BAB III
35
36
KH. Abdul Wahid Hasyim di lahirkan pada hari jum’at pada tanggal 1
Juni 1914 M (5 Rabi’al Awwal 1333 H) di desa Diwek Kecamatan Cukir
Kab Jombang Jawa Timur. Ketika ada pengajian rutin yang di gelar setiap
jum’at sesudah sholat isya. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra
kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti
Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara:
a. Hannah
b. Khairiyah
c. Aisyah
d. Izzah
e. Abdul Wahid
f. A. Khaliq
g. Abdul Karim
h. Ubaidillah
i. Masrurah
j. Muhammad Yusuf
Menurut Gusdur dalam Greg Barton (2010:31), Nyai Hasyim Asyari,
yang tidak lain adalah nenek Gusdur sendiri, menderita sakit keras ketika
sedang mengandung KH. Abdul Wahid Hasyim. Nyai Hasyim bernazar
apabila anaknya yang dikandungnya ini dapat lahir dengan selamat maka
ia akan membawanya ke Kiai Cholil di Madura. Nyai Hasyim Asy’ari
pun akhirnya berangsur-angsur sembuh dan kemudian dapat melahirkan
Wahid Hasyim tanpa kesulitan. Sesuai dengan sumpahnya, ia pun
membawa anaknya ke Madura agar bisa di berkati oleh guru suaminya.
Oleh banyak orang, kejadian ini di anggap sebagai bertanda bahwa
si anak (Wahid Hasyim) akan menjadi orang besar. KH. Abdul Wahid
Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid Oleh ayahnya Hadratus
Syeh KH. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, di
ambil dari nama kakeknya. Tetapi nama ini tidak terlalu lama, Asy’ari
kecil sering sakit hingga tubuhnya makin kurus, maka nama ini diganti.
Karena dianggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya
37
asuh oleh Kiai Khazin, yang tak lain juga guru KH. Hasyim Asya’ri
(Rizal, 2009:45).
Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia kemudian
pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang di asuh KH Abdul
Karim. Akan tetapi di pesantren ini Wahid Hasyim hanya mondok dalam
waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-
pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah
yang diperlukan KH. Abdul Wahid Hasyim hanyalah keberkahan dari sang
guru. Soal ilmu, mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan
dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain,
harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi
pertimbangan utama dari KH. Abdul Wahid Hasyim ketika itu.
Sepulang dari Lirboyo, KH. Abdul Wahid tidak meneruskan
belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh
ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, apapun keadaannya KH.
Abdul Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar,
Selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam,
terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga
pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia
sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda.
Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang
diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri yang di pesan
oleh ayahnya.
2. Pergi Naik Haji dan Belajar
Dalam rangka mendidik KH. Abdul Wahid Hasyim, KH Hasyim
Asy’ari tentu tidaklah ia lakukan secara sendiri, selain dikirim ke
pesantren Siwalan Panji untuk belajar tasawuf, fiqih, dan tafsir al-Qur’an.
KH. Hasyim Asyar’i juga mengirim Wahid Hasyim untuk melanjutkan
belajarnya ke Makah pada tahun 1932 selama tiga tahun untuk belajar dan
beribadah haji (Lathiful Khuluq, 2009:43).
40