Anda di halaman 1dari 14

Teater Tradisional

Teater tradisional adalah seni pertunjukan yang berasal dari suatu


daerah. Teater tradisional erat kaitannya dengan istiadat setempat
serta kehidupan sosial masyarakat.
Teater jenis ini dikenal juga dengan sebutan teater daerah karena
berakar dan dirasakan sebagai milik sendiri oleh setiap masyarakat
yang hidup di suatu lingkungan, seperti mitos atau legenda.
Jenis pementasan teater tradisional dibedakan menjadi teater rakyat,
teater klasik, dan teater transisi. Ciri khas teater tradisional antara
lain sebagai berikut:

1. Tidak ada naskah


2. Persiapan dilakukan secara sederhana
3. Ceritanya monoton
4. Menyatu dengan kisah masyarakat

Teater Modern dan Ciri-Cirinya


Sementara itu, teater modern adalah seni yang tumbuh seiring dengan
perkembangan zaman yang mendapatkan pengaruh dari teori Barat.
Perkembangan teater modern di Indonesia dibagi menjadi beberapa
tahapan mulai dari tahun 1920-an hingga tahapan teater modern
kontemporer.
Contoh dari teater modern ini antara lain adalah pertunjukkan drama,
teater, sinetron, dan film yang membutuhkan arahan dari
sutradaranya. Adapun ciri khas dari teater modern, yaitu:

1. Panggung tertata rapi dengan jenis peralatan yang lebih kompleks


dibandingkan dengan teater tradisional.
2. Umumnya pementasan teater modern dilaksanakan di sebuah gedung
tertutup.
3. Terdapat pengaturan akan jalur cerita yang dipentaskan.
4. Jumlah peserta lebih banyak dibandingkan teater tradisional.
5. Tidak banyak interkasi yang dilakukan antara penonton dengan
pemain.
Perbedaan Teater Tradisional dan Teater Modern
No. Teater Tradisional Teater Modern

1 Karya teater lebih bersifat Karya teater diketahui pengarang atau penciptanya
"anonim", artinya tidak diketahui
penciptanya

2 Pewarisan seni bersifat turun Karya seni bersifat temporal.


temurun dan bersifat abadi.

3 Tidak ada naskah baku atau Ada naskah baku atau naskah tertulis.
naskah tertulis.

4 Pertunjukan bersifat spontan Pertunjukan direncanakan dengan matang dan


atau tanpa latihan. dilakukan melalui proses latihan.

5 Pertunjukan lebih Bentuk pertunjukan lebih beragam,


mengutamakan isi seni dari pada tergantung stile senimannya; apakah
bentuk seni. mengutamakan isi seni, atau mengutamakan
bentuk seni atau menghadirkan keduanya.

6 Tempat pertunjukan bersifat Tempat pertunjukan bersifat khusus yakni di


bebas di area terbuka. panggung dengan keragaman bentuk stage.

7 Peralatan pentasnya lebih Menggunakan peralatan pentas lebih modern dan


sederhana. lengkap dengan beberapa unsur penunjang
artistiknya.

8 Waktu pertunjukan dilakukan Waktu pertunjukan lebih pendek dan terbatas 2


dalam jangka waktu yang relatif atau 3 jam.
panjang (semalam suntuk).

9 Peristiwa pertunjukan dibangun Peristiwa pertunjukan dapat dilakukan dengan


penuh keakraban dan tanpa kecenderungan adanya jarak estetis dan atau lebur
jarak dengan penontonnya. menjadi satu (tanpa jarak) dengan penonton.

10 Penonton bersifat bebas tanpa Penonton bersifat khusus dan membayar.


harus membayar.

11 Menggunakan bahasa daerah Menggunakan unsur bahasa lebih bebas; bahasa


(bahasa lokal) setempat. Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing
ataupun bahasa campuran.
12 Fungsi pertunjukannya berkaitan Fungsi pertunjukannya mengarah pada seni
dengan upacara adat/ upacara tontonan sebagai hiburan.
keagamaan dalam kegiatan
masyarakat secara adat.

10 Bentuk Teater Tradisional di Indonesia

10. Ubrug

Ubrug di Pandeglang dikenal sebagai kesenian tradisional rakyat yang


semakin hari semakin dilupakan oleh penggemarnya. Istilah ‘ubrug’
berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk
dalam satu lokasi.

Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan unsur lakon,


musik, tari, dan pencak silat. Semua unsur itu dipentaskan secara
komedi. Bahasa yang digunakan dalam pementasan, terkadang
penggabungan dari bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu (Betawi). Alat
musik yang biasa dimainkan dalam pemenetasan adalah gendang,
kulanter, kempul, gong angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk.
Selain berkembang di provinsi Banten, kesenian Ubrug pun
berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang tentunya
dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing.

Teater Ubrug pada awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas


dengan tenda daun kelapa atau rubia.

Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak


tanah yang bersumbu dua buah dan cukup besar yang diletakkan di
tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk
tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak. Sekitar
tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang
tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat
menyaksikannya dari segala arah.
9. Lenong

Lenong adalah seni pertunjukan teater tradisional masyarakat Betawi,


Jakarta. Lenong berasal dari nama salah seorang Saudagar China yang
bernama Lien Ong. Konon, dahulu Lien Ong lah yang sering
memanggil dan menggelar pertunjukan teater yang kini disebut
Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta
keluarganya. Pada zaman dahulu (zaman penjajahan), lenong biasa
dimainkan oleh masyarakat sebagai bentuk apresiasi penentangan
terhadap tirani penjajah.

Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan adaptasi oleh


masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi bangsawan"
dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman
Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang
dari proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan
sudah dikenal sejak tahun 1920-an.

Pada mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari


kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa
panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau
aktris mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara
sukarela

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman.
Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti
“dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan
busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan
kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang
dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah
tentang kehidupan sehari-hari. 
8. Ludruk

Ludruk

Ludruk merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup


terkenal, yakni seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya
adalah laki-laki. Ludruk merupakan suatu drama tradisional yang
diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah
panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-
hari (cerita wong cilik), cerita perjuangan dan lain sebagainya yang
diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.

Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat


penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski
kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang,
Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas
yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh
kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum,
dll).
7. Ketoprak

Ketoprak

Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di


daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur
pun dapat ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak
merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka
dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan
emprak.

 Kata ‘kethoprak’ berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini
bermula dari prak. 

Karena bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. Serat Pustaka Raja
Purwa jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita dalam bukunya
Kolfbunning tahun 1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama
kethoprak tegesipun kothekan” ini berarti kethoprak berasal dari
bunyi prak, walaupun awalnya bermula dari alat bernama tiprak.

Kethoprak juga berasal dari kothekan atau gejogan. Alat bunyi-


bunyian yang berupa lesung oleh pencipta kethoprak ditambah
kendang dan seruling.

Ketoprak merupakan salah satu bentuk teater rakyat yang sangat


memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh
perhatian, meskipun yang digunakan bahasa Jawa, namun harus
diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa. Dalam bahasa Jawa
terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:

 Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)


 Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
 Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)

Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja


penggunaan tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa.
Karena itu muncul yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan
bahasa yang halus dan spesifik.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah seni


pertunjukan teater atau drama yang sederhana yang meliputi unsur
tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog, busana rias, maupun bunyi-
bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat.

 6. Longser
Longser merupakan salah satu bentuk teater tradisional masyarakat
sunda, Jawa barat. Longser berasal dari akronim kata melong (melihat
dengan kekaguman) dan saredet (tergugah) yang artinya barang siapa
yang melihat pertunjukan longser, maka hatinya akan tergugah. 

Longser yang penekanannya pada tarian disebut ogel atau doger.


Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat bentuk teater
tradisional yang disebut lengger.

Busana yang dipakai untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari
segi warnanya terutama busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya
seorang ronggeng memakai kebaya dan kain samping batik.
Sementara, untuk lelaki memakai baju kampret dengan celana sontog
dan ikat kepala.

 5. Mamanda

Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal


dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang
lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang
terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat
penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang
disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.

Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang


Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada
kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku
seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang,
Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan),
Permaisuri dan Sandut (Putri).

Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa


rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di
Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan.
Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra
Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba
Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini
hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda.

Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan


masyarakat Kalimantan pada umumnya. Mamanda berbeda
dengan Tantayungan, yang juga sama-sama teater tradisional
Banjar (Kalimantan Selatan).
4. Randai

Randai

Randai adalah kesenian (teater) khas masyarakat Minangkabau, Sumatra


Barat yang dimainkan oleh beberapa orang (berkelompok atau beregu).
Randai dapat diartikan sebagai “bersenang-senang sambil membentuk
lingkaran” karena memang pemainnya berdiri dalam sebuah lingkaran besar
bergaris tengah yang panjangnya lima sampai delapan meter. Cerita dalam
randai, selalu mengangkat cerita rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua
Mato, Malin Deman, Anggun Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. 

Konon kabarnya, randai pertama kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan,


Padang Panjang, ketika mereka berhasil menangkaprusa yang keluar dari
laut.
Kesenian randai sudah dipentaskan di beberapa tempat di Indonesia dan
bahkan dunia. 

Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah pernah dipentaskan oleh
sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika Serikat.

Kesenian randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika adat Minangkabau
ini, merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni, seperti: drama
(teater), seni musik, tari dan pencak silat.

 3. Drama Gong

Drama Gong

Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif
muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama
modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali.
Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur
teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali).

Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih
begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik". Nama Drama
Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap
gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong
(Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung
Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar).

Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak
kejayaannya adalah tahun1970. Namun semenjak pertengahan tahun 1980
kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah
sekaa Drama Gong yang masih aktif.
2. Makyong

Makyong

Makyong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai


sekarang masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam
forum internasional. Makyong dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha Thai
dan Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak hyang, nama lain untuk
dewi sri, dewi padi.

 1. Wayang

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum


Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa
pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang
diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.

Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di


Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada
tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan
dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga
(Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti:


bayangan , dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya
bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan
Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. (Artikel Terkait: Wayang
Kulit Kristus, Tradisi Unik Jelang Natal di Yogyakarta). 

Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara
yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang,
dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong
yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu,
poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang. 
Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal
dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata:
yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang. 
Lebih lengkap tentang wayang bisa dibaca di artikel ini: Menilik
Kembali Asal-usul Wayang yang Hingga Kini Masih Dipersoalkan

Anda mungkin juga menyukai