkan antara ilmu umum dan agama agar tidak tertinggal oleh zaman.
Pemikiran itu ia dapatkan ketika dulu mondok di Lirboyo, ia mendengar suara
orang yang memanggil namanya dari kuburan Setono Gedong. Ternyata di sana
ada seorang berpakaian seperti petani dan memakai caping. Orang itu berkata
“Sekarang kamu mempelajari ilmu agama melalui kitab-kitab yang berbahasa
Arab. Nantinya, kamu akan menemui suatu zaman, pada zaman itu ilmu agama
dipelajari menggunakan buku-buku terjemahan. Kamu tidak boleh anti terhadap
hal itu. Akan tetapi kamu harus memegang dengan sungguh-sungguh mengaji
kitab-kitab berbahasa Arab”. Maka dari itu, K.H. Maimoen Zubair mendirikan
mushalla di depan rumahnya sebagai sarana mengaji dan berjama’ah. Dari
mushalla itu kemudian menjadi pondok pesantren. Ia juga mendirikan
Muhadhoroh sebagai madrasah dan sekolah. K.H. Maimoen Zubair juga
membangun sekolah yang berbasis umum atau kurikulum, seperti MTS, MA,
SMK dan STAI. Selain itu ia juga membangun madrasah dalam pondok pesantren
yang di dalamnya terdapat pembelajaran kitab-kitab sebelum dan sesudah selesai
pembelajaran di sekolah, j) Pemikiran K.H. Maimoen Zubair tentang fungsi ijazah
183

formal sangat penting, karena banyak santri yang berpendidikan sampai aliyah
dan bisa membaca kitab, tapi tidak bisa menjadi pimpinan di masyarakat karena
tidak mempunyai ijazah. Alkhirnya, muncul ide K.H. Maimoen Zubair untuk
mendirikan perguruan tinggi berbasis kitab agar santri yang hanya belajar kitab
bisa mendapatkan ijazah dan ketika kembali ke masyarakat bisa meyalonkan diri
menjadi pimpinan.96

2. Gagasan tentang Hubungan Islam dan Negara


Orang. yang berakal harus menjadi pribaid yang menjaga lisanya, mengetahui
perkembangan zamannya, dan menunaikan tugas-tugasnya, terutama sebagai
orang Indonesia, kita harus memahami perkembangan Islam, tidak dengan cara
yang satu, melainkan berubah-ubah menurut masa dan waktunya. Artinya, Pernah
dalamPada suatu ceramahnya, K.H. Maimoen Zubair mencoba memberikan
padangan tentang hubungan antara Islam dan Negara. Ia bertitik tolak bahwa
Pancasila sudah sangat searah dengan nilai-nilai Islam dan tidak perlu mendirikan
negara khilafah yang justru akan banyak menimbulkan gejolak dan konflik
sebagaimana di negara-negara Timur Tengah. Masa sekarang. Dahulu saat musim
haji semua memakai bendera Islam, tetapi kemudian. Sekarang tidak, tapi
menggunakan bendera nasional yang mereka bawa. Begitu juga jama’ah haji asal
Indonesia yang mereka bawa adalah merah putih. Pada masa sekarang jika
bangsanya sendiri tidak dijunjung, maka akan runtuh. Meski demikian, kebesaran
Indonesia harus diiringi dan diwarnai dengan ruh-ruh keislaman.97
K.H. Maimoen Zubair selalu mencurahkan jiwa raganya untuk
kemanfaatan,. Mengabdikan mengabdikan diri untuk agama, bangsa dan negara.
Pengabdiannya dimulai dari perkara yang kecil hingga masalah yang besar, seperti

96
Sarang, pPpalanwar Sarang.. “Gus Anam: 7 Haliyyah Syaikhina Maimoen
yang harus diketahui santri” (, Youtube, November 17, 2019.
https://www.youtube.com/watch?v=UyNrVuoS2M8, diakses pada ….. (Sarang
3:35).
97
Hasna, Naila Al-Hasna,. “K.H. Maimoen Zubair; Ceramah Komplit,
Sejarah, Nasionalis & Religius di PP MUS Sarang”, Youtube, April 6, 2018.
https://www.youtube.com/watch?v=a 353RJPNJ78&t=4054s, diakses pada ….
(Hasna 25:55).
184

memperhatikan kondisi fakir miskin yang ada di daerah sekitarnya hingga


mengurus negara dan dunia internasional. Perjuangan K.H. Maimoen Zubair
untuk agama, bangsa dan negaranya, seperti Direktur Umum MGS Sarang, Nadzir
Masjid Jami’ Sarang yang bertempat di sebelah barat Desa Sarang, Ketua Badan
Pertolongan atau Sosial Kecamatan Sarang selama 8 (delapan) tahun dari 1967-
1975 M, Anggota Pemuda Anshor, Ketua Syuriah NU Provinsi Jawa Tengah
1985-1990 M, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat II
Rembang 1971-1978 M, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI)
1987-1999 M dari perwakilan Jawa Tengah, Ketua Jam’iyyah Thoriqaha NU hasil
kongres ke-7 di Pondok Pesantren K.H. Mushlih Mranggen Demak sampai
Muktamar berikutnya yang berlangsung di Kota Pekalongan pada 2000 M.
Setelah masa jabatannya habis, ia melakukan bai’at Thoriqah Naqsabandiyyah
kepada As-Syekh DrR. Dliya’uddin bin Najmuddin bin As-Syekh Muhammad
Amin Al-Kurdi, Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PPP 1995-1999 M,
Ketua Majelis Syari’ah 2004-2019 M, Figur Utama dalam Majelis Ijtima’ Ulama
Nusantara kedua di Malaysia perwakilan Indonesia 2007 M, Ketua Koperasi
Perikanan Laut, Anggota Koramil, Anggota International Conference of Islamic
Scholars (ICIS) perwakilan Indonesia ke Uzbekistan.98
Setelah berkiprah di masyarakat, K.H. Maimoen Zubair mempunyai banyak
pengalaman, seperti dalam berorganisasi dan berpolitik, sehingga namanya
semakin dikenal banyak kalangan. Ia disegani para politikus. Banyak dari mereka
yang meminta fatwa, nasihat dan arahan. K.H. Maimoen Zubair adalah sosok kiai
yang religius-nasionalis. Jiwa keagamaannya dapat dilihat bagaimana ia mendidik
para santrinya yang berada di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang. Ia sangat
kokoh dalam memegang ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dan tradisi salafus
shaleh. Peninggalan ulama salafus shaleh yaitu mengaji dengan menggunakan
kitab-kitab terdahulu. Menjaga tradisi salafus shaleh dengan memahami agama
Islam lewat dunia kitab kuning atau kitab Arab sangat ditekankan oleh K.H.
Maimoen Zubair. Ia tidak suka jika ada santrinya yang memahami agama Islam
lewat kitab terjemahan. Ia juga berpesan kepada santrinya agar tidak menghina

98
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 104.
185

orang yang mempelajari Islam dengan kitab terjemahan. Biarkan mereka


menempuh jalannya sendiri.99
K.H. Maimoen Zubair mengajak santri-santrinya untuk mengamalkan
paham keislaman dan paham kebangsaan. Menurutnya, menjadi santri generasi
penerus salafus shaleh harus mampu meniru jejaknya dalam berdakwah dalam
upaya menyelaraskan Islam dalam kondisi seperti yang dilakukan di negara kita
ini dengan ilmu yang luas dan dalam. Santri seharusnya tampil pada kondisi ini,
sebab hanya santri yang benar-benar memahami ilmu agama secara mendalam.
Harus diketahui juga bahwa apa yang menjadi jejak Walisanga itu mencerminkan
bahwa membuat khilafah itu telah habis, karena sudah ada empat khilafah
terdahulu. Jadi, menurutnya, saat ini sudah tidak ada negara yang berasaskan
kekhilafahan (negara Islam), tetapi apa yang dikatakan negara Islam adalah negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia.100
K.H. Maimoen Zubair mengajak untuk menyelaraskan ide-ide keislaman
dalam konteks kebangsaan. Tanah air adalah pusat mempersatukan bangsa
sekaligus kebesaran Islam. Ulama-ulama terdahulu sangat menjunjung bangsa ini.
Sebelum NU berdiri, ulama lebih dahulu mendirikan Nahdlatul Wathan
(kebangkitan tanah air) dan Nahdlatut Tujjar (kebangkitan perdagangan).
Indonesia bukan negara Islam, tetapi disukai banyak non-muslim. Menurutnya,
“Seperti Rasulullah SAW, ia muslim tetapi kelahirannya disukai oleh
Abu Lahab. Rasulullah SAW adalah sosok yang mencintai Arab
sebagai negerinya, maka kita bangsa Indonesia juga wajib mencintai
negara kita dengan empat pilarnya, yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal
Eka, NKRI, dan UUD 1945. Kita harus menjunjung tinggi bangsa
Indonesia. Rasulullah SAW selalu menjunjung bangsa Arab, karena ia
berbangsa Arab, sehingga menjadi panutan bagi bangsa-bangsa
lainnya.”101

Ada beberapa contoh pemikiran K.H. Maimoen Zubair terkait gagasan


tentang hubungan Islam dan Negara yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari

99
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 129.
100
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Membuka Cakrawala Keilmuan, hlm. 159.
101
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Membuka Cakrawala Keilmuan, hlm. 151.
186

diantaranya; a) penentuan pandangan K.H. Maimoen Zubair dalam ilmu Fiqh


tidak hanya berorientasi kepada teks-teks yang ada di dalam kitab kuning, tetapi ia
lebih memikirkan solusi persoalan umat. Tipologi fiqh ini konsisten dengan fiqh
klasik sebagai rujukan, namaun mengembangkan pemahaman menjadi
konstektual progresif, yaitu pemahaman teksnya dengan menganalisis aspek
sosial, sejarah, dan kultur masyarakat dulu dan sekarang. Tipologi ini
menginginkan kitab kuning mampu menjadi problem sosial dengan mengambil
spirit progresifnya. Contoh K.H. Maimoen Zubair membolehkan menggunakan
jasa bank untuk keperluan daftar haji. Pandangan ini disampaikan ketika masih
ada polemik tentang perbankan konvensional yang dalam Muktamar NU
diputuskan ada 3 (tiga) pendapat, yaitu halal, haram, dan syubhat. Ketika
pemikiran ini disampaikan, masih banyak ulama yang mengharamkan bertransaksi
di perbankan, termasuk untuk kebutuhan berhaji, b) K.H. Maimoen Zubair dalam
menyikapi hubungan Islam dan Negara lebih memilih Taisar (mempermudah) dan
Tafsir (menafsirkan) dari pada Taksir (kira-kira) dan Tafkir (pemikiran). Maka
dengan pilihan itu banyak orang yang merasa terlindungi, c) berdakwah, K.H.
Maimoen Zubair lebih menitik beratkan kedamaian dari pada simbolis.
Menurutnya, ia lebih ingin ada Islamisasi dengan cara pelan-pelan tidak dengan
cara kegaduhan. Seperti sejarah masuknya Islam ke Nusantara, d) K.H. Maimoen
Zubair baik kepada siapapun. Baik itu orang yang baik ataupun orang yang buruk.
Ia melakukan itu berdasarkan pada Kitab Ihya’ Ulumuddin. Karena ketika kita
hidup di Indonesia hubungan antara Islam dan Negara harus berjalan selaras,
dengan menghargai adat yang berlaku, e) K.H. Maimoen Zubair keislaman dan
kebangsaan tidak boleh dipertentangkan, karena saat ini banyak sekali yang
mempertentangkan dan membuat pilihan lebih bagus mana Negara Islam atau
Negara Pancasila. K.H. Maimoen Zubair selalu memposisikan di tengah-tengah
umat. Sehingga walaupun ia seorang politikus, tapi jiwa kiai lebih dominan.
Semua itu membuat para politikus memposisikan K.H. Maimoen Zubair bukan
sebagai musuh politik, tapi sebagai seorang kiai, f) Pendapat K.H. Maimoen
Zubair tentang Islam Nusantara sesuatu yang sama tapi berbeda, bisa juga sesuatu
yang berbeda tapi sama. Maksud dari sama tapi berbeda adalah secara dasar
187

memang sama, tapi cabang-cabangnya yang berbeda. Sedangkan maksud dari


berbeda tapi sama adalah sama dalam inti ajaran agama Islam tapi berbeda dalam
cabangnya.102

3. Gagasan Mengakhiri Konflik dan Perselisihan


Berkaitan dengan konflik dan perselisihan, baginya hal itu adalah bawaan
manusia. Menurutnya, jika hanya Islam, maka ia tidak akan mampu
mempersatukan perbedaan di Indonesia. Baginya, dalam pelajaran agama itu
berbeda-beda, tetapi ada titik kesamaannya, yaitu semua agama menunjukkan
kebaikan sebab punya lima titik persamaan. Pertama, menjaga jiwa. Ini menjadi
pokok segala apapun. Semua agama melarang menzalimi orang lain, apalagi
membunuh. Kedua, akal. Semua agama menjunjung tinggi akal, sebab manusia
dimuliakan Allah karena mempunyai akal. Ketiga, keturunan. Pernikahan itu
bukan dalam Islam saja. Semua penganut agama menikah dengan ajaran
agamanya masing-masing, sehingga anaknya menjadi keturunan yang sah.
Keempat, manusia harus menjaga bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang
paling dimuliakan-Nya. Kelima, menjaga hak. Semua agama tidak melegalkan
merebut hak orang lain, sekalipun berbeda agama. Oleh karena itu, baginya
perbedaan jangan dibesar-besarkan, agar masyarakat bisa hidup rukun. Semua
persepsi dan polemik harus diredam dan harus pintar menyelaraskan.103
Konflik dan perselisihan tidak hanya terjadi pada kalangan umat berbeda
agama saja, tapi terjadi juga pada sesama umat. Contohnya ketika internal PPP
mengalami konflik. Pertama, Pada 2013 M, banyak ulama yang kembali
bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan. Dengan kembalinya para
ulama tentu membuat partai berlambang ka’bah ini memiliki target yang banyak
dalam pemilu legislatif yang diselenggarakan pada 9 April 2014 M. Akan tetapi,
yang terjadi dilapangan tidak sesuai dengan yang ditargetkan PPP, partai ini

102
Sarang, pPpalanwar Sarang,. “Gus Anam: 7 Haliyyah Syaikhina Maimoen
yang harus diketahui santri”, (Youtube, November 17, 2019.
https://www.youtube.com/watch?v=UyNrVuoS2M8, diakses pada …. (Sarang
3:35).
103
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Membuka Cakrawala Keilmuan, hlm. 152.
188

mendapat suara yang lebih sedikit dari yang ditargetkan. Dari sinilah terjadi
konflik dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan. Diketahui bahwa
menurunnya target suara PPP dikarenakan Suryadharma Ali yang pada saat itu
merupakan ketua umum PPP datang dalam kampanye akbar partai Gerindra di
Gelora Bung Karno, Senayan pada 23 Maret 2014 M. Menurut Kubu, kehadiran
Suryadharma Ali dalam Kampanye untuk mendukung Prabowo sebagai calon
presiden merupakan keputusannya sendiri, dan bukan merupakan keputusan
partai.104 Adanya kejadian tersebut pula, kubu PPP terbagi menjadi dua yaitu kubu
Suryadharma Ali (SDA) dan kubu Mohammad Romahurmuzy (Romy). Akibat
muncul dua kubu yang saling berbeda pendapat tersebut, PPP sering mendapat
sorotan dari media apalagi dua kubu tersebut saling menjatuhkan vonis
pemecatan. Kedaan tersebut mendorong sesepuh PPP, yaitu KH. Maiomen Zubair
untuk mengatasi konflik internal partai. Berdasarkan pertimbangan para sesepuh
lainnya, K.H. Maimoen Zubair mengeluarkan islah (damai) kepada kedua belah
pihak, yaitu pihak kubu Suryadhrama Ali dan pihak kubu Mohammad
Romahurmuzy.105
Fatwa K.H. Maiomen Zubair dibuka dengan Al-Qur’an Surat Al-Hujurat
ayat 9: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. (Q.S Al-Hujurat: 9). Kemudian dilanjutkan ayat
10: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara karena itu makanlah
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat”. (Q.S Al-Hujurat: 10).106

Feri Arawan, Konflik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Tahun 2014-


104

2016, JOM FISIP, Vol. 5 No. 1, – April 2018, hlm. 7.


105
Partai Persatuan Pembangunan memulai perjalanan yang panjang. Namun
partai ini kesulitan dalam menemukan figure yang dapat menyatukan anasir
politik Islam . Hal tersebut dikarenakan kuatnya intervensi penguasa yang dapat
merusak kesolidan anggota PPP melalui figur pemimpinnya. (Nainggolan dan
Bestian Yohan Wahyu Penelitian dan Pengembangan Kompas, Kompas Pedia
Partai Politik Indonesia 1999- 2019: Konsentrasi dan Dekosentrasi Kuasa),
(Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2016), hlm. 193).
106
Terjamah Q.S. al-Hujurat [49] : 9-10.
189

Pada fatwanya, K.H. Maimoen Zubair memberikan tanggapan terhadap


keadaan yang memprihatinkan yang terjadi dalam tubuh PPP. Keadaan terebut
dianggap oleh ketua Majelis Syari’ah DPP PPP tidak sesuai dengan asas partai
Islam. Ia juga memberikan arahan agar semua kembali pada kebenaran untuk
dijadikan sebagai pedoman partai, sehingga para fungsionaris dapat memberikan
citra positif terhadap partai. Ia juga menjelaskan bahwa PPP memiliki dasar
perjuangan atas perintah amar ma’ruf dan nahi munkar, Sehingga sebelum
menjalankan tugas dalam partai yang beramar ma’ruf nahi munkar, maka hal
tersebut sudah sepatutnya dilakukan oleh diri sendiri.107
Terkait pokok-pokok telah disebutkan tersebut, K.H. Maimoen zubair
mengeluarkan beberapa fatwa yang isinya adalah mendamaikan kedua kubu yang
sedang berselisih terutama ketua umum DPP, Suryadharma Ali dan Sekjen DPP
yaitu Mohammad Romahurmuzy. Adanya damai maka tidak ada pemecatan,
pemberhentian atau bahkan pergantian kepengurusan diantara kubu yang bertikai.
Fatwa K.H. Maimoen Zubair juga berisikan mengenai pemilihan presiden 2014
M, dalam hal tersebut PPP belum menyatakan keberpihakannya dengan partai
politik manapun. Untuk menentukan koalisi harus melalui prosedur Rapat
Pimpinan Nasional (Rapimnas). Ia juga menegaskan seluruh anggota harus
mensyukuri hasil pemilu legislatif 2014 M. Seluruh jajaran politik harus
bekerjasama, tidak diperbolehkan untuk berjalan sendiri-sendiri. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai partai politik, maka langkah-langkah strategis yang
akan dilakukan terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan majelis syari’ah, majelis
pertimbangan maupun majelis pakar. Pertikaian antara internal ini menjadikan
K.H. Maimoen Zubair dan kiai-kia lain prihatin, sehingga diharapkan agar
langkah-langkah damai seperti yang telah disebutkan segera dilaksanakan.

Inti dari dakwah Nabi adalah amar ma’ruf nahi munkar yang memuat
107

nasihat dan bimbingan. Ucapan yang disampain tertuju untuk masyarakat luas
baik itu yang memiliki kekuasaan maupun masyarakat biasa. “Amar” yang
merupakan ajakan sekaligus menjadi tanggungjawab maka disampaikan dengan
ikhlas dan penuh dengan sikap jujur dan penguasa menerima ajakan dengan
lapang dada tanpa adanya paksaan. (Ibnu Taimiyah, Etika Beramar Ma’ruf Nahi
Munkar, diterjemahkan oleh Abu Fahmi, cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press,
1990), hlm. 7-8).
190

Adanya fatwa yang diberikan oleh K.H. Maimoen Zubair maka kedua kubu yaitu
kubu Suryadharma Ali dan kubu Mohammad Romahurmuzy akhirnya
menjalankan perdamaian sebagaimana fatwa yang dikemukakan Ketua Majelis
Syari’ah DPP PPP. Setelah peristiwa tersebut dan kubu berhasil damai, PPP
mendapatkan gejolak lagi. Gejolak tersebut tidak lain adalah antara kubu
Suryadharma Ali dan Mohammad Romahurmuzy menjalankan muktamar masing-
masing untuk menentukan Calon Ketua Umum PPP. Kubu Suryadharma Ali
memilih Djan Faridz sebagai ketua umumnya, kemudian pada kubu Mohammad
Romahurmuzy memilih Romahurmuzy sendiri yang dicalonkan sebagai ketua
umum. Melihat keadaan partai yang seperti itu tentu membuat K.H. Maimoen
Zubair sedih, namun pada akhirnya yang menjadi pemimpin adalah Mohammad
Romahurmuzy karena dalam satu partai tidak diperkenankan memiliki dua
pemimpin. Kekecewaan K.H. Maomoen Zubair berlangsung karena ia terjerat
kasus suap, Romahurmuzy mendapat OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum Romahurmuzy
ditangkap oleh KPK, Suryadharma Ali juga terjerat kasus penyalahgunaan jabatan
ketika ia menjadi Menteri Agama RI. Sehingga untuk menggantikan
Romahurmuzy, K.H. Maimoen Zubair menunjuk Soeharso Monoarfa sebagai
ketua umum. Keputusan tersebut diterima oleh anggota dari PPP.108
M. Bakir (Wartawan senior) dalam acara Kompas TV, 8 agustus Agustus
2019 M dengan tema ‘Mengenang Mbah Moen”, ia juga mengungkapkan bahwa
K.H. Maimoen Zubair merupakan juru damai (dalam politik)., pada Pada kongres
Mu’tamar NU di Jombang K.H. Maimoen Zubair yang memutuskan siapa yang
menjadi ketua umum.109

108
Sesuai dengan ketetapan Muktamar VIII PPP 2006, pada keterangan pasal
12 huruf e, secara nyata Suryadharma Ali melakukan pelanggaran terhadap
AD/ART partai persatuan pembangunan (PPP). sebagaimana dijelaskan dalam
pasal 13 ayat 5 bahwa setiap anggota sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 12
huruf e yang telah dinyatakan melakukan kesalahan dan telah mendapatkan
keputusan pengadilan in-kracht mendapat hukuman diberhentikan sebagai anggota
tetap dalam. LihatDalam AD/ART PPP, Ketetapan Muktamar VIII PPP 2006
pasal 12 dan 13.
191

Kedua, kebijakan yang dilakukan oleh K.H. Maimoen Zubair ketika muslim
Indonesia mengalami perbedaan pendapat dalam mementukan bulan Ramadhan
dan awal bulan Syawal sebagai penentu Hari Raya Idul Fitri. Sebagaimana tertulis
dalam kitab karangannya, Nushuh al-Akhyar. Ketika itu pada 1418 H/1997 M,
muslim di Indonesia mengalami perbedaan dalam menentukan awal bulan
Ramadhan dan awal bulan Syawal sebagai penentu Hari Raya Idul Fitri. Umat
Islam yang menggunakan metode hisab dalam menentukan Ramadhan dan bulan
syawal mengatakan bahwa hari raya jatuh pada hari Senin, sedangkan yang
menggunakan metode Rukyatul Hilal mengatakan bahwa hari raya jatuh pada hari
Selasa. Pebedaan tersebut tentu membuat Islam Indonesia tidak terjalin hubungan
yang kompak. Melihat keadaan tersebut, K.H. Maimoen Zubair memberikan
tanggapan dengan mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits
agar tidak terjadi perbedaan pendapat. Hal tersebut tentu dengan mengajak umat
Islam untuk mentaati peraturan pemerintah, yang dalam hal ini merupakan
Kementrian Agama sebagai penangungjawab atas kasus yang terjadi dalam agama
Islam. Mentaati pemerintah merupakan ajaran Nabi SAW, kecuali dalam hal yang
mengandung maksiat, dengan demikian dapat bersatu dalam menjalankan ibadah.
Pada saat itu, metode yang digunakan oleh pemerintah dalam menentukan awal
bulan Ramadhan dan bulan Syawal adalah metode Rukyatul Hilal. Dan metode
tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh syari’at Islam.110
Kitab yang ditulis oleh K.H. Maimoen Zubair tersebut juga terdapat pesan
dari kakeknya, Kiai Ahmad bin Syu’aib yaitu, “Berpuasa dan berhari rayalah
kamu sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Hakim (Pemerintah) selagi
keputusannya sesuai dengan syari’at Islam. Jika keputusannya tidak sesuai
dengan Syari’at maka berpusa dan berhari rayalah (sesuai dengan Syari’at)
dengan cara sembunyi-sembunyi”. Dari paparan tersebut dalam mengambil
kebijakan menentukan Hari Raya, K.H. Maimoen Zubair mengikuti pemerintah

109
KompasTV, “Mengenang Mbah Moen-ROSI”, Youtube, April 3, 2020.
https://youtu.be/vi-22ozjA1w (KopmpasTV 03:14).

Maimoen Zubair, Nushusu al-Akhyar (Sarang: LTN Pondok Pesantren al-


110

Anwar Sarang, Tanpa Tahun), hlm. 3-8.


192

sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah, dan semua kembali pada Al-Qur’an
dan Al-Hadits.111
Maka dari itu, K.H. Maimoen Zubair mengajarkan kepada santri-santrinya
agar tatkala membaca Al-Qur’an itu diangan-angan maknanya. Tidak usah
banyak-banyak yang penting memahami maknanya. Harap memperhatikan
struktur kalimatnya, jangan berhenti hanya dengan bertendensikan kepada waqaf
yang ada, akan tetapi berhentilah sesuai struktrur jumlah (struktur kalimatnya)
sehingga maknanya akan lebih mengena.112
Terkait gagasan dan pemikiran K.H. Maimoen Zubair yang sudah dijelaskan
di atas, menunjukkan bahwa K.H. Maimoen Zubair adalah sosok yang
multidimensi. Di samping ahli fiqh, ia juga aktivis sosial, pemikir Islam, dan da’i
profesional. Terbukti bahwa ia banyak melahirkan ide-ide kebangsaan yang patut
menjadi acuan pokok bagi generasi sekarang.

E. Karya-Karya K.H. Maimoen Zubair


K.H. Maimoen Zubair merupakan salah satu ulama yang produktif dalam
menghasilkan karya tulis. Di tengah kesibukannya mengajar, berdakwah,
berpolitik dan besosial masyarakat, K.H. Maimoen Zubair masih menyempatkan
diri untuk menulis. Ia sangat peduli dengan dakwah literasi (tulis-menulis). Pada
sebuah kesempatan ia pernah mengatakan tentang keinginannya agar santri-
santrinya ada yang bergelut dalam dunia tulis-menulis, karena sebagai orang yang
berilmu tidak cukup hanya pandai berorasi tetapi juga harus memiliki karya ilmiah
yang bisa dikaji dan dipertanggungjawabkan secara akademis supaya dakwah al-
Islamaiyah ala pesantren dapat tersebar ke berbagai kalangan. Karena tanpa
sebuah tulisan, maka keilmuan sulit untuk disalurkan.113

1. Tsunami fi Biladina Indonesia Ahuwa ‘Adzabun am Mushibatun

111
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 142-143.
112
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 134.
113
Ulum, K.H Maimoen Zubair: Membuka Cakrawala Keilmuan, hlm. 22.
193

Kitab yang berjumlah 26 halaman ini dikarang oleh K.H. Maimoen Zubair pasca-
terjadinya bencana besar yang melanda Kota Aceh. Ia sempat berkunjung ke sana
pasca-gempa untuk melihat situasi yang terjadi. Dari adanya bencana yang ada di
Aceh ini, terbisik hatinya untuk menulis sebuah buku yang berkaitan dengan
Tsunami. Apakah bencana ini merupakan musibah atau sebuah azab? Itulah kajian
yang ada di kitab tersebut. Fenomena tsunami yang melanda bangsa Indonesia
terlebih yang ada di Aceh menimbulkan perbedaan pendapat. Apakah itu sebuah
azab atau musibah? kedua masalah tersebut sudah dijawab oleh K.H. Maimoen
Zubair di dalam kitab yang kecil ini dengan memakai landasan Al-Qur’an dan Al-
Hadist serta pandangan-pandangan ulama. Dirujuk juga dari peristiwa yang penah
terjadi sebelumnya, seperti yang terjadi pada kaum ‘Ad.114

2. Nushush al-Akhyar
Kitab Nushush al-Akhyar atau Risalah Mauqufina Haula al-Shaumi wal Ifthar ini
dikarang oleh K.H. Maimoen Zubair untuk menanggapi kemelut perbedaan yang
terjadi ketika menentukan awal bulan Ramadhan dan penentuan awal bulan
Syawal untuk menjalankan Hari Raya Idul Fitri yang terjadi pada 1418 H/1997 M.
Sebagaimana banyak diketahui, Indonesia meupakan salah satu Negara yang
penduduknya mayoritas memeluk agama Islam. Masyarakat Muslim Indoneisa
sendiri terdiri dari berbagai masyarakat. Kitab ini merupakan jawaban dari
perbedaan pendapat penentuan Ramadhan dan Syawal. Pada saat itu terjadi
perbedaan pendapat penentuan antara umat Islam Indonesia untuk menentukan
dua wkatu tersebut. Perbedaan pendapat tesebut antara lain umat Islam yang
menggunakan metode hisab berpendapat bahwa hari rayanya akan jatuh pada hari
Senin. Sementara umat Islam yang menggunakan metode Rukyatul Hilal, hari
rayanya akan jatuh pada hari Selasa. Perbedaan pendapat ini, umat Islam di
Indonesia menjadi tidak kompak dalam menjalankan ritualnya.
Dalam menanggapi kemelut yang terjadi, di kitab ini K.H. Maimoen Zubair
mengajak umat Islam yang ada di Indonesia untuk kembali kepada Al-Qur’an dan
Maimoen Zubair, Tatsunami Fii Biladina Indunisia Ahuwa ‘Adzabun am
114

Mushibatun? (Sarang: LTN Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Tanpa


Tahunt.t.t.).
194

Hadist supaya tidak terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan
Ramadhan dan Syawal. Ia mengajak umat Islam untuk menaati pemerintah, dalam
hal ini Kementerian Agama yang diberi wewenang untuk menangani kasus agama
Islam. Menaati pemerintah ini sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW selagi
tidak dalam perkara kemaksiatan, sehingga akhirnya umat Islam akan bersatu
dalam menjalankan ibadah mereka. Adapun metode yang digunakan pemerintah
untuk menentukan awal Bulan Ramadhan dan satu Syawal adalah dengan
menggunakan Rukyatul Hilal. Metode ini dinilai sangat sesuai dengan apa yang
telah diajarkan oleh syariat Islam.115

3. Al-‘Ulama al-Mujaddidun
Kitab ini memiliki arti ulama-ulama pembaharu. Kitab ini dikarang K.H.
Maimoen Zubair dan selesai pada 25 Februari 2007 M/7 Shafar 1428 H. Kitab ini
membahas masalah tajdid (pembaharuan dalam Islam) mulai dari zaman sahabat
hingga sekarang. Tajdid, menurut K.H. Maimoen Zubair adalah menghidupkan
amalan-amalan yang terhapus dengan menggunakan rujukan kitab suci Al-Qur’an
dan Hadis serta beramal sesuai dengan apa yang telah diperintahkan keduanya
(Al-Qur’an dan Hadis), meninggalkan amalan-amalan yang mengandung unsur
bid’ah, atau meninggalkan amalan hanya sekedar omongan belaka (tidak
berdasarkan dalil) dan kembali kepada apa yang telah diamalkan para ulama
salafus shaleh dengan disertai menjaga apa yang dikembangkan oleh ulama pada
zamannya. Pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama menghadapi
perkembangan zaman agar tetap sesuai dengan syariat Islam. Hal tersebut sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat
ini orang yang akan melakukan pembaharuan dalam urusan agama setiap seratus
tahun terakhir”. Dalam kitab ini, K.H. Maimoen Zubair sangat mengecam jikalau
ada orang di zaman sekarang yang mengaku menjadi mujtahid mutlak, padahal

Maimoen Zubai, Nushusu al-Akhyar (Sarang: LTN Pondok Pesanten Al-


115

Anwar Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).


195

syarat-syarat untuk menjadi mujtahid mutlak tidak dimilikinya. Ketika memahami


bahasa Arab saja, terkadang si pelaku masih sempoyongan. Apalagi kalau mereka
sampai bisa menuju ranah istinbat untuk menggali hukum-hukum secara langsung
dari nash Al-Qur’an dan Hadist, yang mana keduanya ini memakai bahasa Arab
yang sastranya tinggi bila dibandingkan dengan bahasa Arab biasa. Jelas,
pengakuan mereka jauh dari kebenaran. Istinbat mereka tidak akan sama dengan
apa yang terjadi di zaman salafus shaleh yang menjadi mujtahid dengan disertai
syarat-syarat yang harus dipenuhi. Memang benar pintu ijtihad tidak tertutup.
Pintu ijtihad terbuka lebar sepanjang waktu bagi yang mampu menjalaninya.
Namun, dalam masalah mujtahid ini, tidak sembarangan orang yang dapat
menduduki posisi tersebut. Banyak ulama yang alim dalam kajian agama Islam,
namun mereka masih mengikuti pendapat kepada para ulama yang ahli ijtihad di
zaman salafus shaleh. Namun anehnya ada orang yang baru memahami segelintir
agama, mereka sudah mengaku bisa berijtihad.
K.H. Maimoen Zubair memberikan penjelasan mengenai maksud dari ulama
pembaru yaitu; a. memberikan penjelasan mengenai hal yang sunnah dan
memisahkan hal tersebut dengan yang bid’ah. b. memperbanyak ilmu dengan
mengajar dan belajar. c. memberikan pertolongan kepada umat. d. dengan berani
menentang ahli bid’ah. K.H. Maimoen Zubair juga memberikan pesan kepada
generasi yang lahir di era seperti sekarang ini menggunakan teladan ulama dalam
beperilaku dan berpendapat.116

4. Maslaku al-Tanassuk
Kitab Maslaku al-Tanassuk al-Makki Watakmilihi merupakan 2 kitab karya K.H.
Maimoen Zubair yang dijadikan satu, yaitu Maslaku al-Tanassuk al-Makki fil
Ittishalati Bisayyid Muhammad bin Alawi dan Takmilatu al-Maslaku al-Tanassuk
al-Makki. Kitab yang pertama membahas tentang transmisi silsilah dzikir
“lailaahaillah” dari K.H. Maimoen Zubair hingga sampai Rasulullah SAW yang

Maimoen Zubair, Al-‘Ulama al-Mujaddidun (Sarang: LTN Pondok


116

Pesantren Al-Anwar Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).


196

ia dapatkan dari Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki lewat jalur sahabat Ali
bin Abi Thalib. K.H. Maimoen Zubair mendapat talqin dzikir ini sebanyak dua
kali, yaitu pada 2000 M/1421 H dan 2001 M/1422 H.
Selain menerangkan tentang sanad dzikir, kitab ini juga menerangkan
sesuatu yang berkaitan dengan dzikir, baik itu masalah macam-macam bacaan
dzikir atau tingkatan dzikir. Dalam tingkatan dzikir, K.H. Maimoen Zubair
membaginya menjadi tiga tingkatan yaitu dzikir yang menggunakan hati, dzikir
dengan lisan dan dzikir dengan memakai keduanya. Kitab yang kedua yakni yang
Takmilatu al-Maslaku al-Tanassuk al-Makki menerangkan tentang sanad tarekat
al-Idrisiyyah. K.H. Maimoen Zubair memperoleh sanad tarekat al-Idrisiyyah dari
Sayyid Muhammad Alawi al-Makki. Adapun Sayyid Muhammad Alawi
memperoleh sanad ini dari beberapa ulama yang tersohor dengan kealimannya.
Seperti Sayyid Alawi al-Maliki, Syaikh Muhammad bin Abdullah al-‘Arabi,
Syaikh Hasan Yamani dan Syaikh Diyaudin al-Qadiri. Semua ulama-ulama ini,
sanad tarekatnya bersambung dengan Syaikh Ahmad bin Idris, pendiri tarekat
Idrisiyyah. Dalam kitab yang kedua, K.H. Maimoen Zubair menambahkan
beberapa doa dan shalawat. Salah satu shalawat yang dimasukkan adalah shalawat
Muhammadiyah karya Imam al-Bushiri. Namun, di shalawat ini K.H. Maimoen
Zubair menambahkan beberapa syair hasil karyanya sebanyak 14 bait, sehingga
jumlah keseluruhan dari syair ini berjumlah 28 bait. Cara membedakan mana
karya Imam al-Bushiri dengan karya K.H. Maimoen Zubair, hal ini bisa diketahui
oleh seorang yang alim dalam ilmu Balaghah. Syair ini diurutkan sesuai dengan
huruf Hijaiyah yang berjumlah 28, dan syair ini dikarang oleh K.H. Maimoen
Zubair ketika ia berziarah di makam Syaikh Imam al-Bushiri.117

5. Tarajim
Kitab ini menjelaskan tentang biografi beberpa ulama terkenal di Pulau Jawa,
terutama yang berada diseputar Sarang dan sekitarnya, seperti Kiai Ghozali bin
Lanah, Kiai Umar bin Harun Sarang, Kiai Syu’aib bin Abdurrazaq, Kiai

Maimoen Zubair, Maslaku al-Tanassuk (Sarang: LTN Pondok Pesantren


117

Al-Anwar Sarang, Tanpa Tahunt.t.t.).


197

Fathurrahman bin Ghozali, Kiai Ahmad bin Syu’aib, Kiai Muntaha Sarang, Kiai
Abdullah bin Abdurrahman, Kiai Dahlan, Kiai Imam Kholil, Kiai Zubair, Kiai
Ma’shum dari Lasem, dan Kiai Baidlowi bin Abdul Aziz dari Lasem. Kitab ini
dilengkapi dengan Kitab Hayat al-Mutarajjim yang ditulis oleh K.H. Muhammad
Najih yang tidak lain adalah putra K.H. Maimoen Zubair. Jadi kitab Tarajim ini
terdiri dari dua kitab.
Pertama, menerangkan tentang biografi singkat ulama-ulama Sarang dan
sekitarnya yang ditulis oleh K.H. Maimoen Zubair, dan fase-fase perkembangan
Pesantren Sarang hingga terbagi menjadi beberapa pesantren seperti MIS, MUS,
dan Al-Anwar dan yang lainnya. Kedua, Hayat al-Mutarajjim yang ditulis oleh
K.H. Muhammad Najih Maimoen. Kitab Hayat al-Mutarajjim ini menerangkan
tentang biografi K.H. Maimoen Zubair mulai lahir hingga ia menjadi seorang
ulama besar yang mempunyai banyak pengaruh.118

6. Al-Fuyadatul Ashhab al-Rabbaniyyah


Kitab ini berisi tentang Tarekat Naqsyabandiyah.119

7. Taqrirat Badi Amali


Kitab ini membahas masalah Ilmu teologi (tauhid). Teks inti dari kitab ini berupa
sajak (syair nadzam) yang ditulis oleh Sirajuddin Abu Al-Hasan Ali bin Utsman
Al- Ausyi Al-Farghani Al-Hanafi. Posisi K.H. Maimoen Zubair di sini adalah
mengulas nadzam tersebut menurut akidah Syekh Abu Manshur al-Ma’thuridi,
pendiri Mazhab al-Maturidiyah. Kitab ini diterbitkan dengan tebal kurang lebih 43
halaman.120

Maimoen Zubair, Tarajim (Sarang: LTN Pondok Pesantren Al-Anwar


118

Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).

Maimoen Zubair, Al-Fuyadatul Ashhab al-Rabbaniyyah (Sarang: LTN


119

Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).


120
Maimoen Zubair, Taqrirat Badi Amali (Sarang: LTN Pondok Pesantren
Al-Anwar Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).
198

8. Taqrirat Mandzumah Jauharat al-Tauhid


Kitab ini berisi juga mengupas masalah ilmu teologi (tauhid). K.H. Maimoen
Zubair juga sebagai pengulas teks inti kitab yang berupa nadzam yang merupakan
karangan menurut akidah Syekh Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri Mazhab
Asya’irah. Kitab ini mengulas tentang sifat-sifat wajib Allah, sifat muhal Allah
dan sifat Jaiz Allah. Kitab ini diterbitkan dengan tebal kurang lebih 66 halaman.121

9. Taujihat al-Muslimin fi al-Wihdati wa al-Ittihad wa al-Indhimam fi Hizbi al-


Ittihad wa al-Takmir
Kitab ini berisi masalah politik, khususnya Partai Persatuan Pembangunan.122

10. Risalatun Shaghiratun wa Dha’tuha Lima’hadi al-Dini bi Saranji


Kitab ini berisi tentang perjalanan Pesantren Sarang, mulai dari leluhurnya, Nyai
Syamsyiyah dan Kiai Muhdlor hingga Pesantren Sarang menjadi beberapa
pesantren).123

11. Manaqib Shahibu al-Hauli al-‘Adhim fi Qaryati Sidan


Kitab ini berisi tentang sejarah hidup Sayyid Hamzah Syatha).124

12. Jauhara at-Tauhid


Kitab ini merupakan kitab syarah tauhid yang ditulis oleh K.H. Maimoen Zubair.
Penulisan kitab ini merujuk pada nadham jauhara at-tauhid yang ditulis oleh

Maimoen Zubair, Taqrirat Mandzumah Jauharat al-Tauhid (Sarang: LTN


121

Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).


122
Maimoen Zubair, Taujihat al-Muslimin fi al-Wihdati wa al-Ittihad wa al-
Indhimam fi Hizbi al-Ittihad wa al-Takmir (Sarang: LTN Pondok Pesantren Al-
Anwar Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).
123
Maimoen Zubair, Risalatun Shaghiratun wa Dha’tuha Lima’hadi al-Dini
bi Saranji (Sarang: LTN Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Tanpa Tahunt.t.t.).
124
Maimoen Zubair, Manaqib Shahibu al-Hauli al-‘Adhim fi Qaryati Sidan
(Sarang: LTN Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Tanpa Tahunt.t.t.).
199

Syekh Ibrahim bin Hasan al-Laqani. Biasanya kitab ini dipelajari oleh santri kelas
1 Tsanawiyyah (setara dengan tingkatan SMP) di MGS.125

13. Taujihat al-Muslimin


Kitab ini merupakan kitab yang ditulis K.H. Maimoen Zubair yang
menggambarkan sikapnya yang nasionalis dan cinta Negara.126

14. Munaqib
Kitab ini ditulis K.H. Maimoen Zubair berisi tentang biografi Sayyid Hamzah
Syato Sedan.127

F. Pendirian Pondok Pesantren Al-Anwar: Upaya Menginstitusionalisasi


Pemikiran
Pondok Pesantren Al-Anwar merupakan pondok murni rintisan K.H. Maimoen
Zubair bukan merupakan pondok peninggalan dari orang tua. Ketika K.H.
Maimoen Zubair sudah berumah tangga dengan Nyai Fahimah Baidlowi, ia
menempati rumah yang dibangunkan oleh Kiai Zubair Dahlan pada 1953 M. Pada
waktu itu, pembangunannya masih menggunakan semen merah. Sejak awal
berdirinya rumah K.H. Maimoen Zubair ini tidak ada pondok pesantren yang
menyertainya. Rumah K.H. Maimoen Zubair ini letaknya tidak jauh dengan
kediaman Kiai Zubair Dahlan yang ada di komplek Pesantren Ma’had al-Ulum
As-Syari’iyyah (MUS), sedangkan rumah K.H. Maimoen Zubair ini terletak di

Maimoen Zubair, Jauhara at-Tauhid (Sarang: LTN Pondok Pesantren Al-


125

Anwar Sarang, Tanpa Tahunt.t.t.).

Maimoen Zubair, Taujihat al-Muslimin (Sarang: LTN Pondok Pesantren


126

Al-Anwar Sarang, Tanpa Tahunt.t.t.).


127
Maimoen Zubair, Munaqib (Sarang: LTN Pondok Pesantren Al-Anwar
Sarang, t.t.t.Tanpa Tahun).
200

utara Jalan Pantura, tepatnya di utara sepanjang jalan Daendels. Letaknya dekat
dengan pesisir pantai Sarang kurang lebih 50 meter.128
Dalam salah satu ceramahnya, K.H. Maimoen Zubair bercerita saat pertama
akan mendirikan pondok pesantren ia sebenarnya terpaksa, karena nantinya ia
akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT di akhirat. Hal itu terjadi
sebab saat itu Gus Imam (putra Kiai Makhrus Lirboyo) kabur, dan Mbah Makhrus
sudah mencari di mana-mana tidak menemukan Gus Imam, ternyata Gus Imam
kabur ke rumah Maimoen di Sarang. Selanjutnya, Maimoen menyuruhnya untuk
pergi ke pondok saja, dengan pilihan Pondok Pesantren MIS atau Pondok
Pesantren MUS. Gus Imam menolak tawaran dari Maimoen tersebut, dia masih
memilih untuk tetap tinggal di rumah Maimoen. Selang beberapa lama, ketika
Kiai Zubair Dahlan meninggal, Maimoen terpaksa harus masuk ke pondok.
Alasan sebenarnya yang mendasari Maimoen mendirikan pondok pesantren yaitu
ayahnya, Kiai Zubair. Kiai Zubair merupakan pengajar di Pesantren Sarang,
sehingga banyak yang menganggapnya sebagai kiai, tetapi ia seorang kiai Sarang
yang tidak memiliki pesantren. Setelah ayahnya meninggal, ia harus menetap di
rumah.129

Ketika K.H. Maimoen Zubair sudah mempunyai rumah sendiri, Kiai Zubair
Dahlan menyuruhnya untuk membuat mushalla sebagai sarana untuk berdakwah
dan mengembangkan Islam. Pembangunan mushalla ini mendapatkan bantuan
dari Kiai Ahmad bin Syu’aib. Mushalla inilah yang menjadi cikal bakal dari
lahirnya Pondok Pesantren Al-Anwar. Setelah mushalla berdiri pada 1964 M/1386
H, banyak santri yang mengaji kepadanya. Ada juga yang ingin menetap di
mushalla ini. Karena dahulu mushalla itu hanya satu ruangan, maka ruangan itu
akhirnya di sekat menjadi dua. Hal ini terjadi pada 1967 M/1388 H. Satu ruangan
untuk tempat tinggal santri yang ingin bermukim dan yang satu lagi untuk
beribadah sekaligus menjadi tempat K.H. Maimoen Zubair untuk mengajar santri-

128
Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 84.
129
Sahal Kinan, “Nostalgia Mbah Maimoen waktu mondok. Haul Lirboyo”,
Youtube, (Oktober 11, 2018. https://www.youtube.com/watch?v=-vKwLur56bM,
diakses pada …. (Kinan 19:03).
201

santrinya. Santri-santri K.H. Maimoen Zubair waktu itu menamakan mushalla


yang ditempatinya dengan nama Pohama yang merupakan kependekan dari
“Pondok Haji
Maimoen”. Nama ini
akhirnya diganti oleh
K.H. Maimoen
Zubair dengan
nama Al-Anwar
untuk mengenang
nama ayahnya.
Sebab, Kiai Zubair sebelum berangkat haji namanya adalah Kiai Anwar.130
Santri yang pertama kali belajar di Pohama adalah Hamid Baidlowi dari
Lasem, Rembang, Ashari (Yek Pongge), Hasib, dan Imam Yahya Mahrus Aly
dari Lirboyo, Kediri. Keempat santri ini ketika menjadi santri K.H. Maimoen
Zubair sering membantu pekerjaan ndalem (urusan kebutuhan rumah kiai).
Mereka membagi tugasnya masing-masing. Hamid Baidlowi bagian mengurusi
urusan tamu; Hasib mendapat tugas untuk pergi ke pasar guna belanja kebutuhan
dapur ndalem; Ashari mendapat tugas untuk memasak; sedangkan Imam Yahya
sering memijat K.H. Maimoen Zubair ketika ia lelah usai berdakwah. Berasal dari
keempat santri ini, lambat laun santri K.H. Maimoen Zubair semakin
bertambah.131

130
Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 85

Sumber K.H. Aziz Sarang (Mbah Madarum) dikutip dari Ulum, K.H.
131

Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 86.


202

Gambar 3.66 Pengajian K.H. Maimoen Zubair, publikasi 4 Maret 2014


(Sumber: https://www.facebook.com/muhadloroh-alanwarsarang/2014/3/4)

Semakin banyaknya santri-santri yang ingin belajar kepada K.H. Maimoen


Zubair, maka pada 1971 M, mushalla direnovasi dengan membuat bangunan di
atasnya yakni Khos Darussalam (DS) dan sebuah kantor yang terletak di sebelah
timur ndalem K.H. Maimoen Zubair. Setelah dua tahun, jumlah santri lebih dari
175 orang. Akhirnya, pada 1973 M, Kiai Maimoen membeli sebidang tanah di
sebelah timur pondok yang kemudian dibangun Khos Darunna’im (DN). Setelah
itu, pada 1975 M dibangun lagi Khos Nurul Huda (NH). Pada 1980 M, dibangun
Khos Al-Firdaus (AF) yang saat itu santrinya berjumlah 250 orang. Pada 1986 M,
grafik jumlah santri naik menjadi 800 orang, guna untuk memenuhi fasilitas yang
dibutuhkan, dibangunlah Khos Assalam (AS). Seiring dengan perkembangan
Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, berawal dari sebidang tanah yang dimiliki
K.H. Maimoen Zubair dan hasil pembelian sebidang tanah milik tetangga. Pada
1977 M, K.H. Maimoen Zubair bersama istrinya Ibu Nyai Hj. Masthi’ah merintis
berdirinya Pondok Pesantren Putri Al-Anwar dengan membangun mushalla di
belakang rumah yang semula berdindingkan anyaman bambu. Adanya mushallah
tersebut, membuat masyarakat sekitar khususnya perempuan rajin untuk jama’ah
shalat 5 (lima) waktu di sana dan mengikuti segala kegiatan yang diadakan. Anak-
anak mereka juga mulai menetap di mushalla. Dari sinilah awal mula berdirinya
Pondok Pesantren Al-Anwar Putri. Selanjutnya, Pondok Pesantren Al-Anwar
Putri mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pada 1991 M, K.H. Maimoen
Zubair membangun Lembaga Pendidikan Muhadloroh Putri.132
Pada 1995 M, jumlah santri semakin bertambah mencapai 1.500 santri,
kemudian di bangun Khos Darusshohihain (DH) yang diasuh langsung oleh putra
K.H. Maimoen Zubair yaitu Muhammad Najih Maimoen. Selanjutnya pada 1996
M, dibangun komplek Tahfidzul Qur’an yang terletak di depan ndalem Kiai Najih
yang diasuh oleh istrinya, yaitu Nyai Hj. Mutamimah Najih Maimoen.

Wawacara dengan K.H. Zainul Umam (orang dekat keluarga K.H.


132

Maimoen Zubair), 13 Juli 2021. Ia adalah ….


203

Dikarenakan jumlah santri yang semakin meningkat, tercatat pada 2005 M


mencapai 1.600 santri, maka dilakukan renovasi dan penambahan gedung Khos
Darunna’im (DN), dan juga pada 2004 M dibangun Ruwat Darut Tauhid (DT)
yang setelah pengerjaannya digunakan sebagai tempat Multaqo XIV Alumni
Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Sebagai pelengkap fasilitas pondok, maka
dibangunlah gedung berlantai lima yaitu Gedung Serbaguna yang pada 4 Maret
2004 M diresmikan langsung oleh Wakil Presiden DR. Hamzah Haz. Pondok Pe-
santren Al-Anwar Putri juga mengalami perkembangan yang sangat signifikan
seperti halnya santri putra. Tercatat pada tahun 2009 M jumlah santri mencapai
2000 santri yang berasal dari berbagai penjuru daerah yang ada di Indonesia
dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, mulai dari SD, MI, SLTP,
SLTA, bahkan juga Sarjana.133

Wawancara dengan K.H. Zainul Umam, (orang dekat keluarga K.H.


133

Maimoen Zubair), 13 Juli 2021.


204

Gambar 3.67 Gerbang Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, publikasi 10 Novem-


ber 2014
(Sumber: https://www.facebook.com/ponpesalanwarsarang/2014/11/10/, diakses
pada ….)

Para santri K.H. Maimoen Zubair, telah menjadi ulama yang bertebaran di
Nusantara. Beberapa di antaranya adalah Kiai Hamid Baidlowi (pengasuh Pondok
Pesantren Al-Wahidah di Lasem, Rembang), Kiai Imam Yahya bin Mahrus Aly
(pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri), Kiai Nashirudin (ketua Majlis
Syariah PPP wilayah Jawa Timur), Kiai Sadid Jauhari (pengasuh Pondok
Pesantren As-Sunniyah di Jember), Kiai Humaidi dari Rembang, Kiai Asyhari
205

dari Pasuruan, Jawa Timur, Kiai Abdul Wahid Zuhdi dari Grobogan, Kiai Abdul
Adhim dari Bangkalan, Madura, dan Kiai Anshari dari Magelang.134
Sistem yang diterapkan di Pondok Pesantern Al-Anwar adalah sistem
Salafiyyah, di mana para santri wajib mengikuti pengajian para masyayikh atau
ustadz, baik lewat pendekatan bandongan maupun sorogan. Selain itu, santri juga
harus mengikuti pendidikan Muhadloroh atau Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyah
sampai tingkat aliyah dan melanjutkan pada PPTM (Ma’had Aly) dalam jenjang
masa pendidikan 2 tahun. Kegiaatan yang lain adalah mudzakaroh Fath al-Qorib,
Fath al-Mu’in, Ibnu Aqil, Jauharotul Maknun dan lain-lain. Secara geografis,
letak pesantren ini berada di desa Karangmangu, Kecamatan Sarang, Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. 135

Wawancara dengan K.H. Zainul Umam, (orang dekat keluarga K.H.


134

Maimoen Zubair), 13 Juli 2021.

Wawancara dengan K.H. Zainul Umam, (orang dekat keluarga K.H.


135

Maimoen Zubair), 13 Juli 2021.


206

Gambar: 3.68 GSG Lantai 5 PP. Al-Anwar Sarang Masa Perkembangan, publikasi
27 November 2014
(Sumber: https://www.facebook.com/gsg-lt.5-ppalanwarsarang/2014/11/27)
Selain aktif mengajar di Pondok Pesantren Al-Anwar, K.H. Maimoen
Zubair juga aktif mengajar di Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah (MGS) yang
didirikan oleh ulama-ulama Sarang pada 1369 H/1950 M. Siswa madrasah ini
berasal dari gabungan pesantren-pesantren yang ada di Sarang dan sekitarnya
serta ada juga orang-orang kampung yang ikut belajar di sana.136
Seiring dengan tuntutan zaman, PP Al-Anwar terbagi menjadi 4, pertama
PP. Al-Anwar I khusus bagi santri yang ingin mendalami ilmu agama secara
murni. Pada PP. Al-Anwar II yaitu sebagai wadah bagi para santri yang ingin
mengkaji tentang ilmu sains dan teknologi tapi tidak meninggalkan ilmu
agamanya. PP. Al-Anwar II ini, terletak kurang lebih 3 KM dari desa
Karangmangu tepatnya didesa Gondanrejo Kalipang, Sarang, Rembang. Disinilah
didirikannya lembaga pendidikan formal dibawah naungan LP. Ma’rif NU
setingkat dengan SD, SLTP, dan SLTA dengan nama MI, MTs, dan MA Al-
Anwar. Diharapkan dengan adanya lembaga pendidikan formal tersebut santri
akan memperoleh keseimbangan dalam segi IMTEK dan IPTEK, sehingga
nantinya bukan hanya kebahagiaan dunia saja yang akan diraihnya namun juga
kebahagiaan nanti di akhiratnya. Dalam hal ini diasuh langsung oleh putra beliau
K.H. Abdullah Ubab.137
Pada 15 September 2003, M awal sejarah diresmikannya sebuah lembaga
formal setingkat SLTP dengan nama MTs Al-Anwar yang didirikan oleh K.H.
Maimoen Zubair, yang bertujuan untuk dijadikan suatu tempat memperdalam
ilmu-ilmu yang berbasis kompetensi sesuai rujukan dari pemerintah, yang dalam
hal ini dari Departemen Agama serta untuk mempelajari ilmu-ilmu salaf yang

136
Ulum, K.H. Maimoen Zubair: Sang Kiai Teladan, hlm. 88.

Vision, Merpati Vision,. “STAI Al-Anwar Sarang Rembang – Harlah ke-


137

5”, (Youtube, Maret 17, 2018. https://www.youtube.com/watch?v=H7BSyQ5Dd-


4&t=742s, diakses pada …. (Vision 10:58).
207

merujuk pada
Pondok
Pesantren Al-
Anwar
Sarang.138

Gambar: 3.69 Suasana PP. Al-Anwar Sarang, publikasi 15 Desember 2014


(Sumber: https://www.facebook.com/ponpesalanwarsarang/2014/12/15/)

Santri Sarang, “Sejarah Lengkap Berdirinya Pondok Pesantren Al-Anwar


138

Sarang”, (https://www.muslimoderat.net/2015/12/sejarah-lengkap-berdirinya-
pondok.html, (diakses pada 10 Maret 2021, pukul 23.19).

Anda mungkin juga menyukai