Anda di halaman 1dari 5

OTOBIOGRAFI KYAI HAJI ABDUL LATHIF

K.H. Abdul Lathif bin K.H. Ali bin H. Said bin Ju’ju bin K.H. Tb. Busamad bin Mas Mangun bin Nahkoda
Berbos. Kyai H. Abdul Lathif lahir di desa Cibeber, Cilegon pada tahun 1888 M. terlahir dari seoran ibu yang
bernama Nyi Hj. Usmah bin K.H. Djaya. Dan seorang Bapak yang bernama K.H. Ali bin H. Said. Sedangkan
silsilah dari pihak ibu Hj. Usmah binti K.H. Djaya bin Bayi bin Lana bin Laudaba bin Kasa Manggala bin Lurah
Asih bin Syari’ah bin M. Isya bin Abdul Rahman bin Syeh Mansur Cikaduen Pandeglang. Kedua orang tua
beliau merupakan keluarga besar keturunan seorang Kyai, baik bapak dan ibu beliau di besarkan oleh
lingkungan keluarga agamis, mengurus pondok pesantren dan keluarga yang turut berjuang demi kemerdekaan
RI dari penjajah. Ayahnya K.H. Ali merupakan seorang yang berusaha untuk mempertahankan kemurnian
ajaran agama Islam dan berjuang bersama-sama K.H. Wasid melawan penjajah Belanda dalam
memperjuangankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Dan pejuang tersebut lebih di kenal dengan
“GEGER CILEGON” ahirnya ayah beliau berhasil di tangkap penjajah Belanda, diasingkan ke Degul dan
akhirnya di asingkan ke Ambon sampai meninggalnya pada tahun 1898 M. Ayahnya meninggal pada saat K.H.
Abdul Lathif baru berusia 10 tahun. Kemudian setelah itu, ibunya menikah dengan K.H. Hasanuddin. Masa
Kecil Sang Kyai Sejak kecil beliau telah dididik dan dibesarkan oleh lingkungan keluarga yang taat dalam
menjalankan dan menyebarkan agama Islam serta keluarga yang ikut berjuang dalam kemerdekaan Negara
Republik Indonesia. Kondisi dan situasi lingkungan yang beliau jalano semenjak kecil, membuat tekat dan niat
yang kuat untuk mendalami ilmu agama dan berusaha diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sepeninggal
ayahnya, beliau beliau mulai belajar membaca Al-Qur’an pada K.H. Hasanudim dan dalam memnuntut ilmu
Fiqih, Tauhid, Tafsir, Tata bahasa Arab dan lainnya, ia belajar pada Kyai As’ad (Kyai Buntung) Kyai H. Halim,
K.H. Asnawi dan K.H. Suchari Thaif di pesantren Cibeber. Masa Remaja Dewasa Sang Kyai Karena sejak
kecil, beliau telah dididik dan dibesarkan oleh kondisi lingkungan lingkungan keluarga yang taat dalam
menjalankan agama sehingga menjadi seorang anak yang pandai, tekun dan rajin belajar nenuntut ilmu agama
dan taat beribadah. Kehidupan yang penuh perjuangan dan sulit, harus di jalani dan di hadapi beliau sejak kecil.
Namun kondisi dan keadaan yang serba sulit tersebut tidak pernah menyurutkan tikad beliau dalam belajar
agama sejak usia muda sehingga membentuk karakter yang kuat ketika dewasa. Oleh sebab itu, ada usiabelasan
tahun, ia sudah di serahi tugas membantu ayahnya dan Gurunya mengajar pada santri. Setelah dewasa ia
menikah dengan Nyi Hj. Siti Salhah binti H. Sapta di Cibeber. Dan pada tahun 1912 M. ia bersama istrinya
pergi ke Mekkah dan menetap di sana kurang lebih 6 tahun. Di mekkah, ia banyak belajar menimba ilmu-ilmu
Hukum Islam pada ulama terkenal. Diantaranya belajar pada K.H. Abdul Hamid Kairo, K.H.Yusuf, K.H. Jasir
dan pamannya yaitu K.H. Abdussalam (yang bermulim di makkah dan menjadi pendidik disana). Pada tahun
1918 M. Ia kembali ke Cibeber dan melanjutkan belajar ilmu terekat pada K.H. Asnawi Caringin Labuan.
Gurunya K.H. Asnawi adalah salah seorang dari murid K.H. Abdul Karim, K.H. Abdul Karim merupakan salah
seorang ulama yang mengajarkan ilmu tarekat di Banten. Perjalanan menuntut ilmu yang teraahir ini, yang
menjadikan beliau lebih istiqomah dalam menjalankan dakwah dan membina Umat. Kegiatan K.H. Abdul
Lathif dari tahun 1918 M. sampai dengan tahun 1924 M, lebih banyak dicurahkan dalam bentuk memberikan
pengajian kepada oara penduduk Cibeber dan sekitarnya, maupun kepada para santri Pesantren. Aktifitas
pengajian tersebut dilaksanakan di majlis Ta’lim atau di serambi Mesjid.
Pengaruh Kyai dalam Penyebaran Islam

1. Awal berdirinya Pesantren dan Madrasah Al Jauharotunnaqiyyah Sekitar abad ke 18 Masehi, telah dating
tiga orang ulama yang berasal dari Demak ke tanah Cibeber. Di antara ke tiga ulama tersebut ada yang
menjadi pemimpin dan di katakana “Alim” beliau adalah KH.Abu Shaleh, yang seorang lagi tidak di
ketahui/tidak tercatat namanya dan seorang lagi bernama KH. Burhan. Ketiga Ulama tersebut menetap di
Cibeber, berda’wah dan mengajarkan pengetahuan Agama Islam, dan mendirikan tempat yang layak untuk
kegiatan tersebut. Dan tempat tersebut lebih di kenal dengan sebutanPesantren. Aktifitas tersebut
diperkirakan berlangsung antara 1779 – 1813M dan mempunyai beberapa orang murid. Dari beberapa orang
murid tersebut, hanya 4 murid pilihan sebagai generasi penerus, yaitu K.H. Madhan (Putra K.H. Burhan),
K.H. Sachal, K.H. Suyuthi, K.H. Yahya. Merekalah yang selanjutnya menjalankan aktifitas Da’wah dan
mengajarkan agama Islam di Cibeber dan sekitarnya. Di antara ke empat generasi penerus tersebut, hanya
K.H. Madhan yang mempunyai keturunan dan memiliki pengaruh yang besar (1813-1846 M). Setelah K.H.
Madhan wafat, aktifitas Dakwah dan mengajar murid-murid pesantren di lanjutkan oleh putranya, yaitu K.H.
Afifuddin (1846 – 1860 M). Setelah K.H. Afifuddin wafat aktifitas Da’wah dan mengajar murid-murid
pesantren di lanjutkan oleh menantunya, yaitu KH. Jaya. (1860-1882M). Setelah KH. Jaya meninggal,
aktifitas tersebut di lanjutkan oleh K.H. Abdussalam (1882-1915M) yang merupakan putra K.H. Jaya. Dan
sekitar tahun 1915 M, K.H. Abdussalam pergi ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian beliau
bermukim di mekkah dan menjadi pendidik disana sampai dengan meninggalnya. Sepeninggalnya beliau
aktifitas da’wah dan mengajar di pesantren dilanjutkan oleh K.H. Abdul Lathif.
2. Pesantren dan Madrasah dibawa kepemimpinan K.H. Abdul Lathif Sebagian hirarkis kepemimpinan
pesantren pada umumnya, maka kepemimpinan pesantren dan madrasah di Cibeber di lanjutkan oleh anak
keturunan dan keluarganya. Bahwa setelah K.H. Jaya meninggal, maka penerus selanjutnya adalah K.H.
Abdul Lathif (Putra K.H. Ali Jaya dari istri Nyi Hj. Usah binti K.H. Jaya yang merupakan keturunan K.H.
Madhan). Pada masa kepemimpinannya, selain mengajar dan mendidik ilmu agama Islam di pesantren juga
berda’wah dan mengajarkan keagamaan di mesjid dan majlis ta’lim. Seiring dengan meningkatnya jumlah
santri yang ikut belajar di pesantren, K.H. Abdul Lathif memilii obsesiuntuk mendirikan sebuah madrasah.
Pada tahun 1924 M. beliau bersama kawan-kawannya serta dukungan masyarakat sekitar mendirikan sebuah
madrasah yang berjumlah 6 (enam) lokal dan tenaga pendidik sebanyak 6 (enam) orang. Madrasah tersebut
di beri nama “Tarbiyatul Atfal” mengingat jumlah santri yang ingin belajar kian bertambah setiap tahunnya,
kondisi dan luas bangunan madrasah yang tidak memadai serta lokasi yang kuramh setrategis, maka beliau
bermusyawarah dengan para ulama dan tokoh masyarakat setempat untuk membangun madrasah dengan
bangunan yang agak besar, memiliki tanah yang luas dan lokasinya setrategis. Didapatkan keputusan dan
kesepakatan untuk mendirikan madrasah yang baru, terutama dukungan dari sang ayah mertuanya yaitu H.
Anwar (yaitu Ayah dari Nyai Hj. Rahmah, istri kedua K.H. Abdul Lathif). Sebagian besar tanah dari
bangunan madrasah tersebut merufakan wakaf dari ayah mertuanya. Maka pada tahun 1931 M, dibangunlah
madrasah yang besar, yang terdiri dari 10 (sepuluh) lokal dan madrasah tersebut diberi nama “Al
Jauharotunnaqiyyah” yang berarti Permata/Intan yang Indah. Madrasah “Al jauharotunnaqiyyah”
langsung dibawah asuhan K.H. Abdul Lathif, yang di dalam pelaksanaannya di bantu oleh rekan-rekan dan
murid-murid beliau, terutama di bantu oleh saudara menantunya, yaitu K.H. Suchari dalam menjalankan
kepemimpinan selanjutnya, K.H. Abdul Lathif di bantu oleh putranya, yaitu K.H. Abdul Muhaimin (pernah
belajar di Mekkah, kurang lebih selama 7 tahun, 1928- 1935) dan putra lainnya seperti KH. Ahmad
Syafiullah dan K.H. Ahmad Najiullah. Adapun tujuan mendirikan madrasah adalah untuk membentuk kader-
kader umat Islam yang beragama dan taat dalam menjalankan perintah Allah dan Rasulnya, yang bersumber
kepada kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta kitab-kitab aliran mazhab Syafi’iyyah. Madrasah “Al
jauharotunnaqiyyah” di bawah asuhan K.H. Abdul Lathif dari tahun 1931 sampa dengan 19 April 1960 M
(beliau meninggal dunia). Madrasah dan pesantern Cibeber mencapai masa jayanya sekitar tahun 1953
sampai dengan tahun 1960. Tercatat jumlah pelajar madrasah dan pesantern mencapai 1700 orang setiap
tahunnya.
3. Wafatnya K.H. Abdul Lathif. Pada hari selasa tanggal 21 April 1960 bertempatan dengan 23 Syawal 1379 H,
K.H. Abdul Lathif bin K.H. Ali berpulang kerahmatullah. Kemudian beliau dimakamkan pada hari Rabu di
kompek Madrasah Al Jauharotunnaqiyyah Cibeber. Beliau meninggalkan 2 (dua) orang istri dan 8 (delapan)
putra-putri. Pernikahan beliau dengan Hj. Salhah binti H. Sapta, memiliki 4 (empat) orang putra-putri,
sedangkan pernikahan beliau dengan Hj. Rohmah juga memiliki 4 (empat) orang putra-putri. Putra-putri dari
masing-masing anak keturunan K.H. Abdul Lathif, adalah sebagai berikut:
 KH.Abdul Lathif dengan istri pertama (Hj. Siti Salhah) memiliki 4 orang anak. Dan masing-maing anak
keturunannya ini memiliki putra-putri, sebagai berikut:
1. K.H. Abdul Muhaimin, memiliki dua orang anak yaitu K.H. Syafiq dan Hj. Maemanah dan keturunan
dari K.H. Syafiq ini diantaranya adalah H. Akrom.
2. Hj. Siti Aisyah memiliki dua anak yaitu, M. Nur Lithfi dan Hj. Nurhasanah.
3. Hj. Marhumah, memiliki enam anak, yaitu: Hj. Hamdah, Hj. Muniroh, H. Mamat Afifudin, Hj.
Fakhiroh, Hj. Humaemah, dan Alawi.
4. K.H. A. Shofiullah, memiliki sebelas anak yaitu: H. Abdul Wahid. Siti Zubaedah, Hj. Siti Salmah,
Habibah, Hj. Muslimah, H. Abdul Rozak, Sobriyah, Ucu Nasi’atul Mardiyah, Iin Zaenal Falah, Mumu
Abdul Muiz dan Imat Rahmatullah.
 KH. Abdul Lathif dengan istri kedua (Hj. Siti Rahmah) memiliki 4 orang anak. Dan masing-maing anak
keturunannya ini memiliki putra-putri, sebagai berikut:
1. Hj. Siti Ma’azah, hasil perkawinannya dengan H.Tb.Syihabudin Ma’mun memiliki satu orang putra
yaitu: H. Tb. A. Fuad Syihabudin Ma’mun.
2. Hj. Madiayah. Memiliki dua orang putri yaitu: Hj. Mawaddah dan Hj. Mamduhah. Hj. Mamduhah ini
menikah dengan Prof. Dr. H. Tb. M. Yunus Gozali.
3. K.H. A. Najiullah, memiliki sebelas anak yaitu: Nadful Mustofa, Muhlas, H. Abdul Rasyid, Hj.
Maryamah, Mahsus, Ghufron, Furqon, Imron, Rahmat, dan H. Lukmanul Hakim.
4. H. Ridwan (bermukim di mekkah)

Kepemimpinan pesantren dan madrasah sepeninggal K.H. Abdul Lathif.

Berikut ini kepemimpinan pesantern majelis Ta’lim sepeninggal K.H. Abdul Latif:

1. KH. Abdul Muhaimin (23 april 1960-1988)


2. KH. Syafiq Lathifi (1988-2007)
3. KH. Akrom (2007 sampai sekarang)
Sedangkan kepemimpinan Madrasah sepeninggal KH. Abdul Lathif adalah sebagai berikut:

1. K.H. A. Najiullah (1960-1999)


2. K.H. Tb. A. Fuad Syihabudin Ma’mun (1999-2007)
3. H. Abdul Rasyid Khan SE (2007 hingga sekarang) Pengaruh Pesantren dan Madrasah Al
Jauharotunnaqiyyah terhadap perkembangan Islam di Banten.

 Sejarah pendidikan Pesantren dan Madrasah

Sejarah setelah di jelaskan diatas, bahwa pesantren di Cibeber telah ada kira-kra abad 18 M. Datangnya 3
ulama yang berasal dari Demak yang membawa misi da’wah dan menyebarkan agama islam. Sedangkan
awal pendirian Madrasah yaitu pada tahun 1924 M, atas ide dan gagasan K.H. Abdul Lathif yang dibantu
oler rekan-rekannya dan masyarakat sekitar Cibeber. MAdrasah yang didirikan pada tahun tersebut di beri
nama “Tarbiyatul Athfal”, yang terdiri dari 6 Lokal, pada tahun 1931 M, didirikan madrasah yang memiliki
bangunan agak luas dengan lokasi yang setrategis dan terdiri dari 10 Lokal. Madrasah tersebut di beri nama
“Al Jauharotunaqiyyah” hingga saat ini. Sedangkan untuk pondok pesantren di beri nama Bani Lathif.

 Pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar.

Pada waktu itu, pesantren merupakan tempat untuk menyelenggarakan pendidikan Islam di Indonesia.
Didirikan pesantren karna adanya kesadaran dan kepedulian sari para ‘Alim ulama untuk menyebarkan
agama Islam, yang semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Hal ini dapat di lihat dari perjalanan sejarah
pondok pesantren, sesungguhnya pesantren di lahirkan atas kesadaran kewajiban da’wah Islamiah, yakni
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam dan sekaligus mencetak kader-kader ulama atau Da’i.
Sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat
Indonesia. Hal ini dapat di ketahui bahwa sejak kurun sejarah kerajaan Islam pertama di aceh, jaman para
Wali Songo sampai permulaan abad 20, yang merupakan cilak bakal lahirnya desa-desa baru. Sejak
didiriannya pesantren dan madrasah, tentu saja membawa dampak dan pengaruh bagi kehidupan masyarakat
sekitar Cibeber. Semakin banyaknya masyarakat yang berminat untuk mendidik anak-anaknya di pesantren,
dengan harapan bahwa anak tersebut kelak dapat menjadi suri tauladan dan contoh yang baik sehingga dapat
menjadi manusia yang berguna bagi bangsa, Agama, dan lingkungan masyarakat. Di samping menjalankan
aktifitas belajar mengajardi madrasah, beliau juga aktif memberikan pengajian di Majlis Ta’lim, baik
pengajian kaum ibu-ibu maupun pengajian bapak-bapak. Beliau juga yang pertama kali mengadakan
pengajian kaum ibu di Cibeber dan sekitarnya. Sehingga banyak ibu-ibu yang aktif mengikuti pengajian
tersebut.

 Perjuangan K.H. Abdul Latif


Dari tahun 1926 sampai tahun 1942, di samping aktif berda’wah, mengajar pengajian di majlis Ta’lim,
mengajar di madrasah, beliau juga turut aktif dalam perjuangan pergerakan pembangunan bangsa di bidang
politik. Beliau menjadi Rois Syuriah perkumpulan “Nahdatul Ulama” cabang kabupaten serang. Selama
mengikuti perkumpulan tersebut, KH.Abdul Lathif pernah mengikuti muktamar NU, yaitu Muktamar di
Surabaya tahun 1926, 1927, dan 1928 di Surabaya.
 Hasil Karya K.H. Abdul Lathif
K.H. Abdul Lathif semasa hidup dan perjuangannya dalam menjalankan Syi’ar Islam, telah banyak
menuangkan pemikiranmelalui menerjemahkan dan mengarang kitab ke dalam bahasa jawa Banten maupun
ke bahasa sunda. Buku-buku yang beliau karang dan terbitkan itu kemudian menjadi rujukan dalam peruses
pembelajaran di madrasah Al Jauharotunnaqiyyah dan juga pesantren di lingkungan Cibeber. Di antara
para ulama di jamannya, hanya K.H. Abdul Lathif yang menterjemahkan materi-materi pelajaran yang di
anggap penting dan mudah di cerna bagi pecinta pengajian, terutama bagi kaum ibu-ibu dan para bapak-
bapak yang masih minim memahami bahasa Arab. Jumlah kitab atau buku yang telah disusun dan masih ada
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Taudlikul Ahkam 2. Irsyadul Anam 3. Bayaanul Arkaan 4. Adaabul Marah 5. Tauqil Tauhid 6.
Kifaayatul Sibyaan 7. Mu’aawnatul lkhwan 8. Matanus Sanusiyyah 9. Siirah Sayyidil Mursalin 10.
Munabbihaat 11. Manaqib Syeikh Abdul Qodir Jaelani 12. Sejarah Banten 13. Tajwid Jawa (bahasa
jawa Banten) 14. Ma’waadzul ‘Ushfuryah 15. Tafsir Surat Yaasin (bahasa jawa Banten) 16. Tafsir Surat
Juz ’amma (Bahasa Jawa Banten) 17. Tafsir Surat Alif Lam Tanziil (bahasa jawa Banten) 18. Tafsir
Surat Al Baqarah (bahasa jawa Banten)

 Pemikiran tentang Perkembangan Pendidikan Islam di Banten

Pemikiran K.H. Abdul Lathif tentang perkembangan Islam di Banten yaitu ingin mengenbangkan lembaga
pendidikan dengan melalui pembinaan agar yang dilakukan dari masjid, majlis Ta’lim, pesantren, hingga
madrasah. Karena adanya tunutan dari semakin banyaknya masyarakat yang berminat untuk mendidik
anaknya di pesantren maupun di madrasah, maka beliau mengajak musyawarah tokoh-tokoh masyarakat dan
para ulama untuk mendirikan dan membangun pesantren dan madrasah yang lebih besar. Beliau
berkeinginan pendidikan berbasis masyarakat, karena beliau berkeinginan melibatkan masyarakat sebagai
unsure yang berdampak secara dalam menunjang keberhasilan Pembina pendidikan di lingkungan sekitar.
K.H. Abdul Lathif tidak hanya tahu dan biasa membaca dan mempelajari kitab-kitab atau pengetauan agama
saja melainkan membeali santrinya belajar ilmu kemasyarakatan. Tujuan di bangunnya pondok pesantren
atas dasar kesadaran dan kewajiban untuk berda’wah Islam dengan menyebarkan dan mengembangkan
ajaran Islam, supaya bisa mencetak kader-kader ulama atau Da’I. K.H. Abdul Lathif juga medirikan
Madrasah dengan tujuan sebagai bentuk Kesadaran agar belajar pendidikan Islam tidak hanya di pesantren
saja (Pendidikan non Formal) beliau juga berkeinginan bagaimana santri bisa mengikutu pendidikan secara
formal. Beliau berfikir tentang masa depan dengan pola yang di terapkan melalui pembinaan pendidikan
yang di terapkan secara memadukan pola belajar pesantren agar tetap terjaga sikap tawaddu dan taat pada
Allah.

Grup membuat museum dan pelestarian peninggalan Syekh Nawawi Al-Bantani

Anda mungkin juga menyukai