Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TENTANG
PERANAN PAHLAWAN ISMAIL MARZUKI

OLEH:
KELOMPOK 3

REFI FEBRIA NERI


YULI WAHYU EKA PUTRI
FITRIA DELA REZA
ALWITRI DANIATI
MELIDA EKA PUTRI
M. AFIF ALHAQ
YONDRA FAUZA

SMA NEGERI 1 LEMBAH GUMANTI


KABUPATEN SOLOK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa kolonial juga membawa pengaruh besar ke dalam seni musik
Indonesia. Masa kolonial ini dimulai dengan masuknya bangsa Eropa ke
Indonesia. Bangsa Eropa yang masuk ke Indonesia dimulai dari bangsa
Portugis, Inggris, lalu disusul oleh Belanda. Orang-orang Eropa ini (khususnya
Portugis) banyak memperkenalkan alat musik asal Negara mereka. Alat musik
tersebut diantaranya biola, selo (cello), gitar, seruling (flute), dan ukulele. Alat
musik ini akhirnya berkembang dengan sangat pesat di daerah Pulau Jawa.Para
musisi pun menciptakan musik dengan perpaduan musik barat dan musik
Indonesia yang dikenal dengan musik keroncong.
Keroncong yang dikenal sebagai musik khas daerah Jawa ternyata
merupakan keturunan dari musik orang-orang Portugis. Dalam
perkembangannya, sejumlah unsur tradisional asli Nusantara (Indonesia),
seperti penggunaan seruling dan beberapa komponen gamelan membuat
keroncong menjadi khas Nusantara (Indonesia). Dahulu, dalam sejarahnya,
keroncong pertama kali dikenalkan oleh para pelaut asal Portugis di abad ke-
16. Keroncong itu merupakan sejenis musik yang dikenal dengan sebutan fado
oleh bangsa PortugisPada awal tahun 1900 musik keroncong menjadi musik
yang jarang diminati dan kadang di anggap musik randahan.
Tapi, setelah tahun 1930-an musik keroncong mulai berkembang dan
banyak diminati. Ini dapat di lihat dari musik-musik keroncong yang di
masukkan ke dalam produksi-produksi film dalam negeri. Pada saat itu, lagu
keroncong yang paling popular adalah lagu Bengawan Solo yang di ciptakan
oleh Gesang Martohartono. Lagu ini ditulis pada tahun 1940 bersamaan ketika
tentara Jepang menguasai pulau Jawa pada Perang Dunia ke II. Saat ini musik
keroncong tidak hanya dikenal di dalam negeri melainkan di kenal di
mancanegara.Orang-orang Eropa juga membawa sistem solmisasi dalam
berbagai karya lagu. Selain itu bangsa eropa juga memiliki peranan dalam
memperkenalkan tangga nada diatonis dan sistem penulisan notasi yang saat
ini di gunakan oleh hampir seluruh musisi di Indonesia.

B. Identifikasi masalah
Sesuai dengan judul Karya Tulis Ilmiah ini “Ismail Marzuki Bapak
Kesenian Musik “dan berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukan
atas, masalah yang dapat penulis indentifikasi sebagai berikut :
1. Perkembangan musik pada zaman kolonial.
2. Peranan Ismail Marzuki dalam Musik Indonesia.
3. Kondisi politik yang mempengaruhi perkembangan musik Indonesia

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah “Bagaimana peranan
Ismail Marzuki dalam kesenian musik Indonesia?”
1. Bagaimana perkembangan musik pada zaman kolonial?
2. Bagaimana peranan Ismail Marzuki dalam Musik Indonesia?
3. Bagaimana kondisi politik yang mempengaruhi perkembangan musik
Indonesia?

D. Tujuan Penulisaan
Pembuatan makalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) mengenai Ismail
Marzuki Bapak Kesenian Musik bertujuan agar;
1. Mengetahui perkembangan musik pada zaman kolonial.
2. Mengetahu peranan Ismail Marzuki dalam Musik Indonesia
3. Mengetahui kondisi politik yang mempengaruhi perkembangan musik
Indonesia khususnya pada zaman kolonial.

E. Manfaat
Manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Penulis
Menambah wawasan penulis mengenai peranan Ismail Marzuki dalam
perkembangan musik Indonesia.
2. Sekolah
Menjadikan bahan referensi dalam mata pelajaran sejarah Indonesia.
3. Masyarakat
Menjadikan salah satu acuan dalam mempelajari perkembangan musik
Indonesia.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Riwayat Hidup Ismail Marzuki
Biografi Ismail Marzuki. Ia lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei
1914, Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini
merupakan salah satu maestro musik legendaris di indonesia, memang
memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun
mengagumkan. Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan
tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya
disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail
mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan
Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan
piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau
kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Orang tua Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa
intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama
Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik.
Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan
gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi
tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg,
Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian
ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing
lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa,
dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing
diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk
sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan
alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-
lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station
sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung
untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok
baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper
(penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di
Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta. Penghasilannya
tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini
hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ma'ing banyak
berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya
Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada
1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain
gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep
Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk
mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu
Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba",
"Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke
dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu
pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa
pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio
NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes
mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu
tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode
tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari
Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang
Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di
Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran
musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio
sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi
di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan
penyanyi antara lain Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik
sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu
oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan
berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh
kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter
menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat
itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.
Ketika Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran
(PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran
yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu
Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang
digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia.
Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda
menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi
memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen bloeien". Lagu ini
kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV).
Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
"Bila Anggrek Mulai Berbunga".
Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti
Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio
NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga
dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu
Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-
mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau Melati
Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk hiburan ringan,
bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai
mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa",
"Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala
bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu
melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing
sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah
pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".
Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain
"Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika
itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta
kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di
Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di
Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang
menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan
lagu "Gugur Bunga".
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya
romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke
Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal
Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan
Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-
sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu
"Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam". Lagu-lagu yang khusus
mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan
dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit
dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu
ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap
secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati",
"Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan
tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing
tandatanya dari para pengamat musik.

B. Sejarah Musik
Dari perjalanan sejarah terlihat bahwa perekembangan musik nasional
di Indonesia pada masa kolonial Belanda (1908-1942) yaitu periode dalam
sejarah pergerakan, bersamaan dengan berdirinya Budi Utomo yang berjuang
pada awal periode itu disebut sebagai angkatan perintis kemerdekaan masa
kolonialisme.Dalam perjalanan sejarah di Indonesia bangsa Belanda pernah
mengajarkan instrumen musik asal Barat kepada abdi dalem Kesultanan
Kraton Yogyakarta dan Kasunanan Kraton Surakarta. Hal ini
dilakukan,tujuannya agar dapat memainkan lagu kebangsaan ‘Wilhelmus’ saat
upacara kunjungan tamu resmi pejabat dari negeri Belanda. Pada tanggal 26
mei 1923, terbentuklah tradisi musik diatonik yang dikembangkan dengan baik
oleh Walter Spies dan beberapa orang Eropa serta seorang Letnan Angkatan
Darat Hindia Belanda Dongelman.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia mengucapkan ikrar
sumpah pemuda, yaitu Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Sebagai
simbol ikrar teks sumpah pemuda tersebut, berkumandanglah lagu ‘Indonesia
Raya’ untuk pertama kalinya yang diciptakan Wage Rudolf Supratman ( W.R.
Supratman). Diakuinya bahasa melayu sebagai bahasa nasional dan sekaligus
diakuinya musik diatonis sebagai musik nasional, disebabkan perlakuan
istimewa terhadap lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai akibat diakuinya bahasa
melayu sebagai bahasa nasional.
Hal ini memicu timbulnya konflik para cendekiawan Jawa pada masa
itu yang menginginkan lagu ‘Indonesia Raya’ menggunakan musik khas Jawa
melalui instrumen pukul gamelan. Upaya telah dilakukan dengan mencoba para
empu gamelan pada tahun 1930-an dengan memodernisir gamelan secara
praktek maupun teori. Perubahan-perubahan dalam notasi musik diantaranya
pernah ditulis dalam buku kecil Muhamad Yamin, bahwa usaha-usaha
memainkan lagu ‘Indonesia Raya’ dengan gamelan terbukti mengalami
kegagalan, oleh karena secara teknis lagu itu memakai sistem tangganada
diatonis, sementara instrumen gamelan memakai sistem tangga nada
pentatonik.
Pada masa pendudukan Jepang dan Orde Lama 1942-1965, yaitu
diawali perjuangan revolusi Indonesia, sebagai angkatan pendobrak hingga
pasca kolonialisme. Perkembangan musik menjadi isu politik yang beredar,
karena perbedaan pendapat di kalangan para pejuang seniman Indonesia.
Perkembangan musik berfungsi sebagai salah satu sarana pendidikan nasional
mengalir setelah munculnya generasi penerus sesudah W.R. Supratman dan
Mochamad Syafei pendiri INS Kayu Tanam di Sumatera Barat. Di Jawa di
kenal generasi berikutnya yaitu Ismail Marzuki, Kusbini, Bintang Sudibyo, R.
Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan lain-lain.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Musik Masa Kolonial


Sebelum merdeka negara Indonesia lama sekali di jajah. Penjajahan itu
pertam kali di lakukan oleh bangsa Eropa. Bangsa Eropa memasuki wilayah
Indonesia karena keadaan alam Indonesia yang sangat kaya. Adalah Alfonso de
Albuquerque karena tokoh inilah, yang membuat kawasan Nusantara
(Indonesia) waktu itu di kenal oleh orang Eropa dan di mulainya Kolonisasi
berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris dan
Belanda.Ketika orang-orang Eropa datang ke Indonesia pada awal abad ke-16,
mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka
kuasai demi mendominasi perdagangan rempah-rempah.
Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu
Banten dan Sunda Kelapa, tapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan
menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai negara yang
terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan
Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis).Pada masa itulah
agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi imperialisme lama
yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel Belanda menguasai
Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui VOC, dan
kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19.Akibat
dari penjajahan ini bangsa Indonesia tertindas dan tersiksa. Mereka di jadikan
budak di negeri sendiri. Bangsa eropa bersenang-senang dengan hasil bumi
yang telah berhasil mereka rampas. Selama masa penjajahan ini bangsa
Indonesia tidak bisa hidup tenang, mereka di cekam rasa ketakutan. Dan karena
itu mulailah banyak bermunculan organisasi-organisasi yang ingin
memerdekakan tanah air dari tangan bangsa asing (penjajah).

B. Peranan Ismail Marzuki Dalam Perkembangan Musik Indonesia


Ismail Marzuki lahir dan dibesarkan di Batavia, jantung kekuasaan
Kolonial Belanda di Indonesia waktu itu. Semangat zaman memang sangat
mempengaruhi dan membentuk kepribadian Ismail Marzuki dalam menekuni
dan menjatuhkan pilihan sebagai musikus, profesi yang saat itu masih di
pandang sebelah mata. Menurut sejumlah sumber, untuk kali pertama Ismail
Marzuki mencipta lagu berjudul Oh Sarinah. Lagu dengan syair bahasa
Belanda itu dibuat saat dia berusia tujuh belas tahun (1931), nyaris bersamaan
waktunya dengan pembebasan Sukarno salah seorang pemimpin PNI pada
bulan Desember 1931.
Pada tahun 1947, presiden pertama Republik Indonesia ini mengarang
buku yang berjudul Sarinah. Menurut Sukarno, “saya namakan Sarinah,
sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama
Sarinah. Ia mbok saya. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih,
tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Mengajarku mencintai rakyat. Akan
tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah kekuasaan terbesar dalam
hidupku”. Hubungan antara judul lagu ciptaan Ismail Marzuki dan judul buku
karangan Sukarno mungkin tidak berkaitan, namun jelas keduanya lebih dari
sekedar nama seorang perempuan. Sarinah adalah perlambang bangsa yang
tertindas atau, menurut tafsir Firdaus Burhan, “istilah nasional yang
melambangkan seantero rakyat Indonesia yang tertindas ”. Uniknya, radio
NIROM justru yang kali pertama menyiarkan dan mempopulerkan lagu Oh
Sarinah.
Pada periode 1935-1937 Ismail marzuki mencipta beberapa lagu, di
antaranya kroncong Serenata(1935), Oh Jauh di Mata, Roselani (1936;
bernuansa Hawaiian), Setambul Sejati(1937), dan Kasim Baba (1937).
Pengaruh kelompok-kelompok sandiwara yang tumbuh subur sejak
pertengahan tahun 1930-an tampak jelas dalam lagu ciptaan Ismail Marzuki.
Lagu-lagu tradisional dan barat pun ditekuninya sejak 1936 sampai 1937.
Lagu-lagu barat yang tenar waktu itu adalah Bei Mir bist du Schoen, Adios
Muchachos, Beer Barrel of Polka, White Chapel in the Moonlight, dan
Amapola.
Ketika duduk dibangku sekolah dasar (HIS), Marzuki Saeran
mendorong Ismail Marzuki untuk mendaftarkan diri sebagai salah satu anggota
Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), kwartir Surya Wirawan, Gang Kenari.
Ismail Marzuki mulai berkenalan dengan dunia gerakan. Pada waktu hampir
bersamaan, beberapa tokoh masyarakat Betawi, termasuk Muhammad Husni
Thamrin, mendirikan Perkumpulan Kaum Betawi. Organisasi ini lebih
mengutamakan persatuan dan kesatuan kaum Betawi, khususnya di bidang
budaya, bahasa, musik, pengajaran, perdagangan, kerajinan, perawatan,
kesehatan, dan sebagainya.
Ismail Marzuki pun ikut bergerak di dalam organisasi itu, kendati hanya
diberi tugas sebagai kurir dengan wilayah operasi mulai dari daerah sekitar
Kwitang sampai Laan Tegalan (sekarang kawasan Matraman) dan Solitude.
Perlahan-lahan nama Ismail Marzuki mulai dikenal luas, khususnya
dilingkuangan Sport Organisasi Pemuda Betawi (salah satu Onderbouw
Perhimpunan Kaum Betawi). Ismail Marzuki kemudian dipilih sebagai ketua
Modern Gambus dan Harmonium Orkes Kombinasi pada 1939.Selain Ismail
Marzuki, pengusur lain “cabang musik” yang bergabung dengan Sport
Organisasi Pemuda Betawi pada pertengahan 1938 ialah Halid Thabrani
(penulis), Miming (Bendahara), Mohammad Siradj, Muslim Abdul Gani, M.
Bakrie (pembantu), M. Nazirdan HM Jasin Aldjawi (Technisch-leider).
Saat-saat akhir Kolonialisme Belanda di Indonesia, Ismail Marzuki
mencipta sejumlah lagu yang sebagian besar berkisar keresahan jiwa muda,
berkisah tentang kehidupan manusia, dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat
pada judul dan syair lagu-lagu Malam Kemilau, Siapakah Namanya,
Sederhana, Keroncong, Sukapuri, Ani-ani Potong Padi Rumba, lagu-lagu
tersebut diciptakan pada tahun 1940-an. Ismail Marzuki yang bekerja di radio
NIROM sejak 1938 sampai 1940 kemudian pindah ke PPRK pada bulan
November 1940. Dia memimpin orkes studio radio ini sampai dengan
kedatangan balatentara Jepang.
Kenyataan di atas kian mempertegas keberadaan Ismail Marzuki selaku
pemusik pejuang. Posisinya jelas: berperan aktif dalam setiap keadaan.
Bersama beberapa kawan, Ismail Marzuki konsisten memegang nilai-nilai
“merdeka” yang diperjuangkan selama itu. PPRK dan VORO adalah hasil dari
kesinambungan sikap perjuangan semacam itu.Mereka memposisikan diri
secara tepat dan mengambil setiap kesempatan, baik sebagai pengubah(lagu
kepahlawanan dan Cinta Tanah Air) maupun penyiar (melalui PPRK dan
VORO) pesan-pesan keindonesiaan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita
memandang Ismail Marzuki sebagai salah satu orang Indonesia yang turut aktif
berjuang bagi kemerdekaan bangsa dan negerinya. Karena dikaruniai bakat luar
biasa dibidang musik, maka nilai-nilai kebebasan yang merupakan bagian dari
jati dirinya selaku manusia Indonesia tentunya di perjuangkan lewat musik.
Seaindainya Ismail marzuki mengungkapkan atau memberikan program-
program politik penjajahan dan penindasan melalui lagu-lagunya, sebutan yang
akan di sandangnya dalam konteks perjuangan kemerdekaan tentuakan menjadi
lain.
Bulan Februari 1942 Jepang mengirim armada-armada kapal lengkap
dengan berbagai rencana untuk membentuk pemerintahan militer di wilayah
pendudukan. Dua dokumen yang melandasi kegiatan itu adalah “Asas-asas
Mengenai Pemerintahan di Wilayah-wilayah Selatan yang Diduduki” dan
“Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut mengenai
Pemerintahan Militer di Wilayah-wilayah Pendudukan.” Kedua dokumen
diambil dalam “Konferensi Penghubung” yang diadakan di Tokyo bulan
November 1941. Markas Besar Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang
menyusun dan memakai dokumen-dokumen khusus untuk setiap pemerintahan
militer di daerah pendudukan. Pada intinya, dokumen tersebut menekankan
soal pemulihan ketertiban dan keamanan, pencarian sumber kebutuhan vital,
serta pemenuhan kebutuhan pasukan tempur secara berdikari (swasembada).
Pembentukan pemerintah di setiap daerah pendudukan berlangsung dalam tiga
tahap. Tahap pertama adalah pemindahan seluruh kekuasaan administrasi
Belanda ke tangan tentara Jepang. Tahap berikutnya diberlakukan
pemerintahan militer sangat ketat. Semua jabatan dipegang oleh perwira
militer.
Tahap terakhir adalah pergeseran dan peralihan ke pemerintahan “semi-
militer.” Hampir semua jabatan diserahkan kepada Gunzoku(orang-orang sipil
yang bekerja pada dinas militer) yang dikirim bergelombang ke nusantara sejak
bulan Mei sampai Agustus 1942. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang,
teknisi, perawat, juru tulis, ahli pertanian, ahli kehutanan, ahli pertambangan,
ahli kesehatan, perkapalan, minyak, geisha, dan lain-lain. Sekitar 4.000 orang
Jepang pernah tinggal di Indonesia.
Kedatangan Jepang disertai pula dengan keinginan untuk menghapus
semua pengaruh Belanda (politik, ekonomi, dan budaya) sekaligus membangun
hegemoni baru dalam kehidupan rakyat. Patung Jan Pieterszoon Coen, salah
satu simbol kekuasaan Belanda di Indonesia, dibongkar. Semua nama jalan
yang memakai bahasa belanda di ganti. Gubernur Jendral beserta istri, para
pegawai pemerintah kolonial, direktur perusahaan serta pimpinan beberapa
lembaga dijebloskan ke kamp-kamp tawanan perang.
Dua minggu setelah berhasil menguasai Indonesia secara resmi,
pemerintah pendudukan Jepang melarang semua bentuk aktivitas politik.
Simbol-simbol keindonesiaan seperti bendera merah putih dan lagu Indonesia
Raya dilarang dikibarkan dan dinyanyikan. Partai-partai politik dibubarkan,
pertemuan atau rapat-rapat organisasi bisa diadakan asalkan telah mengantongi
surat izin. Surat-surat kabar dan majalah berbahasa Belanda, Cina dan
Indonesia dilarang terbit. surat-surat kabar Sipatahunan dan Nicork Expres di
bandung dihentikan penerbitannya dan diganti surat kabar Tjahaja. Surat kabar
Mataram di Jogjakartra berganti nama menjadi Sinar Matahari. Kecuali Sinar
Baroe, seluruh surat kabar di Semarang dilarang terbit. Semua surat kabar
milik orang Indonesia, Cina, Belanda di Surabaya dilarang beredar. Sebagai
gantinya, pemerintah Jepang menerbitkan surat kabar Soeara Asia.
Sebagaimana diketahui, radio tidak kalah penting sebagai alat
komunikasi massa. Setelah menutup dan menghentikan semua aktivitas siaran
radio, pemerintah Jepang mendirikan Djawa Hoso Kanrikyoku pada tanggal 1
Oktober 1942. Badan yang mengurus dan menyelenggarakan siaran radio di
pusat maupun di daerah-daerah itu mengambil-alih semua peran yang pernah
dimainkan NIROM, VORO, PPRK dan sebagainya.

C. Keadaan Politik Yang Mendorong Inspirasi


Ismail Marzuki adalah salah seorang musikus dan pengubah lagu yang
sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Proses kreatif Ismail
Marzuki boleh dikatakan berhubungan erat dengan perkembangan sosial politik
di Indonesia pada masa akhir kolonialisme Belanda dan sepanjang masa
pendudukan Jepang. Perkembangan di Indonesia sejak tahun 1930-an ditendai
oleh berbagai gelombang pasang-surut yang amat menentukan hubungan
sosial-politik yang terjalin diantara pemerintah kolonial Belanda dan rakyat
jajahan, khususnya “kaum pergerakan.” Sebagaimana diketahui, beberapa
pemimpin Perserikatan Partai Nasional Indonesia (PNI) kembali melanjutkan
garis perjuangan lama setelah dibebaskan dari penjara.
Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda memakai berbagai cara untuk
meredam aktivitas politik sekaligus menghambat gagasan-gagasan kaum
pergerakan,, baik kooperatif maupun non kooperatif. Selain menangkap,
menahan, memenjarakan, atau membuang sebagian dari mereka keluar Jawa,
pemerintah juga mengeluarkan berbagai peraturan. Surat kabar atau media
yang dianggap melanggar undang-undang pers kolonial dapat segera dibredel.
Redakturnya ditangkap, ditahan, atau dimasukan kedalam penjarah. Para guru
sekolah dilarang menjadi anggota atau menghadiri rapat organisasi pergerakan.
Pemerintah kolonial berjanji akan ikut campur tangan aparat keamanan (PID =
Politieke Inlichtingen Dienst) apabila kaum pergerakan mau bersikap lebih
kooperatif.
Untuk mencegah partai-partai politik bebas berkeliaran menarik simpati
masyarakat luas, pemerintah kolonial memberlakukan vergader verbod
(larangan berkumpul dan menyelenggarakan rapat). Rakyat dilarang keras
mendendangkan lagi-lagu mars milik beberapa organisasi sosial-politik.
Indonesia Raya yang senantiasa dinyanyikan dalam acara pembukaan dan
penutupan rapat-rapat partai politik, serta lagu-lagu mars Partai Indonesia
Raya, Persatuan Bangsa Indonesia, dan Gedung Nasional Indonesia (ciptaan
Wongso Atmodjo), boleh diperdengarkan secara instrumental, tetapi tidak
boleh dinyanyikan. Semua itu atas nama menjaga rust en orde (kemanan dan
ketertiban) yang intinya adalah agar roda mesin kekuasaan dapat dijalankan
oleh pemerintah kolonial dengan lebih lancar.
Penguasa silih berganti mengatur Indonesia. Sebagian berpaham liberal
(lunak), sebagian lagi konserfatif (keras). Keras ataupun lunak, penjajah tetap
penjajah. Dalam kondisi represif sekalipun toko partai harus tetap menjalin
hubungan dengan rakyat. Rakyatpun akan menaruh simpati jika partai politik
memuat program-program yang merakyat. Itulah yang membentuk persepsi
rakyat tentang citra perhimpunan politik yang sesungguhnya, itu pula yang
megubah pandangan kaum pergerakan tentang arti penjarah, suatu persepsi
yang sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa kejadian penangkapan dan
pembuangan ke Boven Digul menyusul kegagalan pemberontakan kaum
komunis 1926-1927.
Situasi plotik di Indonesia berkembang tidak menentu sejak 1934.
Represi, baik terhadap pengurus maupun partai politik, membuat kaum
pergerakan dikubu non koopratif seolah-olah berjalan ditempat. Aktifitas kaum
pergerakan didalam partai Sarekat Islam, misalnya. Organsiasi masa yang
berganti nama menjadi partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) itu mengalami
kemunduran cukup berarti sejak pertengahan tahun 1920-an. Sebagian kaum
pergerakan memang mulai menggunakan pranata Volksraad sebagai wahana
menuju Indonesia merdeka.
Pembentukan Volksraad diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graaf van
Limburg Stirum pada 19 Mei 1918. Ketika dibentuk tali pertama, Volksraad
beranggotakan 39 orang (termasuk ketua) : 15 bumiputera dan 23 mewakili
golongan Eropa dan Timur Asing. Pada 1927 dan 1930, anggotanya ditambah
menjadi 55 orang dan 60 orang. Namun, mereka yang mewakili kepentingan
pribumi mayoritas rakyat di Indonesia hanya 25 orang dan 30 orang. Sebagian
kaum pergerakan, baik didalam maupun diluar Volksraad, menganggap
lembaga ini tidak lebih sebagai meminjam istilah Agus Salim –“komedi
omong.” Parlemen tiruan (schijn parlement) itu dinilai mereka tidak bisa
menjalankan fungsi sebagai mana mestinya. Pemerintah kolonial belanda
memang selalu mengabaikan keputusan-keputusan lembaga tersebut. Pendek
kata, Volksraad merupakan basa basi politik perpanjangan tangan pemerintah
kolonial, dan pengelabuan terhadap semua aspek kehidupan rakyat Indonesia.
Menurut sejumlah sumber, untuk kali pertama Ismail Marzuki mencipta
lagu berjudul Oh Sarinah. Lagu dengan syair Bahasa Belanda itu dibuat saat
dia berusia 17 tahun (1931). Sarinah adalah perlambang bangsa yang tertindas
atau, menurut tafsir Firdaus Burhan, “Istilah Nasional yang melambangkan
santero rakyat Indonesia yang tertindas.” Uniknya, radio NIROM justru yang
tali pertama menyiarkan dan mempopulerkan lagu Oh Sarinah. Namun
demikian, ada semacam ruang kosong diantara periode 1931 sampai 1935
dalam proses kreatif Ismail Marzuki di bidang cipta mencipta lagu.
Dua tahun sesudah mencipta Oh Sarinah, dia mengubah lagu Periangan
ciptaan A Rivai. Perkembangan sosial politik yang berlangsung di Indonesia
pada periode tersebut ikut mempengaruhi proses kreatif Ismail Marzuki. Pada
periode 1935-1937 Ismail Marzuki mulai mencipta beberapa lagu, diantaranya
Kroncong Serenata (1935), Oh Jauh Dimata, Roselani (1936), Stambul Sejati
(1937) dan Kasim Baga (1937). Stambul Sejati bermodus minor dengan melodi
melayu Sumatra Utara yang kental dengan keroncong stambul, sementara
Kasim Baba mengambil latar cerita “Hikayat 1001 Malam.”[38]
Saat-saat akhir kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda, Ismail
Marzuki mencipta sejumlah lagu yang sebagian besar berkisar keresahan jiwa
muda, berkisah tentang kehidupan manusia, dan lain-lain. Hal tersebut dapat
dilihat pada judul dan syair lagu-lagu Malam Kemilau (1940; instrumental),
Siapakah Namanja (1940), Sederhana (1940), Krontjong Sukapuri (1940),
Bintangku (19 40), dan Arjuna Rumba (1940). Ismail Marzuki yang bekerja di
Radio NIROM sejak 1938 sampai 1940 kemudian pindah ke PPRK pada bulan
November 1940. Dia memimpin orkes studio radio ini sampai dengan
kedatangan balatentara Jepang.
Kenyataan diatas kian mempertegas keberadaan Ismail Marzuki selain
pemusik Pejuang. Posisinya jelas: berperan aktif dalam setiap keadaan.
Bersama beberapa kawan, Ismail Marzuki konsisten memegang nilai-nilai
“merdeka” yang diperjuangkan selama itu. PPRK dan VORO adalah hasil dari
kesinambungan sikap perjuangan semacam itu. Mereka memposisikan diri
secara tepat dan mengambil setiap kesempatan, baik sebagai pengubah (lagu
kepahlawanan dan cinta Tanah Air) maupun penyair (melalui VORO dan
PPRK) pesan-pesan keindonesiaan.
Oleh karena itu sudah sepatutnya kita memandang Ismail Marzuki
sebagai salah satu orang Indonesia yang turut aktif berjuang bagi kemerdekaan
bangsa dan negerinya. Karena dikaruniai bakat luar biasa dibidang musik,
maka nilai-nilai kebebasan yang merupakan bagian dari jati dirinya selaku
manusia Indonesia tentunya diperjuangkan lewat musik. Seandainya Ismail
Marzuki mengungkapkan atau membeberkan program-program politik
penjajahan dan penindasan melalui lagu-lagunya, sebutan yang akan
disandangnya dalam konteks perjuangan kemerdekaan tentu akan menjadi lain.

.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ismail Marzuki adalah seorang komponis besar Indonesia yang semasa
hidupnya sudah menciptakan lebih dari 200 buah lagu. Diantaranya lagu
Sepasang Mata Bola, Rayuan Pulau kelapa, Indonesia Pusaka, dan lain-lain.
Namanya diabadikan sebagai nama pusat kesenian di Jakarta, yaitu Taman
Ismail Marzuki (TIM). Karyanya yang luar biasa bagi negara membuat
pemerintah juga memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya pada 2004.
Perkembangan musik menjadi isu politik yang beredar, karena
perbedaan pendapat di kalangan para pejuang seniman Indonesia.
Perkembangan musik berfungsi sebagai salah satu sarana pendidikan nasional
mengalir setelah munculnya generasi penerus sesudah W.R. Supratman dan
Mochamad Syafei pendiri INS Kayu Tanam di Sumatera Barat. Di Jawa di
kenal generasi berikutnya yaitu Ismail Marzuki, Kusbini, Bintang Sudibyo, R.
Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan lain-lain.
DAFTAR PUSAKA

http://irfansusukan.blogspot.com/2012/09/peranan-ismail-marzuki.html
http://biografinya.blogspot.com/2013/.../ismail-marzuki.html
https://agroedupolitan.blogspot.com/2017/04/karya-tulis-ilmiah-ismail-
marzuki.html
DAFTAR LAGU - LAGU NASIONAL KARYA BESAR ISMAIL MARZUKI

1. Aryati
2. Gugur Bunga
3. Melati di Tapal Batas (1947)
4. Wanita
5. Rayuan Pulau Kelapa
6. Sepasang Mata Bola (1946)
7. Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
8. O Sarinah (1931)
9. Keroncong Serenata
10. Kasim Baba
11. Hari Lebaran
12. Halo, Halo Bandung
13. Bandaneira
14. Lenggang Bandung
15. Sampul Surat
16. Karangan Bunga dari Selatan
17. Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
18. Juwita Malam
19. Sabda Alam
20. Roselani
21. Rindu Lukisan
22. Indonesia Pusaka

Anda mungkin juga menyukai