Anda di halaman 1dari 40

KELAS X

TEATER TRADISIONAL INDONESIA

A. PENGERTIAN WAWASAN SENI


Wawasan seni adalah sikap, pemahaman, penghayatan,dan pendekatan seseorang
terhadap kesenian, dan karya seni itu sendiri. Wawasan seni diperlukan untuk menjadi
dasar dalam membahas sebuah kesenian dan karya seni. Wawasan seni yang berbeda
akan menentukan sikap, pemahaman, penghayatan, pendekatan,dan pandangan yang
berbeda pula dalam menghadapi kesenian atau suatu hasil karya seni.

Wawasan seni memiliki tujuan mengarahkan siswa untuk mampu:


1. Mengamati dan mengapresiasi (hasil) pementasan seni, baik itu pementasan teater,
tari, musik,ataupun pameran, baik menyaksikan/mengamatinya pada panggung gedung
pertunjukan,layar film bioskop maupun televisi,ataupun rekaman,
2. Menafsirkan, menanyakan, dan mendiskusikan(hasil) pementasan seni, terutama teater,
misalnya mengenaiunsur-unsur apa saja yang terkandung di dalamnya(cerita/naskah
lakon, pemeranan/acting, penyutradaraan, penataan artistic/skeneri, dan lain-lain),
3. Menalar dan membandingkan hasil pementasan seni, terutama seni teater –antara
pementasan teater yang satu dengan pementasan teater lainnya, misalnya kesimpulan
yang menjadi ciri khas masing-masing pementasan teater,
4. Menuliskan hasil pengamatan, penafsiran, dan pembandingan hasil pementasan seni
yang disajikan dalam bentuk resensi yang kemudian dimuat dalam majalah, surat kabar
yang menyediakan kolom budaya,
5. Membuat atau memproduksi pementasan teater, mulai dari penentuan naskah lakon,
para pemain, sutradara, penata artisticdan latihan-latihan hingga pementasan teater itu
sendiri,
6. mencoba pementasan, menafsirkan makna dari pementasan yang ada, dan mencoba
membuat pementasan ulang dengan makna yang sama,
7. memberikan pendapat tentang hasil penalaran dan menyajikan nya lewat suatu karya
seni maupun karya tulis.

Berdasarkan media ekspresi (media ungkap)yang digunakan seni dibagi menjadi:


a. bahasa dan kata (seni sastra)
b. gerak tubuh (seni tari)
c. bunyi dan suara (seni musik)
d. gerak laku dan suara (seni teater), dan
e. warna, garis, dan tekstur (seni rupa).

Sedangkan berdasarkan hasil/produk yang dihasilkan, seni dapat dikelompokkan


menjadi:
a. seni sastra, seperti puisi dan prosa (novel, cerpen, drama, dll.),
b. seni pertunjukan, seperti teater, tari, musik, dan film (bersifat rekaman), dan
c. seni rupa, seperti murni (lukis, patung), kriya (keramik, logam), dan disain (grafis,
interior, eksterior, arsitektur, dan lainnya).
Teater berasal dari kata Yunani kuno, “theatron”, yang diturunkan dari kata “theaomai”,
yang artinya “dengan takjub memandang, melihat”, atau dengan arti lain ”gedung, tempat
pertunjukan”, atau “tempat tontonan”. Tempat tontonan ini (theatron) yang dalam bahasa
Inggris disebut “seeing place”.Istilah theatron ini sebenarnya digunakan untuk
menggambarkan bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran dan mendekati ke arah
lereng bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika pertunjukkan teater
Yunani Klasik (Kuno) berlangsung. Secara lengkap istilah Theatron mewakili tiga pengertian:
1. gedung pertunjukkan dan panggung, 2. publik (penonton) dan auditorium (tempat
menonton), dan 3. karangan tonil (naskah lakon, repertoar).

1. Jenis-Jenis Teater
A. Teater Tradisional
Teater Tradisional sering juga disebut dengan “teater daerah” merupakan suatu
bentuk teater yang bersumber, berakar. dan dirasakan sebagai milik sendiri oleh
masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita rasa masyarakat setempat
pendukungnya. Teater Tradisional mempunyai ciri-ciri yang spesifik kedaerahan/lokaldan
menggambarkan kebudayaan lingkungannya.Ciri-ciri utama teater tradisional:
a. menggunakan bahasa daerah,
b. dilakukan secara improvisasi spontan,
c. ada unsur nyanyian dan tarian,
d. diiringi tetabuhan (musik daerah)
e. dagelan/ banyolan selalu mewarnai
f. adanya keakraban antara pemain dan penonton
g. suasana santai

Jenis teater yang dapat dikelompokan ke dalam teater tradisional, yaitu:


1) Teater Rakyat: lahir dari spontanitas kehidupan dalam masyarakat, dihayati oleh
masyarakat dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Kelahiran
Teater Rakyat umumnya karena dorongan kebutuhan masyarakat terhadap suatu
hiburan, kemudian meningkat untuk kepentingan lain seperti; kebutuhan untuk mengisi
upacara dan ceremonial keadatan.
Jenis-jenis Teater Rakyat yang ada di wilayah Indonesia, diantaranya :
Riau : Makyong dan Mendu
Sumatra Barat : Randai dan Bakaba
Kalimantan : Mamanda dan Tatayungan
Bali : Topeng Arja, Topeng Cupak, Topeng Prembon.
Sulawesi : Sinrilli
Jawa Barat : Longser, Sandiwara Sunda, Wayang Golek, Pantun Sunda,
Bengbengberokan (Bandung); Topeng Cirebon, Wayang Kulit, Sintren, Kuda Kepang
(Cirebon); Topeng Banjet, Odong-odong, Sisingaan (Karawang dan Subang); Topeng
Cisalak (Bogor), Wayang Bekasi (Bekasi); Masres, Kuda Lumping, Akrobat
(InTeateryu); Uyeg (Sukabumi), Manorek, Ronggeng Gunung, Surak Ibra (Ciamis);
Kuda Renggong, Lais, Sisingaan (Sumedang); Dodombaan (Garut); Angklung Sered,
Buncis (Purwakarta); Ujungan, Sampyong (Majalengka)
DKI Jakarta : Lenong, Topeng Betawi, Samra dst
Banten : Debus, Ubrug, dst.
JawaTengah : Srandul Ketoprak, Wayang, Purwa, Wayang Orang dan jenis
wayang lain.
Jawa Timur : Teater Ludruk, Topeng Malangan, Ketoprak, Kentrungan, Reog
Ponorogo, Wayang Kulit, Topeng, Wayang Gambuh, Gambuh, Calonarang, Teater Arja
dst.

2) Teater Klasik: adalah suatu perkembangan seni yang telah mencapai tingkat tinggi
baik teknis maupun coraknya. Kemapanan dari jenis teater klasik adalah akibat dari adanya
pembinaan yang terus menerus dari kalangan atas, seperti; raja, bangsawan atau tingkat
sosial masyarakat lainnya. Oleh karena itu jenis kesenian klasik kebanyakan lahir
dilingkungan istana (pusat kerajaan). Untuk jenis teater yang termasuk klasik, misalnya:
Wayang Golek (Jawa Barat); Wayang Kulit dan Wayang Orang (Jawa Tengah dan
Jawa Timur). Cara pementasan teater klasik tidak sebebas teater rakyat. Teater klasik
harus menuruti aturan-aturan etis (tata kesopanan) dan estetis (nilai keindahan) yang
telah digariskan.
3) Teater Transisi:pada dasarnya teater transisi juga bersumber dari Teater
Tradisional, tetapi gaya pementasannya sudah agak dipengaruhi oleh Teater Barat.
Pengaruh Teater Barat nampak pada tata cara penyajiannya. Walaupun Teater Transisi
masih belum setia terhadap naskah lakon, namun karena tumbuhnya dari masyarakat kota
dan banyak dimainkan oleh para pendatang, teater transisi tidak mencerminkan aspirasi
rakyat secara utuh. Jenis Teater Transisi pada masa awal, seperti: Komedi Stambul dan
Sandiwara Dardanella. Teater semacam ini lebih sering disebut “Sandiwara“. Sedangkan
Teater Transisi masa sekarang adalah: Sandiwara Srimulat (Jawa Timur); Sandiwara
Sunda (Jawa Barat); Sandiwara Bangsawan (Sumatra Selatan dan Utara).

B. Teater Non-Tradisional
Teater non-tradisional atau sering disebut dengan teater modern merupakan jenis
teater yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kota besar dan sangat
dipengaruhi oleh teori-teori barat, terutama kaum terpelajar. Teater modern di Indonesia
sudah dikenal sejak abad ke-19. Bentuk-bentuk pertunjukannya yang diakomodir, antara
lain: baca puisi, deklamasi, dramatic reading, visualisasi puisi, musikalisasi puisi, monolog,
teater konvensional, teater eksperimen, teater alternatif, pertunjukan post-modernisme,
teater jalanan, jeprut, happening art. drama televisi, sinetron, dunia sineas dan perfilman,
dst. Teater sebagai seni pertunjukan berdasarkan ciri-ciri pokoknya, dapat dibedakan ke
dalam dua jenis: teater tradisional dan teater nontradisional.

2. Perbedaan Teater Tradisional dan Teater Non Tradisional

Berikut adalah perbedaan teater tradisional dan teater non-tradisional: ….


Teater Tradisional:
Karya Teater lebih bersifat “anonim”, artinya tidak diketahui penciptanya,
Pewarisan seni bersifat turun temurun (tradisi) dan langgeng/abadi,
Tidak ada naskah baku atau naskah tertulis budaya lisan?
Pertunjukan bersifat spontan tanpa latihan,
Pertunjukan lebih mengutamakan isi daripada bentuk,
Tempat pertunjukan bersifat bebas di tempat/arena terbuka,
Peralatan pentasnya lebih sederhana,
Waktu pertunjukan biasanya dilakukan semalam suntuk,
Peristiwa pertunjukan dibangun penuh keakraban dan tanpa jarak dengan penonton,
Pertunjukan bersifat bebas dengan penonton tanpa harus membayar,
Fungsi pertunjukan terkait upacara pada kegiatan masyarakat secara adat, dan
Menggunakan unsur bahasa daerah setempat.

Teater Non-Tradisional:
Karya Teater lebih bersifat “nonim”, artinya diketahui penciptanya,
Karya seni bersifat temporal,
Ada naskah baku atau tertulis,
Pertunjukkan terencanakan dengan matang dan dilakukan dengan proses latihan
teratur,
Bentuk pertunjukkan lebih beragam tergantung gaya/style senimannya, apakah
mengutamakan isi atau bentuk atau kedua-duanya,
Tempat pertunjukkan bersifat khusus yakni panggung dengan keragaman bentuk stage,
Peralatan pentasnya lebih modern dan lengkap dengan beberapa unsur artistik
penunjang,
Waktu pertunjukan lebih pendek,terbatas 2 sampai 3 jam,
Peristiwa pertunjukan dilakukan dengan kecenderungan adanya jarak estetis dan/atau
melebur menjadi satu dengan penonton,
Pertunjukan bersifat khusus dengan penonton harus membayar,
Fungsi pertunjukan mengarah pada seni tontonan atau hiburan, dan
Menggunakan unsur bahasa yang lebih bebas, bahasa daerah, bahasa nasional
(Bahasa Indonesia), bahasa asing, atau bahasa campuran.

C. PENGERTIAN PEMERANAN
Beberapa unsur seni peran yang menjadi persyaratan didalam pemeranan antara
lain;
a. Cerita atau naskah yang dibawakannya harus mengandung konflik atau pertentangan
antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnnya. Dapat pula pertentanganantara
tokoh cerita dengan lingkungan, atau dengan dirinya sendiri (keyakinannnya) dst.
b. Adanya kerjasama yang baik antara pemain dan sutradara dalam membangun irama
permainan seni peran, dengan beberapa unsur artistik pentas yang hadir melingkupi
tokoh dalam suatu adegan atau babak(atau disebut dengan kepekaan ruang dalam
membangun atmosfir pertunjukan).
c. Menghindari terjadinya kesalahan pemilihan tokoh atau miscasting dalam pemeranan,
sehingga terjadi overacting (akting yang berlebihan) atau underacting(akting dibawah
standar, kurang ekspresif dari tuntutan peran yang dibawakan). Adanya keberanian
untuk mencoba dan mengambil resiko (trial and error).
d. Memiliki wawasan yang baik dan suka bergaul. Karena itu disyaratkan untuk gemar
membaca, menonton pertunjukan dan harus peka terhadap kejadian sekitar dan isu-isu
yang aktual untuk melatih ingatan dan emosi pemeran sekaligus sebagai bahan apa
yang akan didibicarakan secara tematik.
e. Harus percaya diri, memiliki kesadaran atas potensi diri, kelebihan, dan kekurangan diri
sendiri.

1. Unsur Pemeranan
Untuk menjadi seorang pemeran yang terampil tidak sebatas penguasaan tubuh,
ekspresi mimik, penghayatan, suara, dan kemampuan berpikir, tetapi perlu ditunjang dengan
pengetahuan dan pemahaman terhadap unsur-unsur lain sebagai penunjang pemeranan
didalamnya. Unsur-unsur yang dimaksud diantaranya sebagai berikut:
a. Lakon
Kata lakon sama halnya dengan istilah ‘ngalalakon-boga lalakon’ (dalam, Bahasa
Sunda), atau ‘ngelelakon’ (dalam, Bahasa Jawa) artinya melakukan, melakoni cerita yang
dilakukan oleh seorang tokoh, biasanya tokoh atau pemeran utama dengan kata-kata
(verbal) atau tanpa berkata-kata (non-verbal) dalam suatu peran yang dibawakan.
b. Penokohan dan Perwatakan
Penokohan atau kedudukan tokoh yang disajikan oleh seseorang dan atau beberapa
pemeran merupakan unsur penting dalam pemeranan yang bersumber dari lakon, cerita
atau naskah. Penokohan didalam seni teater dapat dibagi dalam beberapa kedudukan
tokoh atau peran, antara lain:
 Protagonis adalah tokoh utama, pelaku utama atau pemeran utama (boga lalakon)
disebut sebagai tokoh putih.Kedudukan tokoh utama adalahmenghadirkan cerita hingga
cerita memiliki peristiwa dramatik (konflik pertentangan)
 Antagonis adalah lawan tokoh utama, penghambat pelaku utamadisebut sebagai tokoh
hitam.Kedudukan tokoh Antagonis adalahyang mengahalangi, menghambat itikad atau
maksud (baik) tokoh utama dalam menjalankan tugasnya atau mencapai tujuannya.
Tokoh Antagonis dan Protagonis biasanya memiliki kekuatan yang sama, artinya
sebanding menurut kacamata kelogisan cerita di dalam membangun keutuhan cerita.
 Deutragonis adalah tokoh yang berpihak kepada tokoh utama. Biasanya tokoh ini
membantu tokoh utama dalam menjalankan itikad baiknya. Kadangkala, tokoh ini menjadi
tempat pengaduan atau memberikan nasihat kepada tokoh utama.
 Foil adalah tokoh yang berpihak kepada lawan tokoh utama. Biasanya tokoh ini
membantu tokoh Antagonis dalam menghambat itikad baik tokoh utama. Kadangkala,
tokoh ini menjadi tempat pengaduan atau memberikan nasihat yang memperburuk
kondisi tokoh Antagonis.
 Tetragonis adalah tokoh yang tidak memihak kepada kepada salah satu tokoh lain, lebih
bersifat netral. Tokoh ini memberi masukan-masukan positif kepada kedua belah pihak
untuk mencari jalan yang terbaik.
 Confident adalah tokoh yang menjadi tempat pengutaraan maksud tokoh utama.
Pendapat-pendapat tokoh utama tersebut pada umumnya tidak boleh diketahui oleh
tokoh-tokoh lain selain tokoh tersebut dan penonton.
 Raisonneur, adalah tokoh yang menjadi corong bicara pengarang kepada penonton.
 Utilitty adalah tokoh pembantu baik dari kelompok hitam atau putih. Tokoh ini dalam
dunia pewayangan disebut goro-goro (punakawan). Kedudukan tokoh Utilitty, kadangkala
ditempatkan sebagai penghibur, penggembira atau hanya sebatas pelengkap saja,
Artinya, kehadiran tokoh ini tidak terlalu penting. Ada atau tidaknya tokoh ini, tidak akan
mempengaruhi keutuhan lakon secara tematik. Kalau pun dihadirkan, lakon akan menjadi
panjang atau menambah kejelasan adegan peristiwa yang dibangun.
Perwatakan atau karakteristik yang dimiliki pemeran di dalam lakon, dihadirkan
pengarang berdasarkan ciri-ciri, tanda-tanda, identitas secara khusus bersifat pencitraan
sebagai simbol yang dihadirkan tokoh, berupa:
status sosial: adalah menerangkan kedudukan atau jabatan yang diemban tokoh dalam
hidup bermasyarakat pada lingkup lakon, antara lain; orang kaya, orang miskin, rakyat biasa
atau jelata, penggangguran, gelandangan, tukang becak, kusir, guru, mantri, kepala desa,
camat, bupati, gubernur, direktur atau presiden, dll.
status fisik: menerangkan ciri-ciri khusus tentang jenis kelamin (laki, perempuan atau
waria), kelengkapan pancaindra atau keadaan kondisi tubuh (cantik-jelek, tinggi-pendek,
kurus-buncit, kekar-lembek, rambut hitam atau putih, buta, pincang, lengan patah,
berpenyakit atau sehat, dan lain-lain.
status psikis: menerangkan ciri-ciri khusus mengenai hal kejiwaan yang dialami/dimiliki
tokoh, seperti; sakit ingatan atau normal, depresi, traumatic, penyimpangan seksual, mudah
lupa, pemarah, pemurah , penyantun, pedit, pelit, dermawan, dll.
status intelektual: menerangkan ciri-ciri khusus mengenai sosok tokoh dalam bersikap
dan berbuat, terutama dalam mengambil keputusan atau menjalankan
tanggungjawab,misalnya, kecerdasan (pandai-bodoh, cepat tanggap-masa bodoh, tegas-
kaku, lambat- cepat berpikir), kharisma (gambaran sikap sesuai dengan kedudukan
jabatan), bertanggungjawab (berani berbuat berani menanggung resiko, asalkan dalam
koridor yang benar). Status religi: menerangkan keyakinan yang dimiliki tokoh.
c. Unsur Tubuh
Tubuh dengan seperangkat anggota badan dan ekspresi wajah merupakan unsur
penting yang perlu dilakukan pengolahan atau pelatihan agar tubuh memiliki stamina yang
kuat, kelenturan tubuh dan daya refleks atau kepekaan tubuh. Untuk memperoleh kondisi
tubuh yangmaksimal, seorang pemeran harus rajin dan disiplin melakukan olah tubuh.
d. Unsur Suara
Suara atau bunyi yang dikeluarkan melalui indra mulut dan hidung adalah salah satu
unsur pemeranan yang berfungsi untuk penyampaian pesan melalui bahasa verbal atau
pengucapan kata-kata. Unsursuara sebagai sarana dalam pemeranan seni teater agar
berfungsi dengan baik dan memiliki manfaat ganda dalam menunjang seni peran perlu
pengolahan berupa pelatihan terhadap anggota-anggota tubuh yang terkait dengan
pernapasan dan pengucapan.
e. Unsur Penghayatan
Penghayatan adalah penjiwaan, pengisian suasana perasaan hati, kedalaman sukma
yang digali dan dilakukan seorang pemeran ketika membawakan pemeranannya di atas
pentas.
f. Unsur Ruang
Ruang dalam pemeranan merupakan unsur yang menunjukan tentang; ruang yang
diciptakan pemeran dalam bentuk mengolah posisi tubuh dengan jarak rentangan tangan
atau anggota badannya; lebar (gerak besar), sedang (gerak wajar), kecil (gerak menciut).
Blocking berhubungan dengan latihan-latihan untuk mendukung elemen artistik, dimana
para pemeran harus memiliki kepekaan ruang. Artinya para calon aktor harus dilatih
bagaimana memposisikan dirinya pada wilayah pentas, terutama apabila pentas diisi lebih
dari 1 (satu) orang pemeran..
Movement artinya bergerak atau berpindah tempat. Kata Moving dikenal juga dengan
Movement yakni pergerakan atau pindah tempat yang dilakukan oleh pemain di atas pentas.
Businees atau bisnis adalah suatu tindakan atau upaya menanggapi terhadap peran
yang dibawakan dengan bantuan handprop atau peralatan tangan (benda yang digunakan),
seperti; mengambil pisang-dialog-dikupas-dialogdimakan-buang kulit pisang-dialog dan
seterusnya.
Leveling atau dari asal kata yakni tingkatan atau undak-undak. Maka dalam konteks
seni peran (Teater) adalah pengaturan tinggi rendah pemain dalam ruang pentas.
Pengaturan tinggi rendah pemain baik personal maupun grouping selalu dilakukan bahwa
pemain yang berada di belakang pemain lain hendaknya memiliki kesadaran harus lebih
tinggi dan pemain yang berada di depannya memberikan level lebih rendah agar keduanya
tampak menguntungkan terlihat oleh penonton.
g. Unsur Kostum
Kostum dalam seni peran adalah semua perlengkapan yang dikenakan, menempel,
melekat, mendandani untuk memperindah tubuh pemeran pada wujud lahiriah dalam aksi
pemeranan di atas pentas. Kostum meliputi unsur; rias, busana, dan asesoris sebagai
penguat, memperjelas watak tokoh, baik secara fisikal, psikis, moral atau status sosial.
Contohnya dalam berpakaian, seperti; Polisi, Tentara, Hansip, Satpam, Guru, Kepala Desa,
Pejabat, Rakyat, Pengemis, Anak Sekolah, dst.
h. Unsur Property
Pemahaman Property dalam pemeranan adalah semua peralatan yang digunakan
pemeran, baik yang dikenakan atau melekat tubuh maupun yang tidak melekat ditubuh,
tetapi dapat diolah dengan menggunakan tangan (handprop) dan berfungsi untuk penguat
watak atau karakter seorang pemeran, seperti : tas, topi, cangklong, tongkat, pentungan,
kipas, panah dan busur, golok, dst.
i. Unsur Musikal
Unsur musikal atau unsur pengisi, penguat, pembangun suasana laku pemeranan di
atas pentas, meliputi; irama suasana hati atau sukma dalam membangun irama permainan
dengan lawan main, irama vocal, suara pengucapan (Opera, Gending Karesmen, Wayang
Wong, dst.) sang pemain, atau aktor, dan irama musik sebagai penguat karakter tokoh
(Cepot, Bodor, Semar, Raja, dst.) berupa; gending, musik, suara atau bunyi dan effek audio,
baik melalui iringan musik langsung (live) maupun musik rekaman (playback),contohnya;
musik kabaret, musik operet, dst.

Teknik Dasar Pemeranan

Teknik adalah cara, metode dan strategi dalam melakukan atau menyelesaikan
sesuatu kegiatan dengan baik dan benar atau aman. Teknik pemeranan dapat dipahami
sebagai suatu metode atau cara untuk mengoptimalkan keterampilan potensi berpikir,
perasaan, vokal dan tubuhnya dalam membawakan peran atau tokoh dengan totalitas dan
penuh kesadaran, sehingga diperoleh manfaat dalam meningkatkan akting atau seni peran
dari suatu tokoh atau peran yang diekspresikan.
1. Olah Tubuh
Olah tubuh merupakan pembelajaran praktik melalui pengolahan atau pelatihan agar
tubuh memiliki stamina yang kuat, kelenturan dan daya refleks.
a. Stamina / Kekuatan Tubuh
Kekuatan tubuh adalah pelatihan terhadap tubuh agar memiliki ketahanan fisik dan
pernapasan yang sehat. Latihannya, dengan bimbingan guru berlari beberapa keliling
sesuai dengan luas lapangan atau sesuai dengan luas ruangan (kalau di dalam gedung).
Latihan pernapasan, dengan menarik dan membuang udara melalui hidung dengan dada,
diagfrahma dan perut kembung kempis.
b. Stretching / Peregangan
Peregangan adalah pengolahan atau latihan pada bagian otot-otot tubuh agar lentur
dan memiliki daya gerak refleks. Latihannya, dengan bimbingan guru, mulai dari; mata,
mulut, muka, leher, bahu, dada, pinggul, pantat, lengan, pergelangan tangan, jari tangan,
paha, kaki, lutut, betis, pergelangan kaki, tumit, dengan cara digerakan-gerakan ke atas-
bawah, kanan-kiri, putaran keluar-kedalam atau dengan cara penguncian 2 X 8 hitungan.
c. Keseimbangan tubuh
Pelatihan keseimbangan tubuh melatih otak dalam menguasai tubuh. Tumpuan
keseimbangan ini penekanannya pada kekuatan kaki. Latihannya, bersama guru melakukan
gerakan berdiri dengan dua kaki, satu kaki, dengan posisi tangan bisa di pinggang atau
lepas seperti terbang. Cara latihannya dengan diam beberapa hitungan.

2. Olah Suara
Olah suara merupakan praktik pengolahan atau pelatihan elemen-elemen yang
berhubungan dengan suara melalui teknik pernapasan dan pengucapan agar memiliki;
artikulasi yang jelas, intonasi suara, dinamika suara dan kekuatan suara yang baik.

a. Artikulasi
Artikulasi dapat diartikan kejelasan dalam pengucapan kata-kata agar apa yang
dikatakan terdengar jelas dengan apa yang diterima pendengarnya. Latihannya, dengan
bimbingan guru melakukan pengucapan kata-kata bersuara atau tidak bersuara dengan
tempo yang berbeda-beda untuk membantu pengolahan suara melalui mulut dan bibir
secara berulang dengan pernapasan yang teratur.

b. Intonasi
Intonasi suara adalah irama suara dengan penekanan pengucapan kata-kata sehingga
dihasilkan pengucapan yang tidak monoton atau terkesan datar. Latihannya, dengan
bimbingan guru dengan mengucapkan sebuah kalimat atau dialog yang pendek dengan
cara diulang dan melakukan tekanan pada salah satu kata yang dianggap penting.
Contohnya :
Pa-gi i-ni hujan tidak turun. (penekanan pada kata pagi ini)
Pagi ini hu-jan tidak turun. (penekanan pada kata hujan)
Pagi ini hujan ti-dak tu-run. (penekanan pada kata tidak turun).

c. Dinamika
Dinamika suara adalah tempo pengucapan suara; cepat-lambat-sedang(wajar) sebuah
kalimat. Latihannya, dengan bimbingan guru dengan mengucapakan sebuah kalimat atau
dialog yang pendek dengan cara diulang dan melakukan perubahan tempo pengucapan
pada salah satu kata yang dianggap penting.
Contohnya:
Pagi ini hujan tidak turun. (ucapkan dengan cepat)
Pagi ini hujan tidak turun. (ucapkan dengan lambat)
Pagi ini hujan tidak turun. (ucapkan dengan sedang).

d. Power/Kekuatan
Kekuatan suara adalah keras lemahnya suara yang dihasilkan dari pengucapan suatu
kata atau kalimat. Latihannya, mengucapkan sebuah kalimat atau dialog yang pendek
dengan cara diulang dan melakukan pengucapan hingga terdengar tidaknya apa yang
dikatakan, tetapi tidak berteriak.
Contohnya:
Pagi ini hujan tidak turun. (ucapkan dengan suara keras)
Pagi ini hujan tidak turun. (ucapkan dengan suara lemah)

3. Olah Rasa/Sukma
Olah rasa adalah suatu proses latihan yang menempatkan perasaan sebagai objek
utama dari pengolahan/latihan. Proses ini dilakukan untuk menggali “Potensi Dalam” agar
dapat diatur dan dikendalikan sesuai dengan kebutuhan emosi peran. Fungsi latihan Olah
Rasa disisi lain akan mampu membangun kejujuran rohani dan pembebasan rohani dari hal-
hal yang mengikat dan membatasi. Selanjutnya pembebasan tersebut diharapkan
membantu sikap dan perasaan untuk melahirkan ide-ide dan kreativitas pemeranan. Adapun
materi latihan yang harus dilakukan antara lain:

a. Teknik Konsentrasi
Konsentrasi merupakan “Gerbang“ yang sangat menentukan kelangsungan mengatur
dan mengendalikan fenomena psikologis seorang aktor dalam menguasai peran. Pada
bagian ini (konsentrasi) seorang aktor akan berupaya mengalienansi (mengasingkan)
dirinya dari kehidupan nyata yang dijalaninya sehari-hari untuk segala cipta, rasa dan
karsanya pada satu pusat perhatian. Pada dasarnya ajaran konsentrasi merupakan ajaran
tentang penguasaan/pengendalian diri atau pemusatan pikiran serta rohani kita terhadap
apa yang akan dan sedang kita lakukan.Unsur-unsur penting fenomena psikologis dalam
sentuhan konsentrasi antara lain: Pembebasan dari pengendalian diri, kejujuran dan
kepasrahan hati, kepekaan rasa, kesiapan dan kekuatan mental, pemusatan pikiran dan
perhatian. Latihan dapat dilakukan dengan cara:
 Latihan mengosongkan pikiran,
 Pemusatan pikiran pada suatu objek, misalnya; lilin yang menyala, bunga, kursi,warna,
bunyi, suara, kucing, harimau, dan seterusnya,
 Pemusatan pikiran pada peristiwa tertentu secara khayal.

b. Pengindraan
Kemampuan peralatan/organ tubuh dalam merespon atau bereaksi terhadap berbagai
hal terutama yang berhubungan dengan sifat-sifat pancaindera, yaitu:
 Mata, berfungsi untuk “ menangkap “ dan “ Bereaksi “ terhadap objek-objek penglihatan
(visual).
 Hidung, berfungsi untuk “ menangkap “ dan “ Bereaksi “ terhadap objek-objek aroma
(penciuman).
 Telinga, berfungsi untuk “ menangkap “ dan “ Bereaksi “ terhadap objek-objek suara /
bunyi (pendengaran).
 Lidah, berfungsi untuk “ menangkap “ dan “ Bereaksi “ terhadap rasa manis, asin, pahit,
masam dst. (pengecapan).
 Tubuh, berfungsi untuk “ menangkap “ dan bereaksi “ terhadap sentuhan/rabaan.
Seluruh kemampuan pancaindera dalam hubungannyadengan olah rasa senantiasa
ditujukan untuk membangun kepekaan rasa.

c. Kepekaan Sukma / Rasa


Tahapan pembelajaran/latihan bagian ini merupakan tujuan utama dari latihan olah
rasa, konsentrasi, meditasidan pengindraan maka diharapkan dapat memiliki suatu
kepekaan sukma yang mampu mengatur permainan emosi sukma adalah kekuatan “Dalam“
(innerpower) dari aktor yang kemudian ditampilkan kepada penonton melalui media-media :
Mimik Gesture (Gerak-gerik Tubuh), Dialog. Media-media di atas secara langsung atau tidak
langsung mutlak dapat dihadirkan karena ada dorongan perasaan yang
melatarbelakanginyalatihan kepekaan emosi: rasa sedih, rasa takut, rasa marah, rasa
gembira, benci.

d. Imajinasi
Imajinasi adalah kemampuan dalam menciptakan daya khayal sebagai hasil kepekaan
kehidupan sehari-hari, binatang, tumbuhan, unsur alam atau hasil sebuah perenungan
mendalam yang mampu menghadirkan khayalan positif.
Latihannya::
o Berimajinasi melakukan kegiatan keseharian, seperti : orang bertemu (jabat tangan atau
memeluk), orang berpisah jauh (melambaikan tangan), orang berpapasan (tersenyum
atau membungkukan badan) dst.
o Berimajinasi dengan berbuat seolah-olah menirukan: orang lumpuh, orang pincang,
orang tua, anak muda, bayi, harimau, kucing, kanguru, bangau, kera dst.
o Berimajinasi secara metafora seperti menjadi:: angin, air, suara, benda tertentu,
matahari, bulan, bintang, pohon, burung dst

BAB 3
Keaktoran

1. Konsep dan Teknik Bermain Peran

1.1 Pemilihan Peran


Teknik Pemeranan atau teknik bermain (acting) merupakan unsur yang penting dalam
seni berperan. Seorang pemeran dalam berkarya dituntut menciptakan watak-watak yang
dapat dimengerti penonton. Pemeran harus mampu mengolah emosi penontonnya sehingga
merasakan sensasi kehadirannya di atas panggung dengan bermodalkan pengetahuan,
keterampilan, dan bakat yang dimilikinya. Modal keterampilan yang dimaksud, yaitu:
penampilan fisik, emosi dan intelegensi, keahlian berdialog sesuai dengan tuntutan naskah,
kemampuan acting, dan penguasaan panggung. Oleh karena itu, seorang pemeran yang
baik harus melewati tahapan casting terlebih dulu. Terdapat lima jenis casting, yaitu:
a. Casting by ability: pemilihan tokoh berdasarkan keahlian membawakan peran yang akan
dimainkan sesuai dengan naskah. Keahlian yang dimaksud tersebut berupa pemeranan
yang sulit dan biasanya dialognya panjang sehingga membutuhkan daya hafal dan daya
tangkap yang cukup tinggi karena tokoh yang dimaksud ditempatkan pada bagian tokoh
utama.
b. Casting to type: pemilihan tokoh sesuai dengan fisiknya. Misalnya, pemeran orang tua
diperankan oleh seorang aktor/aktris yang sudah tua pula; atau pemeran remaja
diperankan oleh seorang aktor/aktris remaja pula.
c. Anti-type casting: pemilihan tokoh bertentangan dengan fisik dan karakternya. Bertujuan
untuk mendidik atau melatih aktor/aktris untuk keluar dari karakter aslinya dan terbuka
terhadap karakter-karakter lain sehingga kemampuan pemerannya dapat diandalkan.
d. Casting to emotional temperament: pemilihan tokoh sesuai dengan pengamatan
terhadap kehidupan sehari-hari calon tokoh. Dalam hal ini, tokoh dapat memilih peran
sesuai dengan kehidupan sehari-hari mereka terutama emosi dan temperamennya.
Sebagai contoh, pengalaman masa lalu dalam hal emosi akan memudahkan
aktor/aktrisnya menghayati cerita sesuai tuntutan yang diberikan kemudian temperamen
yang tepat akan membantu proses penghayatan yang dibawakan.
e. Therapeutic casting: pemilihan tokoh dengan tujuan memulihkan/menyembuhkan
ketidakseimbangan psikologis dari tokoh tersebut. Contohnya, sesorang yang tidak
percaya diri memerankan seseorang yang percaya dirinya luar biasa dan terbiasa tampil
di hadapan orang banyak; seseorang yang pendiam harus belajar memerankan tokoh
yang periang, dsb.

1.2 . Teknik Berperan


Berperan menjadi diri orang lain sesuai dengan arahan/tuntutan lakon drama
ditentukan sejauh mana seorang tokoh meninggalkan egonya sendiri untuk
memasuki dan mengeksplor karakter lain diluar karakter aslinya karena seorang
tokoh harus mampu berperan secara natural dan realistis. Untuk itu, seorang tokoh
drama harus memerlukan penghayatan, penjiwaan, dan fokus terhadap peran yang
diperoleh. Seorang tokoh yang baik harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Seorang tokoh harus memiliki kreasi
2. Peran yang akan diperankan bersifat wajar dan alamiah
3. Peranan yang diperankan sesuai dengan tipe, gaya, dan tujuan pemeranan
4. Peranan yang diperankan harus sesuai dengan watak tokoh dalam naskah.

A. Mengutip pendapat Rendra bahwa teknik berperan itu memiliki empat sumber gaya,
yaitu:
1. Aktor Bintang
Artinya kesuksesan pemeranan ditentukan tokoh-tokoh yang kuat dengan
mengandalkan kecakapan, kemasyhuran, gaya Tarik yang tidak dimiliki orang lain
tujuannya untuk menarik perhatian penonton.
2. Sutradara
Artinya kemampuan sutradara yang handal akan menghasilkan pemeranan yang
sukses pula. Penonton mengharapkan pemeranan yang mereka nikmati bermutu
bahkan menjadi hal yang baru. Tentunya hal tersebut dipercaya mampu diciptakan
oleh sutradara. Sesuai dengan harapan tersebut, sutrada harus mampu
mengkoordinir segala keperluan pemeranan dan memperhatikan kebutuhan tokoh-
tokohnya. Untuk itu, sutradara terdiri atas beberapa tipe, berdasarkan cara
mempengaruhi jiwa tokoh, cara melatih tokoh, dan cara penyutradaraan.
Berdasarkan mempengaruhi jiwa tokoh, dibagi atas dua tipe, yaitu tipe sutradara
teknikus dan sutradara psikolog dramatik. Sutradara teknikus merupakan
sutradara yang mengikuti segala aturan teknisi. Sutradara psikolog dramatik
mementingkan perwatakan psikologi. Pelopor sutradara psikologi ini adalah
Constantin Stanislavsky dan Ricard Boleslavsky yang selalu menonjolkan konflik-
konflik kejiwaan disetiap pertunjukkanya.
Berdasarkan cara melatih, dibagi tiga tipe. Pertama, sutradara interpretator
merupakan sutradara yang taat terhadap interpretasi naskah kaku. Kedua,,
sutradara creator merupakan sutradara kreatif menciptakan variasi pengolahan
tokoh-tokoh. Ketiga, sutarada gabungan interpretator dan creator merupakan
sutradara yang melakukan pengembangan lebih kreatif sesuai dengan naskah.
Berdasarkan cara penyutdaraan, terdapat dua tipe, yaitu sutradara diktator
(Gordon Craig) merupakan sutradara kaku dan menjadikan semua tokoh-
tokohnya seperti boneka mengikuti keinginanya dan ketentuannya. Tipe kedua
sutradara demokrasis merupakan sutradara supervisor yang memberikan
kebebasan ke tokoh-tokohnya untuk menciptakan pemerannan.
3. Lingkungan dan Dekorasi
Artinya kesuksesan pemeranan dapat diperoleh dengan lingkungan dan dekorasi
yang sesuai dengan tema pemeranan. Contohnya, pemeranan “Ken Arok dan
Ken Dedes” diselenggarakan maka lingkungan dan dekorasinya harus
menunjukkan kerajaan Singasari sesuai dengan pemeran tersebut.
4. Penulis
Artinya penulis yang hebat akan menghasilkan naskah-naskah hebat dan
berbobot sebagai hal utama kesuksesan pemeranan. Untuk itu, penulis
memerlukan kreativitas (mencipta naskah) dan sifat flesibel (penyesuaian diri)
dengan imajinasi, penghayatan, dan ide sesuai dengan realistis penonton.

B. Menurut Richard Boleslavsky merupakan murid Stanislavsky bahwa calon tokoh


pemeran harus menguasai enam tahapan pelajaran, yaitu:
1. Konsentrasi
Latihan memusatkan pikiran. Misalnya berkonsentrasi memikirkan sesuatu
lingkaran besar menjadi kecil atau sebaliknya dari lingkaran kecil menjadi besar
lagi.tujuan latihan ini untuk melatih seorang tokoh mampu mengubah dirinya
menjadi diri orang lain saat pemeranan.latihan konsentrasi dapat dilakukan di
tempat yang ramai supaya mengetahui tingkat konsentrasi seorang tokoh.
2. Ingatan emosi
Biasanya disebut juga sebagai the transfer of emotional merupakan latihan paling
efektif untuk menghayati emosi yang wajar, hidup, dan nyata. Contohnya, latihan
senang dengan mengekspresikan emosi senang sewajarnya tanpa berlebihan
supaya tidak terjadi over ecting.
3. Laku dramatis
Latihan adaptasi terhadap tingkah laku diluar diri sendiri bahkan bicara harus
mampu keluar dari diri sendiri tentunya dengan cara penghayatan.
4. Pembangunan watak
Melatih watak sesuai dengan arahan naskah dapat dilakukan dengan cara
memerhatikan fisik, mengidentifikasi fisik, kemudian mendalami perwatakannya
sesuai naskah.
5. Observasi
Melakukan pengamatan tokoh dengan peran yang akan dibawakan. Contoh,
memerankan tokoh pengemis, memerlukan pengamatan tergadap pengemis
dengan memperhatikan fisiknya, psikisnya, dan sosialnya.
6. Irama
Latihan terakhir yaitu latihan irama sesuai dengan panjang, pendek, lemah.,
keras, tinggi-rendah dialog sesuai dengan pemerannan yang diberikan.
BAB 4
Pementasan Teater

1. Pengertian Pergelaran Teater


Pergelaran teater merupakan proses komunikasi atau interaksi antara karya seni
dengan penontonnya yang dibangun oleh suatu sistem pengelolaan, yakni manajemen seni
pertunjukan. Manajemen yang dimaksud adalah seorang pengelola seni (pimpinan produksi)
dalam memberdayakan sumber-sumber (potensi) yang ada berdasarkan fungsi-fungsi
manajemen secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan seni. Tujuan seni berdasarkan
manajemen pertunjukan adalah mencapai kualitas karya seni yang bermutu dan menjaga
kesejahteraan pendukung pergelaran di dalamnya. Artinya, kualitas karya seni dipercayakan
kepada seseorang yang mengetahui secara ilmu dan praktik pengelolaan pergelaran, yaitu
Manager Produksi atau Pimpinan Produksi.
Pergelaran teater sebagai puncak sebuah proses latihan bagi para kreator seni dan
kreativitas seni. Melalui proses seni inilah teater dapat diwujudkan sebagai karya seni yang
perlu dikomunikasikan kepada penontonnya. Oleh karena itu, komunikasi seni menjadi
penting dan tidak terpisahkan dengan proses yang dilakukan sebagai bagian dari evaluasi
dan penghargaan yang pantas diberikan kepada para kreatornya.
Proses pergelaran teater dapat dikatakan sebagai suatu tantangan dan peluang bagi
para kreator seni sehingga mereka harus bahu membahu dan bekerjasama menciptakan
karya seni. Tantangan yang dimaksud adalah proses latihan untuk menyiapkan materi
pergelaran teater minimal tiga bulan dengan konsetrasi melatih diri dengan penuh
tanggungjawab pada peran masing-masing. Pada kenyataannya dengan proses latihan
yang cukup memakan waktu, tidak jarang terjadi pergantian pemain pada kreator seni yang
belum memiliki jiwas seni.

2. Unsur Pergelaran

Pergelaranseni teater memiliki persyaratan sebagai unsur penting terselenggaranya


pergelaran tersebut. Unsur penting yang dimaksud meliputi unsur; panitia pergelaran,
materi pergelaran dan penonton.

a. Panitia Pergelaran
Panitia adalah sekelompok orang-orang atau organisasi yang dibentuk dengan sistem
kepanitiaan dalam pergelaran sen teater. Pimpinan organisasi tersebut bersifat kolegial
atau dewan, artinya terdiri dari beberapa orang. Segala keputusan diambil dan
dipertanggungjawabkan secara bersama-sama dengan waktu pergelaran bersifat
praktis, artinya panitia dengan cepat dibentuk dan cepat pula untuk dibubarkan setelah
laporan kegiatan dilaksanakan. Penyelenggaraan pergelaran memiliki dua komponen
penting, panitia artistik atau biasa disebut pemateri/kreator di bawah pimpinan seorang
sutradara (art director) dan panitia nonartistik atau penggiat seni dipimpin oleh seorang
pimpinan produksi.
b. Materi Pergelaran Teater
Materi pergelaran yang dimaksud adalah wujud karya teater yang dibangun melalui
proses kreatif bersifat kolektif (bekerja bersama) dengan wilayah kerja dan
tanggungjawab secara bersama (kolaborasi).
c. Penonton
Penonton sebagai apresiator, penikmat, penilai terhadap materi seni (seni teater) yang
di pagelarkan. Oleh karena itu, kehadiran penonton dalam suatu pergelaran bersifat
mutlak. Artinya tanpa penonton, pergelaran teater adalah kesia-siaan atau mubazir
karena pergelaran teater membutuhkan suatu penilaian, penghargaan, atau kritikan
untuk menjadikanpergelaran seni sebagai budidaya kebudayaan. Menonton
ataumengapresiasi adalah sikap menerima, menghargai, dan sekaligus mengkritisi
pesan yang disampaikan oleh para pemain pergelaran. Penilaian terhadap pergelaran
seni sangatlah berbeda dan bersifat relatif. Oleh karena itu, berpijak pada keragaman
latarbelakang penonton dan pengalaman seni, penonton dibedakan dalam tiga
golongan, yakni:
 Penonton awam adalah penonton penikmat seni dengan kecenderungan kurang atau
tidak dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman seni (wawasan dan
pengalaman seni Teater).
 Penonton tanggap adalah penonton bersikap responsif dengan kecenderungan
memiliki wawasan dan pengalaman seni, tetapi tidak ditindaklanjuti untuk mengulas
terhadap apa yang pergelaran yang ditontonnya cukup untuk dipahami dan dinikmati
sendiri.
 Penonton kritis, adalah penonton yang memiliki bekal keilmuan dan pengalaman seni
kemudian melakukan ulasan atau menulis kritik pergelaran dan dipublikasikan dalam
forum ilmiah, diskusi atau di media cetak dan elektronik.

3. Teknik Pergelaran Teater


Teknik pergelaran teater dibagi dalam dua wilayah kegiatan,yaitu wilayah kegiatan
artistik dan nonartistik. Kegiatan wilayah artistik bertugas untuk menyiapkan materi (produk)
seni teater, sedangkan wilayah nonartistik bertugas sebagai penyelenggara pergelaran.
Perencanaan merupakan kegiatan awal tahapan kerja untuk mencapai tujuan seni.
Perencanaan nonartistik dipimpin oleh seorang manager yang disebut dengan Manager
Produksi atau Pimpinan Produksi. Tujuan perencanaan yaitu menghindari tingkat kesalahan
atau hambatan yang terjadi sekaligus mendorong peningkatan pencapaian tujuan dari
sebuah rencana pergelaran dalam hal ini pergelaran teater. Perencanaan nonartistik di
dalam pergelaran teater, meliputi pengelolaan dibidang, seperti personal pergelaran,
administrasi, keuangan, publikasi, dokumentasi, pemasaran, kemiteraan dan laporan
pergelaran. Aplikasi tahapan perencanaan dalam pagelan teater sebagai berikut:

A. Penentuan Lakon/naskah drama


Penentuan lakon atau naskah adalah tanggungjawab seorang sutradara. Pemilihan
naskah drama diutamakan yang bermuatan kependidikan dan diperuntukan sesuai
dengan tingkat perkembangan usia penonton. Misalnya, lakon-lakon yang penuh dengan
etika (ajaran) mengandung nilai-nilai moral yang patut diteladani. Contohnya, Bebasari
(Roestam Effendi); Ken Arok dan Ken Dedes..

B. Pembentukan Pimpinan Produksi dan Sutradara


Panitia inti di dalam teater, terdiri dari penunjukan atau pengangkatan posisi jabatan :
Pimpinan Produksi dan Sutradara.
C. Penyusunan Kepanitiaan Pergelaran

Pengorganisasian dalam pergelaran teater bersifat praktis dan tentatif (sewaktu-waktu)


artinya panitia dibentuk sesuai dengan kapasitas kebutuhan dan dibentuk dan dibubarkan
sesuai dengan batas waktu berakhir.

D. Pembuatan Jadwal Produksi


Jadwal kegiatan produksi atau lebih popular dengan istilah Time Scedulle. Biasanya
berisi susunan program pergelaran dari masing-masing bidang, baik artistik maupun
nonartistik berdasarkan perencanaan waktu dan proses latihan. Time scedulle berfungsi
memberi gambaran tentang program pergelaransesuai target waktu, tujuan, proses dan
hasil sehingga mudah melaksanakan agenda.

E. Pembuatan Proposal Pergelaran Teater

Pimpinan Produksi bertugas untuk menyusun proposal pergelaran ditujukan kepada


berkepentingan, seperti, perijinan, kemiteraan, donasi, dan publikasi. Proposal

4. Persiapan Pergelaran Teater


Persiapan termasuk tahap kedua dalam pergelaran. Persiapan pergelaran teater
ditanggung jawabi oleh Pimpinan Produksi untuk mencari dukungan berupa dukungan
moral, keuangan, dan fasilitas sarana prasarana.
a) Tujuan Persiapanadalah sebagai evaluasi dan motivator pergelaran terhadap hal-hal
yang dilakukan, hal-hal yang tidak pantas dikerjakan, dan hal-hal yang harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
b) Persiapan pergelaran berupa gambaran penyajian teater secara konsep atau secara
tertulis, berisi : Judul garap, Ide garap, Tema Garap, bentuk garap, sinopsis, susunan
pemain, disain artistik dan analisis naskah atau lakon yang dibawakan.
c) Menyiapkan sarana prasarana meliputi pengadaan barang dan alat guna kebutuhan
pergelaran, diantaranya: Tempat dan gedung pertunjukan, set panggung, lampu,
kostum, peralatan pemain (golok, tombak, tapeng, gada, sampur, gondewa, panah,
bakul, alat tenun, kursi singgasana, bale-bale, pohon-pohonan, dll). Berkaitan dengan
hal tersebut, diperlukan tata pentas yang membantu menjelaskan suatu adegan dan
babak dalam membangun laku dramatik tokoh cerita di atas panggung. Kegiatan para
penata pentas dalam kreativtas seni, meliputi penataan, sebagai berikut.
• Tata panggung, sebagai setting dan dekorasi panggung pertunjukan
mengungkapkan; tempat, waktu dan kejadian peristiwa pertunjukan, biasanya
dilakukan perubahan tata panggung setiap pergantian babak dalam cerita.
• Tata lampu disebut juga tata cahaya dan efek pencahayaan. Berfungsi sebagai
alat penerang juga memberi efek suasana adegan dan membangun atmosfir
pertunjukan.
• Tata rias dan busana, sebagai penguat, memperjelas karakter tokoh, baik secara
fisikal, psikis, moral atau status sosial.
• Tata properti, peralatan-peralatan pentas bersifat seperti : tas, topi, cangklong,
tongkat, gelas, piring dll.
• Tata Musik, sebagai pengisi dan pembangun suasana pertunjukan melalui
gending, musik, suara atau bunyi dan effek audio.
• Tata Multimedia, sebagai pemanfaatan teknologi, seperti LCD, OHP.
• Sound Enggenering, sebagai kelengkapan pertunjukan guna membantu
mengeraskan dan mengharmoniskan suara.

d. Tempat pergelaran
Tempat pergelaran (panggung pertunjukan) dapat dilakukan di dalam (indoor) atau di
luar gedung/ pertunjukan (outdoor). Jenis panggung pada dasarnya dapat dibedakan
antara lain:
Panggung arena, panggung yang dapat dilihat dari semua arah penonton,
biasanya pertunjukan teater tradisi.
Panggung proscenium, atau disebut panggung di dalam gedung, yakni penonton
hanya dapat menikmati dari arah depan (adanya jarak penonton dan tontonan)
biasanya pertunjukan teater modern.
Panggung campuran merupakan bentuk-bentuk panggung antara perpaduan
panggung arena dan panggung proscenium, misalnya; Panggung bentuk L, U, I,
Segi enam, segi lima atau setengah lingkaran. Biasanya panggung semacam ini
dipergunakan dalam kepentingan showbiz, catwork (modeling).

e. Menyiapkan Publikasi
Publikasi merupakan upaya sosialisasi atau informasi kepada penonton yang dilakukan
panitia non artistik mengenai garapan Teater dan kapan waktu pergelaran Teater
diselenggarakan atau dipergelarkan. Publikasi pergelaran Teater dapat dilakukan
dengan berbagai informasi, antara lain: Media elektronik, seperti ; Televisi, Bioskop,
Radio. Mass media, seperti ; Koran, majalah, jurnal, Poster, Pamlet atau Flayer,
Spanduk, Baliho atau Banner.

f. Menyiapkan Penonton

Penonton merupakan salah satu prasarat di dalam pergelaran, termasuk di dalamnya


pergelaran Teater. Pergelaran tanpa penonton, peristiwa pergelaran tidak akan terjadi. Oleh
karena itu, unsur penonton di dalam seni perlu mendapat perhatian. Perhatian di sini
bersifat saling membutuhkan. Panitia pergelaran butuh penonton atau apresiator, juga
sebaliknya penonton butuh materi Teater yang dapat memuaskan atau memenuhi apa yang
menjadi harapan penonton, yakni pergelaran Teater yang layak untuk dijual atau
dipergelarkan.

g. Menyiapkan Kemitraan
Kemitraan adalah jalinan, hubungan, kerjasama yang dilakukan oleh seseorang atau
suatu organisasi untuk bersama-sama mengikat diri dalam suatu kerja atau kegiatan.
Kemitraan bersifat saling menguntungkan dibangun oleh suatu kepercayaan.
Kemiteraan akan tetap terbina dan terjaga apabila satu sama lain tidak merasa
dirugikan atau satu sama lain samasama merasa diuntungkan. Modal kemitraan adalah
kejujuran dan saling percaya. Persiapan untuk menjalin kerjasama atau kemitraan
dalam pergelaran teater adalah kejelasan maksud dan tujuan panitia pergelaran
terhadap calon yang akan diajak bermitra. Kejelasan maksud dan tujuan pergelaran
Teater dituangkan dalam bentuk ajuan atau permohonan kerjasama yang disebut
dengan proposal pergelaran yang disusun Pimpinan Produksi berserta staf produksi.

h. Pergelaran Teater
Kegiatan pelaksanaan di dalam pergelaran teater, berupa pengondisian dan
pelaksanaaan dilapangan dari masing-masing bidang sesuai dengan tugas dan
tanggung jawab kerja kepanitiaan berdasarkan persiapan akhir yang telah ditetapkan.
Kegiatan pelaksanaan pergelaran teater, meliputi: pelaksanaan kerja kepanitiaan dan
pergelaran teater.

i. Pasca Pergelaran
Pasca pelaksanaan merupakan kegiatan akhir dari teater dan tahapan pasca
pelaksanaan pun merupakan wahana kegiatan evaluasi baik karya seni berupa
teater maupun laporan panitia atau keproduksian sebagai acuan untuk melangkah dan
bertindak selanjutnya dari segala kelemahan yang ada dan atau keberhasilan-
keberhasilan yang telah didapat.

Kreativitas dalam pergelaran teater adalah suatu tahapan manajerial melalui implementasi
pembelajaran seni teater mulai dari pemeranan dengan penggabungan beberapa unsur
pembentuk seni teater yang telah dipelajari! Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam
pergelaran teater, sebaiknya dilakukan langkah-langkah pergelaran teater sebagaimana
yang diinstruksikan.
KELAS XI

BAB 1

SENI TEATER NONTRADISIONAL

A. Makna, Simbol dan Fungsi Teater Nontradisonal

1. Perkembangan Teater Nontradisional

Teater nontradisional masuk ke Indonesia pada abad ke-19 Masehi,antaratahun


1811-1816 dibawa oleh tentara Inggris ke Pulau Jawa (Batavia). Mereka mendirikan
sebuah bangunan khusus untuk pertunjukan drama. Gedung tersebut bernama
Schouwburg, tetapi orang lebih sering menyebutnya Gedung Komedi. Bangunan
tempat pertunjukan drama Eropa tersebut terbuat dari bambu.Selanjutnya, pada
tahun 1986 terjadi pemugaran hingga terwujud sebuah gedung pertunjukan yang
bagus di Pasar Baru, Jakarta. Sekarang gedung pertunjukan tersebut bernama
Gedung Kesenian Jakarta. Di gedung inilah orang-orang Indonesia mulai mengenal
bentuk teater nontradisional.

Tidak hanya rombongan teater dari Inggris, rombongan teater dari Belanda dan dari
Perancis (1835) sempat menghibur masyarakat Batavia dalam waktu yang cukup
lama. Pengaruh-pengaruh teater tersebut mampu mendorong pertumbuhan teater
tradisional sehingga pada tahun 1900 berdiri sebuah rombongan teater pribumi yang
bernama Malay Opera (Melayu), kemudian berkembang menjadi Komedi Opera,
Komedi Stambul, Komedi Bangsawan dan Komedi Wayang. Tahun 1923-1928,
berdiri Padangoche Opera yang dipimpin oleh Amirudin. Grup tersebut membawakan
cerita-cerita Minangkabau yang berbentuk nyanyian. Masih satu zaman dengan
Amirudin, Miss Ribut mendirikan Oreon dengan pola pertunjukan tanpa acting,
deklamasi, nyanyian, dan setiap babak dipersingkat.

Tahun 19261935 di Sidoarjo berdiri sebuah perkumpulan teater yang diberi nama
Dardanella pimpinan Piedro dan Willy Klimanof. Teater ini berbentuk sandiwara
keliling yang mementaskan cerita-cerita film, sudah menggunakan dekorasi yang
megah dan penyutradaraan. Sampai 1940, kehidupan teater mengalami penurunan
karena pemain teater banyak menjadi pemain film.

Pada zaman Jepang, pertunjukan teater mulai bangkit kembali dan teater menjadi
satu-satunya hiburan masyarakat karena produksi film terhenti. Pertunjukan teater
pada masa itu sudah menggunakan bahasa Indonesia dan kualitasnya bertambah
baik karena pengaruh budaya Jepang. Pada tahun 1950-an, drama modern
Indonesia terus berkembang, terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta,
Yogyakarta dan Bandung. Selain naskah lakon karya sastrawan Indonesia, naskah
lakon asing juga sering dipentaskan . Pada masa ini muncul penulis drama berbakat,
seperti W.S. Rendra dengan karyanya Kereta Kencana, Arifin C. Noer dengan
karyanya Kasir Kita, Kirdjomuljo dengan karyanya Penggali Intan, Iwan Simatupang
dengan karyanya Taman, dan Motinggo Busye dengan karyanya Puncak-Puncak
Sepi.

Pada zaman revolusi, teater kembali sepi karena sibuk dengan peperangan dan
pengungsian. Tahun 1950, perkembangan teater bangkit kembali, terutama
dikalangan mahasiswa. Selanjutnya, lahirlah penulis-penulis drama yang berbakat,
seperti Utuy Tatang Sontani, Motinggo Busye dan Kirdjomuljo. Tema-tema yang
diangkat kebanyakan tentang kepahlawanan. Tahun 1964-1965, berdiri grup-grup
teater, seperti Studi Grup Teater (W.S.Rendra), Studi Club Teater (Jim Liem) dan
Pentas 21 (Farid Dimyati).

Sejak 1966, drama Indonesia terus menunjukkan perkembanngan yang sangat


pesat. Banyak bermunculan dramawan dan sastrawan muda yang berbakat. Tema-
tema yang diangkat tidak hanya tentang kehidupan masa lampau, tetapi juga
mengangkat kehidupan yang lebih modern. Bentuk pementasannya juga sudah
menganut kaidah-kaidah kontemporer. Tahun 1970, bermunculan grup-grup teater,
seperti Bengkel Teater (W.S.Rendra), Teater Kecil (Arifin C.Noer) dan Teater
Populer (Teguh Karya). Tahun 1973, berdiri teater-teater muda atau remaja dan
teater-teater eksperimen. Tahun 1980 hingga sekarang, teater masih tetap diminati
dan berkembang di kalangan mahasiswa perguruan tinggi dan siswa sekolah
menegah atas.

2. Tokoh-tokoh Teater Indonesia

Perkembangan seni teater di Indonesia tidak terlepas dari peran para tokoh seni
teater. Berikut ini beberapa tokoh teater yang memiliki peran dalam perkembangan
teater di tanah air.

a. W.S. Rendra
Willibrordus Surendra Bawana Rendra, lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November
1935, dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73
tahun.Beliau kerap dijuluki sebagai “Burung Merak”dan mendirikan Bengkel
Teater di Yogyakarta tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena
tekanan politik, beliau akhirnya mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok,
pada bulan Oktober 1985.

Semenjak masa kuliah, beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai
majalah. Beliau pertama kali memublikasikan puisinya di media massa pada
tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar
mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti
“Kisah”,”Seni”,”Basis”,”Konfrontasi” dan “Siasat Baru”.

b. Putu Wijaya
I Gusti Ngurah Putu Wijaya atau Putu Wijaya dilahirkan di Puri Anom, Tabanan,
Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia akrab dengan
sejarah, bahasa dan ilmu bumi. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet
putih selalu bertengger di kepalanya. Kegiatan sastranya lebih terfokus pada
teater. Ia pernah tampil bersama kelompok Bengkel Teater pimpinan W.S.
Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain Bip-Bop(1968),dan Menunggu
Godot(1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu.

Selain itu, ia juga tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi
(1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara dalam pementasan itu.
Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon
yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.
Disamping itu, ia bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah
majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama
rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974).

c. Ratna Riantiarno
Ratna Riantiarno adalah aktris, manajer seni pentas, aktivis teater Indonesia
yang lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 23 April 1952. Semula,
mengenal dunia kesenian lewat seni tari. Dengan menari, ia dapat berkeliling
dunia, kemudian dia sempat berdomisili di New York, AS selama dua tahun
(1974-1975).

Ia ikut mendirikan Teater Koma pada 1 Maret 1977, serta bermain dalam banyak
lakon karya penulis drama dan sutradara N.Riantiarno, yang kemudian menjadi
suaminya pada tahun 1978. Ia bermain antara lain dalam drama Rumah Kertas,
Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Konglomerat
Burisrawa, Suksesi, Kala, Republik Togog dan Maaf Maaf Maaf. Iajuga
memainkan peran penting dari karya penulis drama kelas dunia, antara lain
Orang Kaya Baru dan Tartuffe karya Moliere, Teroris karya Jean Paul Sartre,
Brown Yang Agung karya Euegene O’Neill, Exit the King dan Macbeth karya
Eugene Lonesco, The Crucible karya Arthur Miller, William Shakespeare dan
Women in Parliament karya Aristophanes.

d. Ria Irawan
Chandra Ariati Dewi Irawan atau lebih dikenal dengan Ria Irawan lahir di Jakarta,
24 Juli 1969, adalah salah satu aktris Indonesia. Dia adalah putri dari actor senior
Bambang Irawan dan aktris senior Ade Irawan. Karena besar di lingkungan film,
bahkan ayahnya memiliki perusahaan film Agora, Ria tertarik dengan dunia
perfilman sejak kecil. Pada usia empat tahun, Ria telah menjadi figuran dalam
film “Sopir Taxi” (1973) yang dibintangi oleh Bambang Hermanto dan Dien
Novita. Kemudian Ria mendapat lagi peran sebagai figuran dalam film “Belas
Kasih”, kali ini figuran dengan dialog.

Setelah itu Ria juga bermain dalam film “Fajar Menyingsing” (1975) bersama
Erwin Gutawa, “Chicha” (1976) bersama Chicha Koeswoyo yang kala itu sedang
tenar, “Siulan Rahasia” (1977), “Nakalnya Anak-Anak” (1980) hingga aktingnya
yang membuat banyak orang terpikat dalam film “Kembang Kertas” (1984).
Bahkan berkat perannya sebagai ‘gadis nakal’ dalam film tersebut, Ria meraih
nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 1985 sebagai Aktris pembantu terbaik.
Akhirnya, Ria berhasil menyabet Piala Citra pertamanya lewat film yang
dibintangi Mathias Muchus dan Meriam Bellina, “Selamat Tinggal, Jeanette”
(1987) sebagai Aktris Pembantu Terbaik FFI 1988.
3. Persamaan dan Perbedaan Teater Tradisional, Teater nontradisional dan Teater
Kontemporer

Bentuk teater tradisional, teater nontradisional dan teater kontemporer mempunyai


persamaan dan perbedaan. Persamaannya, ketiga jenis teater tersebut merupakan
seni peran yang menggunakan naskah atau lakon, tempat, pemain, sutradara dan
property. Selain itu, ketiga bentuk teater tersebut berfungsi sebagai media untuk
mengungkapkan gagasan-gagasan seni kepada masyarakat atau penonton. Adapun
perbedaan ketiga jenis teater tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Teater Tradisional
Teater tradisional hidup di lingkungan suku bangsa dengan menggunakan
bahasa daerah. Teater tradisional bersifat turun menurun dari generasi ke
generasi. Teater tradisional berfungsi sebagai sarana upacara ritual dan hiburan.
Pada perkembangannya, teater tradisional juga berfungsi sebagai presentasi
estetis bagi para seniman. Konsep pentas teater tradisional umumnya berbentuk
arena tapal kuda. Namun, teater tradisional dapat juga dipentaskan di panggung
proscenium. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, teater tradisional dapat
dinikmati oleh masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Dengan demikian,
teater tradisional yang hidup dan berkembang di Nusantara dapat menjadi
identitas daerah dan bangsa.

b. Teater nontradisional
Teater nontradisional merupakan teater yang berasal dari dunia Barat (Eropa).
Budaya menulis bagi masyarakat Barat sudah ada sejak lama sehingga banyak
karya sastra drama berupa teks (naskah tertulis) dapat dipelajari sampai
sekarang. Istilah lain untuk menyebut kata teater nontradisional, yaitu teater
konvensional. Pada teater nontradisional, terdapat aturan-aturan atau kaidah-
kaidah yang baku, diantaranya acting para pemain, teknik penyutradaraan,
teknik pementasan dan manajemen pertunjukan. Teater nontradisional dapat
memperkaya kreativitas dan mendorong perbaikan bagi para seniman teater
nusantara, misalnya perbaikan dalam pengelolaan pertunjukan teater.

c. Teater Kontemporer
Secara bahasa,istilah kontemporer dapat diartikan bersifat kekinian atau
menghadirkan kehidupan saat ini dan hanya berlaku saat ini. Teater kontemporer
merupakan karya teater yang mengandung sifat-sifat kekinian. Dengan demikian,
teater kontemporer berkembang sebagai wujud kreativitas seniman teater untuk
menemukan jati dirinya. Untuk mewujudkan bentuk karya teater kontemporer,
seniman teater harus melalui proses panjang. Seseorang yang menyatakan diri
sebagai seniman teater kontemporer harus menguasai kaidah-kaidah teater
tradisi dan kaidah-kaidah teater konvensional sebelum membuat karya yang
berbeda dengan bentuk karya sebelumnya (orisinal).

Istilah kontemporer dikenal oleh orang Indonesia sejak tahun 1970-an,


sedangkan pemahaman mengenai maksud yang sebenarnyabaru dipahami
sekitar 1990-an. Meskipun istilah kontemporer merupakan istilah baru, tetapi
bentuk karya yang termasuk kategori kontemporer sudah ada sejak lama.
Misalnya, dalam pertunjukan wayang, dalang A berguru pada dalang B dan
dalang A tidak mau sama dengan gaya dalang B sehingga lahirlah gaya baru
yang khas dari dalang A. Sikap seniman yang tidak mau sama dengan yang
pernah dilakukan oleh seniman lain sehingga melahirkan sebuah karya baru
yang dapat dipertanggungjawabkan,itulah yang dimaksud dengan kontemporer.
Karya-karya kontemporer tidak hanya terjadi pada zaman sekarang, tetapi dalam
kehidupan teater tradisional juga sudah ada.

B. Sikap Apresiatif terhadap Kualitas Estetis Teater Nontradisional


Dalam menyampaikan gagasan seni terdapat banyak media, diantaranya menggunakan
media teater. Teater sebagai media yang mengungkapkan kehidupan memiliki
keragaman bentuk wujud karyanya.

Setiap bangsa memiliki keragaman dalam menyampaikan ide-idenya. Hal ini


berhubungan dengan kehidupan budaya mereka masing-masing. Orang Jepang beda
dengan orang Cina, berbeda dengan orang India, juga berbeda dengan orang Indonesia,
yang terdiri atas berbagai budaya,yang tentunya memiliki kekhasan masing-masing
dalam teaternya.

Untuk menciptakan karya yang bisa dinikmati oleh masyarakat yang lebih luas, karya
tersebut harus merupakan cerminan dari kehidupan budayamasyarakat yang lebih luas
pula. Oleh karena itu, sekarang ini banyak seni teater yang lepas dari aturan-aturan
tradisi yang berlaku pada teater tradisional. Tujuannya, agar dapat dinikmati oleh
penonton yang lebih banyak, dan sebagai pencobaan untuk mencari bentuk baru dalam
dunia karya cipta teater. Bentuk-bentuk karya teater yang sudah meninggalkan kaidah-
kaidah tradisi dan berusaha untuk menggunakan kaidah-kaidah teater barat (dramaturgi),
lazim disebut Teater nontradisional.

C. Sikap Apresiatif terhadap Pesan Moral Teater Nontradisional

Seperti halnya teater tradisional, teater nontradisional juga mengandung pesan moral
untuk masyarakat, khususnya penonton. Pesan moral yang disampaikan lewat cerita
yang dipertunjukkan dalam teater nontradisional umumnya lebih sulit dipahami sehingga
untuk menemukan pesan moral memerlukan konsentrasi penuh dalam menikmati atau
menonton. Penonton dalam menyaksikan pertunjukan teater nontradisional perlu
mencermati rangkaian cerita dari awal hingga akhir. Selain itu, penontonharus
mencermati karakter pemain yang ditampilkan karena karakter-karakter tersebut
mengandung pesan moral, yakni lewat kata-kata yang dilontarkan, gerakan-gerakan
yang dilakukan atau pandangan-pandangan yang dilayangkan.

Pesan atau amanat dalam teater nontradisional mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
1. Nilai Budaya
2. Nilai Moral
3. Nilai Sosial
4. Nilai Pedagogis
5. Nilai Humanisme
6. Nilai Estetis

Beragamnya seni teater nontradisional juga diimbangi dengan bermacamnya pesan


moral yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Umumnya, seni teater nontradisional
bersifat kritis dan sarat akanpesan moral. Selain itu pandangan dan idealisme
penciptanya cenderung lebih diperlihatkan. Hal ini memperlihatkan bahwa seniteater juga
telah mengalami pergeseran fungsi menjadi media ekspresi pikiran dan pandangan
seseorang tentang kehidupan.

Sebuah pertunjukan teater nontradisional tidak hanya hiburan masyarakat atau


penonton melainkan ada amanat yang ingin disampaikan oleh penggagas cerita kepada
masyarakat atau penonton tentang sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial
masyarakat. Kehidupan yang dimaksud adalah seluruh perilaku sosial yang berlaku
dalam kelompok masyarakat tertentu, misalnya, kehidupan moral, kehidupan beragama,
kehidupan ekonomi dan kehidupan politik.

BAB 2

Naskah Lakon Teater Nontradisional


A. Pengertian Drama
Kata “drama” berasal dari kata Yunani Kuno draomai yang berarti bertindak atau
berbuat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa drama adalah
komposisi syair atau prosa, cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau
emosi yang menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (actions) atau
dialog yang dipentaskan. Beberapa ahli juga mendefinisikan drama sebagai suatu
bentuk cerita konflik sikap dan sifat manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan
pada pentas dengan menggunakan percakapan dan gerak di hadapan pendengar
maupun penonton.

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa drama adalah salah satu jenis
lakon serius yang berisi kisah kehidupan manusia yang memiliki konflik yang rumit dan
penuh daya emosi yang sengaja disusun untuk pertunjukan teater.

B. Ciri-Ciri Naskah Drama


Secara garis besar sebuah naskah drama memiliki tiga ciri, diantaranya adalah
sebagai berikut;
1. Ciri utama naskah drama, seluruh cerita berbentuk dialog, semua ucapan ditulis
dalam teks.
Contoh: Ardi: Kita bisa selesaikan masalah ini.
2. Semua dialog tidak menggunakan tanda petik dua(“….”) karena dialog drama
bukanlah kalimat langsung.
Contoh: Zuqi: Sudahlah! Kamu tidak usah memikirkan ini. Ini bukan masalah yang
besar.  Jangan dianggap serius.
3. Terdapat petunjuk lakuan dalam naskah drama. Petunjuk ini harus dilakukan oleh
pemain. Ditandai oleh dua tanda kurung.
Contoh: Ardi : Sudah! Jangan dilanjutkan lagi perkelahian ini. Sebaiknya diselesaikan
secara dewasa (sambil berwajah serius).

Dari ciri-ciri naskah drama yang contohnya  telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan
bahwa sebuah naskah dalam drama memang dibuat atau dibentuk untuk dilakukan oleh
seseorang. Sehingga hal ini membedakan dengan novel atau cerpen, sedangkan
persamaan drama dan novel atau cerpen ialah sama-sama karangan non fiksi yang dibuat
untuk menanamkan sebuah gagasan atau pesan kepada penonton atau pembaca.

C. Elemen Drama
Sebuah drama memiliki bagian atau elemen-elemen tertentu yang perlu diketahui para
pemeran atau aktornya. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam isi drama, bentuk drama,
dan kerangka drama.

1. Isi Drama
Drama merupakan sarana bagi pembuatnya untuk menyampaikan pesan moral atau
pandangannya terhadap berbagai hal kepada para penonton maupun masyarakat. Oleh
karena menjadi sarana untuk menyampaikan pesan atau pandangan, maka setiap isi drama
memiliki temanya tersendiri. Ada yang mengangkat tema kritik sosial, politik, keamanan, dan
lain-lain. Tema dijadikan ide sentral dalam sebuah naskah drama. Tema merupakan
sasaran, pesan, atau pandangan yang ingin disampaikan oleh seorang penulis drama.

Agar dapat dipahami dengan baik oleh para aktor, tema sebuah drama harus jelas. Tema
dapat saja tertulis dalam naskah drama tetapi juga bisa hanya tersirat dalam dialog-
dialognya. Tema bisa memiliki ide tunggal, tetapi juga bisa lebih dari satu ide. Bagi
penonton, tema sebuah drama dapat diketahui dari dua hal, yaitu sebagai berikut.
A. Apa yang diucapkan oleh tokoh-tokohnya melalui dialog-dialog yang disampaikan.
B. Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya.

2. Bentuk Drama

Setiap drama memiliki bentuk yang berbeda-beda. Hal ini setidaknya terlihat dari gaya dan
cara menyajikan cerita yang berbeda-beda. Dari bentuknya, dikenal tiga jenis penyajian
drama, yaitu sebagai berikut.

A. Penyajian Drama Berdasarkan Jenis Bahasa

Bentuk penyajian dialog dalam drama dapat dibedakan dari jenis bahasa yang digunakan,
yaitu gaya atau susunan kalimat yang dipakai dalam penulisan dialog. Dalam hal ini, apakah
gaya atau susunan kalimatnya terikat atau tidak pada kaidah-kaidah bahasa. Dari jenis
bahasa ini, ada tiga bentuk penyajian yang dapat dilihat, yaitu bentuk dialek, bentuk puisi,
dan bentuk lirik musik.
1) Bentuk lirik musik
Dalam bentuk ini, gaya bahasanya mirip dengan gaya bahasa puisi. Bedanya, lirik diikat
oleh bar, yakni potongan birama dalam setiap baris atau dialognya berbentuk nyanyian.
Pertunjukan yang menampilkan lirik sebagai dialog disebut opera ataupun operet. Di jawa,
sejak zaman kerajaan telah ada jenis pertunjukkan ini yang disebut dengan Langendriyan
(Mangkunegaraan Surakarta) dan Langenmandra Wanaea (Yogyakarta)
2) Bentuk dialek
Dalam bentuk ini, gaya bahasa yang dipakai dalam penyajian drama diambil atau
mempergunakan bahasa percakapan sehari-hari, yaitu menggunakan logat daerah tertentu.
Kebanyakan drama mempergunakan dialek sebagai bahasa ungkapnya.
3) Bentuk puisi
Dalam bentuk ini, gaya bahasa yang dipakai dalam penyajian drama berupa susunan puisi,
baik yang terikat maupun tidak terikat pada rima. Naskah drama Indonesia yang ditulis
kisaran tahun 1940-1950 mayoritas mempergunakan bahasa puisi dalam gaya
percakapannya. Naskah drama Yunani Kuno yang terkenal, Oidipus, juga mempergunakan
barisan-barisan puisi dalam penyajian dialognya.

B. Penyajian Drama Berdasarkan Jenis Aliran


Aliran dalam drama adalah gaya atau bentuk penyajian yang ditentukan oleh
kecenderungan sikap atau pandangan yang tumbuh pada kurun wakru tertentu, yang
kemudian berkembang menjadi pola.

Dari zaman Yunani Kuno hingga kini, terdapat banyak aliran dalam drama yang mewakili
zamannya. Secara umum, terdapat paling tidak delapan aliran dalam drama. Aliran tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Klasisme, yaitu aliran drama yang memiliki aturan yang sangat ketat dibandingkan
dengan drama yang lain dengan lakon lima babak. Tema-tema drama pada aliran ini
umumnya bercerita sekitar kutukan yang akan jatuh kepada manusia yang laknat dan
bebal. Pengarang drama dari aliran klasisme ini antara lain Sophocles dan
Aristophanes.
2) Neoklasisme, yaitu aliran drama yang memiliki tiga segi yang mendasar, yakni
kebenaran, kesusilaan dan kegaiban. Hal yang menjadi pedoman dari para penganut
neoklasik adalah segenap alam dikuasai oleh satu Tuhan.
3) Romantisme, yaitu aliran drama yang muncul sekitar abad ke-18. Bentuk drama yang
lahir pada abad ini diwarnai oleh sikap dan pandangan bahwa manusia dapat
menemukan apa saja dengan kemampuan analisis akalnya, dan tindakan apapun
bentuknya dituntun oleh sifat alam manusia. Pengarang dari aliran ini antara lain
James Sheridan Knowles, Fredrich von SchillerdanJohann Wolfgang von
Goethe.
4) Realisme, yaitu aliran drama yang muncul sekitar abad ke-19. Bentuk drama yang
tumbuh pada abad ini sangat dipengaruhi oleh tata nilai yang dibangun berdasarkan
pemikiran kaum positivisme, terutama karena pengaruh buku Charles Darwin (The
Origin of the Species). Pengarang drama dari aliran ini antara lain Henrik Ibsen,
George Bernard Shaw, Nikolai Gogol, danAnton P. Checkov.
5) Simbolisme atau neo-romantisisme dan impresionisme, yaitu aliran yang bermula dari
gerakan kesadaran bahwa hakikat kebenaran hanya mungkin dipahami oleh intuisi.
Aliran ini menolak sifat-sifat umum tentang pengertian “kenyataan”. Oleh karena itu,
kebenaran sebagai suatu kenyataan tidak dapat dirumuskan dengan Bahasa logika.
Ia haya bisa di dengan simbol-simbol. Pengarang drama yang masyhur dari aliran
simbolisme ini adalah Maurice Maeterlinck. Selain itu ada juga dua teoritikus teater
yang berpijak pada tradisi simbolisme ini yakni, Adolphe Appia danGordon Craig.
6) Ekspresionisme, yaitu aliran dari abad ke-20 yang menantang keampuhan realisme.
Mula-mula aliran ini berkembang di seni rupa, yakni pada diri Van Gogh dan
Gauguin. Kemudian berkembang di seni musik pada diri Schonberg. Sementara itu,
di dunia drama atau teater, pelopor aliran ini adalah August Strindberg, Ernst
Toller, dan George Kaisar.
7) Epik teater, yaitu bentuk drama dari sekitar Perang Dunia II yang dibenahi oleh
Bertolt Brecht. Brecht menganggap teater telah terkulai dalam keadaan lelah
sehingga perlu adanya tenaga yang sanggup mendenyutkannya lagi. Brecht
merumuskan teori tentang teater “harus jadi asing” kembali.
8) Absurdisme, yaitu aliran yang muncul sekitar tahun 1950-an. Bentuk drama dari
tahun-tahun ini bersumber pada pandangan bahwa dunia ini netral. Kenyataan dan
kejadian adalah tak berwujud. Jika manusia mengatakan suatu peristiwa tak
bersusila, maka hal itu tidaklah dianggap dengan sendirinya asusila. Pikirannya
sendiri yang mengatakan itu asusila. Tak ada kebenaran objektif. Setiap insan hatus
menemukan sendiri nilai-nilai yang sanggup menghidupkannya. Sejauh itu, iapun
harus mau menerima bahwa nilai-nilai yang ditemukannya itu sesungguhnya absurd.
Pengarang-pengarang drama dari aliran ini di antaranya Samuel Beckettdan Eugene
Lonesco.

C. Penyajian Drama Berdasarkan Jenis Sajian

Bentuk penyajian drama juga dapat dilihat berdasarkan jenis sajiannya. Misalnya,
bagaimana bentuk dramatik sebuah lakon atau apa yang terkandung dalam jalinan
perasaan yang menunjang cerita. Dari komponen atau jawaban atas pertanyaan ini kita
akan mengetahui sifat-sifat dramatik sebuah naskah drama. Sifat-sifat dramatik lakon
dalam drama inilah yang menjadi pedoman dalam mengklasifikasikan jenis sajian drama.
Ada lima bentuk drama berdasarkan jenis sajiannya, yakni tragedi, komedi, drama, satir
dan melodrama.
1) Tragedi berasal dari kata tragoidia (Bahasa Yunani), tragedy (Bahasa Inggris), tragedie
(Bahasa Perancis). Kata tragoidia sendiri berasal dari kata tragos yang berarti kambing dan
kata aeidein yang berarti nyanyian atau kidung.
Menurut Aristoteles, lakon tragedi adalah lakon yang meniru sebuah aksi yang
sempurna dari seorang tokoh besar, seperti raja, putri raja, kesatria, atau tokoh-tokoh
yang memiliki pengaruh dalam masyarakat.
Tujuan utama lakon tragedi ini adalah membuat kita merasakan pengalaman emosi melalui
pengidentifikasian diri para tokoh. Selain itu, lakon tragedi juga bertujuan untuk menguatkan
kembali kepercayaan diri sendiri sebagai manusia.
Dalam lakon tragedi, biasanya tokoh utama akan mengalami jalan kehidupan yang sangat
berat dan sulit. Ia mengalami kesengsaraan yang begitu mendalam dan sangat menderita.
Tidak jarang kisah hidup tokoh utama berakhir dengan kematian yang tragis hingga penonton
merasa iba. Kondisi tersebut, justru membuat tokoh utama tampak terlihat berwibawa dan
berperikemanusiaan.
Contohnya adalah lakon-lakon tragedy dari masa Yunani Kuno. Lakon ini biasanya mengajak
penonton untuk merenungkan hakikat kehidupan yang pada prinsipnya akan selalu kalah
dengan takdir ilahi.
Lakon tragedi seperti roman mengungkapkan pencarian manusia terhadap rahasia kehidupan
abadi dan pertahanan terhadap kekuatan jahat untuk mendapatkan identitas sekaligus
semangat hidup, meskipun untuk mendapatkannya melalui berbagai pengorbanan. Contoh
lakon dengan gaya seperti ini adalah Oedipus karya Sophocles.
2) Komedi berasal dari kata “comoedia” (Bahasa Latin), “commedia” (Bahasa Italia), yang berarti
lakon yang berakhir dengan kebahagiaan. Menurut Aristoteles, lakon komedi merupakan
tiruan dari tingkah laku manusia biasa atau rakyat jelata. Tingkah laku yang lebih merupakan
perwujudan keburukan manusia ketika menjalankan kehidupan sehingga menumbuhkan
tertawaan dan cemoohan.
Lakon komedia adalah lakon yang menggunakan cacat dan kelemahan sifat manusia dengan
cara yang lucu. Dengan cara ini, para penonton diajak untuk bisa lebih menghayati kenyataan
hidupnya. Jadi, lakon komedi bukan hanya sekedar lawakan kosong tetapi harus mampu
membukakan mata penonton kepada kenyataan kehidupan sehari-hari yang lebih dalam.
Tokoh dalam lakon komedi biasanya adalah orang-orang yang lemah, tertindas, dan lugu
sehingga identifikasi penonton terhadap tokoh tersebut adalah bisa ditertawakan dan
dicemoohkan. Peristiwa menertawakan kelemahan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.
3) Drama berasal dari kara Yunani Kuno, “draomai” yang berarti bertindak atau berbuat. Ada
juga kata “drame” yang berasal dari kata Bahasa Perancis. Kata ini biasa dipakai untuk
menjelaskan lakon-lakon bangsa Perancis tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah
yang terbatas, drama berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang mempunyai
arti penting. Drama juga bisa dipahami sebagai lakon serius yang memiliki segala rangkaian
peristiwa yang tampak hidup, mengandung emosi, konflik, daya tarik memikat, serta tidak
diakhiri dengan kematian tokoh utamanya.
4) Satire berasal dari kata “satura” (Bahasa Latin), ”satyros” (Bahasa Yunani), dan “satire”
(Bahasa Inggris) yang berarti sindiran. Lakon satir adalah lakon yang mengemas perlakuan
kejam seseorang untuk mengecam, mengejek bahkan menertawakan suatu kelemahan atau
keadaan dengan maksud membawa sebuah perbaikan.
Tujuan drama satir tidak hanya semata-mata sebagai humor biasa, tetapi lebih sebagai
sebuah kritik terhadap seseorang atau kelompok masyarakat dengan cara yang sangat
cerdik. Lakon satir hampir sama dengan komedi, tetapi ejekan dan sindiran dalam satir lebih
agresif dan terselubung. Sasaran sindiran dalam lakon satir bisa orang perorangan,
kelompok, institusi atau lembaga, bahkan sebuah ide atau masalah sosial yang menyimpang.
5) Melodrama berasal dari kata “melos” yang diturunkan dari kata “melody” (Inggris) yang berarti
lagu. Pada mulanya, melodrama merupakan bagian dari sebuah babak dalam opera yang
menggambarkan suasana sedih atau romantis dengan diiringi alunan musik. Kesan sedih
atau romantis inilah yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah jenis drama tersendiri
yang disebut melodrama.
Melodrama adalah sebuah lakon yang mengupas suka-duka kehidupan dengan cara
menimbulkan rasa haru kepada penonton. Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental
dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan perasaan penonton.
Tokoh dalam melodrama adalah tokoh biasa dan tidak ternama serta bersifat stereotype.
Jadi, jika tokoh tersebut berkarakter jahat, seterusnya tokoh tersebut akan dinilai jahat dan
tidak ada sisi baiknya, sedangkan jika tokoh tersebut adalah tokoh pahlawan, ia akan menjadi
tokoh pujaan yang bebas dari kekurangan, kesalahan, maupun kejahatan.

3. Kerangka Drama

Kerangka atau struktur drama (kadang diistilahkan dengan kerangka dramatik atau struktur
dramatik) merupakan bagian dari plot sebuah drama. Di dalamnya terdapat satu kesatuan
peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian yang memuat unsur-unsur plot. Rangkaian ini
membentuk sebuah struktur dan saling berkesinambungan dari awal sampai akhir cerita.
Fungsi dari kerangka dramatik ini adalah sebagai perangkat untuk lebih dapat
mengungkapkan pikiran pengarang dan melibatkan pikiran serta perasaan penonton ke
dalam laku cerita. Aristoteles mengatakan kerangka dramatic merupakan makna lakon.
Banyak ahli berpendapat tentang teori kerangka dramatik ini. Namun, intinya sama bahwa
kerangka dramatik mengandung enam elemen, yakni eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks,
resolusi, dan kesimpulan.
Berikut adalah beberapa contoh kerangka dramatik yang dikemukakan Gustav Freytagdan
William Henry Hudson.

a. Piramida Freytag
Gustav Freytag(1863) menggambarkan struktur dramatik yang bergerak mengikuti elemen
atau bagian yakni exposition, rising action, climax, falling action, dan denouement, serta
menempatkannya dalam adegan-adegan lakon sesuai laku dramatik yang dikandungnya.
Struktur Freytag ini dikenal dengan sebutan Piramida Freytag atau Freytag’s Pyramid.
Perhatikan gambar piramida Freytag berikut ini.

Dalam gambar di atas terlihat bahwa alur lakon dari awal sampai akhir bergerak melalui
bagian-bagian tertentu yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Exposition
Exposition adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Bagian ini berisi tentang pengenalan
karakter dan masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi informasi tentang masalah yang
dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter yang ada dalam naskah lakon.
- Complication (Rising Action)
Pada bagian ini mulai timbul kerumitan atau kompikasi dari jalinan peristiwa yang terjadi. Di sini
sudah mulai digambarkan perilaku karakter yang ingin mengatasi konflik.
- Climax
Climax adalah puncak dari laku lakon dan mencapai titik kulminasinya. Pada titik ini, semua
permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat
dialog yang disampaikan oleh para pemeran. Pada tahap ini; penonton diharapkan akan
mengalami katarsis atau proses membersihkan emosi dan memberikan cahaya pada jiwa
penonton.
- Reversal (Falling Action)
Reversal adalah penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi
juga emosi penonton. Titik ini biasanya ditandai oleh semakin lambatnya emosi permainan dan
volume suara pemeran lebih bersifat menenangkan. Selain menurunkan emosi lakon dan
penonton, reversal juga berfungsi memberi waktu kepada penonton untuk merenungkan apa
yang telah ditontonnya.
- Denouement
Denouement adalah penyelesaian dari lakon tersebut. Penyelesaiannya bisa berakhir dengan
bahagia maupun menderita.

b. Skema Hudson
Menurut Hudson (William Henry Hudson), plot dramatik tersusun menurut apa yang
dinamakan garis laku. Garis laku lakon dalam skema ini juga melalui bagian-bagian yakni
eksposisi, insiden permulaan, tumbuh laku, krisis, penyelesaian, dan keputusan. Bagian-
bagian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Eksposisi
Eksposisi adalah saat materi-materi yang relevan dalam lakon tersebut dibeberkan atau
dijelaskan kepada penonton. Materi-materi tersebut termasuk karakter-karakter yang akan
dimainkan, peristiwa yang sedang dihadapi oleh karakter-karakter tersebut, di mana terjadinya,
dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar penonton mendapatkan gambaran selintas mengenai drama
yang akan ditontonnya sehingga ia bisa merasa terlibat dalam peristiwa cerita.
2) Insiden Permulaan / Konflik
Pada bagian ini, pelaku cerita mulai terlibat dalam suatu pokok persoalan. Di sini, mulai
teridentifikasi insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama
maupun tokoh pembantu. Insiden-insiden ini menggerakkan plot dalam lakon.
3) Pertumbuhan Laku / Komplikasi
Bagian ini merupakan lanjutan dari insiden-insiden yang teridentifikasi tersebut. Di sini muncul
persoalan baru dalam cerita. Hal ini membuat konflik yang terjadi antara karakter-karakter juga
mengalami komplikasi yang rumit dan semakin menanjak. Jalan keluar dari konflik tersebut pun
terasa samar-samar dan tak menentu.
4) Krisis atau Titik Balik
Krisis adalah keadaan saat lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau
menggelikan sehingga penontonpun seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi Hudson,
klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik tetapi bukan titik
balik itu sendiri. Menurut Hudson, titik balik baru terjadi ketika sudah ada peristiwa yang
menunjukkan peleraian emosi lakon maupun emosi penonton yang sudah mulai menurun.
5) Penyelesaian atau Penurunan Laku / Resolusi
Pada bagian ini terjadi penyelesaian persoalan. Di sini, para pemeran menemukan jalan keluar
atas konflik-konflik yang terjadi di antara mereka. Hal ini membuat emosi lakon dan penonton
mengalami penurunan. Jalan keluar yang diperoleh bisa berakhir sedih atau malah gembira.
6) Keputusan
Pada bagian ini konflik berakhir, entah itu membahagiakan ataupun menyedihkan. Cerita pun
usai. Dalam tragedi, keputusan ini disebut catastrophe, dalam komedi disebut denoument.
BAB 3

Rancangan Pementasan Teater nontradisional


A. Tata Pentas Teater
Elemen visual yang terdapat pada sebuah pertunjukan meliputi tata panggung (Scenery),
property, tata busana, tata cahaya, dan tata suara. Keenam elemen tersebut dapat
menjadi indikator keberhasilan sebuah pementasan teater yang mampu menampilkan
pembaruan visual.
1. Tata Panggung
Tata panggung seringkali disebut juga scenery atau set dekorasi. Scenery dapat
diartikan secara luas dan sempit. Pengertian luas dari scenery adalah suasana
seputar gerak laku di atas pentas serta segala elemen visual yang mengitari
pemeran dalam pementasan. Pengertian sempit scenery adalah benda yang
membentuk latar belakang secara fisik, yang memberi batas pada lingkungan gerak
laku. Dapat disimpulkan bahwa tata panggung adalah semua latar belakang dan
benda-benda yang ada di panggung yang bertujuan menunjang pemeran dalam
memainkan lakon.
Tata panggung terbagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
a. Natural background, yaitu penggunaan latar belakang panggung dalam suatu
pementasan dengan menggunakan backdrop dan cyclorama.
b. Decorative scenery, yaitu perlengkapan panggung yang menggunakan peralatan
imitasi atau tiruan dengan maksud memberikan suasana.
c. Descriptive scenery, yaitu perlengkapan panggung menggunakan benda asli
(real objects) nya untuk menghias panggung agar dapat mewakili suasana.
d. Atmosphere scenery, yaitu perlengkapan panggung yang menggunakan
kombinasi antara descriptive dan decorative scenery.
e. Active background, yaitu latar belakang yang aktif (bergerak) sehingga dapat
menopang suasana.

2. Properti
Properti atau perlengkapan panggung meliputi hal-hal berikut:
a. Perlengkapan dekoratif, yaitu perlengkapan suatu latar yang telah dipilih untuk
membantu menghadirkan latar belakang tempat dan waktu yang terjadi dalam
sebuah lakon teater. Perlengkapan dekoratif biasanya ditempelkan atau
digantung pada dinding.
b. Perlengkapan lantai, yaitu semua perlengkapan yang berdiri diatas atau
terhubung atau berhubungan langsung dengan lantai panggung.
c. Perlengkapan tangan, yaitu segala sesuatu yang diambil, dikenakan, digunakan
atau dipegang langsung oleh aktor atau aktris dalam penampilannya di atas
pentas, termasuk semua barang-barang kecil yang dibawa, seperti tas, koper,
payung dll.

Terdapat tiga hal yang dapat dilakukan untuk mendapatkan property agar dapat
memenuhi kebutuhan desain latar belakang tempat dan waktu dari sebuah
pementasan teater, yaitu sebagai berikut:
a. Menyewa atau meminjam property
Secara kreatif, kita dapat menjalin kerjasama dengan took atau produk tertentu
sesuai dengan tema dan konsep pertunjukan yang telah dibuat.
b. Membeli property
Hal ini adalah pekerjaan yang mudah dilakukan tetapi sulit untuk dilaksanakan
mengingat anggaran sebuah pertunjukan teater harus dialokasikan juga untuk
beberapa keperluan lain.
c. Membuat property
Biasanya property yang digunakan merupakan peralatan tiruan yang menyerupai
peralatan asli. Selain dapat menghemat anggaran, property tiruan juga dapat
dilakukan untuk mengganti property yang asli. Hal ini karena penggunaan
property asli dikhawatirkan dapat mengganggu keselamatan pemakai, penonton,
atau property itu sendiri. Contoh property tiruan adalah pisau tiruan terbuat dari
kayu, styrofoam atau bahkan bahan lain yang tidak berbahaya.
3. Tata Busana
Tata busana atau kostum adalah segala sesuatu yang disandang oleh pemain. Tata
busana sangat berpengaruh terhadap penonton. Sebab, sebelum seorang pemeran
didengar dialognya, hal yang terlebih dahulu diperhatikan adalah penampilannya.

Kostum untuk pementasan meliputi pakaian dasar, semua pakaian kaki atau sepatu,
pakaian di badan, pakaian kepala dan perlengkapan-perlengkapan atau aksesoris.
Kostum haruslah saling bersesuaian dengan scenery, scenario, dan property agar
kelihatan bagian-bagiannya, komposisi ataupun kontrasnya. Terdapat lima tipe
kostum yang ada, yaitu sebagai berikut:
a. kostum historis, yaitu kostum yang menampilkan sebuah periode-periode
spesifik dalam sejarah.
b. kostum modern, yaitu pakaian yang dipakai oleh masyarakat masa kini atau
pakaian yang sedang mengetren.
c. kostum nasional, yaitu pakaian dari negara atau tempat tertentu.
d. kostum tradisional, yaitu pakaian yang merepresentasikan karakter tertentu
suatu daerah atau tempat secara simbolis.
e. kostum fantasi, yaitu pakaian yang digunakan mengikuti daya kreasi dan
imajinasi.
Pemilihan kostum harus melalui suatu studi atas kehidupan dan watak yang akan
dibawakan sebuah peran. Selain itu, juga dapat melalui riset periode sejarah. Hal
ini untuk mendapatkan detil penampilan sang aktor atau aktris yang akan
memerankan lakon.
4. Tata Rias
Tata rias adalah seni mengubah wajah. Tata rias yang dimaksud dalam pementasan
teater adalah tata rias pentas, jadi segala sesuatu yang ditampilkan atau ditunjukkan
sehingga menciptakan nuansa artistik yang mendukung karakter aktor atau aktris
dalam sebuah pementasan lakon.

Tata rias merupakan cara penggunaan alat kosmetik untuk membentuk wajah atau
gambaran peran yang akan dimainkan, contohnya, seorang aktor atau aktris dalam
kehidupan sehari-hari dikenal sebagai seorang pelajar. Namun, ketika di atas
panggung, dia menjadi orang lain sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam
scenario oleh penulis lakon.

Hal yang perlu diperhitungkan dalam tata rias pentas adalah jarak antara penonton
dan pemain serta intensitas penyinaran cahaya atau lampu. Jarak pandang penonton
yang mempunyai kisaran antara 4 sampai 6 meter misalnya, turut memengaruhi tebal-
tipisnya tata rias. Intensitas cahaya atau lampu dan warna cahaya juga akan sangat
memengaruhi warna dan kejelasan suatu tata rias.

Kegunaan tata rias dalam teater adalah mengubah yang alamiah (natural) menjadi
yang berbudaya (cultured) dengan prinsip mendapatkan daya guna yang tepat. Tata
rias juga bermanfaat untuk mengatasi efek sinar lampu yang kuat dan membuat
wajah serta kepala pemain sesuai dengan peranan yang dikehendaki. Tata rias dapat
dibedakan menjadi sembilan macam, yaitu:
a. rias jenis, dilakukan jika perias harus mengubah karakter seorang lelaki menjadi
wanita atau sebaliknya, wanita menjadi pria;
b. rias bangsa, dilakukan jika seorang aktor atau aktris berkebangsaan Asia harus
melakukan peranan sebagai seorang Eropa atau sebaliknya, seorang berkebangsaan
Eropa menjadi seorang Asia;
c. rias usia, dilakukan jika mengubah wajah seorang aktor atau aktris menjadi
karakter yang sangat berbeda dari usia aslinya, contohnya seorang aktor remaja
muda akan berperan menjadi seorang kakek;
d. rias tokoh, dilakukan dengan merias wajah aktor untuk dapat menyerupai tokoh
dalam cerita atau scenario, misalnya Ario Bayu berperan sebagai Soekarno atau
Reza Rahardian sebagai H.O.S. Tjokroaminoto, atau Christine Hakim sebagai Cut
Nya Dien;
e. rias watak, dilakukan untuk menunjukkan watak seseorang, misalnya alim atau
pemalu, kejam atau bengis, sabar atau pemarah;
f. rias temporal, dilakukan menurut perbedaan-perbedaan yang terjadi pada situasi
tertentu, misalnya wajah orang baru bangun tidur, wajah orang baru selesai lari jarak
jauh, atau wajah orang yang sedang sakit;
g. rias aksen, rias yang hanya memberikan tekanan pada pelaku yang sudah
mendekati peranan yang akan dimainkan;
h. rias lokal, dilakukan menurut tempat tertentu atau ditentukan oleh latar belakang
tempat dari peran yang dimainkan. Tokoh anak pantai akan berbeda dengan tokoh
anak pegunungan, tokoh anak desa berbeda dengan tokoh anak kota metropolitan;
i. rias fantasi, dilakukan menurut daya kreasi dan imajinasi sesuai dengan tema
cerita.
5. Tata Cahaya
Tata cahaya adalah kerja pengaturan sinar di atas pentas dengan menggunakan
peralatan tata cahaya. Fungsi tata cahaya secara umum adalah untuk membentuk
situasi, menyinari gerak pelaku, menjadi isyarat perpindahan adegan serta
mempertajam ekspresi demi menciptakan karakter. Dengan demikian, imajinasi
penonton pada situasi tertentu yang diciptakan dalam pemanggungan dapat tercapai.

Tata cahaya mempunyai peranan yang sangat penting dalam pementasan teater.
Hal ini dikarenakan proses pergantian adegan dalam pementasan banyak dilakukan
dengan menggunakan lampu. Dengan perpindahan atau perubahan lampu, adegan
dan setting baru dapat terwujud. Selain itu, dengan adanya tata cahaya,
pertunjukkan akan menjadi lebih menarik dan hidup. Fokus karakter atau tokoh dapat
dimunculkan dengan cahaya. Sedemikian pula dengan keseimbangan yang dapat
diciptakan melalui intensitas cahaya. Bahkan perubahan warna, pengaturan dekor,
dan tata panggung dapat diubah sesuai dengan alur cerita.

Seorang penata cahaya perlu mengendalikan intensitas, warna, arah, bentuk,


ukuran, kualitas, dan gerak arus cahaya. Pelajaran utama yang harus dimiliki oleh
penata cahaya adalah mengetahui dasar tentang kelistrikan serta kemampuan
membuat garis dan warna dengan cahaya yang disesuaikan dan diarahkan menurut
kebutuhan. Berikut adalah beberapa peralatan cahaya:
a. Lampu
Secara mendasar, lampu yang digunakan untuk pertunjukkan dikategorikan
dalam tiga jenis, yaitu: floodlight, spotlight, dan campuran
(parcam). Floodlight memiliki cahaya dengan sinar yang menyebar, biasanya
dipergunakan untuk cyclorama dan footlight. Spotlight memiliki sinar yang
menyatu, menyorot terarah dan fokus atau mengerucut pada satu tempat.
Spotlight memiliki berbagai jenis lampu, antara lain lekolitas yang disebut
juga lampu profil atau ellipsoidal, fressnelitas, PC spot, dan followspot.
Semua lampu tersebut memiliki keistimewaan tersendiri dalam menghasilkan
suatu tata cahaya yang baru.
b. Dimmer Pack dan Control
Untuk mengendalikan dan mengontrol intensitas cahaya dan perubahan
cahaya dalam intensitas tertentu, dibutuhkan alat yang disebut dimmer.
Secara sederhana sumber listrik dialirkan ke sebuah dimmer untuk
mengalirkan arus listrik dari terang ke remang atau sebaliknya. Intensitas
rendah memiliki cahaya yang remang, sedangkan intensitas tinggi berarti
cahaya terang. Dimmer juga mampu mengatur temperatur yang mengalir ke
filamen bohlam.
Dengan adanya peralatan cahaya dan tata cahaya yang serba modern, kita dapat
memodifikasi penataan cahaya sesuai dengan keinginan kita asalkan masih
dalam benang merah pementasan dramatis dan artistik. Hanya dengan satu
lampu jenis PAR LED, kita bisa menghasilkan empat warna cahaya serta bisa
mengubah warna cahaya yang kita inginkan dalam sekejap.
6. Tata Musik dan Bunyi
Musik dan bunyi berfungsi sebagai pendukung peristiwa dan menggambarkan
suasana. Selain itu, musik dapat menunjukkan latar waktu. Perwujudan musik dapat
dilakukan secara langsung menggunakan alat musik atau dengan musik rekaman.

Bunyi dan musik tersebut dapat sampai ke telinga penonton dengan menggunakan
peralatan suara yang disebut dengan sound system. Untuk pementasan teater,
penggunaan sound system sangat minim, bahkan cenderung ditiadakan.

B. Tahapan Pementasan
Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan ketika mementaskan naskah hasil
modifikasi, yaitu sebagai berikut:
1. Mengadaptasi naskah
Unsur pertama dan utama dalam sebuah pementasan teater adalah cerita, baik
secara lisan maupun tertulis yang sudah berbentuk naskah lakon. Sebelum
mengadaptasi sebuah naskah drama, baik naskah drama klasik realis, surealis,
maupun absurd. Anda harus membedah naskah drama tersebut lalu menganalisanya
terlebih dahulu. Adapun hal yang harus dianalisa adalah isi atau tema cerita, alur,
latar sejarah zaman naskah tersebut ditulis dan latar belakang pengarangnya.
Setalah memahami keseluruhan isi naskah drama berdasarkan analisa dan tafsiran
pribadi serta kelompok, naskah drama tersebut baru dapat dipotong, diadaptasi,
ditransformasi, atau disadur ulang dengan tidak melenceng dari benang merah suatu
naskah drama.

Sebagian kritikus teater berpendapat bahwa memotong naskah drama merupakan


hal yang tabu dan merupakan sebuah sikap vandalisme. Namun, jika hal tersebut
dapat membuat pertunjukkan menjadi lebih baik, dan dapat meninggalkan kesan
lebih dalam bagi para penontonnya, hal tersebut dapat dilakukan. Hal ini karena
sebuah karya sastra, khususnya naskah drama, tidaklah hidup kecuali kita mambaca
dan memainkannya.

Naskah lakon harus mengandung persoalan-persoalan inti kehidupan. Hal tersebut


akan menentukan bobot, nilai, dan makna yang terkandung dalam cerita, serta
menjadi penentu kuat-tidaknya pengarang terhadap masalah yang ia tulis. Lakon
ditulis didasarkan pada apa yang dilihat, didengar, dialami, dibaca atau diceritakan
oleh orang lain kepada pengarang.

Dalam menyusun rangkaian kejadian atau peristiwa, seorang penulis harus memiliki
kesabaran dalam merunutkan alur cerita dalam suatu perkembangan yang logis.
Selain itu, membuat alur cerita sedemikian rupa sehingga semakin lama harus
semakin genting dan akhirnya sampai pada klimaks cerita.
Dalam lakon akan dijumpai dua hal yang sangat penting yaitu: konflik dan tokoh yang
terlibat di dalam rangkaian kejadian, dan sebuah kerangka besar yang mendasari
sebuah lakon. Sebuah cerita yang disajikan diatas panggung tidak akan menarik
tanpa adanya konflik. Gagasan utama atau pesan dari sebuah lakon justru terdapat
dalam konflik yang merupakan pertentangan antara satu pihak dengan pihak lain
mengenai suatu hal. Jalinan cerita menuju konflik dan cara penyelesaiannya inilah
yang menjadikan isi lakon menarik.

2. Konsep pementasan teater nontradisional


Dalam modifikasi pementasan teater nontradisional titik berat dalam membuat
konsep tata pentas antara lain pemanggungan atau tata artisitik, seperti pemilihan
musik ilustrasi, tata suara, dan tata cahaya. Setelah memilih tata artistik, sutradara
memberi waktu kepada para asistennya untuk membaca naskah drama yang telah
dipilih dan memberi keleluasaan kepada mereka untuk membedah naskah drama
tersebut, masukan diakomodasi untuk menyamakan persepsi.

Pemahaman persepsi terhadap suatu konsep perlu dilakukan oleh semua anggota
tim kerja. Tahap ini tak jarang meimbulkan perdebatan yang sengit. Hal ini tentunya
kerap berkaitan dengan ideologi masing-masing. Namun, itulah proses kreatif yang
harus dijalani. Dengan adanya perdebatan, daya kreatif akan tercipta dan konsep
akan semakin matang.

3. Casting atau pemilihan pemeran


Ketika naskah lakon telah tersedia dan konsep pementaan telah tercipta, langkah
selanjutnya adalah melakukan kegiatan casting atau pemilihan pemeran untuk
mengisi tokoh-tokoh yang ada di dalam alur naskah drama yang akan dipentaskan.
Casting dapat dilakukan dengan syarat memenuhi kriteria langsung oleh sutradara
dengan syarat memenuhi kriteria kompetensi yang dimiliki. Proses casting dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu sebagai berikut:
- Casting by ability
Merupakan pemilihan pemeran berdasarkan kecakapan. Pemeran yang
terpandai dan terbaik dipilih untuk peran penting atau peran utama dan sukar.
- Casting to type
Merupakan pemilihan peran berdasarkan kecocokan fisik ataupun watak si
pemain.
- Anti-type casting
Merupakan pemilihan pemeran yang bertentangan dengan fisik si pemain. Jenis
ini menentang jenis perwatakan manusia secara konvensional.
- Casting to emotional temperament
Merupakan pemilihan pemeran berdasarkan hasil observasi hidup pribadi pemain
karena mempunyai banyak kesamaan atau kecocokan dengan peran yang akan
dimainkannya (persmaan emosi, tempramen, dan sebagainya)
- Therapeutic casting
Merupakan pemilihan pemeran karena dianggap peran yang akan dimainkan
bertentangan dengan watak asli si pemain

4. Proses latihan dan pementasan


Setelah tahap pemilihan peran, selanjutnya adalah proses latihan dan pementasan.
Tahap latihan merupakan tahap yang penting agar para pemain dan awak dilatih
untuk terbiasa atau terlatih dalam menjalan perannya sehingga pertunjukkan dapat
berlangsung dengan sangat baik. Secara umum, tahapan proses latihan hiingga
pementasan adalah sebagai berikut:
- Membaca (Reading)
Tahap awal latihan teater adalah membaca teks naskah drama. Membaca teks
naskah drama dilakukan untuk mendapatkan maksud atau tujuan dari naskah
lakon secara detil yang dapat dilakukan dengan membaca berangkai. Dalam
membaca berangkai, semua anggota duduk melingkar lalu membaca bergiliran
tanpa mempertimbangkan peran atau tokoh terlebih dahulu sehingga membaca
berdasarkan peran dan dengan pemahaman.
- Menghafal dialog
Kegiatan menghafal dimulai sesegera mungkin setelah mendapatkan naskah
drama. Latihan baris-baris dialog yang ada dalam teks lakon bisa dilkukan setiap
hari. Semakin cepat dan tepat dalam menghafal naskah drama, semakin mudah
menjalankan proses kerja berikutnya.
- Merancang komposisi
 Blocking
Blocking memiliki arti kedudukan pemain, gerak pemain dari satu tempat
ke tempat lain yang didorong dengan motivasi yang kuat, yaitu memiliki
maksud dan tujuan tertentu karena tuntutan adegan pada naskah.

Blocking memiliki fungsi sebagai berikut:


1. Menerjemahkan analisis verbal ke dalam sikap tubuh sehingga
penonton dapat melihat dan mengerti
2. Merupakan fondasi yang praktis bagi pemain untuk membangun
karakter dalam pertunjukan
3. Menciptakan lukisan yang bergerak di atas panggung

Untuk membuat blocking yang baik, harus diperhatikan hal-hal sebagai


berikut:
1. Perubahan aksi dalam adegan harus jelas
2. Perubahan tersebut harus dapat tertangkap oleh mata penonton
3. Setiap perubahan aksi dalam adegan harus disejajarkan dengan
perubahan aktivitas di atas panggung yang dapat ditangkap oleh
mata

Blocking tidak terlepas dari petak lantai panggung atau area pementasan.
Pembagian area atau petak lantai panggung ada yang dibagi menjadi
enam petak, Sembilan petak bahkan lebih. Uraian berikut berdasarkan
pembagian area lantai Sembilan Petak.

1 2 3

4 5 6

7 8 9

Keterangan:
1 adalah kanan belakang
2 adalah tengah belakang
3 adalah kiri belakang
4 adalah kanan tengah
5 adalah titik tengah
6 adalah kiri tengah
7 adalah kanan depan
8 adalah tengah depan
9 adalah kiri depan
 Leveling
Leveling adalah pengaturan tinggi rendah posisi aktor diatas panggung.
Pangaturan ini berguna untuk memperjelas posisi pemain diatas
panggung serta untuk membantu sutradara dalam membuat fokus
adegan. Selain itu, leveling juga dapat memperkaya warna panggung
sehingga dapat menjadi salah satu daya tarik penonton.
 Balancing
Balancing adalah pengaturan atau pengelompokan aktor di atas
panggung yang bertujuan menghindari ketimpangan. Maksud dari
ketimpangan disini adalah posisi pemeran yang penuh hanya mengumpul
di salah satu sisi panggung. Hal tersebut dapat menimbulkan
pemandangan yang kurang menarik dan berakibat pada kejenuhan
penonton.
 Focus
Selain mengarahkan para pemeran, sutradara juga harus mampu
mengarahkan perhatian penonton kepada seluruh aktivitas pertunjukkan.
Perhatian penonton dapat difokuskan dengan cara menjaga agar setiap
pemain dapat terlihat dengan
jelas melalui pemanfaatan ruang panggung dan blocking.
- Run-through
Run-through adalah latihan hafalan naskah lakon secara keseluruhan.
Pada tahap awal sampai akhir cerita tanpa melihat naskah lakon lagi.
Sutradara tidak menghentikan proses latihan yang sedang dilakukan.
Arahan, kritik dan saran akan diberikan setelah latihan berakhir sebagai
bentuk evaluasi bagi para pemainnya.
- Latihan Teknik
Pada tahap ini, aktor dikenalkan dengan tata panggung, tata busana, tata
suara, tata musik, tata cahaya dan property. Latihan ini biasanya
dilakukan pada hari-hari terakhir atau seminggu menjelang pertunjukan.

- Dress rehearsal
Dress rehearsal atau biasanya disebut dengan gladi bersih. Pada proses
ini dilakukan latihan secara lengkap dan menyeluruh, mulai dari latihan
acting, property, tata busana, tata cahaya dan lain sebagainya. Dress
rehearsal bertujuan membiasakan pertunjukkan yang sebenarnya kepada
seluruh pemain dan kru yang terlibat, serta memperbaiki hal-hal yang
dinilai masih kurang.
C. Pementasan
Pementasan adalah tahap akhir dari proses yang panjang dan melelahkan karena
didalamnya terdapat kerja keras, baik fisik, psikis, finansial maupun pengorbanan waktu.
Keberhasilan pementasan bergantung pada proses yang telah dijalani sebelumnya.
Tahap-tahap yang harus dilakukan untuk penyelenggaraan pementasan teater dengan
naskah adalah sebagai berikut:
- Menganalisa naskah drama, kemudian membuat konsep garapan sebagai pijakan
dalam proses latihan dan pementasan.
- Melakukan casting atau pemilihan pemain yang akan berperan sesuai dengan
naskah drama tersebut. Selain itu, lakukan pemilihan kru yang akan bertanggung
jawab dalam produksi, baik kru artistik maupun administrasi.
- Menjalani proses persiapan. Pemain mulai berlatih sementara kru pertunjukan mulai
menyiapkan segala sesuatunya terkait pementasan. Dua proses yang pasti harus
dilakukan adalah membuat tontonan dan mendatangkan penonton.
- Melaksanakan pertunjukan. Saat pertunjukan, penonton diberi sebuah buku acara
(berupa booklet atau leaflet). Buku acara ini diberikan untuk memberikan informasi
kepada penonton agar mereka dapat mengikuti pertunjukan dengan mudah.
Informasi yang disampaikan adalah judul pertunjukan atau lakon, nama kelompok
kesenian, nama pengarang, sinopsis, sutradara, koreografer, aktor atau aktris,
pemusik, serta orang-orang yang memberikan dukungan pada produksi pementasan
teater, termasuk sponsor acara jika ada.
- Melakukan evaluasi, yaitu pembahasan tentang pelaksanaan pertunjukan dan
kualitas dari pertunjukan tersebut.

BAB 4
KRITIK SENI TEATER NONTRADISIONAL

A. Pengertian Kritik Seni Teater


Kritik teater merupakan kupasan atau analisa yang dilakukan terhadap sebuah karya seni
teater yang dilandasi norma atau pertimbangan nilai tertentu.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa kritik selalu menyangkut tiga hal penting berikut ini:
1. Kritikus
Kritikus adalah orang yang memberikan kupasan, pendapat, analisa, atau pertimbangan
terhadap suatu hal, singkatnya, kritikus adalah orang yang memberikan kritik atau yang
mengkritik. Dengan demikian, kritikus teater adalah orang yang memberikan kritik atau
kupasan, pendapat, analisa, dan pertimbangan terhadap suatu pementasan teater.

Agar dapat memberikan kritik atau kupasan, pendapat, analisa, dan pertimbangan
tentang seni teater, seorang kritikus harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang
hal-hal yang akan dikupasnya oleh karena itu seorang kritikus biasanya adalah orang
yang dulunya pernah berkecimpung dalam dunia yang dikritiknya.

2. Sasaran
Sasaran kritik selalu berupa sesuatu yang dapat diamati oleh pancaindra seperti hasil
pertunjukan, tingkah laku seseorang, pengetahuan dan sebagainya. Dari semua sasaran
kritik itu, pada dasarnya yang merupakan pokok atau sasaran utamanya adalah
tanggung jawab. Mereka yang bertanggung jawab akan sebuah pementasan yang
sebenarnya merupakan sasaran kritik. Tanggung jawab itu dapat dipikul oleh manusia
secara pribadi atau dipikul secara kelompok.

3. Norma
Orang yang mengkritik tak cukup hanya mengetahui sasaran kritik. Ia juga harus memiliki
sesuatu yang menjadi pedoman, acuan, atau pegangan yang harus dipatuhi. Pedoman
atau pegangan itu menjadi landasan untuk menilai mana yang seharusnya dan mana
yang tidak seharusnya dilakukan dalam sebuah pementasan teater.

B. Fungsi Kritik Seni Teater


Kritik dalam seni teater memiliki fungsi tertentu bagi teaterawan, masyarakat, maupun
perkembangan seni teater itu sendiri.

1. Bagi Teaterawan
Bagi teaterawan, kritik yang disampaikan seorang kritikus teater dapat berfungsi
bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut:
a. Cermin untuk introspeksi diri
Tidak jarang kritikus dalam ulasannya mengkritik atau menyanjung penampilan
seorang teaterawan dalam sebuah pementasan. Dari kritik ini, teaterawan bisa
mengintrospeksi diri dan kemudian menilai kelemahannya. Ia perlu
mempertimbangkan kritik dari kritikus dan mau mengakui apabila kelemahan yang
diutarakan memang demikian adanya. Berdasarkan pengakuan diri tersebut,
teaterawan dapat membuat perbaikan-perbaikan dalam penampilannya.

Demikian pula ketika mendapat pujian dan sanjungan dari para kritikus, seseorang
teaterawan dapat memanfaatkannya sebagai bahan untuk mempertahankan dan
mengembangkan penampilannya.

b. Mengungkap selera masyarakat


Ulasan seorang kritikus tidak jarang menyentuh aspek selera atau trend yang terjadi
dalam masyarakat karena pada dasarnya kritikus juga mewakili penonton dan
masyarakat. Hal ini penting sebagai landasan untuk menciptakan pertunjukan teater
yang dapat dimengerti oleh masyarakat, walaupun tidak berarti bahwa teaterawan
harus selalu menciptakan pertunjukan teater yang disukai masyarakat.

c. Menambah pengetahuan
Ulasan seorang kritikus sering juga mengupas objek kritik dengan menguraikan teori-
teori seni teater atau petunjuk teknis tentang unsur pementasan teater. Ulasan
seperti ini tentu bermanfaat bagi teaterawan untuk mempertinggi pengetahuannya
tentang seni yang ditekuni. Dengan pengetahuan seni yang luas, ia akan lebih
mudah memperkaya pengetahuannya sehingga hasil karyanya akan lebih kreatif dan
bervariasi.

2. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, kritik yang disampaikan seorang kritikus juga memiliki beragam fungsi,
diantaranya sebagai berikut:
a. Sarana mempermudah dalam menikmati pertunjukan
Hasil analisa dari kritikus yang berisi kupasan tentang pertunjukan lengkap dengan
teori-teori seni teater yang melandasi serta penjelasan-penjelasannya, sering kali
membuat masyarakat lebih mudah memahami pertunjukan.

b. Sarana mempertinggi pengetahuan masyarakat di bidang seni teater


Ulasan kritikus tentang sebuah pertunjukan teater tentu akan menambah
pengetahuan masyarakat tentang seni teater. Jika pengetahuan tentang seni ini
meningkat, tentu daya serap atau daya tangkap masyarakat terhadap pertunjukan
teater pun makin tinggi.

3. Bagi Perkembangan Seni Teater


Kritik teater merupakan suatu uraian yang mendalam tentang seni teater dengan segala
penerapannya sesuai apa yang dipentaskan dalam pertunjukan. Jadi, dapat dikatakan
keberadaan kritik teater merupakan dokumentasi tertulis dari suatu pertunjukan teater.
Kumpulan kritik teater yang tertib dan teratur sudah pasti sangat berharga bagi
perkembangan ilmu seni teater.

C. Bentuk dan Penyampaian Kritik Teater


Berdasarkan kesesuaian dengan norma atau pedoman seni teater, kritik teater dapat
dibagi atas kritik positif, kritik negatif dan kritik campuran.

1. Kritik Positif
Kritik positif adalah kritik yang pada kesimpulannya menyetujui atau sependapat
dengan apa yang ditampilkan pada pertunjukan teater yang sudah dilakukan. Kritikus
berpandangan bahwa apa yang sudah ditampilkan oleh para teaterawan dalam
pertunjukan tersebut memang sesuai dengan norma yang dipakai dalam seni teater
pada umumnya.

2. Kritik Negatif
Berlawanan dengan kritik positif, kritik negatif adalah kritik yang pada kesimpulannya
tidak menyetujui dengan apa yang sudah ditampilkan pada pertunjukan teater
tersebut. Kritikus berpandangan bahwa apa yang sudah ditampilkan oleh para
teaterawan dalam pertunjukan tersebut tidak sesuai dengan norma yang berlaku di
seni teater pada umumnya.

3. Kritik Campuran
Kritik campuran adalah kritik yang dalam kesimpulannya mengandung bentuk kritik
positif maupun kritik negatif. Kritikus berpandangan bahwa apa yang sudah
ditampilkan dalam pementasan tersebut memiliki hal-hal yang sesuai dengan norma
dan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma.

Berdasarkan cara penyampaiannya, kritik seni teater dapat dibedakan menjadi


empat, yaitu:
 Kritik Pra-predikatif
Kritik pra-predikatif adalah kritik yang disampaikan tidak dengan kata-kata
tetapi dengan gerakan-gerakan atau tingkah laku. Bentuk kritik seperti ini
umumnya terjadi saat pementasan sedang berlangsung

 Kritik Predikatif
Kritik predikatif adalah kritik yang disampaikan dengan kata-kata setelah
pertunjukan berakhir. Bentuk kritik seperti ini sudah umum dilakukan oleh
para kritikus, baik melalui wawancara secara langsung maupun dalam bentuk
artikel atau tulisan-tulisan.

 Kritik Biasa
Kritik biasa adalah kritik yang mengupas pementasan teater secara biasa
saja atau dengan kata lain secara popular. Kritik seperti ini umumnya
dimaksudkan agar masyarakat biasa dapat lebih memahami teater. Oleh
karena itu, dalam kritik seperti ini kata-kata yang dipakai umumnya
sederhana , tidak mendalam, tidak menggunakan istilah-istilah teknis atau
ilmiah.

 Kritik Ilmiah
Berbeda dari kritik biasa, kritik ilmiah mengupas segala sesuatu tentang
pementasan yang sudah dilakukan secara ilmiah. Ciri pokok ulasan kritik
secara ilmiah ini adalah ulasan dibuat secara sistematis dan jelas serta
menggunakan bahasa dan istilah yang sudah sangat baku dalam bidang seni
teater. Umumnya, kritik ilmiah disertai dengan kajian teori.

D. Simbol dan Nilai Estetis dalam Seni Teater


Pengertian simbol di dalam seni, termasuk seni teater, dapat dipahami sebagai benda,
bentuk, dan unsur seni yang mengandung nilai atau makna. Semua yang nampak, yang
terucap, yang terdengar, dan yang dilakukan adalah simbol yang dapat ditanggapi oleh
penonton.

1. Simbol Teater
Apa yang terungkap dalam pertunjukan teater adalah seperangkat simbol yang
dikomunikasikan kepada penonton. Penonton dituntut berpikir untuk menafsirkan apa
yang dilihat, didengar, dan ditanggapi tentang pertunjukan teater. Simbol-simbol
yang digunakan sebagai sarana komunikasi dalam teater meliputi:

a. Simbol Visual
Simbol yang nampak dalam penglihatan penonton, meliputi seluruh wujud bentuk
dan warna termasuk tubuh para pemain. Simbol visual dapat berupa benda-
benda, bentuk-bentuk, warna-warna dari barang-barang perkakas pendukung
pementasan.

b. Simbol Verbal
Simbol yang diungkapkan dengan kata-kata, baik oleh para pemain, narrator,
maupun dalang. Simbol verbal berupa kata-kata yang diucapkan dalam dialog
dan monolog para pemain dan berasal dari naskah drama yang diciptakan oleh
pengarang.

c. Simbol Auditif
SImbol yang ditimbulkan dari bunyi-bunyi yang didengar oleh penonton. Bunyi-
bunyi itu dapat dibuat oleh para pemain untuk menghasilkan kesan tertentu, atau
bunyi-bunyi yang dihasilkan dan dibuat dengan sengaja sebagai tataan musik
ilustrasi.

2. Nilai Estetis Teater


Teater sebagai suatu seni pertunjukan tentu mempunyai nilai-nilai estetika. Nilai
estetika yang paling kuat dapat kita jumpai pada saat pertunjukan. Nilai estetis dalam
pertunjukan teater merupakan akumulasi dari nilai-nilai yang digagas dan
dikomunikasikan kepada penonton. Nilai-nilai estetis dalam teater antara lain:
 Nilai Emosional
Penonton teater hanyut dalam suasana yang dibangun oleh struktur emosi.
 Nilai Intelektual
Penonton teater seringkali merasa mengalami pencerahan setelah menonton
pertunjukan teater. Pertunjukan tersebut banyak memberikan nilai-nilai dan
informasi tentang kehidupan sosial, spiritual, moral dan sebagainya.
 Nilai Visual
Penonton teater merasa takjub melihat peristiwa pentas dengan segala
perkakasnya yang spektakuler hasil tangan-tangan kreatif para pekerja
teater.
 Nilai Verbal
Penonton kagum pada kata-kata dan ungkapan dari para pemain dengan
teknik ekspresi, artikulasi dan irama yang dinamis.

E. Etika dalam Kritik Seni Teater


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika akan membuat sebuah kritik, antara lain
tentang etika dalam mengkritik. Sebagai individu berbudaya, kritik yang disampaikan
haruslah beretika atau etis, artinya kritik yang disampaikan harus memperhitungkan nilai
dan norma moral yang menjadi pegangan masyarakat, seperti nilai kesopanan, atau
mengayomi dan mendidik.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang kritikus ketika memberikan kritik terhadap
sebuah pementasan teater:
1. Kritik hendaknya disusun dengan kata-kata yang sopan.
Menyusun kritik pada hakikatnya adalah memberikan penilaian baik buruknya suatu
pertunjukan teater. Kata-kata yang digunakan dalam kritik harus tetap menggunakan
kata-kata yang tidak menyakiti hati, sopan dan bersifat mendidik atau memberi
harapan. Kritik yang diberikan hendaknya dapat memacu semangat dan membangun
bakat teaterawan agar terus mencipta dan berkreasi lebih baik lagi.

2. Kritik hendaknya tidak disusun secara emosional


Artinya, perasaan pribadi dari kritikus terhadap pribadi teaterawan tidak boleh
menguasai kritik. Kritik ditujukan untuk mengupas hasil pertunjukan teater dan
bukannya kehidupan pribadi teaterawan. Kritik harus berpijak pada apa yang telah
disuguhkan oleh teaterawan dalam pertunjukan teater itu. Jadi, kritik harus disusun
secara objektif. Adapun subjektivitas dari sang kritikus tidak menampilkan
pandangan emosional kritikus tetapi mengulas pendapat dan pandangan pribadi
yang didasarkan pada wawasan dan pengalamannya.

3. Kritik hendaknya bersifat konstruktif, ditujukan untuk memberikan jalan keluar dan
mengatasi kekurangan atau kelemahan suatu pertunjukan teater. Kritik seperti ini
disebut kritik membangun. Dalam kritik membangun, kritikus seakan-akan
menempatkan diri secara bergantian, yaitu sebagai kritikus dan sebagai sasaran
kritik. Saat memberikan saran untuk memperbaiki kelemahan atau penyimpangan
dari norma itu, kritikus berperan sebagai pihak sasaran kritik. Cara kritik seperti ini
akan membantu perkembangan seni karena teaterawan memperoleh tambahan
pengetahuan untuk membuat yang lebih baik.

4. Kritik hendaknya menampilkan fakta-fakta substansial yang terjadi pada saat


pertunjukan terjadi. Artinya, seorang kritikus harus mampu membuktikan kesesuaian
atau ketidaksesuaian fakta pertunjukan dengan norma atau pedoman yang menjadi
pegangannya.

F. Membuat Kritik Teater


Setelah memahami etika dalam menyusun sebuah kritik, hal berikutnya yang perlu
dimiliki adalah perangkat atau peralatan kritik itu sendiri. Perangkat dalam hal ini
bukanlah perangkat fisik melainkan segala sesuatu yang membekali diri kita untuk bisa
menganalisa sebuah pertunjukan teater. Perangkat-perangkat tersebut antara lain:

1. Pengenalan yang luas terhadap seni teater


Untuk bisa mengkritik sebuah sajian seni teater, hal pertama dan utama yang harus
dimiliki adalah pengetahuan tentang teater itu sendiri, baik aspek-aspek
substansialnya maupun aspek-aspek penyajiannya. Anda harus mengenal dan
mengerti unsur-unsur dalam seni teater seperti lakon, penokohan, karakter, gaya,
konteks sosial dan aspek teknis lainnya. Hal ini sangat penting agar bisa membuat
perbandingan antara apa yang disaksikan dari pementasan dan apa yang menjadi
konsep atau norma dalam seni teater.

2. Sensibilitas Kritik
Kritikus dituntut memiliki kemampuan untuk memasuki lingkup emosi estetika yang
sedemikian luasnya. Artinya, kritikus harus bisa merasakan apakah yang ditampilkan
oleh para teaterawan itu indah, memiliki kekurangan atau malah sangat baik, dan
juga mana bagian yang masih perlu diperbaiki.

3. Karakter Adil
Kritikus dituntut memiliki kemampuan dan kesabaran untuk menangguhkan
keputusan sampai semua fakta lengkap. Artinya, di dalam diri harus tertanam
karakter untuk jujur, adil dan objektif. Kritikus tidak boleh menghakimi sebuah
pertunjukan secara terburu-buru tanpa melihat keseluruhan fakta dari pertunjukan
tersebut.

Beberapa langkah praktis untuk membantu menulis kritik, yaitu sebagai berikut:
1. Pertama, fokus pada saat melihat pertunjukan,
2. Kedua, ketika menonton sebaiknya membuat catatan-catatan kecil yang berisi
kekuatan atau kelebihan dan kelemahan atau kekurangan dari setiap aspek yang
diamati, dan kemungkinan solusi yang bisa kita tawarkan,
3. Ketiga, setelah menonton, buatlah pengelompokan atas catatan kecil yang telah
dikelompokkan sesuai dengan bahasan atau analisa yang akan disampaikan, dan
4. Keempat, berdasarkan pengelompokkan catatan tersebut, mulailah menyusun tulisan
kritik.

Anda mungkin juga menyukai