Anda di halaman 1dari 5

K.

H Abdullah Abbas

K.H. Abdullah Abbas atau yang kerap disapa dengan panggilan K.H. Dullah (lahir di
Buntet Cirebon, Jawa Barat, pada tanggal 7 Maret 1922) adalah seorang ulama besar di Jawa
Barat Pengasuh Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat.
Beliau adalah panglima perang dalam Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Beliau juga pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dikenal
sebagai satu di antara lima ulama kharismatik Jawa Barat. Beliau merupakan anak pertama dari
empat bersaudara, dari pasangan KH. Abbas Abdul Jamil dari istrinya yang kedua Nyai Hajjah
I’anah. Saudara-saudara beliau diantaranya, Nyai. Hj. Sukaenah, Nyai. Hj. Maimunah, dan KH.
Nahduddin Royandi.
Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya, Kiyai
Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh Kiai
Abdullah Abbas. Selain itu, Kiai Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa
Pesantren, Pesantren yang pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin
oleh Kiai Makmur. Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, Kiai Dullah menimba ilmu pada Kiai
Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, Kiai Dullah berguru pada Hadratus
Syekh K.H. Hasjim Asyári, Pendiri NU di Jombang, Jawa Timur. Dan terakhir Kiai Dullah
digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.
Selepas dari Pondok Pesantren, Kiai Abdullah Abbas langsung berkiprah di masyarakat.
Dengan diserahi sebagai Ketua Batalyon Hisbullah, Kiai Dullah berjuang merebut kemerdekaan.
Selepas revolusi fisik, Kiai Abdullah Abbas mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata
beralih pada berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda)
ditinggalkan dan lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama Kabupaten
Cirebon. Lalu menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan terakhir
adalah Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon.
KH. Abdullah Abbas rahimahullah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon termasuk
Kiai Khos (langka) yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang
menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”. Kiai Abdullah Abbas sejak
usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam
membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena
Kiai Abdullah Abbas termasuk yang ikut meletakan pundi-pundi kemerdekaan. K.H. Abdullah
Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran
melawan Penjajah Belanda. Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November
1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan Penjajah. Kiai Dullah
melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono. Bukan itu saja, Kiai Abdullah
Abbas dengan pasukannya sering diminta untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung
Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula
Sindang Laut. Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf
Batalyon Hisbullah, juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan
pangkat Letnan Muda.
Pada tahun 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama
Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur Abdurrahman Wahid, melakukan gerakan perlunya NU
kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari
berbagai kalangan. Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun karena cintanya kepada
warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah yang
lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah
Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi
Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat. Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan
menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai Abdullah
Abbas sangat akrab dengan Hadratus Syekh K.H. Hasjim Asyári, Kakek Gus Dur. Maka
pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai
ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah
membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai kalangan.
Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai Abdullah beberapa kali masuk Rumah
Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses
realisasi yaitu ingin didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan,
Sekolah Tinggi Agama Islam dan Rumah Sakit. Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri
saat ini adalah Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1
dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi
Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.
Sebagai ulama dan tokoh masyarakat, kedalaman ilmu dan satunya kata dengan
perbuatan yang dilengkapi dengan sikap khosyyah kepada Allah SWT, telah menjadikan KH.
Abdullah Abbas sebagai seorang ulama sekaligus pemimpin yang memiliki ciri khas tersendiri.
Adapun beberapa keteladanan beliau yang patut untuk diteladani, antara lain sebagai berikut :

 Zuhud dan sederhana. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang lurus dan selalu tampil
dalam kesederhanaan. Mulai dari pakaian, tempat tinggal dan fasilitas lainnya, terbilang
sangat sederhana. Kesehariannya hanya mengenakan pakaian sarung, baju koko, dan
kopyah yang kesemuanya berwarna putih.
 KH. Abdullah Abbas juga merupakan sosok kiai yang teguh dalam memegang prinsip,
Ikhlas dalam beramal dan berjuang. Pandangan hidup KH. Abdullah Abbas memang
terfokus pada perjuangan menegakkan kebenaran dengan tulus ikhlas karena Allah SWT.
Ini dibuktikan ketika seusai perjuangan fisik melawan penjajah, beliau dipanggil Bung
Karno untuk diberikan penghargaan berupa jabatan. Namun, secara halus beliau menolak
dan justru memilih kembali kepesantren.
 Rendah hati dan seorang humanis. KH. Abdullah Abbas adalah seorang tokoh yang
sangat menghargai manusia dengan apa adanya. Ia tidak membeda-bedakan manusia baik
dari segi ras, agama dan keturunan maupun kekayaan. Dihadapan Kiai Abbas semua
manusia sama. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tamu dari berbagai kalangan yang
datang ke rumah Kiai Abbbas, semuanya diterima dengan baik seperti saat menyambut
Dr. Ferdy Sulaeman, STh, Ketua wadah Komunikasi dan Pelayananan Umat Beragama
Jakarta Timur, ketika mengadakan Live In Pemuda Pemudi Lintas Agama pada tanggal 5
sampai 8 bulan Januari tahun 2006 di Pondok Buntet Pesantren.
 Disiplin waktu dan istiqamah. Hal ini ditunjukkan dalam kehadirannya dalam setiap
undangan, KH. Abdullah Abbas selalu datang lebih awal atau tepat waktu. Bahkan di
lingkungan pesantren sendiri, sebagaimana pengakuan santri yang sering bangun
untuk shalat malam, mereka mesti bertemu Kiai sedang mengelilingi pondok. Ini
dilakukan setiap hari mulai tengah malam.
 Suka silaturrahim dan ziarah ke makam sunan/wali. Sudah menjadi bagian hidup Kiai,
setiap hari melakukan silaturrahim, terutama pada sanak famili, kenalan dan teman dekat.
Selain silaturrahim, KH. Abdullah Abbas juga sering melakukan ziarah ke makam-
makam wali songo. Ini dilakukan biasanya sebelum atau sesudah mengadakan acara
imtihan atau maulid Nabi Muhammad SAW di pondok pesantren.
 Menghormati tamu. KH. Abdullah Abbas, sebagaimana juga KH. Abbas ayahnya, selalu
menghormati tamu-tamunya tanpa pandang bulu. Siapa pun yang hadir di rumahnya,
pasti mendapat penghormatan yang sama. Maka wajar bila rumah KH. Abdullah Abbas
sering kedatangan tamu, baik pejabat seperti Presiden, Gubernur, Bupati, dan pejabat
lainnya, pernah juga beberapa Bintang Film dan rakyat kecil.
 Dekat dengan kaum Dhua'fa, Kecintaan KH. Abdullah Abbas terhadp wong cilik, sangat
dirasakan dalam pola kehidupan sehari-harinya. KH. Abdullah Abbas selalu ngemong
rakyat cilik.
 Dalam pengajian kitab Kuning, KH. Abdullah Abbas cenderung mengajarkan kitab-kitab
yang sederhana dan simpel, seperti Kitab Safinah Annajah, Sulam Annajah, Sulam
Attaufiq, Uquduljain dan kitab-kitab yang relatif tipis. Hal itu karena ia mengikuti pola
pendidikan KH. Muqoyyim (salah satu sesepuh Buntet Pesantren) yang populis,
“Ajarkan Kitab Safinah (dengan bahasa yang sederhana) dengan wawasan Ihya
Ulumuddin (penjelasan yang komprehensif).” Maka tak aneh, setiap kali ngaji pasaran
(pengajian khusus bulan Ramadhan), walaupun kitab yang dibaca sangat sederhana dan
tipis, tapi yang ngaji banyak juga banyak juga orang dewasa.

Penerapan berAKHLAK yang dimiliki oleh K.H Abdullah Abbas adalah:


1. Berorientasi Pelayanan
K.H Abdullah Abbas adalah sosok yang terkenal dengan rasa toleransi yang tinggi. Selepas
dari menimba ilmu di Pondok Pesantren, beliau langsung berkiprah di masyarakat. Dengan
diserahi sebagai Ketua Batalyon Hisbullah, beliau berjuang merebut kemerdekaan. Selepas
revolusi fisik, beliau mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata beralih pada
berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda) ditinggalkan dan
lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama Kabupaten Cirebon. Lalu
menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan terakhir adalah
Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon. Semasa hidupnya hingga beliau wafat,
ada beberapa gagasan beliau yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin
didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi
Agama Islam dan Rumah Sakit. Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri saat ini
adalah Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan
MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi
Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.

2. Akuntabel
K.H Abdullah Abbas dikenal sebagai orang yang disiplin, jujur, dan bertanggung jawab. Hal
ini ditunjukkan dalam kehadirannya dalam setiap undangan, KH. Abdullah Abbas selalu
datang lebih awal atau tepat waktu. Bahkan di lingkungan pesantren sendiri, sebagaimana
pengakuan santri yang sering bangun untuk salat malam, mereka mesti bertemu Kiai sedang
mengelilingi pondok. Ini dilakukan setiap hari mulai tengah malam. Hal tersebut
menunjukkan bahwa beliau sangat bertanggung jawab terhadap pondok pesantren. Beliau
juga dikenal sebagai seorang ulama yang lurus dan selalu tampil dalam kesederhanaan.

3. Kompeten
K.H Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya, Kiyai
Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh K.H
Abdullah Abbas. Selain itu, K.H Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa
Pesantren, Pesantren yang pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang
dipimpin oleh Kiai Makmur. Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, beliau menimba ilmu
pada Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Selesai dari Lasem, beliau berguru pada
Hadratus Syekh K.H. Hasjim Asyári, Pendiri NU di Jombang, Jawa Timur. Dan terakhir
beliau digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo. Dinobatkannya beliau sebagi
Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah membuat beliau menjadi rujukan berbagai kalangan.
4. Loyal
K.H Abdullah Abbas sejak usia muda sampai menjelang wafat banyak memberikan
sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang
sudah terpatri dalam diri K.H Abdullah Abbas, karena beliau termasuk yang ikut meletakan
pundi-pundi kemerdekaan. K.H. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas
yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda. Saat itu, Kiai
Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. K.H Abdullah Abbas pun turut
berangkat bertempur melawan Penjajah. Beliau melawan Belanda di daerah Sidoarjo
bersama Mayjen Sungkono. Bukan itu saja, K.H Abdullah Abbas dengan pasukannya sering
diminta untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng
(Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut. Beliau aktif
menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah, juga menjadi
anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.

5. Adaptif
K.H Abdullah Abbas adalah seorang yang sigap dalam menghadapi perubahan. Hal tersebut
dibuktikan dengan pada tahun 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, K.H
Abdullah Abbas bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur Abdurrahman Wahid,
melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini tentunya
mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan. Walau mendapat tantangan
yang cukup berat, beliau terus berjuang dengan cara bersafari dari satu daerah ke daerah
yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926.
Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan menemukan kembali
persaudaraan yang sempat renggang. Maka pertemanan antara keduanya membuat K.H
Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai ide dan gagasan.

6. Kolaboratif
K.H Abdullah Abbas semasa hidupnya aktif dan bekerjasama dengan organisasi sosial
keagamaan lainnya. Selain menjadi pimpinan pondok pesantren Buntet pada tahun 1988-
2007. Pengabdian sepanjang masanya juga telah memposisikannya dalam berbagai macam
jabatan puncak pada organisasi sosial keagamaan seperti di PWNU, PBNU hingga Idarah
‘Aliyah Jam'iyah Ahlu Thariqah Al-Muktabarah An-Nahdliyah (JATMAN).

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_Abbas
https://www.laduni.id/post/read/67831/biografi-kh-abdullah-abbas-buntet-cirebon

Anda mungkin juga menyukai