Anda di halaman 1dari 8

IHWAL STREET PHOTOGRAPHY

*

Erik Prasetya
**



Street photography, anehnya, sejauh ini tidak diterjemahkan menjadi fotografi
jalanan. Mengenai itu saya tidak tahu alasannya. Tapi, nama ini pada akhirnya bukan
sebuah genre fotografi yang semata-mata berhubungan dengan lokasi (jalanan),
melainkan mengenai sebuah pendekatan.

Latar Belakang

Pada awalnya, istilah street photography belum dipakai. Tapi cikal-bakal
pendekatan ini bisa ditelusuri dari ditemukannya kamera kecil dan lensa bukaan besar
yang dapat merekam pada kondisi cahaya kurang dan juga film cepat (pada 1920-an).
Film cepat adalah film yang memungkinkan juru foto memotret dengan kecepatan
cukup tinggi sehingga bisa merekam kejadian (bukan setting atau pose). Kamera dan
film sebelumnya hanya mengizinkan foto setting yang subyeknya dipaksa berpose
diam selama beberapa detik. Studio foto abad ke-19 biasa dilengkapi dengan
pencengkeram leher dan lain-lain piranti untuk menahan orang dalam posisi diam
sebab pengambilan sebuah potret bisa saja memakan waktu lebih dari 30 detik.
Kamera dan film cepat bisa mengambil gambar dalam sepersekian detik. Cikal-bakal
pendekatan street photography berhubungan dengan perkembangan teknologi.
Mulailah juru potret abad ke-20saat itu masih terutama di Eropa dan
Amerikamerekam gambar kejadian sehari-hari yang tidak disutradarai atau diset.
Teknologi memungkinkan kesadaran visual baru. Yang dulu tak mungkin kini
mungkin. Yang dulu tak kelihatan kini kelihatan. Orang mulai memotret di jalan,
taman dan sudut kota. (Gambar 1)
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah periode khas yang disebut juga
sebagai era fin de sicle. Ada kesadaran akan dekadensi di Barat dan ada harapan
baru. Negeri-negeri Barat masih menguasai belahan lain dunia dalam kolonialisme
tahap lanjut. Pembukaan Terusan Suez (1869), teknologi baru dan lain-lain
perkembangan awal era modern meningkatkan semangat penjelajahan dan
petualangan ke negeri-negeri eksotis (negeri jajahan), juga di kalangan fotografer.
Tapi, di paruh pertama abad ke-20 juga meletus Perang Dunia I dan II. Latar belakang
itu menghasilkan, setidaknya menurut saya, tiga jenis pendekatan fotografi kamera
cepat:

Fotografi dokumenter (documentary photography)
Fotografi jurnalistik (journalistic photography)
Fotografi jalanan (street photography)meskipun nama ini belum dipakai
sampai sekitar 1990-an


*
Makalah untuk diskusi Jakarta dan Street Photography, Galeri Salihara, 10 Juni 2014, 19:00 WIB.
Makalah ini telah disunting.
**
Erik Prasetya adalah fotografer yang selama lebih dari 25 tahun berkonsentrasi pada fotografi
jalanan. Invisible Photographer Asia menahbiskannya sebagai 30 Fotografer Paling Berpengaruh di
Asia (2014). Bukunya Street Photo (KPG, 2014), Street Wear (KPG, 2014) dan Jakarta Estetika Banal
(2011).

Apa perbedaan fotografi dokumenter, jurnalistik dan jalanan?

DOCUMENTARY JOURNALISTIC STREET PHOTOGRAPHY
Boleh mengeset/
menyutradari
Kelengkapan informasi
diutamakan
Obyektif
Estetika bukan
prioritas
















Tegangan tinggi
Ada peristiwa
dramatis
Paradigmatik
Elemen harus kuat dan
dramatis/kontras-
kontras dalam
masyarakat.
Candid (ingin
menangkap keaslian
suasana/emosi suatu
ruang publik)
Kelengkapan informasi
tidak diutamakan
Estetika diutamakan
(sebab emosi
dihadirkan lewat
estetika)

Tegangan rendah
Sehari-hari/banal
Sintagmatik
Elemen bisa lemah/
tidak dramatis tetapi
membangun suatu
komposisi visual

Sekali lagi, istilah street photography tampaknya belum dipakai secara
khusus sebagai sebuah genre sampai menjelang 1990-an. Ketiga pendekatan fotografi
itu saling berpisah maupun bertumpangan. Namun, ada bidang-bidang tempat
ketiganya terbedakan seperti disebutkan pada tabel di atas. Pada era itu fotografi
dokumenter sangat banyak berkembang di negeri-negeri jajahan. Para pemilik
perkebunan, pabrik gula dan usaha lain di negeri jajahan asyik membuat dokumentasi
tentang estat-nya, untuk kepentingan perusahaan maupun pribadi. Keasyikan ini
dibarengi dengan minat antropologis yang romantis dan sangat bertumbuh di era itu.
Ini terjadi di seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda. Fotografi dokumenter
sangat subur di Hindia Belanda. Orang kulit putih mulai mendidik fotografer
pribumiyang pertama tercatat adalah Kassian Cephas (yang antara lain sangat
berjasa memotret seluruh panil Borobudur, termasuk panil Karmawibangga yang kini
tertutup lagi). Foto-foto dari era ini terutama menggunakan pendekatan dokumenter,
baik yang setting maupun tidak. Orang-orang seperti Miguel Covarrubias juga
menghasilkan karya di genre ini dalam perjalanan bulan madunya ke Nusantara.
Sementara itu, fotografi jurnalistik cenderung maju di wilayah maupun tahun-
tahun bermasalah. Misalnya era perang. Genre ini memang menekankan adanya
tegangan tinggi pada suatu peristiwa. Masalah besar menghasilkan berita bagus (bad
news is good news). Bencana menghasilkan foto bagus. Foto jurnalistik dari zaman itu
yang terkenal sampai sekarang kebanyakan mengenai perang dan kelaparan.
Ada kecenderungan para fotografer menggunakan genre dokumenter,
jurnalistik dan pendekatan eksotik ketika memotret negeri jajahan dan masa/wilayah
konflik. Dengan kata lain, ketika memotret sesuatu yang bukan dirinya (liyan). Tapi,
ketika mereka kembali ke kota tinggalnya, mereka menggunakan cara pandang yang
berbeda. Mereka memakai apa yang menjadi cikal-bakal pendekatan street
photography.
Dua tokoh yang harus disebut adalah Henri Cartier-Bresson dan Robert Capa
(dua di antara pendiri agen foto Magnum). Capa sangat menonjol dalam karya
jurnalistik perang. Bresson cenderung pada dokumenter human interest. Ia pernah ke
Hindia Belanda dan membikin foto-foto dokumenter yang eksotis yang sangat lain
dari pendekatannya di kampung halamannya. Karya-karyanya tentang Nusantara tak
pernah terlalu dihargai, karena dianggap kurang istimewa. Bresson sangat berjasa dan
sangat dikenang justru dalam karya foto tentang kotanya sendiri, Paris. Ia senang
menyebut dirinya fotografer surrealis.
Bresson adalah bagian dari aktivis gerakan Dada (Dadaisme). Fotografer
lain dalam gerakan ini adalah Man Ray (Emmanuel Radnitksy)yang terkenal dengan
eksperimen pemutarbalikan proses kamar gelap. (Obyek foto Manray kebanyakan
adalah benda dan model.) Seperti diketahui, gerakan seni Dadaisme bereaksi terhadap
kegundahan setelah Perang Dunia I. Perang Dunia I dan bangkitnya fasisme di Jerman
dan Italia menghancurkan rasa percaya banyak orang Eropa pada rasionalisme yang
diagungkan sejak Abad Pencerahan. Perang dan fasisme menunjukkan bahwa manusia
ternyata tidak rasional (atau rasio manusia ternyata tidak membawa kemuliaan atau
keselamatan). Andre Breton, salah seorang tokoh gerakan ini, menggabungkan
antirasionalitas Dada dengan eksplorasi bawah sadar ala Sigmund Freud menjadi
rumusan yang disebut surrealisme dalam Manifesto Surealisme: . . .ciptaan benak
yang murni. . .lahir dari jukstaposisi (penyejajaran) dua realitas yang agak berjarak. [. .
.] Pertemuan tak terduga antara mesin jahit dengan payung di meja bedah.
Para seniman gerakan Dada, termasuk Bresson dan Man Ray, menjelajahi
wilayah-wilayah irasional manusia atau kenyataan-kenyataan lain yang tak terkuasai.
Sedangkan Capa menjelajahi kenyataan muram dan ironi perang. Man Ray
menghasilkan eksperimen foto yang mengacaukan positif dan negatif.
Menurut saya Bressonlah yang menyumbang paling besar pada apa yang
kemudian menjadi street photography. Ia merumuskan apa yang disebutnya decisive
moment: Fotografi adalah pengenalan atas fakta secara langsung dan segera serta
merupakan pengorganisasian ketat atas bentuk-bentuk visual yang menyatakan dan
memaknai fakta tersebut.
Bisa dikatakan, momen menentukan adalah momen langsung dan segera
ketika elemen-elemen membentuk susunan sedemikian rupa sehingga menciptakan
makna baru, atau fakta yang dimaksud Bresson, yang pada karyanya bersifat
surrealistik. Momen menentukan ini menyatukan ide, mata, perasaan, pada satu aksis.
Ia memang menyebut dirinya fotografer surrealistik. Di sini, jika di luar decisive
moment sebuah foto dimaknai secara representasional, pada decisive moment sebuah
gambar sekaligus juga menjadi presentasi atas dirinya. Bisa kita katakan, foto yang jitu
tidak lagi hanya merupakan wakil dari peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi di luar
bingkai, tidak lagi/hanya dimaknai sebagai dokumentasi realitas, tetapi juga
menawarkan suatu kesadaran baru lewat citraan visual yang dihadirkan. Di sini,
susunan sintagmatis antarelemen di dalam bingkai lebih penting daripada hubungan
paradigmatis gambar itu dengan realitas yang dulu direkamnya.
Rumusan decisive moment ini sangat mempengaruhi (tapi bukan
membatasi) perkembangan genre fotografi yang kemudian menjadi street
photography.


Penyingkapan dan Estetika

Kekhasan fotografi, dibanding seni lukis, adalah pada kepercayaan manusia bahwa
foto merekam kenyataan. Di balik sebuah foto selalu (pernah) ada kenyataan. Seni
lukis bisa mulai dari kekosongan, tapi fotografi adalah cahaya (photo) yang menulis
(grafe) dari alam benda nyata. Yang bukan ciptaan manusia besar perannya dalam
fotografi. Dalam setiap foto diasumsikan ada penyingkapan kenyataan. Setidaknya,
harapan atau tuntutan penyingkapan kenyataan sampai sekarang berlaku pada tiga
genre yang disebut di atas: dokumenter, jurnalistik, dan fotografi jalanan. (Fotografi
yang dipakai sebagai medium seni rupa berada di luar kategori ini.) Jadi,
penyingkapan adalah bagian penting dari street photography.
Ada dorongan menyingkapkan kenyataan yang jauh (di tanah eksotik atau
wilayah konflik), ada pula dorongan untuk menyingkapkan kenyataan yang terjadi
dalam sepersekian detik. Ini berhubungan dengan teknologi kamera kecil dan film
cepat yang memungkinkan penguasaan ruang (mobilitas ke tempat jauh) dan
penguasaan waktu yang baru (mengetahui yang cepat). Keduanya menyumbang
kepada perkembangan dan industri fotografi. Tapi dorongan yang kedua agaknya
yang lebih berpengaruh pada perkembangan awal street photography.
Yang perlu dicatat juga adalah perkembangan teknologi cetak. Di akhir abad
ke-19 percetakan mulai menggunakan teknologi half tonereproduksi gambar
dengan menggunakan dot atau titik-titik yang berbeda ukuran sehingga gradasi warna
kelabu bisa dicapai. (William Fox Talbot yang memperkenalkannya pada 1850.)
Orang mulai bisa mendapatkan gambar yang lumayan bermutu pada media cetak,
yang semakin mendekati foto hasil kamar gelap.
Di Amerika Serikat terbit majalah Life pada pertengahan dekade 1930-an,
yang memproklamasikan manifesto: untuk melihat kehidupan; melihat dunia; saksi
mata kejadian penting, melihat wajah kemiskinan, gestur kebanggaan, hal-hal yang
baru: mesin, tentara, bayangan di hutan, di bulan. . .sesuatu di balik tembok, di dalam
ruangan, sesuatu yang berbahaya. . . (Majalah Life yang terbit pada 1930-an ini
membeli nama majalah Life yang telah ada sebelumnya.)
Industri-industri penerbitan tersebut menumbuhkan minat terhadap peristiwa
sehari-hari. Media massa memberi penugasan pada para juru foto untuk menggarap
tema-tema human interest atau apa yang saat itu sering disebut in depth reportage.
Muncullah nama-nama seperti: Margaret Bourk-White, Walker Evans dan lain-lain.
Yang penting disebut di sini adalah Robert Frank. Frank menghasilkan The
Americans. Ia menawarkan antitesis dari decisive moment Bresson untuk merekam
jalanan dan ruang publik. Momen menentukann Bresson adalah momen saat
fotografer memencet tombol kameranya dan ketika itu mata, kamera dan elemen
peristiwa berada di satu aksis. Bagi Frank tidak begitu. Bagi dia, fotografer mengambil
banyak gambar. Yang menentukan bukanlah decisive moment, melainkan pilihan
terhadap kontak-print. Kontak-print adalah lembaran berisi deretan cetakan foto
dalam ukuran kecil yang biasa dibuat fotografer pada masa itu untuk memilih foto
terbaik yang akan dicetak dalam ukuran besar dan proses yang lebih serius.
Di sini kita melihat wakil dari dua pendapat dari pendekatan yang akan terus
dirasakan dalam street photography. Yang pertama, Bresson (kebetulan Eropa dan
seniman) menyiratkan bahwa fotografer mengamati dengan saksama suatu lokasi dan
kejadian di dalamnya, masuk ke dalamnya dengan perhitungan-perhitungan, dan
mengambil gambar yang jitu ketika sesuatu yang samar-samar telah ia perkirakan
terjadi. Pengamatan dan proses menaksir terjadi di sini. Yang kedua, Frank (kebetulan
AS, yang kental dengan tradisi empiris dan fotografer profesional) menyiratkan bahwa
fotografer mengambil gambar dengan intuisi spontan dan kecepatan. Fotografer
belum tentu sadar betul apa yang ia jepret. Barulah, setelah melewati proses kamar
gelap, ia melihat pada kontak-print dan memilih mana foto yang terbaik. Di sini,
proses seleksi terjadi pada kontak-print; setelah gambar tercipta, bukan sebelum
gambar tercipta.
Saya sendiri berpendapat bahwa akhirnya pada fotografer jalanan (bahkan
juga pewarta foto dan pembuat dokumentasi) menggunakan kedua pendekatan
bersaman atau bergantian. Ia bisa mengamat-amati lokasi dan menebak peristiwa
yang akan mencipta gambar bagus dan menunggu jika peristiwa itu terjadi. Ia bisa
juga secara intuitif-spontan membidik lebih cepat daripada kesadaran.
Satu poin penting yang ingin saya katakan adalah dalam kedua pendekatan
itu, sebetulnya kita bisa melihat adanya dua hal berkelindan: penyingkapan dan
estetika. Bresson mencoba menyingkapkan apa yang bagi mata biasa tersembunyi
karena kecepatan sekaligus yang tersingkap itu merupakan formasi yang estetis.
Demikian pula, ketika Frank memilih rekaman peristiwa (singkapan peristiwa) pada
kontak-print, ia memilih yang memiliki nilai estetik pula.
Titik puncak awal penerimaan foto sebagai karya seni adalah ketika John
Szarkowsky, kurator Museum of Modern Art, memamerkan karya-karya Lee
Friedlander, Garry Winogrand dan Dianne Arbus sebagai new documents, the new
trend in photography. Pada pameran ini karya-karya dengan pendekatan snapshot
aesthetics dalam artian menghadirkan subyek keseharian yang banal dengan
pendekatan yang tampak seperti foto snapshot, diterapkan dengan tujuan bukan
untuk menggambarkan, akan tetapi untuk mengetahui/mencari penyingkapan
kehidupan dari foto.


Apa saja unsur-unsur pembangun estetika dalam seni rupa dan fotografi?

SENI RUPA FOTOGRAFI JURNALISTIK
Bentuk
Titik
Garis
Cahaya
Warna
Tekstur
Massa
Ruang
Volume
Komposisi
. . .
Black & white tonal range
Kontras subyek
Kontras film
Kontras negatif
Kertas film
Format film
P o V
Lensa
Sudut
Depth of Field
GERAK
KOMPOSISI YANG MENGEJUTKAN
. . .


Perkembangan Sekarang

Istilah street photography mulai ramai dipakai pada 1990-an. Pada era yang sama,
jumlah penduduk dunia yang tinggal di perkotaan mulai mencapai 50% (sekarang
telah lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di perkotaan). Street photography
berkembang bersamaan, atau barangkali memang berminat pada perkembangan
ruang publik di perkotaan. Kota-kota di Asia juga telah menjadi metropolis tingkat
dunia. (India masih cukup dominan menyumbang obyek dan lokasi street
photography.)
Street photography pun biasanya merujuk pada genre fotografi yang
merekam ruang publik secara candid (tidak diset) dan terpikat pada relasi unsur-unsur
di ruang publik itu, bukan kedalaman batin individu obyek/subyek foto (bandingkan
Diane Arbus atau Nobuyoshi Araki).
Menurut saya street photography bisa dibedakan dari snapshot. Snapshot,
yang juga perkembangan akibat teknologi kamera poket (dan sekarang kamera
ponsel), merujuk pada segala foto yang dihasilkan secara cepat, biasanya tanpa
perhitungan artistik matang, dengan fasilitas otomatis. Tersedianya bermacam fasilitas
auto pada kamera (auto focus, speed, iso, flash dan lainnya) termasuk program
histamatik untuk pascaproduksi, membuat proses memotret jadi sederhana tapi tetap
menghasilkan kualitas foto yang baik. Hal ini menjadi pemicu banyak praktisi
fotografi untuk memotret dengan cara snapshot. Point and shoot adalah
jargonnya. Snapshot masih membutuhkan beberapa kriteria lagi untuk menjadi karya
street photography. Ia perlu memenuhi komposisi elemen yang menciptakan tawaran
makna baru, baik berkat decisive moment (seperti yang dikatakan Bresson) maupun
berkat seleksi kontak print (seperti yang dikatakan Frank).


Jakarta & Estetika Banal

Sebagai praktisi street photography di Jakarta, saya menyadari bahwa kota ini
memiliki karakter yang berbeda dari kota-kota Eropa dan Amerika Serikat, di mana
genre ini pada awalnya berkembang. Jakarta juga berbeda dari India dan kota-kota
Asia lain yang terletak jauh dari khatulistiwa. Perbedaan geografis utama itu adalah
perbedaan tata cahaya kota. Jakarta memiliki pencahayaan yang datar. Golden
hours bukan karakter utama kota ini. Padahal, fotografer dibentuk untuk menciptakan
gambar bagus dengan resep jam-jam emas tersebut, yaitu ketika ketinggian matahari
terhadap obyek sekitar atau di bawah 45 (dan ini pun dibentuk lebih awal lagi oleh
seni lukis). Tata cahaya semacam itu hanya wajar di wilayah lintang tinggi di Utara
maupun Selatan. Golden hours di Jakarta hanya terjadi sekitar setengah jam di pagi
hari dan setengah jam sore hari. Itu pun jika langit tidak keruh. Mempertahankan
resep jam-jam emas adalah memotret sebagian kecil Jakarta saja. Estetika yang
terbentuk dari seni rupa dan geografi Barat tidak cukup proporsional untuk memotret
peristiwa sehari-hari dan banal di Jakarta. Karena itu, saya mengajukan Estetika Banal
sebagai suatu pendekatan street photography yang lahir dari Jakarta:

Tidak memotret drama/peristiwa besar, melainkan memotret hal sehari-hari
yang menjadi bagian hidup fotografer (bukan memotret yang eksotis, seperti
kemiskinan yang diromantisasi dan sejenisnya)
Hubungan fotografer dengan yang dipotret lebih dialogis ketimbang subyek-
obyek ataupun instruktif. (Fotografer tidak boleh menyuruh atau
menyutradarai orang yang ia potret agar memenuhi rencananya. Fotografer
juga tidak mencari obyek eksotis yang merupakan liyan bagi dirinya)
Mencari pola-pola sintagmatik yang tepat/proporsional untuk menggambarkan
yang paradigmatik.


Sumbangan Street Photography

Pencapaian estetika street photography memang hanya dimungkinkan karena
perkembangan teknologi, yang memungkinkan kamera merekam sepersekian detik
dan sekarang menangkap gambar dalam cahaya yang makin sedikit. Street
photography menyingkapkan formasi-formasi dari kehidupan sehari-hari yang tak
sempat kita lihat dengan saksama. Tapi proses penangkapan momen-momen itu
mengantar fotografer dan kritikus pada pertanyaan yang terus-menerus diuji: Apa
hubungan fotografer dengan yang difoto? Apa hubungan subyek dengan obyek?
Dari pengalaman saya sebagai praktisi street photography, saya tahu bahwa
fotografer jalanan berselancar dalam aliran yang dinamis. Posisinya ambigu jika bukan
tak stabil. Ia harus tak terlihat, tak mengganggu. Tapi ia juga tak boleh mengambil
gambar dengan kamera tersembunyi. Ia harus tetap terbuka. Ia harus menjadi sewajar-
wajarnya. Ini artinya ia menimbang hubungannya dengan obyek (ataukah justru
subyek) fotonya. Jika obyek (ataukah subyek) fotonya tersadar, si fotografer juga
harus bisa bersikap terbuka untuk mengatasi masalah yang timbul. Bisa saja orang
tersebut tidak rela, bisa juga baik-baik saja. Tapi renungan pengalaman fotografer
jalanan bisa membuat street photography menyumbang pada dunia wacana tentang
hubungan antara subyek-obyek, antarmanusia, antara ruang privat dan ruang publik,
yang terus-menerus dipertanyakan dan dirumuskan ulang. Hal itu mungkin adalah
sebuah pertanyaan etika lebih daripada estetika.


Apa itu Street Photography?
Berdasarkan pengamatan kasar, kita bisa mencirikan street photography sebagai:
Memotret ruang publik, bukan ruang privat. Ruang publik bisa dalam makna
konkret, seperti jalan, taman, kota, pasar, kendaraan umum dan sejenisnya;
bukan kamar kerja, kamar tamu, ruang tidur, bak mandi dan sejenisnya. Bisa
juga dalam makna konseptual, yaitu relasi manusia dengan dunia publik
(eksterioritas); bukan dunia batin manusia.
Memotret manusia, makhluk hidup dan relasi di antara mereka maupun
dengan hubungan dengan benda-benda yang membangun suasana di ruang
publik; bukan memotret arsitektur.
Memotret tanpa melakukan penyutradaraan.






Kenapa Street Photography memusatkan diri pada ruang publik, terutama kota?
Ruang publik menunjukkan tingkat dan bentuk peradaban masyarakat yang
bersangkutan. Melalui ruang publik kita melihat bagaimana negosiasi di antara
pihak-pihak terjadi. Masyarakat maju dan terbuka, misalnya, menghargai
perbedaan dan menjaga hak asasi manusia. Rasa aman juga terlihat di ruang
publik. Itu tercermin dari bagaimana orang bersikap dan berpakaian di jalan.
Di ruang publik terjadi hubungan dan negosiasi di antara orang yang anonim
(tak saling kenal)
Potensi ketegangan tinggi (sekalipun bukan wilayah atau masa konflik).
Lebih dari 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Maka, kota adalah
lokasi sangat penting dalam kehidupan manusia dewasa ini.



Kenapa dinamakan Street Photography?
Jika obyek/subyek foto tidak harus berada di jalan, tetapi bisa juga di ruang
publik lain (taman, bis atau kereta dan lain-lain), kenapa disebut street
photography?
Dalam sejarahnya, pada awalnya para fotografer menghasilkan foto-foto
sejenis itu di jalan.
Yang dimaksud foto sejenis itu adalah adalah yang candid (tidak
disutradarai), merekam emosi sebuah kota melalui kombinasi pelbagai elemen
yang dinamis.
Lalu, pada akhirnya pendekatan sejenis itu digunakan juga di ruang publik
yang lain.
Maka, street photography juga merupakan sebuah pendekatan. Street
photography bukan cuma berkenaan dengan lokasi (jalanan), melainkan
sebuah konsep.

Anda mungkin juga menyukai