Anda di halaman 1dari 5

Profil Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Sejarah besar berdirinya pondok pesantren bahrul ulum ini tidak lepas dari
peran seorang pemuda keturunan Jaka Tingkir yang berasal dari Garut, ia bernama
Abdul Salam bin Abdul Jabbar atau yang lebih akrab dipanggil Mbah Soichah.
Pemuda tersebut datang ditengah berkecamuknya perang Diponegoro di desa
Gedang (sekarang dukuh gedang).

Dengan bekal ilmu pengetahuan yang beliau kuasai, beliau membangun


rumah kecil atau sebuah surau kecil yang akan menjadi tempatnya menyalurkan
atau mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada beberapa murid. Selain itu, beliaupun
mengajarkan ilmu kedegdayan kepada beberapa murid lain yang dirasa mampu
dan mereka kelak yang akan menjadi kader penerus yang akan memperjuangkan
agama islam.

Kurang lebih di tahun 1838, di surau kecilnya itu beliau membangun 3


lokal khusus untuk tempat belajar dan ibadah 25 santrinya. Dengan modal inilah
didirikan Lembaga Pendidikan yang dikenal dengan pondok “Nyelawe atau
pondok Telu”. Nama tersebut diambil dari kondisi pondok tersebut yang memang
hanya memiliki 3 lokal khusus.

Beberapa hal yang dapat diuraikan dari perkembangan Pondok Pesantren


Bahrul Ulum yakni dari 25 santri tersebut, 12 diantaranya yang dianggap sudah
menguasai ilmu agama diutus untuk menyebarluaskan ajaran agama islam. Selain
itu mereka pun mengajarkan ilmu kedegdayan pula kepada masyarakat desa
Dukuh agar bisa membangkitkan kepercayaan diri.

Beberapa tahun kemudian setelah mbah Soichah membina dan tinggal di


desa Dukuh. Beliau memutuslan untuk pergi ke Demak untuk menikahi seorang
wanita bernama Muslimah yang darinya beliau di karuniai 10 anak. Dan secara
tidak langsung 2 di antaranya ikut terjun menjadi salah satu pendiri Pondok
Pesantren Bahrul Ulum ini, yakni Layyinah dan Fatimah yang mana masing-
masing dijodohkan dengan Usman dan Sa’id.
Agar cita-cita penyebaran ajaran agama islam Mbah Soichah ini terwujud,
Mbah Soichah menempatkan kedua menantu beliau di tempat yang berbeda,
dimana masing-masing memiliki kemampuan yang paling mereka kuasai. Yakni
Mbah Usman di Gedang Selatan dengan fokus mengajarkan ilmu Thorikot. Dan
Mbah Sa’id mengajarakan ilmu Syari’at yang di tempatkan di Tambakberas.

Pesantren yang berpusat di Gedang Utara saat itu di pindahkan ke Gedang


Selatan yang di asuh Mbah Usman tidak lama setelah Mbah Soichah wafat. Dan
inilah awal di mana santri pindahan juga dapat mempelajari sekaligus
memperdalam ilmu Thorikot.

Tidak lama setelah itu, Mbah Usman pun wafat yang menyebabkan
semakin berkurangnya santri thorikot di Gedang Selatan. Setelah diboyonglah sisa
santri Gedang Selatan dan hal ini menjadi penyebab berpindahnya pusat pesantren
yang sebelumnya di Gedang Selatan ke Tambakberas yang di asuh Mbah Sa’id.
Beliau memiliki putra yang bernama Khasbulah yang sebelum ziaroh haji
bernama Kasbi.

Dari perkawinan Kyai Khasbulah dengan Nyai Latifah dari Tawangsari,


Sepanjang, Sidoarjo yang ,memberikan 8 anak. Dan adapun 8 orang anak tersebut
ialah,

1. Abdul Wahab
2. Abdul Hamid
3. Khodijah
4. Abdul Rohim
5. Fathimah
6. Sholikhah
7. Zuhriyyah
8. Aminatur Rohmaniyah

Ditahun 1891, bedirilah masjid sederhana yang berstatus sebagai Masjid Jami’
di Tambakberas. Dimana sebernarnya masjid ini hanya boleh didirikan di pusat
kota besar. Dan atas kegigihan perjuangan Kyai Khasbulah maka masjid ini pun
di perbolehkan dibangun sebagai tempat ibadah dan juga tempat perjuangan.

Pada bulan maret 1888 M. lahirnya seorang putra dari KH. Khasbulah dan
Nyai Fathimah binti K. Moh. Alwi dari Tawangsari Sepanjang Sidoarjo
bernama Abdul Wahab. Beliau adalah anak pertama dari pasangan yang
harmonis tersebut. Ayahnya KH. Khasbullah merupakan seorang ulama’ yang
sangat di segani yang juga berperan sebagai pengasuh Pondok Pesantren
Tambakberas.

Selain memiliki darah keturunan yang tidak Jauh dengan ulama’ besar
yang sangat berpengaruh pada perkembangan ajaran islam di Nusantara dan
juga yang berperan sebagai ro’is akbar Nahdhotul Ulama’ yang bernama KH.
Hasyim Asy’ari. Semenjak kecil beliau pun sudah nampak tanda-tanda yang
mengisyaratkan dimana ketika beliau sudah cukup umur akan menjadi seorang
pemimpin yang kelak bias memimpin sebuah kelompok besar. Hal ini terlihat
dari kecerdasan otak, kelincahan tingkah laku, dan juga menjadi orang yang
selalu disegani diantara teman-temannya dan yang selalu muncul sebagai
pemimpin di antara meraka.

Ditahun 1915, beliau mencoba mempraktekkan metode belajar klasikal


yang beliau dapat di saat beliau belajar di Makkah dan di pesantren-pesantren
yang pernah beliau duduki sebagai santri di tempat-tempat itu. Walaupun
mendapat larangan dari ayah beliau KH. Khasbullah mengenai metode
klasikal, berkat kegigihan beliau akhirnya beliau berhasil mendirikan
madrasah bernama Mubdilfan ( nama sekolah kala itu ).

Seiring Berjalannya waktu kemajuan Pondok Pesantren Tambakberas


dapat di rasakan, jumlah penduduk Indonesia pun ikut mewarnai pondok ini.
Di karenakan meluapnya jumlah santri yang bukan hanya kaum Adam, maka
di bangunlah pondok Al-Lathifiyyah yang di asuh oleh Nyai Wahab
Khasbullah atau yang dikenal dengan Bunyai Mahfudhoh. Selanjutnya
berdirilah pondok pesantren Al-Fathimiyyah ditahun 1949 yang di asuh oleh
Bunyai Fatah Hasyim yang sekarang di asuh oleh Kyai Abdul Nashir Fattah,
beliau adalah putra dari KH. Abdul Fattah Hasyim.

Seiring berkembangnya zaman setiap pribadi pun di tuntut agar


berpendidikan tinggi agar bias mencetak kader-kader yang sesuai dengan
pandangan masyarakat mengenai pondok pesantren dengan mengajarkan
kitab-kitab salaf seperti fathul mu’in, Fathul Qoriib, dan masih banyak lagi.
Dan untuk mengikuti perkembangan umum, KH. Fattah Hasyim pun
mendirikan Madrasah Muallimin khusus putra dan juga yang di lengkapi oleh
madrasah muallimat khusus untuk santri putri.

Tahun Ajaran di Muallimin Muallimat yang semula 4 tahun, sesuai


dengan kesepakat KH. Fattah Hasyim dengan kepengurusan dirasa belum
cukup, maka di tambah menjadi 6 tahun ajaran. Dan di tahun 1967 akhirnya
Pondok Pesantren Tambakberas mendapatkan nama resmi yakni Pondok
Pesantren Bahrul Ulum dan beberapa tahun selanjutnya pesantren ini di
lembagakan dengan diberi nama Yayasan Bahrul Ulum.

28 April 1977, kondisi Pesantren Bahrul Ulum ditahun ini sedang


berkembang sangat baik, muncul kabar duka dimana KH. Abul Fattah Hasyim
wafat. Namun hal ini bukan berarti jalan perjuangan beliau surut, tetapi masih
di teruskan oleh generasi selanjutnya.

Kepemimpinan pesantren pun di teruskan oleh KH. Moh. Najib Wahab


jebolan Universitas Al-Azhar Mesir. Dimasa kepemimpinan beliau, Bahrul
Ulum mengalami perkembangan yang pesat sekali, baik pondok putri dan
pondok putra memiliki fasilitas yang memadai sesuai dengan permkembangan
zaman saat ini.

Kabar duka secara mengejutkan menyebar di tahun 1986, dengan kabar


wafatnya KH. Moh. Najib Wahab dan pada akhirnya kepemimpinan pun
diteruskan oleh KH. Moh. Sholeh Abdul Hamid. Dalam kaitannya dengan
perkembangan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Kyai Sholeh
mempunyai inisiatif membuat wadah bagi para alumni. Ini timbu; tidak jauh
dari kesukaan beliau dengan silaturrahmi. Hingga pada akhirnya terbentuklah
IKABU (ikatan keluarga alumni Bahrul Ulum).

Anda mungkin juga menyukai