Anda di halaman 1dari 2

Kisah pemuda Sholeh dan Sebuah Apel

Inilah kisah seorang pemuda saleh yang merupakan ayah dari Imam Abu Hanifah

Dikisahkan pada akhir masa Tabi’in, ada seorang pemuda yang bernama Tsabit bin Zutho dari kalangan biasa,
namun ia merupakan orang yang sangat saleh.

Suatu ketika, pemuda tersebut sedang berjalan-jalan di pinggiran sungai daerah kufah, Irak. Kemudian dirinya terkejut
dengan menemukan sebuah apel yang hanyut di depannya.

Dalam kondisi yang lapar, dirinya langsung memungut buah apel itu dan lalu ia tanpa ragu memakannya. Akan tetapi,
baru satu gigitan saja, dirinya tersadarkan bahwa apel segar yang ia makan adalah bukan apel miliknya.

Lalu ia pun tersentak, juga bertanya-tanya dalam hatinya, “Milik siapakah apel ini?”. Akhirnya ia pun merasa bersalah,
bagaimanapun juga apel tersebut bukan miliknya. “Bagaimana bisa, aku memakan sesuatu yang bukan milikku”,
gumam Tsabit dengan sangat menyesal.

Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusuri sungai itu sampai ketemu pohon yang menghanyutkan apel tersebut
dengan tujuan untuk meminta maaf atau kerelaannya, bahkan mengganti rugi kalau memang apel itu tidak diikhlaskan
oleh pemiliknya.

Setelah cukup jauh berjalan menyusuri sungai, akhirnya ia menemukan kebun apel yang sangat subur tumbuh di
samping sungai. Rantingnya pun banyak menjulur ke sungai, dan tak diragukan lagi buahnya pasti jatuh ke sungai
hanyut terbawa arus air.

Kemudian Tsabit mencari pemilik kebun apel tersebut. Dalam pencarian, ia mendapati seseorang yang tengah
menjaga kebun apel itu. Pemuda itu pun berkata: “Wahai hamba Allah, saya telah menemukan apel ini yang hanyut di
sungai dan saya telah memakannya. Apakah anda bersedia untuk memaafkan saya?”, katanya sambil menunjukkan
apel yang telah digigit itu.

Penjaga kebun pun menjawabnya: “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan
kamu, sementara saya bukan pemilik kebun apel ini. Pemilik kebunlah yang berhak memaafkanmu”. Lalu penjaga itu
mengatakan: “Rumah pemilik kebun ini cukup jauh, sekitar lima mil dari sini”.

Mendengar jawaban itu, dengan jarak rumah pemilik yang cukup jauh, pemuda itu pun tidak berputus asa untuk
mencari keridaan pemiliknya.

Akhirnya, ia sampailah pada rumah pemilik apel tersebut. Ia pun langsung mengetuk pintu, “Wahai hamba Allah, saya
datang kesini karena saya telah menemukan sebuah apel hanyut di sungai yang jatuh dari kebun anda, kemudian
saya memakannya. Saya datang kesini untuk meminta kerelaan anda atas apel ini. Apakah anda meridainya? Saya
telah menggigitnya dan ini yang tersisa”, uangkapnya dengan penuh khawatir.

Sungguh kaget pemilik kebun itu dan agak lama mendengar ucapat Tsabit tersebut. Lalu ia menjawabnya: “Tidak,
saya tidak merelakannya, Nak”. Tsabit pun kaget dan ia penasaran dengan sang pemilik kebun yang
mempermasalahkan sebuah apel itu. Kemudian Tsabit pun menanyakan apa yang haris dirinya lakukan, agar sang
pemilik kebun memaafkannya.
“Demi Allah, saya tidak memaafkanmu, kecuali kamu mau memenuhi sebuah persyaatan”, ucap pemilik kebun itu.

“Persyaratan apa itu”, Tanya Tsabit dengan cemas. “Kau harus menikahi putriku”, jawab pemilik kebun itu yang cukup
mengagetkan Tsabit. Menikahi seorang wanita bukan sebuah hukuman, gumam Tsabit dalam hatinya.

“Benarkah itu yang menjadi syarat anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Itu anugerah
terbesar”, tanya Tsabit dengan kaget.

“Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berdiri, apalagi berjalan. Kalau kamu menerimanya, maka saya
akan memaafkanmu, Nak”, kata pria tua itu.

“Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu, Nak”, katanya lagi pemilik kebun itu.

Kedengarannya cukup tak masuk akal. Kiranya itu adalah hukuman yang tak sebanding dengan kesalahan memakan
sebuah apel yang hanyut di sungai. Akan tetapi di satu sisi, Tsabit sendiri tidak mau menanggung dosa, karena telah
mengambil yang bukan haknya.

Ba’da Isya pun tiba, Tsabit kemudian menemui calon istrinya yang cacat dengan berat hati. Dirinya berjalan ke kamar
pengantin dengan langkah yang berat.

Kemudian dia mengucapkan salam. Alangkah kagetnya Tsabit mendengar jawab salah dari istrinya di dalam kamar
dengan suara yang merdu. Tak hanya itu, wanita itu pun berdiri menghampiri Tsabit dengan wajah yang sangat cantik
dan paras indah tanpa ada cacat sedikitpun. Dalam pikiran Tsabit sendiri, harusnya ia bertemu dengan perempuan
yang cacat.

Dengan perasaan yang tak percaya, ia pun langsung bertanya kepada gadis bak bidadari itu. “Ayahmu berkata, kau
adalah seorang perempuan yang buta”, Tanya Tsabit.

“Demi Allah, ayahku berkata jujur. Aku buta, karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah”, jawab
gadis cantik itu yang membuat kagum suaminya.

“Ayahmu juga bilang bahwa kamu bisu?”, Tanyanya lagi. “Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun
yang membuat Allah murka”, jawab gadis itu.

“Ayahmu juga mengatakan bahwa kamu tuli?”, lanjutnya lagi. “Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah
mendengar satu kalimat pun kecuali di dalamnya terdapat rida Allah”, jawab istri cantiknya itu.

“Ayahmu mengatakan bahwa kamu itu lumpuh?”, tanyanya lagi. “Ya, ayahku benar, aku tidak pernah melangkahkan
kakiku ke tempat yang Allah murkai”, jawabnya lagi.

Kemudian Tsabit pun memandangi istrinya sembari tak henti-henti mengucap syukur kepada Allah, karena telah
mendapatkan istri yang cantik dan salehah.

Dari pernikahan itu, lahirlah ulama besar, yakni Nu’man bin Tsabit atau populer dengan nama Imam Abu Hanifah
yang merupakan salah satu pendiri mazhab fikih. Kisah tersebut juga tercantum dalam kitab terkenal, yakni Al-Aghani
karya dari Abu Al-Faraj. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai