Anda di halaman 1dari 14

IMIRON

MAKNA DAN MASALAHNYA

Disusun Oleh :

1. Dyva Asmara Samudra - 19020104021


2. Rizal Dwi Prasetyo - 19020104040
3. Shohibul Faidz - 19020104058

PENDIDIKAN BAHASA JEPANG

BAHASA DAN SASTRA JEPANG

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan yang maha esa, yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Imiron Makna dan
Masalahnya ini tepat waktu. Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas
dosen pada mata kuliah Imiron. Selain itu makalah ini juga menambah wawasan tentang
Imiron atau juga bisa disebut Semantik dalam bahasa Indonesianya yang berfokus ke Makna
dan Masalahnya semantik bagi para pembaca maupun penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Ina Ika Pratita, M.Hum. selaku dosen
mata kuliah Imiron yang telah memberkan tugas ini sehingga kami dapat menambah wawasan
kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadiri makalah yang kami tulis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan untuk kesempurnaan makalah yang
kami buat ini.

Sidoarjo, 20 Februari 2021

Penulis
PENDAHULUAN

Dalam kegiatan kita sehari-hari kita menggunakan bahasa, saat kita berkomunikasi
kita mengungkapkan isi pikiran kita, dan itu terjadi di seluruh dunia. Dalam beberapa kasus
sering kita jumpai atau sering kita mengalami saat kita berkomunikasi kepada orang lain atau
banyak orang terdapat orang yang menyampaikan informasi tidak masuk kepada kita, maksud
dari tidak masuk itu, ide dari orang yang menyampikan informasi itu berbeda dari yang kita
pikirkan misalnya saat orang menyampikan bahwa ia seorang perumpuan ‘telat’ kita sebagai
penerima informasi tersebut dapat berpikiran bahwa ia telat membayar hutang, atau telat
mengurus memperpanjang STNK, akan tetapi orang yang menyampaikan tersebut bermaksud
untuk menyampaikan bahwa ia telat membeli tiket bioskop sehingga ia tidak bisa
menontonnya. Hal seperti itu sering sekali kita jumpai dikehidupan ini, makna yang
disampakan oleh pembicara berbeda dengan makna yang kita dapatkan.

Ada juga makna dari suatu benda misal maknanya silikon itu apa ? pasti ada yang
berpendapat silikon itu adalah plastik, akan tetapi dalam aplikasi kamus KBBI V silikon
adalah unsur bukan logam dari golongan karbon, terdapat beberapa bentukseperti amorf,mirip
grafit, mirip intan, ditemukan dalam kerak bumi sebagai silikat, unsur dengan nomor atom 14,
berlambang Si, dan bobot atom 28,086, dan dalam hal ini kita dibuat untuk mengerti apa itu
amorf, apa itu grafit. Kalau kita belum mengerti kata-kata seperti itu kita akan bertambah sulit
sebab jika kita ingin mengerti silikon itu apa maka kita harus mengerti kedua kata tersebut.

Sering kita mendengar atau menemkan “apa arti dari pertanyaan itu?” atau “apa yang
kamu maksud?”, dari kedua kalimat tersebut dan juga peragraf sebelumnya menunjukkan
bahasa mempunyai masalah seperti adanya lambang-lambang bahasa yang bisa
melambangkan dua konsep atau lebih, atau sebaliknya. Dari masalah-masalah bahasa sendiri
lebih banyak bermasalah pada para penuturnya atau penerimanya yang kurangnya
kemampuan berbahasa dan bernalar mereka.
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian Makna

Untuk bisa memahami pengertian makna, Abdul Chaer (2013:29) mengatakan bahwa kita
perlu melihat kembali kepada teori Ferdinand de Saussure mengenai tanda linguistik (Prancis:
signe’ linguistique). de Saussure berpendapat bahwa setiap tanda linguistik terdiri atas dua
unsur, yaitu (1) yang diartikan (Prancis: signifie’ , Inggris: signified) dan (2) yang
mengartikan (Prancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan sebenarnya tidak lain dan
tidak bukan adalah konsep atau makna dari suatu tanda bunyi. Sedangkan yang mengartikan
tidak lain merupakan bunyi-bunyi tersebut, yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang
bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur
makna.

Misalnya, tanda linguistik yang dieja <kursi>. Tanda ini terdiri dari unsur makna atau
yang diartikan ‘meja’, serta unsur yang mengartikan dalam wujud runtutan fonem/unsur bunyi
[k, u, r, s, i]. Tanda <kursi> ini terdiri dari unsur makna dan unsur bunyinya yang mengacu
pada suatu referen yang derada di luar bahasa, yaitu mengacu pada sebuah kursi yang
merupakan sebuah perabot rumah tangga. Apabila kata <kursi> adalah sebagai hal yang
menandai (tada linguistik), maka sebuah <kursi> sebagai perabot merupakan hal yang
ditandai.

Pada bukunya, Abdul Chaer (2013:31) menjelaskan bahwa sebenarnya istilah yang
biasanya digunakan untuk tanda-linguistik dalam bidang semantik adalah leksem, frase, atau
kata.

Hubungan antara kata dengan maknanya memiliki sifat arbitrer, yaitu tidak ada
hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata dengan maknanya. Akan tetapi sifatnya
konvensional, yang berarti telah disepakati oleh setiap anggota masyarakat penutur bahasa
tersebut; hal ini ada agar terciptanya komunikasi verbal tanpa adanya hambatan. Itulah
mengapa, dapat dikatakan, secara sinkronis hubungan antara kata dengan maknanya tidak
akan berubah. Namun, secara diakronis ada kemungkinan terdapat perubahan yang
disesuaikan dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang bersangkutan.

Membahas tentang referen yang sebelumnya telah disinggung, dapat dipahami bila
referen pada kata kaki adalah kaki yang merupakan bagian dari anggota tubuh. Sedangkan
pada kata kaki meja kata kaki merujuk pada hal lain yang dibubuhkan untuk merujuk pada
sesuatu yang lain secara metaforis. Dapat disimpulkan bahwa referen tiap kata adalah tetap.
Adanya kesan tidak tetap adalah karena penggunaan kata tersebut secara metaforis.

Aspek makna menurut Palmer (1976) dapat dipertimbangkan dari fungsi, dan dapat dibedakan
atas:

1. Sense (pengertian)

2. Feeling (perasaan)

3. Tone (nada)

4. Intension (tujuan)

Keempat aspek makna tersebut dapat dipertimbangkan melalui data bahasa Indonesia sebagai
contoh pemahaman makna tersebut. Makna pengertian dapat kita terapkan di dalam
komunikasi sehari-hari yang melibatkan apa yang disebut tema. Makna perasaan, nada, dan
tujuan dapat pula kita pertimbangkan melalui data bahasa Indonesia maupun daerah.

1. Sense (Pengertian)

Aspek makna pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/ penulis dan kawan bicara
berbahasa sama. Makna pengertian disebut juga tema, yang melibatkan ide atau pesan yang
dimaksud. Di dalam berbicara dalam kehidupan sehari-hari kita mendengar kawan bicara
menggunakan kata-kata yang mengandung ide atau pesan yang dimaksud. Di dalam hal ini
menyangkut tema pembicaraan sehari-hari, misalnya, tentang cuaca:

(1) Hari ini hujan

(2) Hari ini mendung

Di dalam komunikasi tersebut tentu ada unsur pendengar (ragam lisan) dan pembaca (ragam
tulis), yang mempunyai pengertian yang sama terhadap satuan-satuan hari, ini, hujan, dan
mendung.

Informasi atau apa yang kita ceritakan tersebut memiliki persoalan inti yang biasa disebut
tema. Pikirkanlah informasi berikut memiliki tema apa:

"Pengaruh yang masuk melalui wibawa agama dan politik (penjajahan) memang dapat
mendalam. Sebaliknya, pengaruh yang terjadi karena kontak perdagangan saja kiranya tidak
begitu mendalam. Sebagai contoh, kata yang dipungut dari bahasa Tionghoa oleh bahasa
Indonesia memang tidak begitu banyak, hanya terbatas kepada beberapa ratus kata saja."
(Soepomo Poedjosoedarma, 1987: 19, Basis, Januari 1987-XXXVI-1).

Kita memahami tema di dalam informasi karena apa yang kita katakan atau apa yang kita
dengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema karena kita paham akan kata-kata
yang melambangkan tema tersebut.

2. Feeling (Perasaan)

Aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan. Di
dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhubungan dengan perasaan (misalnya sedih, panas,
dingin, gembira, jengkel, gatal). Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna
perasaan tersebut digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya. Misalnya, tidak akan
muncul ekspresi:

(1) Turut berduka cita

(2) ikut bersedih

(3) I say my sympathy to ...

Pada situasi bergembira, sebab ekpresi tersebut selalu muncul pada situasi kemalangan, atau
kesedihan, misalnya bila ada yang meninggal dunia. Kata-kata tersebut memiliki makna yang
sesuai dengan perasaan.

Kata-kata yang sesuai dengan makna perasaan ini muncul dari pengalaman, dapat
dipertimbangkan bila kita mengatakan "Penipu kau!", merupakan ekspresi yang berhubungan
dengan pengalaman tentang orang tersebut. Kita merasa pantas menyebut orang tersebut
sebagai penipu karena tindakannya yang tidak baik. Setiap sajak biasanya mengungkapkan
aspek makna perasaan (feeling) penyair. Pertimbangkanlah sajak berikut:

rintihnya dicurahkan parit pinggir sawah

suara gemercik air yang jatuh ke atas air

menggerak-gerakkan wajahnya yang tergambar di dalamnya

(Petani, Andrik Purwasito, 1983, di dalam BASIS, April 1987-XXXVI-4).

Sebagai penyair, aspek makna perasaan yang menyelimuti dirinya diungkapkan di dalam
kata-kata yang menyatakan pula tentang lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitarnya.
Kadang-kadang apa yang kita rasakan tanpa disadari keluar dari mulut kita yang diungkapkan
dengan kata-kata yang melibatkan makna aspek perasaan.

3. Tone (Nada)
Aspek makna nada (tone) adalah "an attitude to his listener" (sikap pembicara terhadap kawan
bicara) atau dikatakan pula sikap penyair atau penulis terhadap pembaca. Aspek makna nada
ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan kawan bicara
dan pembicara sendiri. Apakah pembicara telah mengenal pendengar-pembicara berkelamin
sarna dengan pendengar, atau apakah latar belakang sosial-ekonomi pembicara sama dengan
pendengar, apakah pembicara berasal dari daerah yang sama dengan pendengar. Hubungan
pembicara-pendengar (kawan bicara) akan menentukan sikap yang akan tercermin di dalam
kata-kata yang akan digunakan.

Aspek makna nada ini berhubungan pula dengan aspek makna perasaan, bila kita jengkel
maka sikap kita akan berlainan dengan perasaan bergembira terhadap kawan bicara. Bila kita
jengkel akan memilih aspek makna nada dengan meninggi, berlainan dengan aspek makna
yang digunakan bila kita memerlukan sesuatu, maka akan beriba-iba dengan nada merata atau
merendah. Bandingkanlah aspek makna nada berikut:

(1) Orang itu tidak tertarik tapi menarik.

(2) Kereta api dari Yogya sudah datang.

(3) Kereta api dari Yogya sudah datang?

(4) Pergi!

4. Intension (Tujuan)

Aspek makna tujuan ini adalah "his aim, concious or unconcious, the effect he is
endeavouring to promote" (tujuan atau maksud, baik disadari maupun tidak, akibat usaha dari
peningkatan). Apa yang kita ungkapkan di dalam makna aspek tujuan memiliki tujuan
tertentu, misalnya dengan mengatakan "Penipu kau!" tujuannya supaya kawan bicara
mengubah kelakuan (tindakan) yang tidak diinginkan tersebut.

Aspek makna tujuan ini melibatkan klasifikasi pernyataan yang bersifat:

1 Deklaratif

2. Persuasif

3. Imperatif

4. Naratif

5. Politis

6. Paedagogis (pendidikan)
Keenam sifat pernyataan tersebut dapat melibatkan fungsi bahasa di dalam komunikasi.

Kita dapat melihat di antara keenam makna aspek tujuan tersebut di dalam penyuluhan
pemerintah tentang kesehatan, dapat ditinjau dari makna aspek deklaratif, "Pemeliharaan
kesehatan dapat menunjang program pemerintah di dalam memelihara lingkungan dan
meningkatkan taraf kehidupan bangsa"; makna aspek persuasif, "Dengan pola makan empat
sehat lima sempurna di tiap kampung akan menjamin kesehatan masyarakat"; makna
imperatif, "Halaman-halaman rumah di tiap-tiap tempat ditanami dengan apotek hidup";
makna aspek naratif, "Manusia hidup panjang dengan memelihara kesehatan dan
memerhatikan sikap pemerintah dalam meningkatkan tarap hidup sehat"; aspek makna politis,
"Rakyat sehat negara kuat; aspek makna paedagogis, "Mendidik hidup sehat supaya negara
kuat”.

B. Informasi

Ada prinsip umum dalam semantik yang menyatakan bahwa kalau bentuk ( maksudnya
bentuk kata atau leksem) berbeda maka makna pun berbeda, meskipun barangkali
perbedaannya itu hanya sedikit. Jadi, kata ayah dan bapak karena bentuknya berbeda maka
maknanya pun berbeda. Begitu juga dengan kalimat Dika menendang bola dan kalimat Bola
ditendang Dika, maknanya juga berbeda.

Namun, sampai saat ini banyak orang, termasuk juga banyak linguis, yang menyatakan
bahwa kata ayah sama maksudnya dengan kata bapak, sebab keduanya sama-sama mengacu
pada orang tua laki-laki. Begitu pun kalimat Dika menendang bola sama maknanya dengan
bola ditendang Dika, sebab keduanya memberi pengertian, keterangan atau informasi yang
sama.

Sesungguhnya pendapat mereka itu keliru kalau dilihat dari prinsip umum di atas. Tetapi,
mengapa terjadi demikian? Di sini kiranya mereka mengacaukan pengertian tentang makna
dengan pengertian informasi. Makna seperti sudah disebut-sebut di atas adalah gejala dalam
ujaran (utterance-internal phenomenon) padahal informasi adalah gejala-luar ujaran
(utterance-external phenomenon). Kata ayah dan bapak memang memberi informasi yang
sama, yaitu orang tua laki-laki, tetapi maknanya tetap tidak persis sama karena bentuknya
berbeda. Selain itu kita pun dapat menguji dan distribusinya. Dalam kalimat ayah saya sakit
kata ayah dapat kita ganti dengan kata bapak sehingga menjadi bapak saya sakit. Tetapi dalam
frase Bapak Presiden yang terhormat tidak dapat diganti menjadi Ayah Presiden yang
terhormat. Begitu juga dengan kalimat Dika menendang bola dan bola ditendang Dika
Keduanya memang memberi informasi yang sama, yaitu "Dika menendang bola" Tetapi
maknanya jelas tidak sama kalimat Dika menendang bola mengandung makna aktif,
sedangkan kalimat bola ditendang Dika mengandung makna pasif.

Bagaimana dengan kalimat bola ditendang Dika dan kalimat bola ditendang oleh Dika?
Banyak orang mengatakan bahwa kedua kalimat itu pun sama sebab kehadiran preposisi oleh
pada kalimat itu bersifat opsional. Tetapi sebenarnya makna kedua kalimat itu pun tidak sama
kehadiran preposisi oleh pada kalimat kedua memberi makna penonjolan akan adanya pelaku,
sedangkan pada kalimat pertama penonjolan akan adanya pelaku itu tidak ada. Namun
memang informasi yang diberikan oleh kedua kalimat itu sama.

Karena mengacaukan pengertian makna dengan informasi maka banyak juga orang yang
menyatakan suatu kalimat tertentu sama maknanya dengan parafrase dari kalimat itu ini pun
keliru, sebab parafrase tidak lain daripada rumusan informasi yang sama dalam bentuk ujaran
yang lain. Jadi kalimat Dika menendang bola dapat dikatakan parafrase dari kalimat bola
ditendang Dika, atau juga sebaliknya. Malah bait puisi berikut (dari Ali Hasym):

Pagiku hilang sudah melayang


Hari mudaku sudah pergi
Sekarang petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi

adalah juga parafrase dari kalimat saya sudah tua karena informasinya sama. Hanya
rumusannya yang berbeda.

Di samping parafrase ada juga istilah perifrase, yaitu informasi yang sama dengan rumusan
yang lebih panjang. Jadi, kalimat bola ditendang oleh Dika adalah perifrase dari kalimat bola
ditendang Dika karena rumusannya lebih panjang yaitu dengan adanya preposisi oleh. Begitu
juga frase gadis yang mengenakan baju merah itu adalah perifrase dari gadis yang berbaju
merah itu.

Suatu perifrase menambah sesuatu pada yang diperifrasekan tetapi tetap mempertahankan
informasinya yang sama. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap perifrase adalah
parafrase juga, tetapi tidak setiap parafrase adalah perifrase.

C. Maksud

Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar-ujaran. Hanya bedanya kalau
informasi itu merupakan sesuatu yang luar-ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang
dibicarakan; sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau pihak
subjeknya. Di sini orang yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kalimat
maupun frase, tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu
sendiri. Di simpang-simpang jalan di Jakarta banyak pedagang asongan menawarkan barang
dagangannya kepada para pengemudi atau penumpang kendaraan (yang kebetulan
kendaraannya tertahan arus lalu lintas) dengan kalimat tanya "Koran, koran?" atau "Jeruk,
Pak?". Padahal mereka tidak bermaksud bertanya, melainkan bermaksud menawarkan.
Contoh lain, seorang ayah setelah memeriksa buku rapor anaknya, dan melihat bahwa angka-
angka dalam buku rapor itu banyak yang merah, berkata kepada anaknya dengan nada memuji
"Rapormu bagus sekali, Nak!". Jelas, dia tidak bermaksud memuji walaupun nadanya
memuji. Dengan kalimat itu dia sebenarnya bermaksud menegur atau mungkin juga mengejek
anaknya itu.

Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi,
litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain. Selama masih menyangkut segi bahasa maka
maksud itu masih dapat disebut sebagai persoalan bahasa. Tetapi kalau sudah terlalu jauh dan
tidak berkaitan lagi dengan bahasa maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai persoalan
bahasa. Mungkin termasuk persoalan bidang studi lain; entah filsafat, antropologi, atau juga
psikologi.

kesimpulannya adalah makna menyangkut segi lingual atau dalam-ujaran, sehingga


padanya kita menemukan persoalan semantik leksikal, semantik gramatikal, dan semantik
kalimat. Sedangkan informasi menyangkut segi objek yang dibicarakan. Jadi, informasi tidak
menyangkut persoalan semantik karena sifatnya yang berada di luar bahasa (ekstralingual).
Sebaliknya maksud yang menyangkut pihak pengujar masih memiliki persoalan semantik,
asal saja lambang-lambang yang digunakan masih berbentuk lingual.

D. Tanda, Lambang, Konsep, dan Definisi

Tanda dalah sesuatu yang mempunyai bekas. Kaki yang terkena setrika panas akan
memberikan bekas. Bekas setrika panas itu, yang bewarna merah menjadi tanda suatu
tindakan yang membuat sertika panas itu mengapa bisa terkena kaki. Sirena ambulan berbunyi
tandanya mobil ambulan itu terburu-buru karena ada pasien yang ingin dijemput ke rumah
sakit dari tempat kejadian perkara atau dipulangkan dari rumah sakit. Tercium bau gosong di
dapur tandanya ada sebuah masakan yang lupa untuk di angkat dari kompor atau api kompor
belum dimatikan. Dari contoh-contoh di atas tanda dengan hal yang ditandai bersifat
langsung, maksudnya tanda itu terjadi ketika suatu kejadian telah terjadi dan memberikan
bekas.
Lambang juga sebenarnya adalah tanda, hanya berbedanya lambang ini tidak memberi
tanda secara langsung, melainkan melalui sesuatu yang lain. Seperti kata Ogden dan Richaed
dalam (Abdul 2009 : 38) lambang ini bersifat konvesional, perjanjian ; tetapi ia dapat
diorganisasi, direkam dan dikomunikasikan, dari yang dikatakan oleh Ogden dan Richard
lambang perlu dipelajari terlebih dahulu agar kita mengerti dari maksud lambang-lambang
yang kita temui. Contohnya rambu lalu lintas yang ada tulisan P dicoret yang bermakna
dilarang parkir, kita sudah mengetahui itu dari guru kita ataupun orang tua kita, saat kita
melihat lambang itu dan bertanya pada orang tua kita maka orang tua kita akan menjawab “itu
artinya dilarang parkir” dari sini kita dapat dibilang sudah mempelajari lambang P dicoret dari
penjelasan orang tua kita, oleh karean itu rambu-rambu lalu lintas termasuk kedalam sebuah
lambang.

Satuan bahasa juga termasuk lambang sebab sifatnya konvesional. Untuk memahami
makna dari bahasa itu kita haru mempelajarinya terlebih dahulu. Contohnya orang Jepang
tidak tahu bahwa <tas> dalam bahasa Indonesia itu adalah ‘かばん’ dalam bahasanya, dan
juga ia tidak akan tahu bahwa <buku> dalam bahasa Indonesianya sama dengan   ほ ん
dalam bahasanya.

Lambang bahasa entah berupa kata, gabungan kata, maupun suatu ujaran lainnya sama
dengan lambang dan tanda dalam bidang lain “mewakili suatu konsep yang berada di dunia
ide atau pikiran kita (Abdul 2013 : 38). Setiap orang memiliki di dalam pikirannya telah
tertanam jika suatu lambang bahasa memiliki konsepnya sendiri, dan kenyataannya saat di
dunia nyata banyak sekali konsep-konsep dari sesuatu tersebut, misalnya kata <lemari
pakaian> suatu konsep dalam pikiran kita benda yang berfungsi untuk menyimpan pakaian.
Meskipun di dunia nyata banyak sekali macam-macam lemari tetapi gambaran abstran dari
konsep itu sama. Oleh karean itu ada kemungkinan <lemari pakaian> yang dimaksud oleh
pembaca dan penulis itu memiliki bayangan yang berbeda. Bisa jadi yang dimaksud penulis
<lemari pakain> yang terbuat dari besi dan terdapat kaca besar di pintunya, sedangkan
pembaca membayangkan lemari pakaian yang terbuat dari plastik yang hanya memiliki emapt
tempat saya yang dibatasai oleh sekat-sekat dan tidak ada kaca di pintunya.

Konsep sebagai referen dari suatu lambang memang tidak pernah bisa “sempurna”, oleh
karena itu menyebut “lemari pakaian” atau lambang apa saja, orang sering bertanya “apa yang
kamu maksud dengan lemari pakain itu ?”. semua ini membuat orang untuk merumuskan
konsep-konsep yang ada dalam ide pikirannya dalam suatu rumusan yang disebut oleh
definisi. Definisi ini memberikan penjabaran yang teliti mengenai suatu konsep.
E. Beberapa Kaidah Umum
Berhubungan dengan studi semantik, berikut merupakan beberapa kaidah umum yang
perlu diperhatikan.
1. Hubungan antara kata/leksem dengan rujukan atau acuannya bersifat arbitrer,
yaitu tidak ada hubungan wajib di antara keduanya.
2. Makna sebuah kata secara sinkronik tidak akan berubah, namun secara
diakronik ada kemungkinan akan berubah. Dapat diartikan bahwa sebagian
kata dalam jangka waktu terbatas tidak akan berubah maknanya, akan tetapi
dalam jangka waktu yang relatif tak terbatas memiliki kemungkinan untuk
berubah.
3. Bentuk yang berbeda akan memiliki makna yang berbeda. Di sini maksudnya
apabila sebuah kata memiliki sinonim, maka kata tersebut belum tentu 100%
memiliki makna yang sama. Sebagai contoh kata maksud dan arti adalah dua
kata yang bersinonim. Tetapi, kata arti dalam frase dia bermaksud... tidak
dapat digantikan dengan kata arti karena tidak sesuai.
4. Sistem semantik tiap bahasa tidaklah sama. Hal itu dikarenakan oleh latar
belakang budaya tiap pemakai bahasa berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya.
5. Pandangan hidup dan sikap anggota masyarakat sangatlah mempengaruhi
makna setiap kata/leksem pada suatu bahasa. Misalnya, makna kata bir pada
kelompok masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak sama
dengan kelompok masyarakat Indonesia yang mayoritas tidak beragama Islam.
6. Luasnya makna yang dikandung sebuah bentuk gramatikal berbanding terbalik
dengan luasnya bentuk tersebut. Sebagai contoh dibandingkan bentuk-bentuk:
a) kereta
b) kereta api
c) kereta api ekspres
d) kereta api ekspres malam.
e) kereta api ekspres malam luar biasa.

Makna kereta pada a) sangat luas, dan lebih luas dari b); makna kereta
pada b) lebih luas daripada c); sedangkan c) masih lebih luas daripada d); dan
makna d) masih lebih luas dari makna e).
SIMPULAN

Dalam berbahasa banyak sekali yang harus diperhatikan mulai dari sang penuturnya
sampai yang mendengarnya bahkan sampai kata yang dipilih penutur untuk meyampaikan
idenya, semua itu harus diperhatikan agar tidak terjdi kesalah pahaman terkait hal yang
didapat oleh pendengar dan juga penutur, sebab satu kata saja dapat memili makna yang
berbeda dari sudut pandang penutur dan pendengar bisa juga disebabkan kurangnya
pengetahuan tenang bahasa yang dimiliki oleh penutur maupun pendengar sehingga terjadinya
kesalah pahaman.

Agar terhindar dari semua itu maka penutur dan pendengar perlu menambah wawasan
terhadap bahasa, dari cara membuat kalimat yang tidak ambigu karena bola ditendang Bobi
dan Bobi menendang bola itu pun sudah berbeda, informasi dan maksud yang tersampaikan
kepada pendengar ataupun saat ibu meminta tolong kepada sang anak dengan berbicara
“jangan main hp terus, sekali-kali ngapain gitu!” itupun ibu bermaksud meminta tolong
anaknya yang sedang bermain hp untuk membantunya, akan tetapi anaknya manangkap
informasi bahwa ibunya melarang dia untuk bermain hp, jadinya dia tidak bermain hp akan
tetapi tidur, hal seperti ini dapat dikatakan tidak salah, karena anak tersebut menangkap
informasi dari ibunya agar untuk tidak bermain hp saja.

Oleh karena itu kita harus belajar makna dari suatu kalimat dilihat dari informasi,
maksud, tanda. Lambang, dan juga definisi dari suatu kalimat ataupun kata. Agar tidak terjadi
kesalahan dalam memahami informasi yang tersampikan atau disampikan.
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

DjajaSudarma, Fatimah. 2013. Semantik 2: Relasi Makna, Paradigmatik, Sintagmatik, dan


Derivasional. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai