TENTANG
PERANAN PAHLAWAN ISMAIL MARZUKI
OLEH:
KELOMPOK 3
A. Latar Belakang
Masa kolonial juga membawa pengaruh besar ke dalam seni musik
Indonesia. Masa kolonial ini dimulai dengan masuknya bangsa Eropa ke
Indonesia. Bangsa Eropa yang masuk ke Indonesia dimulai dari bangsa
Portugis, Inggris, lalu disusul oleh Belanda. Orang-orang Eropa ini (khususnya
Portugis) banyak memperkenalkan alat musik asal Negara mereka. Alat musik
tersebut diantaranya biola, selo (cello), gitar, seruling (flute), dan ukulele. Alat
musik ini akhirnya berkembang dengan sangat pesat di daerah Pulau Jawa.Para
musisi pun menciptakan musik dengan perpaduan musik barat dan musik
Indonesia yang dikenal dengan musik keroncong.
Keroncong yang dikenal sebagai musik khas daerah Jawa ternyata
merupakan keturunan dari musik orang-orang Portugis. Dalam
perkembangannya, sejumlah unsur tradisional asli Nusantara (Indonesia),
seperti penggunaan seruling dan beberapa komponen gamelan membuat
keroncong menjadi khas Nusantara (Indonesia). Dahulu, dalam sejarahnya,
keroncong pertama kali dikenalkan oleh para pelaut asal Portugis di abad ke-
16. Keroncong itu merupakan sejenis musik yang dikenal dengan sebutan fado
oleh bangsa PortugisPada awal tahun 1900 musik keroncong menjadi musik
yang jarang diminati dan kadang di anggap musik randahan.
Tapi, setelah tahun 1930-an musik keroncong mulai berkembang dan
banyak diminati. Ini dapat di lihat dari musik-musik keroncong yang di
masukkan ke dalam produksi-produksi film dalam negeri. Pada saat itu, lagu
keroncong yang paling popular adalah lagu Bengawan Solo yang di ciptakan
oleh Gesang Martohartono. Lagu ini ditulis pada tahun 1940 bersamaan ketika
tentara Jepang menguasai pulau Jawa pada Perang Dunia ke II. Saat ini musik
keroncong tidak hanya dikenal di dalam negeri melainkan di kenal di
mancanegara.Orang-orang Eropa juga membawa sistem solmisasi dalam
berbagai karya lagu. Selain itu bangsa eropa juga memiliki peranan dalam
memperkenalkan tangga nada diatonis dan sistem penulisan notasi yang saat
ini di gunakan oleh hampir seluruh musisi di Indonesia.
B. Identifikasi masalah
Sesuai dengan judul Karya Tulis Ilmiah ini “Ismail Marzuki Bapak
Kesenian Musik “dan berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan
atas, masalah yang dapat penulis indentifikasi sebagai berikut :
1. Perkembangan musik pada zaman kolonial.
2. Peranan Ismail Marzuki dalam Musik Indonesia.
3. Kondisi politik yang mempengaruhi perkembangan musik Indonesia
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah “Bagaimana peranan
Ismail Marzuki dalam kesenian musik Indonesia?”
1. Bagaimana perkembangan musik pada zaman kolonial?
2. Bagaimana peranan Ismail Marzuki dalam Musik Indonesia?
3. Bagaimana kondisi politik yang mempengaruhi perkembangan musik
Indonesia?
D. Tujuan Penulisaan
Pembuatan makalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) mengenai Ismail
Marzuki Bapak Kesenian Musik bertujuan agar;
1. Mengetahui perkembangan musik pada zaman kolonial.
2. Mengetahu peranan Ismail Marzuki dalam Musik Indonesia
3. Mengetahui kondisi politik yang mempengaruhi perkembangan musik
Indonesia khususnya pada zaman kolonial.
E. Manfaat
Manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Penulis
Menambah wawasan penulis mengenai peranan Ismail Marzuki dalam
perkembangan musik Indonesia.
2. Sekolah
Menjadikan bahan referensi dalam mata pelajaran sejarah Indonesia.
3. Masyarakat
Menjadikan salah satu acuan dalam mempelajari perkembangan musik
Indonesia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Riwayat Hidup Ismail Marzuki
Biografi Ismail Marzuki. Ia lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei
1914, Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini
merupakan salah satu maestro musik legendaris di indonesia, memang
memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun
mengagumkan. Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan
tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya
disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail
mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan
Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan
piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau
kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Orang tua Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa
intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama
Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik.
Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan
gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi
tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg,
Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian
ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing
lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa,
dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing
diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk
sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan
alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-
lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station
sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung
untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok
baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper
(penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di
Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta. Penghasilannya
tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini
hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ma'ing banyak
berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya
Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada
1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain
gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep
Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk
mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu
Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba",
"Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke
dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu
pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa
pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio
NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes
mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu
tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode
tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari
Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang
Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di
Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran
musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio
sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi
di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan
penyanyi antara lain Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik
sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu
oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan
berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh
kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter
menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat
itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.
Ketika Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran
(PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran
yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu
Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang
digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia.
Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda
menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi
memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen bloeien". Lagu ini
kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV).
Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
"Bila Anggrek Mulai Berbunga".
Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti
Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio
NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga
dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu
Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-
mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau Melati
Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk hiburan ringan,
bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai
mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa",
"Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala
bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu
melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing
sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah
pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain
"Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika
itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta
kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di
Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di
Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang
menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan
lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya
romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke
Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal
Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan
Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-
sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu
"Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam". Lagu-lagu yang khusus
mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan
dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit
dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu
ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap
secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati",
"Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan
tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing
tandatanya dari para pengamat musik.
B. Sejarah Musik
Dari perjalanan sejarah terlihat bahwa perekembangan musik nasional
di Indonesia pada masa kolonial Belanda (1908-1942) yaitu periode dalam
sejarah pergerakan, bersamaan dengan berdirinya Budi Utomo yang berjuang
pada awal periode itu disebut sebagai angkatan perintis kemerdekaan masa
kolonialisme.Dalam perjalanan sejarah di Indonesia bangsa Belanda pernah
mengajarkan instrumen musik asal Barat kepada abdi dalem Kesultanan
Kraton Yogyakarta dan Kasunanan Kraton Surakarta. Hal ini
dilakukan,tujuannya agar dapat memainkan lagu kebangsaan ‘Wilhelmus’ saat
upacara kunjungan tamu resmi pejabat dari negeri Belanda. Pada tanggal 26
mei 1923, terbentuklah tradisi musik diatonik yang dikembangkan dengan baik
oleh Walter Spies dan beberapa orang Eropa serta seorang Letnan Angkatan
Darat Hindia Belanda Dongelman.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia mengucapkan ikrar
sumpah pemuda, yaitu Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Sebagai
simbol ikrar teks sumpah pemuda tersebut, berkumandanglah lagu ‘Indonesia
Raya’ untuk pertama kalinya yang diciptakan Wage Rudolf Supratman ( W.R.
Supratman). Diakuinya bahasa melayu sebagai bahasa nasional dan sekaligus
diakuinya musik diatonis sebagai musik nasional, disebabkan perlakuan
istimewa terhadap lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai akibat diakuinya bahasa
melayu sebagai bahasa nasional.
Hal ini memicu timbulnya konflik para cendekiawan Jawa pada masa
itu yang menginginkan lagu ‘Indonesia Raya’ menggunakan musik khas Jawa
melalui instrumen pukul gamelan. Upaya telah dilakukan dengan mencoba para
empu gamelan pada tahun 1930-an dengan memodernisir gamelan secara
praktek maupun teori. Perubahan-perubahan dalam notasi musik diantaranya
pernah ditulis dalam buku kecil Muhamad Yamin, bahwa usaha-usaha
memainkan lagu ‘Indonesia Raya’ dengan gamelan terbukti mengalami
kegagalan, oleh karena secara teknis lagu itu memakai sistem tangganada
diatonis, sementara instrumen gamelan memakai sistem tangga nada
pentatonik.
Pada masa pendudukan Jepang dan Orde Lama 1942-1965, yaitu
diawali perjuangan revolusi Indonesia, sebagai angkatan pendobrak hingga
pasca kolonialisme. Perkembangan musik menjadi isu politik yang beredar,
karena perbedaan pendapat di kalangan para pejuang seniman Indonesia.
Perkembangan musik berfungsi sebagai salah satu sarana pendidikan nasional
mengalir setelah munculnya generasi penerus sesudah W.R. Supratman dan
Mochamad Syafei pendiri INS Kayu Tanam di Sumatera Barat. Di Jawa di
kenal generasi berikutnya yaitu Ismail Marzuki, Kusbini, Bintang Sudibyo, R.
Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan lain-lain.
BAB III
PEMBAHASAN
.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ismail Marzuki adalah seorang komponis besar Indonesia yang semasa
hidupnya sudah menciptakan lebih dari 200 buah lagu. Diantaranya lagu
Sepasang Mata Bola, Rayuan Pulau kelapa, Indonesia Pusaka, dan lain-lain.
Namanya diabadikan sebagai nama pusat kesenian di Jakarta, yaitu Taman
Ismail Marzuki (TIM). Karyanya yang luar biasa bagi negara membuat
pemerintah juga memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada 2004.
Perkembangan musik menjadi isu politik yang beredar, karena
perbedaan pendapat di kalangan para pejuang seniman Indonesia.
Perkembangan musik berfungsi sebagai salah satu sarana pendidikan nasional
mengalir setelah munculnya generasi penerus sesudah W.R. Supratman dan
Mochamad Syafei pendiri INS Kayu Tanam di Sumatera Barat. Di Jawa di
kenal generasi berikutnya yaitu Ismail Marzuki, Kusbini, Bintang Sudibyo, R.
Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan lain-lain.
DAFTAR PUSAKA
http://irfansusukan.blogspot.com/2012/09/peranan-ismail-marzuki.html
http://biografinya.blogspot.com/2013/.../ismail-marzuki.html
https://agroedupolitan.blogspot.com/2017/04/karya-tulis-ilmiah-ismail-
marzuki.html
DAFTAR LAGU - LAGU NASIONAL KARYA BESAR ISMAIL MARZUKI
1. Aryati
2. Gugur Bunga
3. Melati di Tapal Batas (1947)
4. Wanita
5. Rayuan Pulau Kelapa
6. Sepasang Mata Bola (1946)
7. Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
8. O Sarinah (1931)
9. Keroncong Serenata
10. Kasim Baba
11. Hari Lebaran
12. Halo, Halo Bandung
13. Bandaneira
14. Lenggang Bandung
15. Sampul Surat
16. Karangan Bunga dari Selatan
17. Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
18. Juwita Malam
19. Sabda Alam
20. Roselani
21. Rindu Lukisan
22. Indonesia Pusaka