Anda di halaman 1dari 2

  Kayu cyprus, mapple, dan eboni. Berlabel kertas yang ditempel dengan lem khusus di dalamnya.

Kalian bisa melihatnya melalui f-hole sebelah kanan biola tersebut.

"Nicolaus Amatus Fecit In Cremona 16"

  Ya, Cremona. Sebuah kota kecil di Italia dengan sejarah panjangnya dalam perkembangan musik
klasik. Sebuah kota penting bagi para pemain alat musik gesek kelas dunia bertemu dengan belahan
jiwanya: instrumen mereka.

 Bagaimana caranya biola yang berasal dari abad ke-17, yang dibuat di Cremona ini sampai ke Jakarta?
Dipajang membisu, dilihat oleh ribuan pengunjung, haus untuk dimainkan kembali.

  Sersan Willem Van Eldik membeli biola tersebut pada tahun 1914, seorang pria berkabangsaan
Belanda yang menikahi wanita cantik asal Jawa Tengah bernama Roekijem.

  Bersama istri dan adik ke enam dari istrinya, ketiganya tinggal di Makassar untuk beberapa waktu
yang lama. Adik iparnya yang berusia 11 tahun, bernama Supratman. Wage Rudolf Supratman.

  Singkat cerita, menggunakan biola yang sama, dengan sedikit meluangkan waktunya, Willem
mengajari adik iparnya tersebut bermusik. Lambat laun, ketika kemampuan bermusik Wage
berkembang, Willem akhirnya mengajaknya ke tempat tongkrongannya. Pada tahun 1920, Wage
bergabung dengan band bergenre jazz yang dibentuk oleh kakak iparnya. Pada tahun yang sama pula,
akhirnya Willem melepas biola kesayangannya, diberikannya biola yang sudah menemaninya selama 3
tahun kepada adik iparnya.

  Biola yang dibuat di Cremona pada abad ke-17, akhirnya diwariskan ke tangan Wage Rudolf
Supratman.

  Dengan penghasilan manggungnya bersama band jazz kakak iparnya, Wage banyak bersenang-
senang. Hingga dirinya merasa bosan.

  Akhirnya, Wage mulai tertarik akan rangakaian kejadian politik negerinya. Meninggalkan kehidupan
gemerlapnya, band jazz itu akhirnya dibubarkan. Wage bertolak dari Makassar menuju Bandung pada
1924 dengan tujuan memenuhi panggilan pergerakan bangsa.

  Usianya saat itu sudah menginjak 21 tahun dengan penghasilan tak menentu menjadi wartawan.
Wage pun merasakan pahitnya kehidupan. Berkali-kali mengejar berita, berkali-kali berpindah redaksi
hingga membawa langkahnya ke Batavia. Pusat pemerintahan dan juga pergerakan politik.

 Wage tak peduli dengan penghasilan kecilnya, tak peduli dengan rumahnya yang biasa saja. Dirinya
semakin dekat dengan rakyat, dirinya semakin dekat dengan mimpi terjun ke dalam politik yang
membuatnya tetap bertahan di sini.

  Pada suatu siang di tahun 1928, harinya dengan rutinutas biasanya, Wage membaca artikel yang
dirilis majalah terbitan Solo, "Timbul". Dalam artikel tersebut, para komposer Indonesia ditantang untuk
menciptakan lagu kebangsaan.
  Wage kembali ke rumahnya. Mengeluarkan kertas-kertas partitur kosong, mulai mengarangsemen
lagu kebangsaan. Berhari-hari dirinya larut mengerjakan komposisi yang akan mengubah sejarah bangsa
ini. Sebuah komposisi yang terlukis semangat, harapan, serta doa bangsa ini kepada tanah airnya.

 Manuskrip notasi berjudul "Lagu Kebangsaan", dengan catatan di atas bar pertama "Djangan terlalu
tjepat," dan angka 4/4 di samping treble cleff. "Indonesia Raya" lahir.

  Menjelang Kongres Pemuda II, dalam keperluan liputan koran Sin Po-nya, Wage pergi menemui
Soegondo Djojo Puspito. Mengetahui ketenaran Wage, Soegondo memintanya untuk membawakan
komposisinya.

  Wage akhirnya akan memainkan biolanya kembali di hadapan publik setelah sekian lama. Suasana
malam itu tegang, semua orang menunggu 'premiere' lagu kebangsaan mereka. Agen-agen kolonial yang
berada di sudut ruangan memandanginya.

 Ia mengangkat biolanya, mengangkat pula bownya, mulai menyetem satu per satu senarnya. Setelah
dirasa keempat senarnya in tune, Wage menghela napasnya. Ia menaruh bownya di atas senar,
menggeseknya ke bawah dengan dinamik forte. Mengejutkan orang-orang yang mengelilinginya. Lagu
tersebut semakin keras semakin berjalan. Nadanya yang sederhana dan mudah diingat, nadanya yang
membangkitkan dan membakar semangat siapa pun yang mendengarnya. Ritardando di akhir
komposisinya membuat hanyut orang-orang yang berada di kongres tersebut.

  Pada 28 Oktober 1928, "Lagu Kebangsaan" yang kelak akan disebut "Indonesia Raya" pertama kali
ditampilkan. Betapa beruntungnya orang-orang yang hadir pada hari itu. Sang komposerlah yang
langsung membawakan komposisinya bersaman dengan biola kesayangannya.

 Namun Tak lama, pemerintah melarang rakyatnya untuk menyanyikan lagu ini, menangkap pula Wage
dan dijebloskannya ke dalam penjara. Kondisi kesehatannya kian menurun. Hingga akhirnya pemerintah
memutuskan untuk memulangkannya setelah melihat kondisi Wage yang melemah.

  Surabaya, 17 Agustus 1938, Wage menghembuskan napas terakhirnya, terbaring kaku di atas
ranjangnya. Meninggal sebelum merasakan kemerdekaan. Meninggal sebelum dirinya sempat
mendengar karyanya diperdengarkan.

 Ah iya, biola yang dibuat oleh Nicolaus Amatus Fecit disimpan dan dirawat oleh kakaknya, Reokijem.
Hingga akhirnya diserahkan kepada Museum Sumpah Pemuda di hari peresmiannya pada 1974. Kini
dirinya diam membisu di dalam kotak kaca. Dijadikan simbol dari museum tersebut.

Anda mungkin juga menyukai