Anda di halaman 1dari 12

PENENTUAN ISOLEK SEBAGAI BAHASA ATAU DIALEK

TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN


Setelah menyelesaikan mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat:
memahami berbagai metode perhitungan yang digunakan untuk menentukan
status sebuah isolek serta menginterpretasikan hasil perhitungan yang
diperoleh dari metode tersebut.
TUJUAN KHUSUS PEMBELAJARAN

Dengan membaca bab ini, Anda diharapkan:


1. mampu mendefinisikan dialektometri sebagai metode untuk
menentukan status isolek;
2. mampu membedakan antara kategori persentase perbedaan fonologi
dengan perbedaan leksikon setelah melihat pandangan Guiter dan
menanggapinya;
3. mampu memberi respon mengenai usul persentase kategori penentuan
status isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek berdasarkan
pandangan Guiter, Tawangsih Lauder, dan Mahsun;
4. mampu menyebutkan langkah-langkah dalam melakukan penghitungan
dilektometri;
5. mampu mendefinisikan metode segitiga antardaerah pengamatan;
6. mampu melakukan perhitungan dialektometri berdasarkan peta verbal
menggunakan kategori yang diusulkan Mahsun;
7. mampu melakukan interpretasi terhadap hasil penghitungan
dialektometri dalam bentuk pengelompokkan daerah pakai isolek yang
sama;
8. mampu mendeskripsikan metode inovasi bersama dalam menentukan
status isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek.



3.1 Penentuan Status Isolek sebagai Bahasa atau Dialek
Penentuan status apakah suatu isolek atau beberapa isolek yang dituturkan pada beberapa
wilayah yang berbeda merupakan suatu bahasa, dialek atau subdialek yang sama merupakan
langkah yang paling penting yang harus dilakukan jika akan dilakukan kajian dialektologi, terutama
jika kajian dimaksud dilakukan di wilayah yang memiliki tingkat heteroginitas situasi kebahasaan
yang tinggi seperti di Indonesia. Sejauh ini, informasi tentang jumlah bahasa di Indonesia masih
simpang siur. Sebagai contoh, Lembaga Bahasa Nasional pada tahun 1972 menghimpun informasi
dari berbagai provinsi di Indonesia dan mencatat 418 buah bahasa di Indonesia; Esser (1951)
mencatat sejumlah 200 buah bahasa; Salzner (1960) mencatat ada 69 buah bahasa di Indonesia;
kelompok Summer Institute of Linguistics (SIL) (2001) mencatat 731 bahasa di Indonesia dan dari
jumlah itu 726 buah bahasa yang masih hidup. Jumlah bahasa yang dicatat kelompok SIL di atas
merupakan hasil kompilasi dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan para pakar di Indonesia,
yang metode dan pendekatannya berbeda . Artinya, hasil penelitian yang dihimpun kelompok SIL
tersebut adalah hasil penelitian yang menggunakan metode yang berbeda/tidak seragam. Selain itu,
untuk bahasa-bahasa di Papua, Sulawei misalnya data kebahasaannya masih merupakan pandangan
masyarakat tentang bahasa yang digunakannya. Artinya, penamaan sebagai bahasa tertentu masih
merupakan pengakuan masyarakat bukan atas hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Itu sebabnya, Pusat Bahasa sejak 1990 telah memulai melaksanakan Program
Penelitian Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-Bahasa di Indonesia, dengan menggunakan satu
metode dan pendekatan yang sama untuk semua bahasa-bahasa di Indonesia, yang hasilnya
diharapkan dapat dilaporkan bersamaan dengan kongres bahasa Nasional 2008.

Berikut ini akan dijelaskan dua metode dalam penentuan status isolek sebagai bahasa,
dialek, atau subdialek, yaitu metode dialektometri dan metode inovasi bersama yang bersifat
ekslusif.


3.1.1 Metode Dialektometri

Untuk pertama kalinya istilah dialektologi dikemukakan Seguy (1973) dalam karyanya
yang berjudul La Dialectometrie dans l’atlas Linguistique de la Gascogne. Istilah ini dibentuk
dengan beranalogi pada istilah ekonometri dalam ilmu ekonomi. Dialektometri merupakan ukuran
statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada
tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat
tersebut (periksa pula Ayatrohaedi, 1983:32). Rumus yang digunakan dalam dialektologi adalah :

(S x 100) = d%

Keterangan :

S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain

n = jumlah peta yang diperbandingkan


d = jarak kosa kata dalam prosentase

Hasil yang diperoleh prosentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah


pengamatan itu; selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan
tersebut dengan kriteria sebagai berikut.

perbedaan bidang leksikon

81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa

51-80% : dianggap perbedaan dialek

31-50% : dianggap perbedaan subdialek

21-30% : diangggap perbedaan wicara

di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan

perbedaan bidang fonologi

17% ke atas : dianggap perbedaan bahasa

12-16% : dianggap perbedaan dialek

8-11% : dianggap perbedaan subdialek

4-7% : dianggap perbedaan wicara

0-3% : dianggap tidak perbedaan

(dikutip dari Guiter, 1973)

Perhitungan dengan dialektometri dilakukan dengan dua cara yaitu (a) segitiga antardaerah
pengamatan dan (b) permutasi antardaerah pengamatan.

Untuk penghitungan dengan segitiga antardaerah pengamatan dilakukan dengan ketentuan-


ketentuan :

a. Daerah pengamatan yang diperbandingkan hanya daerah pengamatan yang berdasarkan


letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi;

b. Setiap daerah pengamatan yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan
sebuah garis, sehingga diperoleh segitiga-segitiga yang beragam bentuknya; dan

c. Garis-garis pada segitga dialektometri tidak boleh saling berpotongan; pilih salah satu
kemungkinan saja dan sebaiknya dipilih yang berdasarkan letaknya lebih dekat satu sama lain.
Selanjutnya, penerapan dialektometri baik dengan segitiga antardaerah pengamatan maupun
permutasi antardaerah pengamatan dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum:

a. apabila pada sebuah daerah pengamtan dikenal lebih dari satu bentuk untuk satu makna dan
salah satu di ataranya di kenal di daerah pengamatan lain yang diperbandingkan, maka
perbedaan itu dianggap tidak ada;

b. Apabila di antara daerah pengamtan yang dibandingkan itu, salah satu di antaranya tidak
memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna tertentu, maka daerah-daerah pengamatan itu
dianggap berbeda;

c. Apabila daerah-daerah pengamatan yang dibandingkan itu semua tidak memiliki bentuk
sebagai realisasi suatu makna tertentu, maka daerah-daerah pengamatan itu dianggap sama;

d. Dalam penghitungan dialektometri pada tataran leksikon, perbedaan fonologi, morfologi yang
muncul harus dikesampingkan; dan

e. Hasil penghitungan itu dipetakan dengan sistem konstruksi “polygones de Thiessen” pada peta
segitiga dialektometri.

Patut dicatat di sini bahwa terdapat perbedaan kriteria prosentase yang digunakan dalam
pengelompokkan daerah pengamatan sebagai kelompok yang menggunakan bahasa, dialek
subdialek yang berbeda untk bidang fonologi dengan bidang leksikon. Prosentase untuk bidang
fonologi lebih kecil dibandingkan dengan prosentase untuk bidang leksikon. Menurut Guiter
(1973), kecilnya prosentase untuk bidang fonologi itu dikarenakan satu perbedaan pada bidang
fonologi dapat terefleksi pada perbedaan beberapa bentuk untuk beberapa makna. Alasan ini dapat
dibenarkan selam perbedaan bidang fonologi itu menyangkut korespondensi bunyi, namun apabila
perbedaan tersebut menyangkut variasi bunyi maka alasanitu tidak dapat dibenarkan. Sebab, satu
perbedaan yang berupa variasi bunyi hanya terbatas pada satu atau duah buah makna dengan satu
atau dua buah contoh.

Pandangan Guiter di atas pada hakikatnya mengimplikasikan bahwa dialektometri


memperlakukan sama semua isoglos, tanpa memperhitungkan adanya isoglos yang berupa kores
pondensi dan yang berupa variasi. Kedua-duanya dicampuradukkan.
Dalam penentuan status bahasa, dialek, subdialek akan digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif difokuskan pada penggunaan metode
dialektometri. Namun, perlu diingat bahwa sebelum penggunaan metode dialektometri tahap yang
harus dilakukan pertama-tama adalah memilih salah satu dari sejumlah kemungkinan pemetaan
yang dapat dilakukan dalam setiap glos (perhatikan tabulasi tahap II contoh yang diambil dari
bahasa Banjar dan Padang, yang setiap glosnya memperlihatkan kemungkinan pemetaan lebih dari
satu). Mengingat bahwa, suatu glos tertentu, memiliki alternatif pemetaan lebih dari satu, sedangkan
untuk keperluan analisis data selanjutnya kita hanya memerlukan satu peta untuk setiap golsnya,
maka diperlukan suatu pegangan dalam memilih salah satu dari alternatif pemetaan yang terdapat
dalam setiap glosnya. Adapun pegangan dalam memilih salah satu dari keseluruhan alternatif
pemetaan itu adalah berikut ini.
a. Dari sudut pandang perbedaan fonologis, pilihlah alternatif peta yang kaidahnya
sama dengan kaidah dalam alternatif pemetaan pada gols lainnya. Pengertian sama di
sini tidak hanya sama kaidahnya, tetapi sama atau relative sama daerah yang
disatukan oleh kaidah tersebut. Hal ini bermanfaat untuk mengidentifikasi peta yang
berupa korespondensi. Sebagai contoh: tabulasi tahap II data Padang
b. Setelah dilakukan identifikasi seperti langkah (a) di atas, dan ternyata tidak
ditemukan alternatif peta yang sama kaidahnya dari semua glos itu, maka langkah
selanjutnya, pilihlah alternatif peta pada glo-glos itu yang secara bersama-sama
mempersatukan daerah pengamatan yang sama atau relative sama.
c. Setelah langkah (a) dan (b) dilakukan, maka glos sisanya yang belum ditentukan
alternatif pemetaan yang akan dipilih, ditentukan dengan tetap mempertimbangkan
akan adanya dukungan bagi penetapan daerah pengamatan atau kelompok daerah
pengamatan tertentu sebagai daerah pakai isolek yang berbeda dengan lainnya.
Apabila langkah ini tidak memungkinkan, pilihlah alternatif pemetaan secara mana
suka.
Patut diingatkan bahwa, langkah-langkah analisis di atas harus dilakukan secara hirarkhis,
artinya langkah (a) lebih dahulu, setelah itu diikuti langkah (b) dan (c). selain itu, penerapan metode
kuntitatif atau kualitatif baik untuk penentuan status bahasa, dalek, dan sebdialek, maupun untuk
penentuan kekerabatan bahasa harus bersumber pada data pemetaan yang dipilih sebagai peta di
atas. Khusus untuk penentuan kekerabatan bahasa, selain menggunakan data peta yang dipilih untuk
pemetaan, juga menggunakan glos yang relaisasi maknanya sama (untuk 200 kosa kata dasar).
Setelah tahap-tahap di atas dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah penerapan metode
dialektometri. Mengingat bahwa kategori dalam penentuan status bahasa, dialek, subdialek itu
banyak versinya, setidak-tidaknya Guiter dan Lauder telah mencoba mengajukan pandangannya,
maka diperlukan satu pilihan tertentu dari sekian versi tersebut. Untuk keperluan itu, kita akan
berpedoman pada kategori yang dikemukakn Guiter, dengan mengabaikan pembedaan kategori
perbedaan fonologi dengan leksikon. Jadi, rumus yang kita gunakan adalah berikut ini.

(S x 100) =d%

Keterangan :

S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain

n = jumlah peta yang diperbandingkan

d = jarak kosa kata dalam prosentase

Hasil yang diperoleh prosentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah


pengamatan itu; selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan
tersebut dengan kriteria sebagai berikut.

81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa

51-80% : dianggap perbedaan dialek

31-50% : dianggap perbedaan subdialek

21-30% : diangggap perbedaan wicara

di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan


Alasan tidak membedakan antara kategori persentase fonologi dengan persentase
leksikon seperti yang diperlihatkan Guiter di atas, karena pembedaan semacam itu tidak cocok
degan realita perubahan bahasa. Apabila Guiter berasumsi bahwa perbandingan antara perbedaan
fonologi dengan leksikon adalah adalah 1:5, artinya satu perbedaan fonologi sama dengan lima
perbedaan leksikon baru berlaku jika perubahan dalam bahasa yang dapat memunculkan perbedaan
itu berlangsung secara teratur. Dari penelahaan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, perubahan
yang diasumsikan Guiter itu tidak terbukti. Artinya, bahwa perubahan yang banyak terjadi dalam
bahasa-bahasa yang berkerabat itu tidak berlangsung secara teratur. Lebih banyak perubahan yang
bersifat sporadic (tidak teratur) daripada perubahan yang bersifat teratur (korespondensi).
Penyangkalan terhadap asumsi Guiter ini, sebenarnya telah menjadi perdebatan dalam
tradisi penelusuran kekerabatan bahasa-bahasa rumpun Indo-Eropa. Gieleron dan Wenker (masing-
masing di Prancis dan Jerman) telah membuktikan bahwa hipotesis Kaum Neogrammarian, yang
menyakatan bahwa perubahan bunyi itu berlangsung secara teratur adalah tidak benar. Untuk itu,
sekali lagi, kita akan menggunakan kategori untuk leksikon menurut Guiter itu untuk perbedaan
leksikon dan fonologi, termasuk perbedaan pada tataran kebahasaan lainnya, kecuali perbedaan
sintaktis dan morfologis yang memang sintematis, beraturan. Artinya perbedaan pada semua tataran
linguistic itu akan dijadikan satu. Peniadaan pembedaan tataran semata-mata untuk memudahkan
identifikasi tentang adanya perbedaan antarisolek yang diperbandingkan.
Selanjutnya, dalam analisis dialektometri kita tidak juga menganut pandangan Lauder (1993
dan 2001) yang melakukan revisi terhadap persentase kategori penentuan status bahaa, dialek,
subdialek sebagai berikut:
70% ke atas : beda bahasa
51% - 69% : beda dialek
41% - 50% : beda subdialek
31% - 40% : beda wicara
30% ke bawah : tak berbeda
Alasan yang dapat dikemukakan untuk itu ialah, Lauder mencampur aduk antara dua
kategori penentuan status bahasa, dialek, subdialek yang memiliki dasar filosofis yang berbeda,
yaitu pencampuradukan antara kategori penentuan berdasarkan mutual intelligibility dengan analisis
kuantitatif (dialektometri); tidak benar bahwa persentase perbedaan untuk bahasa-bahasa di
Indonesia maksimal sampai 70%. Selain itu, Lauder kurang memahami filosofi penentuan titik
krusial yang menjadi batas pemilahan isolek-isolek itu sebagai bahasa yang sama atau bahasa yang
berbeda baik dalam leksikostatistik maupun dialektometri, yang mengambil persentase 80%. Angka
ini diperoleh dari hasil studi terhadap perubahan bahasa dalam kurun waktu 1000 th pada bahasa-
bahasa yang memiliki naskah kuno yang berubah untuk kosa kata dasar mencapai 20%. Jadi angka
80% itu diperoleh melalui pengurangan angka persentase maksimal untuk suatu perubahan (100%)
dikurang 20%. Adapun penurunan 10% dari 80% menjadi 70% tidak memiliki dasar yang kuat.

4.1.2 Metode Kesamaan Ciri-ciri Linguistik

Selain analisis di atas, metode yang dapat digunakan dalam pengelompokan bahasa adalah
metode yang bersifat kualitatif, yaitu metode kesamaan ciri-ciri linguistik (shared of linguistc
features). Metode ini dimaksud tidak hanya sebagai cara pengelompokan bahasa turunan ke dalam
suatu kelompok yang lebih dekat hubungannya, tetapi dapat juga digunakan sebagai
pengelompokan beberapa daerah pakai isolek tertentu sebagai penutur bahasa yang sama/berbeda
atau penentuan kekerabatan antardialek dalam satu bahasa. Dengan demikian, metode kualitatif ini,
pada prinsipnya selain dapat digunakan untuk kajian pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat
dalam kajian linguistik historis komparatif, juga dapat digunakan untuk pengelompokan beberapa
daerah pakai isolek ke dalam daerah pemakai bahasa atau dialek yang sama/berbeda, serta
penentuan kekerabatan antardialek/subdialek dalam kajian dialektologi diakronis.

Kesamaan ciri-ciri linguistik tersebut dapat berupa kesamaan dalam memelihara unsur
bahasa purba, maupun kesamaan dalam melakukan pembaharuan dari unsur bahasa purba yang
sama (inovasi bersama). Kesamaan ciri-ciri linguistik dapat mencakupi semua tataran kebahasaan,
mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. Untuk bidang fonologi,
misalnya dapat dilihat berikut ini.


No. Makna/Glos Bentuk Realisasi Daerah Pakai Isolek
I. u ≅ì≅ e ≅ ә/-K#
kambing bәdus 2-4,
bәdìs 7-9
bәdes 13-20, 22, 24, 26-30
bәdәs 1,5,23
bedak, pupur apus 2-4,
apìs 7-9
apes 13-20, 22, 24, 26-30
apәs 1,5,23
takut takut 2-4,
takìt 7-9
taket 13-20, 22, 24, 26-30
takәt 1,5,23
kelapa ñur 2-4,
ñìr 7-9
ñer 13-20, 22, 24, 26-30
ñәr 1,5,23
Dst.

Catatan: Data ini dikutip dari Mahsun, 2006: Kajian dialektologi Diakronis di Wilayah
Pakai Bahasa Sumbawa. Diterbitkan Gama Media, Yogyakarta.

Berdasarkan kaidah kesepadanan bunyi (korespondensi) di atas, kita dapat melihat bahwa
ada kelompok daerah pakai isolek (DPI) yang dapat memunculkan vokal belakang, tinggi: [u] pada
posisi silabe ultima berakhir konsonan [s, t, dan r), yaitu DPI: 2-4; kelompok DPI yang
merealisasikan vokal itu dengan vokal tengah, antara tegang dan kendur: [ì] untuk kelompok DPI:
7-9; kelompok DPI yang merealisasikan vokal itu dengan vokal depan, tengah, tertutup: [e] yaitu
kelompok DPI: 13-20, 22, 24, 26-30; kelompok DPI yang merealisasikan vokal itu dengan vokal
tengah, tertutup: [ә] yaitu kelompok DPI: 1,5, dan 23. Apabila bentuk itu dihubungkan dengan
prinsip-prinsip historis, bahwa vokal tengah diturunkan dari vokal tinggi dan membandingkannya
dengan kasus dalam bahasa lain yang berkerabat (messolanguage cases), misalnya dengan bentuk
dalam bahasa Jawa atau Melayu, maka dapat dihipotetiskan bahwa bentuk purba dari bentuk-bentuk
dalam bahasa Sumbawa tersebut adalah bentuk-bentuk yang memlihara vokal tinggi [u]. Dengan
demikian, ditinjau secara historis, kelompok-kelompok DPI yang merefleksikan kesepadanan
bunyi-bunyi di atas dapat diklasifikasi atas dua macam, yaitu kelompok DPI yang secara bersama-
sama masih memelihara bunyi dalam bahasa purbanya (retensi), dan kelompok DPI yang
melakukan pembaharuan (inovasi). Berdasarkan kedua kemungkinan itu, kita dapat menjadikan
bukti perubahan yang teratur ini sebagai salah satu fakta kualitatif dalam mengelompokkan DPI
sebagai pemakai subdialek, dialek, bahasa, keluarga bahasa, atau rumpun bahasa dan seterusnya.
Kita dapat menjelaskan bahwa, DPI: 2-4 adalah satu wilayah pemakai isolek yang sama, karena
memiliki kesamaan ciri linguistik, yaitu sama-sama memelihari usur bunyi purba: vokal tinggi,
belakang: *[u] pada silabe ultima yang berakhir konsonan: [s, r, dan t]; begitu pula untuk kelompok
DPI: 7-9 adalah kelompok pemakai isolek yang sama, karena memiliki kesamaan ciri linguistik
yang berupa inovasi bersama. Dalam hal ini, merefleksikan vokal purba *[u]/ -K# sebagai vokal
tengah, antara tegang dan kendur: [ì ]. Hal yang sama terjadi pula untuk kelompok DPI: 13-20, 22,
24, 26-30 dan kelompok DPI: 1,5, dan 23. Kedua kelompok DPI itu masing-masing disatukan
sebagai kelompok pemakai isolek sendiri-sendiri karena memiliki kesamaan ciri linguistik berupa
refleksi bunyi purba: [*u], masing-masing sebagai: [e] dan [ә]. Apabila kesamaan ciri linguistik
untuk kelompok DPI: 2-4 berupa retensi, maka kesamaan ciri linguistik untuk masing-masing
kelompok DPI: 7-9; 13-20, 22, 24, 26-30 ; dan 1,5, dan 23 adalah berupa inovasi bersama
antaranggota dalam kelompok.
Seperti disebutkan di atas, bahwa kesamaan ciri linguistik ini, baik berupa retensi maupun
inovasi dapat menjadi bukti untuk pengelompokan DPI sebagai pemakai subdialek, dialek, bahasa,
keluarga bahasa, rumpun bahasa dst. tersendiri, tergantung pada status isolek yang diperbandingkan.
Apabila status isolek yang diperbandingkan itu berupa bahasa, maka penggunaan metode ini
sebagai upaya pengelompokan bahasa-bahasa yang berkerabat; sebaliknya apabila DPI yang
diperbandingkan itu berupa DPI yang belum diketahui statusnya atau diketahui statusnya sebagai
pemakai isolek yang berkategori dialek atau subdialek, maka yang pertama akan digunakan untuk
penentuan status DPI-DPI itu sebagai pemakai subdialek, dialek, atau bahasa yang sama atau
berbeda; dan kedua digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan antardialek/subdialek
dalam bahasa yang diteliti.

Dengan kata lain, bahwa adanya dua tujuan penggunaan metode ini, yang satu sebagai
metode pengelompokan/penentuan kekerabatan bahasa dan yang lainnya sebagai metode
pengelompokan/penentuan kekerabatan antardialek, sangat ditentukan oleh status isolek yang
diperbandingkan. Apabila status isolek (DPI) yang diperbandingkan itu adalah bahasa yang
berbeda, maka penggunaanmetode ini ditujukan untuk pengelompokan/penentuan kekerabatan
bahasa; sebaliknya apabila status isolek (DPI) yang diperbandingkan itu adalah dialek yang berbeda
dalam satu bahasa yang sama, maka penggunaan metode ini ditujukan untuk menentukan kelompok
atau kekerabatan antardialek dalam bahasa tersebut.

Contoh lain, Mbete (1990) menunjukkan adanya inovasi leksikal bersama yang bersifat
eksklusif, yang dapart mengelompokkan bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa sebagai subkeluarga
tersendiri, yang hubungan satu sama lain lebih dekat dibandingkan hubungan masing-masing
bahasa itu dengan bahasa Bali meskipun pada fase historis tertentu merupakan keluarga bahasa
tersendiri, yaitu Proto-Bali-Sasak-Sumbawa, seperti pada data berikut ini.

Bahasa Sasak Bahasa Sumbawa Gloss

antap antap kacang hijau

baloq baloq buaya

bauq bauq dapat, bisa

bewe bewe dahan, cabang dll.


Realisasi leksikal untuk makna-makna (gloss) di atas tidak demikian dalam bahasa Bali dan hanya
dijumpai dalam bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa, karena itulah, salah satu alasan, Mbete (1990)
mengelompokkan bahasa Sasak dan Sumbawa sebagai subkeluarga tersendiri yang disebut
subkeluarga Proto-Sasak-Sumbawa.

Patut ditambahkan, bahwa penelusuran kesamaan ciri linguistik sebagai wujud metode
kualitatif, haruslah didasarkan pada peng-hubung-banding-an antara bentuk dalam bahasa modern
dengan bentuk dalam bahasa purbanya. Karena itu, analisis ini cenderung bersifat dari atas ke
bawah (top down).

Latihan:

1. Apakah yang dimaksudkan dengan dialektometri?

2. Mengapa Guiter membedakan antara kategori persentase perbedaan fonologi dengan


perbedaan leksikon?

3. Setujukah Anda dengan pembedaan tersebut? Jelaskan jawaban Anda.

4. Berikan komentar Anda tentang usul persentase kategori penentuan status isolek sebagai
bahasa, dialek, atau subdialek yang diusulkan Guiter, Tawangsih Lauder, dan Mahsun.

5. Sebukan langkah-langkah yang dilalui dalam melakukan penghitungan dilektometri.

6. Apa yang dimaksudkan dengan segitiga antardaerah pengamatan?

7. Perhatikan kembali peta verbal tahap II, latihan 8 dalam bab III di atas, kemudian lakukan
penghitungan dialektometri dengan menggunakan kateori yang diusulkan Mahsun.

8. Lakukan interpretasi terhadap hasil penghitungan tersebut dlama bentuk pengelompokan


daerah pakai isolek yang sama (dapat bahasa, dialek, dan subdialek).

9. Apakah yang dimaksudkan dengan metode inovasi bersama dalam penentuanstatus isolek
sebagai bahasa, dialek, atau subdialek?

Bahan Bacaan:
Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Guiter, Henri. 1973. “Atlas et Frontiere Linguistique”, Les Dialectes Romans de France, No.
930:61-109. Paris: Centre National de la Recherche Scientifique.
Mahsun. 2005. Penelitian Bahasa: Berbagai Tahapan Strategi, Metode dan Teknik-tekniknya.
Jakarta: Rajawali Press
Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity
Press.

Anda mungkin juga menyukai