Anda di halaman 1dari 4

PELATIHAN SURVEILANS PENYAKIT PD3I

AFP
CAMPAK
DIFTERI
TETANUS NEONATORUM
PERTUSIS
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target global untuk eradikasi Polio, eliminasi
Campak-Rubella/CR dan mempertahankan status eliminasi tetanus neonatal dan maternal
(ETMN). Selain komitmen global, Indonesia juga berkomitmen secara Nasional dalam
mengendalikan penyakit difteri dan pertusis.
Untuk mencapai target global, Indonesia menetapkan kebijakan dan strategi sebagai berikut :
 Eradikasi Polio
 Eliminasi Campak dan Rubela/CRS
 Pengendalian Difteri
 Mempertahankan Eliminasi Tetanus Maternal & Neonatal
 Kebijakan Pengendalian Pertusis

DO Penemuan kasus :
1. AFP : usia < 15 tahun dengan kondisi lemas, lemas tungkai
Melakukan Surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP) yang adekuat setiap tahun dengan
indikator Non Polio AFP rate ≥ 2 per 100.000 penduduk usia <15 tahun dan Persentase
Spesimen Adekuat minimal 80%.
(kurang dari 14 hari sejak mulai sakit hingga lumpuh maksimal)
Spesimen tinja / feses b. Kriteria spesimen yang baik / adekuat adalah:
- 2 spesimen dapat dikumpulkan dengan tenggang waktu minimal 24 jam.
- Waktu pengumpulan ke 2 spesimen tidak lebih dari 14 hari sejak terjadi kelumpuhan.
- Masing-masing spesimen minimal 8 gram (sebesar satu ruas ibu jari orang dewasa),
atau 1 sendok makan bila penderita diare.
- Pada saat diterima di laboratorium dalam keadaan: - 2 spesimen tidak bocor. - 2
spesimen volumenya cukup. - Suhu dalam spesimen karier 2 - 8° C - 2 spesimen tidak
rusak(kering, dll).

2. CAMPAK
a. Melaksanakan surveilans demam dan ruam maculopapular dengan indikator
Discarded rate campak-rubela ≥2/100.000 penduduk yang merata di setiap
kabupaten/kota setiap tahun
b. Konfirmasi laboratorium terhadap kasus suspek campak (Case Based Measles
Surveillance/CBMS) 100% setiap tahun
c. Melakukan penyelidikan epidemiologi setiap kasus suspek campak dalam
menyeluruh (fully investigated) maksimal 2 x 24 jam;
d. Melakukan pengambilan spesimen urin/swab tenggorok minimal 1 kasus per
kab/kota/tahun;
e. Melaksanakan Surveilans CRS secara sentinel dengan indikator Reporting rate
suspek CRS > 1/10.000 kelahiran hidup provinsi
f. Melakukan pencatatan dan pelaporan Individual dengan format yang ditetapkan
g. Melakukan pemantauan suspek Campak melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan
Respon (SKDR)
h. Cakupan imunisasi MR >95%

3. DIFTERI
seseorang dengan gejala adanya infeksi saluran pernafasan atas dan pseudomembran
(lapor langsung)
 Gejala faringitis, tonsilitis, laringitis, trakeitis, atau kombinasinya;
 demam atau tanpa demam;
 adanya pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila
dilepas atau dilakukan manipulasi.
 Pada hari ke-7 pengobatan dilakukan pengambilan kultur ulang pada penderita  untuk
evaluasi hasil pengobatan
 Jika hasil kultur ulang masih positif maka :
 Antibiotik diulang pemberiannya selama 14 hari,
 Periksa kultur setelah selesai pengobatan kedua.
 Klinis penderita baik, bisa dipulangkan :
 Tanpa menunggu hasil kultur laboratorium.
 Obat dilanjutkan sampai 14 hari
 Komris ke penderita dan keluarga
 Membatasi kontak dengan orang lain sampai anti biotik selesai
 RS info ke Dinkes Kab/Kota atau Provinsi untuk pemantauan sampai hasil lab negatif
 Semua penderita yang mendapat ADS harus diimunisasi lengkap 3 kali setelah 4-6
minggu setelah ADS diberikan.
 Apabila diagnosis akhir bukan difteri tetap diberikan imunisasi sesuai status imunisasi
kasus.
 Melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) sesegera mungkin di lokasi
yang terjadi KLB Difteri dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi sebanyak
tiga putaran dengan interval waktu 0-1-6 bulan tanpa memandang status imunisasi. 5)
Meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi rutin Difteri (baik imunisasi
dasar maupun lanjutan) agar mencapai minimal 95%.
 Melakukan kunjungan ke minimal 20 rumah disekitar kasus yang memiliki sasaran Balita
untuk ditanya riwayat imunisasi DPT dan alasannya apabila belum lengkap.

a. Melakukan Surveilans Difteri


b. Melakukan penyelidikan epidemiologi setiap kasus suspek Difteri dalam 1 X 24 jam
c. Melakukan tatalaksana kasus dan kontak erat
d. Melakukan pengambilan dan pemeriksaan spesimen setiap kasus suspek dan
kontak erat berdasarkan kajian
e. Melakukan pencatatan dan pelaporan Individual dengan format yang ditetapkan
f. Melakukan pemantauan suspek difteri melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan
Respon (SKDR)

4. TETANUS NEONATORUM form TN 01


Kebijakan Mempertahankan Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal
Tetanus neonatorum (TN) adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (usia <
28 hari) yang disebabkan oleh Clostridium tetani dimana bakteri mengeluarkan toksin
(racun) dan menyerang system saraf pusat. Masa inkubasi TN adalah 3 – 10 hari. Tanda
dan gejala biasanya muncul pada hari ke-3 sampai 28 setelah kelahiran (rata – rata 7
hari setelah kelahiran). Apabila masa inkubasi kurang dari 7 hari, biasanya memiliki
prognosis penyakit lebih buruk dan mempunyai angka kematian yang tinggi.
Gejala Klinis Gejala awal adalah kesulitan minum karena terjadinya trismus atau lock
jaw (spasme otot pengunyah). Mulut mencucu seperti ikan (karpermond), sehingga bayi
tidak dapat minum dengan baik. Selain itu terdapat risus sardonicus atau wajah seperti
senyum terpaksa dan alis terangkat. Kemudian, dapat terjadi spasmus otot yang luas
dan kejang umum, seperti opisthotonus atau tulang belakang seperti melengkung ke
belakang.

Setiap kasus TN harus segera di investigasi sesegera mungkin dalam waktu 24 jam setelah
laporan diterima.

Cara investigasi:
1) Menggunakan formulir investigasi TN ( form TN-01)
2) Melakukan wawancara terhadap orang tua kasus, penolong persalinan dan tenaga
kesehatan pemberi pelayanan antenatal untuk mendapatkan nformasi faktor risiko
kasus TN
3) Menanyakan identitas bayi, riwayat kelahiran dan riwayat kesakitan/kematian
bayi.Kemudian dengan menggunakan kriteria diagnosis, dilakukan penetapan
diagnosis TN dan faktor risikonya sesuai dengan definisi operasional.
4) Semua suspek TN atau kematian yang dilaporkan harus diselidiki dengan
menggunakan formulir investigasi (Form TN-01)
5) Pencarian kasus tambahan TN
a. Melakukan komunikasi resiko dengan pihak terkait dalam rangka penanggulangan KLB
(Pemerdayaan kader kesehatan, kerjasama lintas sector untuk peningkatan pengetahuan /
edukasi kepada masyarakat terkait TN)

a. Melaksanakan Surveillans Tetanus Neonatorum


b. Melakukan penyelidikan epidemiologi setiap kasus TN dengan program terkait
c. Melakukan pemantauan suspek TN melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon
(SKDR)
d. Eliminasi tetanus maternal dan neonatal atau MNTE (Maternal and Neonatal Tetanus
Elimination) didefinisikan sebagai situasi dimana kejadian kasus TN < 1 per 1000
kelahiran hidup di setiap kabupaten/kota.

5. PERTUSIS
Kebijakan Pengendalian Pertusis
Penyakit pertusis dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Di Indonesia, bayi usia 0
– 11 bulan mendapat vaksin DPT-HB-Hib untuk mencegah pertusis. Vaksin DPT-HB-Hib
terbukti aman dan memiliki efikasi yang tinggi, tingkat kekebalan yang protektif akan
terbentuk pada bayi yang sudah mendapatkan tiga dosis imunisasi DPT-HB-Hib.
Melaksanakan Surveilans Pertusis
Melakukan penyelidikan epidemiologi setiap kasus suspek Pertusis dan Melakukan
tatalaksana kasus dan kontak erat
Melakukan pengambilan dan pemeriksaan specimen kasus
Melakukan pencatatan dan pelaporan Individual dengan format yang ditetapkan
Melakukan pemantauan suspek pertussis melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan
Respon (SKDR)
Penguatan pelaksanaan Outbreak Response Immunization (ORI) dengan cakupan
minimal 90% pada situasi KLB

B. Cara penemuan kasus


A.  Gejala dan tanda
 
Tanda diagnostik berupa:
1. Batuk paroksismal diikuti suara batuk rejan saat inspirasi, sering disertai muntah
2. Pada Bayi muda mungkin tidak disertai Batuk rejan, akan tetapi batuk yang diikuti
oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk
3. Perdarahan subkonjungtiva
4. Mungkin disertai pneumonia dan kejang. Diagnosis etiologis ditegakkan
berdasarkan kultur dengan ditemukannya B. pertusis dari specimen nasofaring
yang diambil selama fase kataral atau paroksimal awal. Selain itu pemeriksaan
penunjang bisa dilakukan dengan:
b. PCR (Polymerase Chain Reaction)
c. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertusis dengan ELISA

1. Setiap penderita dengan batuk lebih dari 2 minggu yang datang ke puskesmas harus
dicari gejala tambahan dan ditentukan apakah memenuhi kriteria suspek pertusis. Untuk
usia balita dan anak, penemuan kasus bisa didapatkan dari pelayanan Manajemen
Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Manajemen Terpadu Pelayanan Kesehatan Remaja
(MTPKR).
2. Bila penderita datang dengan batuk yang kurang dari 2 minggu diupayakan untuk
dimonitor perjalanan penyakitnya serta dicari gejala tambahan pertusis lainnya.
3. Bila kasus memenuhi kriteria klinis pertusis, catat dalam formulir investigasi kasus
pertusis (formulir PERT 01) seperti dalam lampiran (1) dan lakukan penyelidikan
epidemiologi untuk mencari kasus tambahan.
4. Bila memenuhi kriteria KLB maka dilakukan penyelidikan KLB

Anda mungkin juga menyukai