Anda di halaman 1dari 19

Sejarah seni performans II

(Konsep dan Bentuk)


Program Studi Seni Rupa, Universitas Telkom

Pengajar : Riyadhus Shalihin, S.Sn, M.Sn


FOUR PILLARS OF PERFORMANCE ART
EMPAT PILAR SENI PERFORMANS

BODY
SITE
Presence or Absence
Alternative and formal locations

AUDIENCE
TIME
Random or prepared
Short, Medium, Long Duration
Gambaran mata kuliah

Bertolak dari apa yang terjadi di Eropa dan Amerika, pada tahun 1970
di wilayah Asia secara lebih khusus – peneliti dan kurator Thomas J
Berghuis menulis, sudah saatnya melihat Asia sebagai arena praktik
yang memiliki gagasan artistik sendiri.

Dirinya melihat penulisan sejarah seni performans, dari tahun 1970


hingga 1980 yang selalu dibebankan pada sejarah dengan tiga titik
kajian kanon, yaitu: Eropa, Amerika dan Jepang, maka
mempertanyakan sejarah seni performans di Asia, lebih jauh harus
dilakukan terutama sekali di dalam dinamika periode 1990. Dirinya
melihat pentingnya menunda persamaan-persamaan tersebut, dan
melihat ekspresi performans yang spesifik di dalam kawasan Asia.
Seni performans di Asia, Timur Tengah dan Asia Tenggara
Budaya seni performans atau performativitas sudah ada semenjak lama di banyak
daerah di Asia. Hal ini dapat kita lihat dalam kajian antropologi terutama apabila
melihat budaya pra-kolonial di Asia. Hal ini dapat kita rujuk pertama kali melalui
hubungan seni performans dan ritual.

Ritual dibedakan dengan seni pertunjukan, seperti: teater, tari, musik. Seni
pertunjukan sudah mengasumsikan adanya penonton yang sekular, menonton karena
ingin menonton,untuk pemuasan penasaran, hiburan atau intelektual. Ritual memiliki
tujuan yang bersifat purifikasi, religi dan praktik yang dilakukan tidak untuk
kebutuhan sekular. Seni pertunjukan memiliki syarat wajib untuk pertemuan antara
penonton dan pertinjukan. Ritual di dalam banyak hal tidak memiliki syarat untuk
ditonton, penontonnya dapat bersifat non-manusia.

Ritual, seni pertunjukan yang sudah lebih dahulu ada di budaya Asia, di kemudian
hari kemudian menjadi salah satu ciri khas/bahasa artistik dari kawasan di
semenanjung Thailand, Jepang, Malaysia, Filipina, hingga Indonesia.
Spektrum jaringan dan perbedaan
antara ritual, seni pertunjukan, seni
rupa dan seni performans, 1970.

Kebutuhan spiritual
Kebutuhan sekuler

Ritual

Seni
Seni Performans
Pertunjukan

1. Potensi dan latihan 1. Impotensi dan improvisasi


2. Meniru/Mimesis Seni Rupa 2. Membuat/making
3. Ilusi 3. Pengalaman nyata tubuh
Jejak ritual dan religiusitas
dalam beberapa seniman
performans di Asia dan Asia
Tenggara
1. Lee Mingwei
Meditasi mengenai religiusitas
yang kemudian dikembangkan
menjadik bentuk performans yang
melibatkan unsur-unsur reflektif,
objek sederhana, ruang dan
intesitas.

2. Jason Lim
Unsur-unsur alam sebagai bagian
dari refleksi atas sejarah meditasi
budhisme, yang kemudian
dikembangkan dalam pola
performans yang bersifat tenang,
fokus dengan objek-objek dengan
sifat: api, angin, tanah. Jason Lim, “Duet With Light”, Singapore
Jason Lim, “Duet”, Singapore
Lee Ming Wei, Our Labyrinth
Melati Suryodarmo
Melati Suryodarmo memiliki pola ruang tinggal yang
berpindah. Masa kecilnya dihabiskan di Kampung
Kemlayan Surakarta, sebuah kampung yang memilliki
kedekatan dengan kegiatan seni dan budaya. Sasono
mulyo adalah lokasi dimana Melati Suryodarmo
menghabiskan masa kecilnya, sebuah tempat berkumpul
para pengrawit (penabuh gamelan) dan penari tradisi.

Sasono mulyo memiliki tempat yang strategis bagi


pertumbuhan artistik masa kecil Melati, berada di antara
ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Surakarta dan
PKJT (Pusat Kebudayaan Jawa Tengah).

Pada tahun 1994, Melati mengambil S2 di HBK Jerman,


dan dibimbing secara langsung oleh Marina Abramovic.
Melati Suryodarmo, dan investigasi atas tradisi lokal
• Performans dari Melati tidak bersifat naratif, bagi Melati karyanya justru memporak-pondakan atau
membongkar narasi sejarah.
• Salah satu yang dilakukan Melati, berkaitan dengan sejarah tradisi di Indonesia, adalah kenyataan kekuasaan
dan politis yang menyertai setiap bentuk seni tradisi. Melati memulai melakukan penelitian atas situasi ritual,
salah satunya: “Reog” dan “Jaran Kepang”.
• Melati melihat di kedua jenis penelitian tersebut. Kedua jenis kesenian tradisi tersebut menggunakan
binatang sebagai simbol yang banyak hadir di dalam sejarah kebudayaan, yaitu: kuda. Kuda bagi Melati adalah
lebih dari sekedar binatang, kuda adalah saksi peradaban.
• Kuda adalah saksi dari setiap peperangan dan sejarah pembangunan kebudayaan/peradaban. Jaran Kepang
sendiri menggunakan unsur kesurupan, tindakan ekstrim, yang berkaitan dengan kesakitan yang dipentaskan
di ruang publik. Jarang Kepang sendiri menggunakan beberapa tindakan seperti: menenggelamkan kepada
kedalam ember berisi air, memecut cemeti, dan penari yang kesurupan menaiki kuda yang terbuat dari kayu.
• Beberapa tindakan tersebut diadopsi oleh Melati ke dalam gestur dan objek yang lebih minimalis: ember air,
kuda sebenarnya, dan pecut/cemeti. Tindakan yang diambil, diekstrak oleh Melati, menjadi:
menenggelamkan kepala ke dalam ember air dan memecut cemeti ke atas langit. Sejarah tersebut diekstrak,
dipadatkan, baik di dalam narasi maupun tindakan.
Melati Suryodarmo sebagai penari,
pada saat masa kecil di Solo

Marina Abramovic dan Melati


Suryodarmo
Karya seni performans dari Melati Suryodarmo “Lullaby For The Ancestors”
Itali, (2001). (Dokumentasi pribadi: Melati Suryodarmo)
Exergie Butter Dance
• Karya “Exergie Butter Dance” memiliki makna ganda. Sebagai bentuk
performans Melati menyebutnya sebagai “moment”. Bagaimana bertahan
dalam satu kemungkinan kejadian: Accident is just one moment, Silence is
just one moment, Happiness is just one moment. This is just one moment,
Of being caught by the moment. Tetapi karya tersebut juga menyoal
bagaimana perpindahan, dari Indonesia ke Jerman kemudian berpengaruh
secara fisik terhadap tubuhnya, konsumsi nasi yang berubah menjadi
konsumsi mentega. Mengubah bentuk tubuhnya menjadi gempal.
• Melati menggunakan ingatan teknik tubunya saat menari, dan juga suara
dari musik tradisional Makassar, yang biasa digunakan untuk Pakarena.
Melati menggubahnya menjadi satu jenis bentuk baru seni performans.
Karya seni performans Melati Suryodarmo “Exergie Butter Dance” 2000, di HAU Theatre Berlin. (Dok: Melati Suryodarmo)
Shirin Neshat

“Playing a role, being a performer, I was the master of my own


ceremony. I was in control. I felt like, ‘this is me.’”
Shirin Neshat memadukan pengalaman
Revolusi Islam di Iran, yang dilakukan ole
Ayatollah Khomeini, dan refleksinya sebagai
perempuan eksil di Amerika. Shirin tidak bisa
kembali ke Iran, namun juga tidak dapat
menganggap bahwa Amerika sebagai rumah.

Shirin mengalami melankolia atas tradisi, ritual


dan agama Islam Syiah di Iran, sekaligus
terasing dengan budaya Amerika. Shirin
kemudian memanfaatkan keduanya sebagai
caranya membuat karya karya seni performans,
baik secara langsung, maupun dalam bentuk
foto dan video.

Shirin Neshat, born


Iran, live in America

Anda mungkin juga menyukai