Anda di halaman 1dari 9

35

BAB III

BIOGRAFI DAN KARYA-KARYA WAHID HASYIM

A. Keluarga KH. Abdul Wahid Hasyim


1. Kelahiran KH. Abdul Wahid Hasyim
Nama KH. Abdul Wahid Hasyim barangkali identik dengan tokoh-
tokoh muda yang mempunyai prestasi yang luar biasa, dimana pada masa
peralihan penjajahan Jepang menuju kemerdekaan Indonesia mempunyai
posisi yang sangat vital, ketika itu gonjang-ganjing perselisihan antara
kekuatan muda dan kekuatan kaum tua yang di wakili Soekarno,
sementara semangat untuk mendirikan ideologi Negara masih menjadi
perselisihan antara golongan nasionalis dan agama, yang pada akhirnya di
menangkan golongan nasionalis, dalam hal ini KH. Abdul wahid Hasyim
termasuk kelompok yang menghendaki agar negara yang dibentuk
berdasarkan Islam mengingat Islam agama mayoritas penduduk
Indonesia, tetapi Islam bukan harga mati bagi Wahid Hasyim, ia terbukti
menerima setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia KH. Abdul Wahid
Hasyim salah satu perwakilan dari golongan Islam menerima.
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu dari sedikit tokoh NU
yang menonjol dan ketokohannya tidak hanya diakui kalangan NU, tetapi
juga kalangan diluar NU. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ia
menjadi seperti itu, selain karena putra KH Hasyim Asyari, ia juga lebih
dikenal-sangat cerdas dan gemar sekali membaca. Berkat kecerdasan dan
kegemarannya tersebut ia mempunyai pemikiran yang maju terlebih jika
dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU pada masa itu. Ia mampu
mengikuti perkembangan yang terjadi sehingga dapat “duduk sejajar”
dengan tokoh-tokoh nasional yang mendapat kesempatan belajar di
bangku sekolah modern (Yanto dan Retno, 2009: 409).

35
36

KH. Abdul Wahid Hasyim di lahirkan pada hari jum’at pada tanggal 1
Juni 1914 M (5 Rabi’al Awwal 1333 H) di desa Diwek Kecamatan Cukir
Kab Jombang Jawa Timur. Ketika ada pengajian rutin yang di gelar setiap
jum’at sesudah sholat isya. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra
kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti
Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara:
a. Hannah
b. Khairiyah
c. Aisyah
d. Izzah
e. Abdul Wahid
f. A. Khaliq
g. Abdul Karim
h. Ubaidillah
i. Masrurah
j. Muhammad Yusuf
Menurut Gusdur dalam Greg Barton (2010:31), Nyai Hasyim Asyari,
yang tidak lain adalah nenek Gusdur sendiri, menderita sakit keras ketika
sedang mengandung KH. Abdul Wahid Hasyim. Nyai Hasyim bernazar
apabila anaknya yang dikandungnya ini dapat lahir dengan selamat maka
ia akan membawanya ke Kiai Cholil di Madura. Nyai Hasyim Asy’ari
pun akhirnya berangsur-angsur sembuh dan kemudian dapat melahirkan
Wahid Hasyim tanpa kesulitan. Sesuai dengan sumpahnya, ia pun
membawa anaknya ke Madura agar bisa di berkati oleh guru suaminya.
Oleh banyak orang, kejadian ini di anggap sebagai bertanda bahwa
si anak (Wahid Hasyim) akan menjadi orang besar. KH. Abdul Wahid
Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid Oleh ayahnya Hadratus
Syeh KH. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, di
ambil dari nama kakeknya. Tetapi nama ini tidak terlalu lama, Asy’ari
kecil sering sakit hingga tubuhnya makin kurus, maka nama ini diganti.
Karena dianggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya
37

diganti Abdul Wahid Hasyim, pengambilan dari nama seorang datuknya.


Namun ibunya kerap kali memanggil dengan nama “Mudin” (KPG
Tempo, 2011:11). Sedangkan para santri dan masyarakat sekitar sering
memanggil dengan sebutan Gus Wahid, sebuah panggilan yang kerap
ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa.
2. Silsilah Keluarga
KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan salah seorang dari sepuluh
keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Ulama yang termasyhur dan
pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan yang terbesar di
Indonesia. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir,
tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Hadiwijaya yang
berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu
betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu
raja Kerajaan Majapahit. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan
sebutan Lembu Peteng (Amin, 2010:65).
Ketika menginjak usia 25 tahun, KH. Abdul Wahid mempersunting
gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu
baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, Putra-
putri KH. Abdul Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang
menjadi tokoh dan miniatur dari Indonesia dengan lingkungan yang
berbeda-beda, putra Pertama, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah
salah satu mantan presiden RI yang ke-4, sosoknya yang penuh
kontroversi. Kedua, Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai
Golkar. Ketiga, KH Salahuddin Wahid penjelajah lintas ilmu disiplin
ilmu dan aktivis HAM dan kini menjadi pengasuh pondok pesantren
Tebuireng. Keempat dr. umar Wahid seorang dokter professional murni.
Kelima, Lily Chotijah Wahid kini menjadi anggota legeislatif dari PKB
(Risalah, 1430 H:77). Silsilah KH. Wahid Hasyim (Zuhri, 2010:181)
38

3. Diangkat Sebagai Pahlawan Nasional


Menurut Azis Masyhuri (2008:48) atas jasa KH. Abdul Wahid
Hasyim terhadap Negara republik Indonesia, beliau mendapatkan gelar
Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Berdasarkan Surat keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964,
mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa
hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa
cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur
guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa. Demikianlah pemerintah
menghargai kiprah KH Wahid Hasyim dalam mengabdi kepada negara.

B. Latar Belakang Pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim


Karir pendidikan KH. Abdul Wahid Hasyim dimulai sejak umur lima
tahun, ia belajar membaca al-Qur’an dan dalam waktu dua tahun ia sudah
pandai membaca kitab suci tersebut. Ketika usianya menginjak tujuh tahun, ia
mulai belajar kitab kuning, di antaranya kitab Fathul Qorib, Minhajul Qawin,
dan kitab mutammimah pada ayahnya, dan pada usia ini pulalah beliau sudah
khatam membaca al-Qur’an dan mulai belajar di Madrasah Salafiyah di
pesantren Tebuireng (Rifa’i, 2010:23).
Walaupun beliau anak seorang tokoh agama terkemuka ia tidak pernah
mengenyam pendidikan di sekolah pemerintahan kolonial Belanda. Dia lebih
banyak belajar sendiri secara autodidak. Kalau di dalam ilmu pendidikan
terdapat konsep pendidikan otodidak, maka hal itu telah dialami oleh KH.
Abdul Wahid Hasyim. Putra Kyai besar, pendiri organisasi NU ini, hanya
belajar di pesantren.
Sebagai anak seorang kiai belum afdhol kalau belum berkelana ke pondok
lainnya.
1. Pergi ke Pondok
Pondok yang yang pertama disinggahi KH. Abdul Wahid Hasyim
adalah Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo yang di
39

asuh oleh Kiai Khazin, yang tak lain juga guru KH. Hasyim Asya’ri
(Rizal, 2009:45).
Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia kemudian
pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang di asuh KH Abdul
Karim. Akan tetapi di pesantren ini Wahid Hasyim hanya mondok dalam
waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-
pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah
yang diperlukan KH. Abdul Wahid Hasyim hanyalah keberkahan dari sang
guru. Soal ilmu, mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan
dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain,
harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi
pertimbangan utama dari KH. Abdul Wahid Hasyim ketika itu.
Sepulang dari Lirboyo, KH. Abdul Wahid tidak meneruskan
belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh
ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, apapun keadaannya KH.
Abdul Wahid Hasyim bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar,
Selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam,
terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga
pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia
sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda.
Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang
diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri yang di pesan
oleh ayahnya.
2. Pergi Naik Haji dan Belajar
Dalam rangka mendidik KH. Abdul Wahid Hasyim, KH Hasyim
Asy’ari tentu tidaklah ia lakukan secara sendiri, selain dikirim ke
pesantren Siwalan Panji untuk belajar tasawuf, fiqih, dan tafsir al-Qur’an.
KH. Hasyim Asyar’i juga mengirim Wahid Hasyim untuk melanjutkan
belajarnya ke Makah pada tahun 1932 selama tiga tahun untuk belajar dan
beribadah haji (Lathiful Khuluq, 2009:43).
40

Meminjam istilahnya Bruinessen (1995:43) orang Indonesia pergi


ke Makkah selain menunaikan syari’at kewajiban bagi yang mampu,
ternyata ada fungsi sosiologis haji, banyak orang-orang Indonesia mencari
ilmu di Makah dan Madinah dan setelah pulang ke tanah air mereka
mengajar kepada masyarakat di sekitarnya. Di tanah Arab, para haji
Indonesia juga bertemu dengan saudara seiman dari seluruh dunia Islam,
yang belajar kepada guru-guru yang sama, dan dengan demikian mereka
mengetahui perkembangan dan gerakan di Negara-negara Muslim lainnya.
Sepulang dari tanah suci, ia membantu ayahnya mengajar di
pesantren. Ia juga giat terjun ke tengah-tengah masyarakat. Pada usianya
baru menginjak 20-an tahun, KH. Abdul Wahid Hasyim sudah membantu
ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para
ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam
berbagai pertemuan dengan para tokoh.

C. Karya-Karya KH. Abdul Wahid Hasyim


1. Karya dan Jasa-Jasa Wahid Hasyim selama Menjadi Menteri Agama
a. Mengeluarkan peraturan tentang susunan dan tugas kewajiban kantor
pusat Kementerian Agama dan lapangan pekerjaan, susunan serta
tugas kewajiban jawatan urusan agama, jawatan pendidikan agama dan
jawatan penerangan agama (Peraturan Menteri Agama no.2 tahun 1951
tanggal 12 januari 1951).
b. Mengeluarkan peraturan bersama menteri PPK dan Menteri Agama
tentang: pendidikan agama disekolah-serkolah negeri dan partikelir (20
Januari 1951).
c. Menyusun top formasi pegawai kantor pendidiakan agama di propinsi-
propinsi dan kabupaten-kabupaten seluruh Indonesia (26 januari 1951).
d. Mendirikan kantor-kantor pendidikan agama di propinsi-propinsi dan
kabupatan-kabupaten seluruh Indonesia (30 Januari 1951).
e. Mendirikan SGHA Negeri di Kotaraja (Aceh) (13 Januari 1951).
f. Mendirikan SGHA Negeri di Bukittinggi (13 februari 1952).
41

g. Mendirikan PGA Negeri di Tanjung Pinang (13 mei 1951).


h. Mengusahakan keluarnya putusan menteri PPK dengan persetujuan
Menteri Agama tentang: penghargaan ijazah-ijazah Madrasah (17 juli
1951).
i. Mendirikan PGA Negeri di Kotaraja (14 Agustus 1951).
j. Mendirikan PGA Negeri di Padang (16 Agustus 1951).
k. Mendirikan PGA Negeri di Banjarmasin (16 Agustus 1951).
l. Mendirikan PGA Negeri di Jakarta (16 Agustus 1951).
m. Mendirikan PGA Negeri di Tanjung Karang (16 Agustus 1951).
n. Mendirikan PGA Negeri di Bandung (2 Agustus 1951).
o. Mendirikan PGA Negeri di Pamekasan (2 Agustus 1951).
p. Mendirikan SGHA Negeri di Bandung (2 Agustus 1951).
q. Menetapkan rencana pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah
rakyat dari kelas IV-VI (6 Mei 1951).
r. Menetapkan rencana pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah
Lanjutan tingkat pertama (31 Agustus 1951).
s. Mengeluarkan peraturan bersama menteri PPK dan Menteri Agama
tentang peraturan PTAIN di Yogyakarta (21 Oktober 1951) (Mahmud
Yunus, 1995:369).
2. Karya Tulis KH. Abdul Wahid Hasyim
KH.A.Wahid Hasyim adalah seorang tokoh produktif dalam
menyampaikan pemikirannya lewat tulisan-tulisan (karya ilmiah) yang
banyak diterbitkan oleh media, akan tetapi ide-idenya tersebut belum
sempat di buat dalam buku. Di antara karya-karyanya yaitu:
a. “Nabi Muhammad dan Persaudaran Manusia”. Karya ini merupakan
pidatonya saat acara pembukaan perayaan Maulid Nabi Muhammad
Saw. yang di adakan di Istana Negara, Jakarta, pada 2 Januari 1950,
dan merupakan perayaan pertama sesudah penyerahan kedaulatan
Republik Indonesia.
b. “Kebangkitan Dunia Islam”. Karya ini merupakan tulisan di media
Mimbar Agama edisi No. 3-4, maret-april 1951.
42

c. “Beragamalah Dengan Sungguh Dan Ingatlah Kebesaran Tuhan”.


Karya ini merupakan semacam pidato untuk perayaan Hari Raya Idul
Fitri yang pada saat itu, Indonesia masih berbentuk serikat.
d. “Hari Raya sebagai Ukuran Maju-Mundurnya Umat” dalam berita
Nahdlatul Ulama, No. 3, Th,ke 7, Desember, 1937, hal 2-5.
e. “Arti dan Isi Al-Fatihah” Berita Nahdlatul Ulama, No. 14, Th,ke VII,
15 Mei 1938, hal 1-3.
f. “Islam Agama Fitrah (dasar manusia)” Suara Muslimin Indonesia, No.
7, Th,ke II, April, 1944, hal 2-4.
g. “Latihan Lapar adalah Kebahagiaan Hidup Perdamaian Dunia”
penyiaran Kementerian Agama, No. 4, 1309, hlm. 3-4.
h. “Perkembangan Politik Masa Pendudukan Jepang” dari Nota Politik
(November 1945).
i. “Apakah Meninggalnya Stalin Membawa Pengaruh Pada Umat
Islam”juga pada umat Islam Indonesia?” dari Gema Muslimin Tahun 1
No. 2, 1 April 1953.
j. “ Di Belakang Perebutan Kekuasan Jendral Najib di Mesir”, Ceramah
(1952).
k. “Umat Islam Indonesia dalam Menghadapi Perimbangan Kekuatan
Politik Daripada Partai-partai dan Golongan-Golongan”. Catatan
(disiarkan dalam kalangan terbatas pada 1952).
l. “Menyosong Tahun Proklamasi Kemerdekaan yang ke Delapan”,
Jakarta 14 Agustus 1952.
m. “Masyumi Lima Tahun”, Kutipan dari Suara Partai Masyumi, No, 11
tahun ke-5, Desember 1950.
n. “Analisa Kelemahan Penerangan Islam”, salah satu uraian untuk
konferensi, (1951).
o. “Fanitisme dan Fanatisme”, dalam Gempita No.1 tahun ke-1 (15 Maret
1955).
p. “Kedudukan Umat Islam Dalam Masyarakat Islam Indonesia”.
43

q. “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalanya, Tetapi Pemimpin-


Pemimpinya Tidak Tahu”. Tulisan ini ditulis dengan nama samara
“makmum bingung” pada awal 22 Desember 1951.
r. “Abdullah Ubaid sebagai Pendidik” dalam suluh NU, Agustus 1941,
tahun ke-1 No, 5.
s. “Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa” dalam Suara Ansor,
Rajab 1360 Th,IV No.3, ditulis dengan nama Banu Asya’ri.
t. “Pendidiakn Ketuhanan” dalam Mimbar Agama Tahun 1 No,5-6, 17
Desember 1950.
u. “Perguruan Tinggi Islam”, pidato menyambut berdirinya Universitas
Islam Sumatra Utara di Medan 21 Juni 1952.
v. “Islam: anatara Materialisme dan Mistik”, ceramah pada malam
purnama sidi kamis malam, 4 Desember 1952, di Jl. Pegangsaan Timur
No. 56, Jakarta. Diambil dengan tulisan cepat oleh Abd. Halim.
w. “Kedudukan Islam di Indonesia”, nota tentang Peneranmgan Agama
(1959).
x. “Tugas Pemerintah Terhadap Agama”, pidato yang diucapakan dalam
konferensi Kementerian Agama dalam pengurus-pengurus besar
organisasi Islam non-politik, Jakarta 4-6 November 1951.
y. “Membangkitkan Kesadaran Beragama”, Pidato diucapkan dalam
sidang resepsi konferensi Kementerian agama di Bandung 21-22
Januari 1951.
z. “ Kebangkitan Dunia Islam” dalam Suara Muslimin Indonesia, 15
Agustus 1944, Th.Ke-2,No. 16 (Abu Bakar, 2011:378-772 dan Rifa’I,
2010, 42-46).

Anda mungkin juga menyukai