Anda di halaman 1dari 17

TEORI SASTRA

SEJARAH SASTRA ANGKATAN 50-70

Disusun oleh :

Kelompok 2

Rinandi (200501502011)

Julisa Agnesti Taba (200501500007)

Melinda Kusuma Wardani Djapur (200501501013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah
Sastra Angkatan 70”.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “ teori sastra”. Kami mengucapkan
terima kasih telah diberikan kesempatan untuk bisa menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar kedepannya makalah yang kami buat lebih baik dari yang sebelumnya.
Tim penyusun berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai sejarah sastra angkatan 70.

Makassar, 1 April 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………...
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………….
A. Latar Belakang
…………………………………………………………………………………
B. Masalah
………………………………………………………………………………………..
C. Tujuan
…………………………………………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
…………………………………………………………………………...
A. Sejarah Lahirnya Angkatan 70
…………………………………………………………………
B. Pengarang dan karya-karya Sastranya
…………………………………………………………
C. Ciri-ciri Karya Sastra Pada Angkatan 70
……………………………………………………...
D. Peristiwa Penting yang Terjadi Pada Angkatan 70-
an………………………………………….
BAB III PENUTUP
…………………………………………………………………………….......
A. Simpulan
……………………………………………………………………………………….
B. Saran
…………………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan
sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra
Inggris, dengan pengertian dasar itu, dapat dilihat bahwa objek sejarah sastra adalah segala
peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa.
Dalam sejarah sastra Indonesia periodisasi dibagi sebagai berikut : angkatan balai pustaka,
angkatan pujangga baru, angkatan ’45, angkatan 50-an, angkatan 60-an, angkatan kontemporer
(70-an sampai sekarang). Dalam makalah ini kami akan membahas tentang angkatan 70-an. Di
dalam angkatan70-an mulai bergesernya sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan
wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik dibidang puisi, prosa
maupun drama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya angkatan 70?
2. Apa saja ciri-ciri dari karya sastra pada angkatan 70?
3. Siapa saja pengarang pada angkatan 70?

C. Tujuan Penulisan
Setiap aktivitas kegiatan yang dilakukan pasti memiliki tujuan, demikan pula dengan diskusi
kelompok yang kami lakukan. Adapun tujuan kelompok diskusi kelompok yang kami rumuskan
sebagai berikut :
1. Melalui diskusi kelompok kami berupaya untuk merealisasikan tri darma perguruan
tinggi, khususnya darma kedua yaitu penelitian.
2. Melalui diskusi ini kami dari kelompok lima menghargai perbedaan pendapat, bahkan
antar peserta diskusi.
3. Melalui diskusi kelompok ini kami berupaya ingin menerapkan kemampuan analisis kami
secara operasional yaitu sebagaimana yang diamanahkan oleh materi inquairi atau
kualitas itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Angkatan 70
Munculnya periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di
bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G
30 S/PKI. Abdul Hadi W.M. dan damai Toda menamai sastra Indonesia modern pada tahun
1970-an dengan sastra periode 70-an. Korrie Layuan Rampan cenderung menamai Sastra
Indonesia sesudah angkatan ‘45 dengan nama angkatan ‘80. Perbedaan esensial antara kedua
versi tersebut hanyalah pemberian nama saja, karena keduanya memiliki persamaan, yaitu:
1. Keduanya tidak mengakui adanya angkatan ‘66 yang dicetuskan oleh HB. Jassin.
2. Keduanya meyakini adanya pergeseran wawasan estetik sesudah angkatan ’45.
3. Keduanya memiliki persamaan pandangan tentang tokoh-tokoh pembaruan Sastra
Indonesia Modern sesudah angkatan ’45.
Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas
beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak jelas.
Misalnya, prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat cerpen dengan
panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Dalam bidang drama mereka
mulia menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd atau tidak masuk akal. Sedangkan
dalam bidang puisi mulai ada puisi kontemporer atau puisi selindro.
Periode 70-an telah memperlihatkan pembaharuan dalam berbagai bidang, antara lain :
wawasan estetik, pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Para sastrawan tidak
mengabaikan sesuatu yang bersifat tradisional bahkan berusahan untuk menjadikannya
sebagai titik tolak dalam menghasilkan karya sastra modern.
Konsepsi improvisasi dalam karya sastra dipahami oleh Putu Wijaya. Ia mengatakan bahwa
sebuah novel hanyalah cerita pendek yang disambung, sehingga yang muncul di dalam
penulisan suatu karya sastra adalah faktor ketiba-tibaan. Sebuah novel, drama, atau cerita
pendek ditulis dengan tiba-tiba karena pada saat menulis berbagai ide yang datang
dimasukkan ke dalam ide pokok. Unsur tiba-tiba seperti ini yang disebut dengan uncur
improvisasi.
Perkembangan sastra Indonesia periode 70-an maju pesat, karena banyak penerbitan yang
muncul dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk. Sutardji
menampilkan corak baru dalam kesusastraan Indonesia di bidang puisi. Alasan tersebut
menyebabkaan Sutardji dianggap salah satu tokoh periode 70-an dalam sastra Indonesia.
Pada tahun 1979 Sutardji menerima hadiah sastra dari ASEAN.
Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya cenderung membebaskan kata dalam
membangkitkan kembali wawasan estetik mantra, yakni wawasan estetik yang sangat
menekankan pada magic kata-kata, serta melahirkannya dalam wujud improvisasi. Hal itu
nyata bila diperhatikan sikap puisinya berjudul Kredo Puisi yang ditulis di Bandung tanggal
30 Maret 1973 dan dimuat di majalah Horison bulan Desember 1974.
Angkatan 40 istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya
“Peta-Peta Perpuisian Indonesia 1970-an Dalam Sketsa” yang diajukan dalam diskusi sastra
memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977).
Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya (September 1977) dan dalam
Satyagraha Hoerip (ed) Semua Masalah Sastra (1982).
Menurut Dami, angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya
wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan
“Nyayian Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian Sutarji Calzoum
Bachri, dan cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.

B. Pengarang dan karya-karya sastranya


Sastrawan tahun 1970-an atau angkatan 70-an. Berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya
dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain:
Kelompok pertama yaitu mereka yang termasuk angkatan 66 atau yang telah berkarya pada
tahun 1960-an, telah mulai makin matanng pada tahun 1970-an, yang termasuk sastrawan
dari kelompok ini anntara lain:
1. Abdul Hadi W.M
Karangannya :
a. Laut belum pasang ( kumpulan sajak, 1971)
b. Cermin (kumpulan sajak, a975)
c. Potret panjang seorang pengunjung pantai sanur (1975)
d. Meditasi (kumpulan sajak 1975)
2. Supardi Djoko Damono
Karangannnya:
a. Dukamu abadi (kumpulan sajak 1969)
b. Mata pisau (kumpulan sajak 1974)
c. Akuarium (kumpulan sajak 1974)
d. Sosiologi, sastra (1978)
e. Novel Indonesia Sebelum Perang (1979
3. Goenawan Muhamad
Karangannya:
a. Lautan bernyanyi (drama, 1967)
b. Bila malam bertambah Malam (Novel, 1971
c. Dadaku adalah perisai Ku ( Kumpulan sajak 1974)
d. Anu (drama, 1975)
e. Aduh (drama, 1975)
f. Pabrik (Novel, 1976)
g. Dag dig dug (1977)
h. Stasiun (Novel, 1977)
i. Ms (Novel, 1977
j. Tak cukup sedih (Novel, 1977)

4. Umar Kagam
Karangannya:
a. Seribu kunang dan kunang di mahatta (kumpulan cerpen, 1972)
b. Sri Sumarak dan Buluk ( kumpulan Cerpen, 1975)
c. Totok dan Toni (cerita anak-anak, 1975)
d. Seni, tradisi, masyarakat( kumpulan esei, 1981)

5. Leon Agusta
Karangannya:
a. Catatan Putih (kumpulan sajak, 1975)
b. Di bawah bayang-bayang sang kekasih (novel, 1978)
c. Hukla (kumpulan sajak,1979)

6. Gerson Poyk
Karangannya:
a. Hari-hari pertama (novel,1968)
b. Sang Guru (novel, 1971)
c. Jerat (Kumpulan cerpen, 1975)
d. Mutiara di tengah sawah( kumpulan cerpen, 1984)
e. Nostalgia Nusa Tenggara (kumpulan cerpen, 1976)
f. Cumbulan Sabana (novel, 1979)
Kelompok kedua karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an, yang termasuk golongan
sastrawan golongan ini yaitu:
1. Korrie Layun Rampan
a. Matahan pinsan dan ubun-ubun (kumpulan sajak, 1974)
b. Upacara (novel, 1978)
c. Kekasih (kumpulan cerpen,1981)
2. Entha Ainun Nadjib
Karangannya:
a. “M” Frustasi (kumpulan sajak, 1976)
b. Nyanyian gelandangan (kumpulan sajak, 1981)
3. Hamid Jabbar
Karangannya:
a. Paco-paco (kumpulan sajak, 1974)
b. Dua Warna (kumpulan sajak Bersama Upita Agustina, 1975)
4. Toen Herarti
Karangannya
a. Sajak-sajak 33 (kumpulan sajak, 1973)
5. Putu Arya Tirtawirya
Karangannya:
a. Pasir putih pasir laut (kumpulan cerpen, 1973)
b. Nama saya ari ( novel, 1976)
c. Malam pengantin (kumpulan cerpen, 1974)
d. Pan balang tamak (cerita anak-anak, 1972)
6. Linus Suryadi
Karangannya:
a. Langit kelabu (kumpulan sajak, 1976)
b. Perang troya (cerita anak-anak, 1977)
7. Arswendo Atmowiloto
Karangannya:
a. Penantang tuhan (drama, 1972)
b. Bayang-bayang bauri ( drama, 1972)
c. Surat dengan sampul putih (kumpulan cerpen, 1978)
Kelompok ketiga, mereka yang menghasilkan karya-karya dengan kecenderungan melakukan
bentuk-bentuk ekspenmentasi, yang termasuk dalam dalam golongan ini yaitu :
1. Artin C. Noer
Karangannya:
a. Sumur tanpa dasar 9drama, 1971)
b. Selamat pagi jajang (kumpulan sajak, 1976)
2. Putu Wijaya
Karangannya:
a. Bila malam bertambah malam (novel, 1971)
b. Dadaku adalah perisaiku (kumpulan sajak, 1974)
c. Tak cukup sedih (novel, 1977)
3. Kuntowijoyo
Karangannya:
a. Tidak ada waktu untuk nyonya Fatma, berada dan cartas ( drama, 1972)
b. Isyarat (kumpulan sajak, 1976)
c. Pasar (novel, 1972)
4. Budi darma
Karangannya:
a. Orang-orang bloongminton (kumpulan, cerpen, 1980)
b. Olenka (novel, 1983)
5. Ibrahim Sattah
Karangannya:
a. Daudandit (kumpulan sajak, 1975)
b. Ibrahim (kumpulan sajak, 1980)
6. Adri Darmadji Woko
Karangannya;
a. Boneka mainan ( kumpulan sajak, 1985)
7. Darmanto Jatman
Karangannya:
a. Bangsal 9kumpulan sajak, 1975
8. Yudhistira Ardi Noegraha
Karangannya:
Arjuna mencari cinta (novel, 1977)
Penjarakan aku dalam hatimu (kumpulan cerpen 1979)
C. Ciri-ciri karya sastra pada angkatan 70-an
Penuh semangat eksperimentasi dalam berekspresi, merekam kehidupan masyarakat yang
penuh keberagaman pemikiran dan penghayatan modernitas. Muncul para pembaharu sastra
Indonesia dengan karya-karyanya yang unik dan segar seperti Sutarji Calzoum Bachri dan
Yudhistira Ardi Noegraha dalam puisi, Iwan Simatupang dan Danarto dalam prosa fiksi,
Arifin C. Noer dan Putu Wijaya dalam teater.
1. Puisi
a. Struktur Fisik
 Puisi bergaya bahasa mantra menggunakan sarana kepuitisan berupa ulangan
kata, frasa, atau kalimat.
 Gaya bahasa paralelisme dikombinasikan dengan gaya hiperbola untuk
memperoleh efek yang sebesar-besarnya, serta menonjolkan tipografi.
 Puisi konkret sebagai eksperimen.
 Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk memberikan kesan ekspresif.
 Banyak menggunakan permainan bunyi.
 Gaya penulisan yang prosaik.
 Menggunakan kata yang sebelumnya tabu.

b. Struktur Temantik
 Protes terhadap kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi.
 Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subjek dan bukan objek
pembangunan.
 Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistis.
 Cerita dan pelukisnya bersifat alegoris atau parable.
 Perjuangan hak-hak asasi manusia, kebebasan, persamaan, pemerataan, dan
terhindar dari pencemaran teknologi modern.
 Kritik sosial terhadap si kuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap
mereka yang lemah, dan kritik tentang penyelewengan.

2. Prosa dan Drama


a. Struktur Fisik
1) Melepaskan ciri konvensional, menggunakan pola sastra “asurd” dalam tema,
alur, tokoh, maupun latar;
2) menampakkan ciri latar kedaerahan“warna lokal”.
b. Struktur Tematik
1) sosial: politik, kemiskinan, dan lain-lain
2) kejiwaan
3) metafisik.
D. Peristiwa Penting yang Terjadi Pada Angkatan 70-an
Pada periode ini tercatat beberapa periswa penting, antara lain seperti beriku ini.
1. Pada tahun 1970 H.B Jassin diadili. Majalah yang dipimpinnya dituduh memuat cerita
pendek yang menghina agama islam
2. Tahun 1973 penyair Sutarji Calzoum Bachri mngumumkan kredo puisiny. Masih pada
tahun ini muncul itilah “aliran” Rawangan dari M.S. Hutagalung.
3. Pada bulan September tahun 1974 diselenggarakan “Pengadilan” DI Bandung. Masih
pada bulan September diselenggarkan “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” yang
dilangsungkan di Jakarta.
4. Pada tahun 1975 diselenggarakan Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia, diadakan di
Bandung.
5. Tahun 1977 munculistilah Angkatan 70, dilontarkan oleh Damin N. Toda.
6. Tahun 1980 novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karangan Pramoedya Ananta
Toer dilarang oleh Pemerintah. Demikian pula untuk novel-novel lainnya (1985, 1987,
1988)
7. Pada bulan Agustus tahun 1982 diadakan seminar Peranan Sastra dalam Perubahan
Masyarakat, diselenggarakan di Jakarta.
8. Pada tahun 1898 muncul masalah “sastra kontekstual” serta jadi topik diskusi.
Berikut ini penjelasan tentang peristiwa di atas.
1. Pengadilan atas Cerpen “Langit Makin Mendung”
Majalah Sastra yang dipimpin oleh H.B Jassin pada salah satu nomor penerbitannya
(1968) memuat sebuah cerita pendek ( bersambung) karya Kipanjikusmin ( nama
samaran). Edisi itu dilarang beredar dan disita oleh kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di
Medan. Isi cerita pendek itu di tuduh mnghina Nabi Muhammad serta agama Islam.
Maka, muncul reaksi dar berbagai pihak. Kipanjikusmin menyatakan mencabut cerita
pendek tu (Oktober 1968), sementara H.B. Jassin, selaku penanggung jawab telah
menyatakan permintaan maafnya H.B. Jassin di adili ( 1969, 1970) oleh Pengadilan
Negeri di Jakarta. Ia dijatuhi hukuman percobaan.
2. Kredo Pusi Sutarji Cazoum Bachr
Kredo puisi itu merupakan konsep dan sikap Sutarji Calzoum Bachri. Di muat pertama
kali dalam majalah Horison ( Desember 1974). Isi selengkapnya adalah seperti berikut.
a. Kredo Puisi
Kata-kata bukanah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang
menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk
duduk. Kalau diumpaakan dengan pisau, ia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat
untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-hariannya, kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk
menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai
pengertian
Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kta-kata harus
bebas menentukan dirinya sendiri. Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari
tradisi lapuk yang membelenggu mereka seperti kamu dan penjajahan-penjajahan
seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata-kata tertentu dengan
dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa
menciptakan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang
kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur
pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyung sang terhadap fungsinya.
Maka timbulah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena
telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas
kertas, mabuk dan menelanjang dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali
menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah
dirinya denga bebas, menyatakan dirinya sendiri dengan yang lain ntuk memperkuat
dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling
bertentanan sendirisatu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau
bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan
beronak terhadap pengertian yang ingn dibebankan kepada dirinya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga, sepanjang tidak mengganggu kebebasannya,
agar kehadirannya yan bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa
mendapat aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang beraati mengembalikan
katakata pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menuls
puisi bagi saya adalah mngembalikan kata pada mantera.
30 Maret 1973
Itulah kredo puisi Sutarji. Pada akhirnya ia menyatakan “kredo saya jangan
ditanggapi bahwasaya menerapkan secara mutlak”.
3. Aliran Rawamangun
Sebutan aliran Rawamangun pertama kali diperkenalkan oleh M.S Hutagalung dalam
karangannya di harian Kompas (1973) yang berjudul “Kritik Sastra Aliran
Rawamangun”. Menurut Hutagalung, aliran ini adalah prinsip-prinsip yang pada
dasarnya dianut oleh kami berempat, yakni: M. Saleh Saad, Lukman Ali, S.Effendi dan
saya (Hutagalung), itupun bila saya dapat menangkap dengan baik diskusi-diskusi yang
sering kami adakan.
Selanjutnya Hutagalung menulis, “pusat perhatian peneliti sastra itu sendiri.pengarang
latar belakang sosial, dan sebagainya juga penting untuk memahami sastra, tetapi
janganlah sekali-kali menggeser tempat karya itu sendiri. Dlam istilahasing anggapan
yang disebut ergosentris. Dengan pendekatan yang lebih mentereng, aliran ini disebut
aliran strukturisme.
Para penyusun aliran ini tanpa disadarinya punya prinsip-prinsip yang bersamaan dengan
aliran strukturalisme dalam bidang-bidang linguistik, folklore, dan lain-ain. Jadi
sebenarna kurang tepat bila orang menyebut kritik mereka kritik analisis atau kritik
akademis, sebab analisis bagi aliran ini hanyalah semacam alat untuk memahami lebih
jauh struktur cipta sastra itu.
Yang dimaksud dengan struktur adalah organisasi menyeluruh dari cipta itu yang bahu-
mebahu membangun imaji yang dapat menimbulkan kesan pada penikmat sastra. Sejak
semulapendukung aliran ini yakin bahwa keseluruhan itu dibangun oleh unsur-unsur
yang saling membantu dengan eratnya. Jika pada dasarnya kia harus melihat unsur
tersebut fungsional dalam tugasnya membangun keseluruhan.
Itulah tentang aliran Rawamangun. Istilah aliran Rawamangun ini merupakan salah satu
aliran dalam kritik sastra Indonesia.
4. Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir
Pengadilan puis Indonesi merupakan acara kegiatan sastra yang diadakan di Bandung
padatanggal 8 September 1978. Acara ini berlangsung seperti bermain peran. Puisi
Indonesia mutakhir diadili sebagai “terdakwa”. Hakim ketua Sanento Yuliman, Hakim
anggota Daramanto Jt., Jaksa Slamet Kirnanto, Pembela Taufik Ismail, dan saksi adalah
sejumlah pengarang Indonesia.
Puisi Indonesia mutakhir diadili karena dianggap telah melakukan beragai pelanggaran,
antara lain bersikap ahli inovasi serta peanduan nilai. Berdasarkan hal tersebut, jaksa
memajukan tuntutan kepada terdakwa Puisi Indonesia mutakhir sebagai berikut.
a) agar para kritisi sastra Indonesia egera dipensiunkan dari jabatan mereka sebagai
kritikus.
b) Agar para editor majalah sastra dipensiunkan.
c) Penyair-penyair mapan harus berenti menulis.
d) Penyair-penyair epigon harus dikarantinakan karena dianggap membahayakan bagi
perkembangan puisi.
e) Agar penyair-penyair reinkarnasi dilarang menulis.
f) Agar majalah Horison dan Budaya Jaya diabut surat izin terbitnya.
g) Kepada masyarakat, dialrang membaca majalah Horison.
Itulah tuntutan Jaksa terhadap terdakwa selanjutnya dihadirkan saksi-saksi, antara lain Sutarji
Calzoum Bachri, Saini K.M., Rustandi Kartakusumah. Saksi Saini K.M., menyatakan antara lain
bahwa pengadilan ini tidak sah, karea puisi Indonesia masih di bawa umur.
Setelah semua saksi mengemukakan kesaksiannya, maka tampillah Pembela, Taufik Ismail. Ia
menyatakan pembelaan sebagai berikut.
1. menolak tuntutan pertama ( mempensiunkan kritikus) dengan alasan karena mereka ini
tidak diangkat leh suatu embaga pemerintah. Tuntutan ini lemah karena itu tidak dapat
diterima.
2. Tuntutan yang menyatakan bahwa editor harus diberhentikan juga ditolak, karena kurang
beralasan dan lemah.
3. Tuntutan agar penyair mapan dilarang menulis, tidak masuk akal dan mengekang hah-hak
asasi manusia. Tuntutan ini pun lemah.
4. Tentang epigon-epigon yang dilarang menulis, juga tak dapat dibenarkan sebab merek ini
pada suatu masa bisa menemukan diri sendiri. Tuntutan ini kurang kuat.
5. Tuntutan mengenai penyair reinkarnasi agar diasingkan atau dilarang menulis, jug
mlawan biologi manusia. Padaha mereka ini adalah pelangi-pelangi puisi Indonesia.
Tuntutan ini tdak bisa diterima.
6. Agar majalah Hrison dan budaya Jaya dicabut surat izin terbitny, juga tak dapat diterima.
7. Melarang masyarakat untuk membaca majalah Horison juga tak dapat dibenarkan.
Demikian isi singkat pembelaan Taufik Ismail terhadap terdakwa Puisi Indnesia Mutakhir.
Akhirnya Hakim Sanento Yuliman dan DarmantoYt. Memutuskan ketujuh tuntutan
dinyatakanditolak, dan
1. Para kritikus boleh kembali sebab sebentar lagi akan diadakan sekolah pendidikan
kritikus.
2. Para editor majalah sastra terus melanjutkan pekerjaannya.
3. Para penyair epigon dan mapan terus menulis
4. Majalah sastra Horion tetap terbit, tetapi berubah nama menjadi Horison Baru.
Atas keputusan hakim di atas, jaksa penuntut merasa tidak puas dan menyatakan naik banding
pada pengadilan puisi yang akan datang.
Begitulah pengadilan puisi itu berlangsung setelah peristiwa ini, di Jakarta diadakan acara
jawaban atas pengadilan puisi, yaitu tanggal 21 September 1974, di fakultas Sastra UI Pembicara
di dalam acara ini antara lain H.B Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi
Djoko Damono. Dalam hal ini, kita perlu memandang “ pengadilan” itu sebagai sebuah
pertemuan diskusi yang serius di antara para pengarang atau penyair.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Munculnya periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di
bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G
30 S/PKI.

B. Saran
1. Kepada mahasiswa yang memprogamkan mata kuliah sejarah sastra bisa mengetahui
tentang sejarah sastra .
2. Kepada ibu pembina pada mata kuliah sejarah sastra agar dapat memberikan koreksi
mengenai penyusunan makalah ini.
3. Kepada semua pembaca agar dapat memberikan perbandingan dan pemahaman dari
sumber-sumber yang berbeda tentang debat.
DAFTAR PUSTAKA

http://danririsbastind.wordpress.com/2010/03/10/sastra-ringkasan-ciri-ciri-karya-sastra-tiap-
angkatan/
http://arsyadindradi.blogspot.com/2008/12/penyair-angkatan-70.html
http://jikaku337.wordpress.com/category/mata-pisau/
http://pupudhcvirgo.blogspot.com/2010/10/sejarah-sastra-angkatan-70an.html

Anda mungkin juga menyukai