Anda di halaman 1dari 5

TEORI SASTRA

SEJARAH SEMANTIK ANGKATAN 20

KELOMPOK 3 :
JULISA AGNESTI TABA 200501500007
IRMA ANUGRAH AULIA 200501502008
RIFIATUL AZIZAH 200501500009
RINANDI 200501502011
MELINDA KUSUMA W. DJAPUR 200501501013

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


UNIVERISTAS NEGERI MAKASSAR
2021
PEMBAHASAN
Angkatan 20/Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka biasa disebut dengan Angkatan 20 atau Angkatan Siti Nurbaya.
Sebenarnya hal ini kurang begitu tepat, sebab kegiatan sastra Indonesia sekitar tahun 1920 tidak
semata-mata terbatas pada Balai Pustaka. Di luar Balai Pustaka juga terdapat kegiatan penerbitan
majalah dan buku-buku yang bersifat sastra. Penamaan Angkatan Siti Nurbaya pun sebenarnya
juga kurang tepat, sebab hanya berdasar pada nama sebuah roman.
Nama Balai Pustaka mengacu kepada dua pengertian, yakni Balai Pustaka sebagai nama Badan
Penerbit dan Balai Pustaka sebagai suatu angkatan dalam sastra Indonesia.

Latar Belakang Lahirnya Angkatan Balai Pustaka


Balai Pustaka sebagai suatu nama angkatan dalam sastra Indonesia tidak terlepas dari riwayat
pendirian Balai Pustaka sendiri. Pada akhir abad ke-19 pemerintah banyak membuka sekolah
bumi putra, dengan tujuan untuk mendidik pegawai-pegawai rendahan yang dibutuhkan oleh
pemerintah Belanda. Akan tetapi sekolah-sekolah yang tidak diharapkan akan tumbuh dan
berkembang, justru berkembang makin pesat, banyak masyarakat yang pandai membaca dan
menulis. Melihat minat masyarakat yang pesat dalam hal membaca, maka pemerintah Belanda
merasa khawatir jika rakyat sempat membaca buku-buku dari luar negeri. Oleh karena itu,
pemerintah Belanda kemudian membentuk sebuah komisi yang diberi nama Commissie Voor de
Inlandsche School en Volksslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat dan Sekolah-Sekolah Bumi
Putra). Komisi ini dibentuk pada tanggal 14 September 1908 di bawah pimpinan Dr. G.A.J.
Hazeu. Pada tahun 1917 namanya diganti menjadi Balai Pustaka, dan Balai Pustaka kemudian
berkembang dengan pesat. Adapun hal-hal yang diusahakan oleh Balai Pustaka adalah sebagai
berikut:
Membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat. Jika
tidak dibukukan, lama-kelamaan akan hilang.
Menerjemahkan sastra Eropa yang bermutu dipandang dari segi sastra. Dengan demikian kita
juga dapat berkenalan dengan kesusastraan asing.
Menerbitkan buku-buku bacaan sehat bagi rakyat Indonesia, juga buku-buku yang dapat
menambah pengetahuan dan kecerdasan rakyat. Misalnya, bukubuku yang berisi petunjuk
bagaimana menjaga kesehatan, cara bercocok tanam, beternak, dan sebagainya.

Karakteristik Sastra Balai Pustaka


Sastra Balai Pustaka lahir sekitar tahun 20-an, di mana kehidupan masyarakat kita dalam
masa penjajahan. Di bawah penindasan kaum penjajah, masyarakat kita memiliki sikap, cita-cita,
dan adat istiadat yang isinya memberontak. Hal tersebut karena dalam kehidupan mereka selalu
diwarnai peristiwa-peristiwa sosial dan budaya yang sengaja diciptakan oleh pihak penjajah,
yakni pemerintah Belanda. Hal inilah yang menjadi ciri atau karakteristik sastra pada masa itu.
Umumnya karakteristik sastra suatu periode dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu :
1. Situasi dan kondisi masyarakat
2. Sikap hidup dan cita-cita para pengarang
3. sikap dan persyaratan yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah.

Ciri-ciri karya sastra pada angkatan ’20-an :


1. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal
pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dlll.
2. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan
3. Gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, peribahasa, tapi
menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama
4. Puisinya berupa syair dan pantun
5. Isi karya sastranya bersifat didaktis.

Bunga Rampai Karya Sastra Angkatan 20


Pada paruh pertama abad ke-20, Hindia Belanda mengalami perubahan politik yang cukup
ekstrem, ditandai dengan pergeresan bentuk perjuangan kemerdekaan yang mulai meninggalkan
bentuk-bentuk revolusi fisik. Perjuangan bangsa bergerak ke bentuk perjuangan intelektual.
Perjuangan tersebut didukung dengan semakin banyaknya rakyat pribumi yang mengenyam
pendidikan, bebas buta huruf, dan membuka mata terhadap pergaulan dunia. Perkembangan
sastra pada dekade ini tampak mengalami kemajuan pesat, meninggalkan genre sastra lama yang
didominasi pantun dan gurindam, cenderung istana sentris dan patriarkhi.
Seiring dengan perkembangan tersebut, tak bisa dihindari bahwa ruang baru kesusastraan
menyisakan lorong hitam-gelap tempat menjamurnya karya-karya tulis yang rendah nilai
estetika. Karya-karya tersebut, misalnya, adalah tulisan-tulisan cabul, pornografi, dan tulisan
yang dinilai memiliki misi politis.
Angkatan 20 berawal dari sebuah lembaga kebudayaan milik pemerintah kolonial Belanda,
bernama Volkslectuur, atau Balai Pustaka. Kelahirannya menjadi gairah baru bagi para
sastrawan yang kemudian membentuk periode sastra tersendiri dalam perkembangan sastra
Indonesia, dengan ciri yang khas, dan disebut Angkatan 20 atau Angkatan Balai Pustaka.
Pada era ini, banyak prosa dalam bentuk roman, novel, cerita pendek dan drama, yang
diterbitkan dan menggeser kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat. Karya-karya tersebut
diterbitkan dalam bahasa Melayu-Tinggi, Jawa dan Sunda, serta sejumlah kecil dalam bahasa
Bali, Batak, dan Madura.
Sastrawan yang menonjol karya-karyanya dari angkatan ini adalah Nur Sutan Iskandar, sehingga
mendapat julukan “Raja Angkatan Balai Pustaka.” Di samping itu, dominasi sastrawan yang
berasal dari Minangkabau dan sebagian Sumatra memberi ciri yang unik pada karya sastra
Angkatan 20.

Tokoh dan Karya pada Angkatan ‘20:


1. Merari Siregar : Azab dan Sengsara (1920), Binasa Kerna Gadis Priangan (1931)
2. Marah Roesli : Siti Nurbaya (1922), La Hami (1924)
3. Muhammad Yamin : Tanah Air (1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Ken Arok
dan Ken Dedes (1934)
4. Tulis Sutan Sati : Tak Disangka (1923), Tulis Sutan Sati (1928), Tak Tahu Membalas
Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932)
5. Nur Sutan Iskandar: Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923), Salah Pilih
(1928), Karena Mertua (1932), Karena Mertua (1933), Katak Hendak Menjadi Lembu
(1935), Cinta yang Membawa Maut (1926)
6. Djamaluddin Adinegoro : Darah muda (1927), Asmara jaya (1928),
7. Abas Soetan Pamoentjak : Pertemuan (1927)
8. Abdul Muis : Salah Asuhan (1928), pertemuan Jodoh (1933)
9. Aman Datuk Madjoindo: Menebus Dosa (1932), Si Cebol Rindukan Bulan
(1934),Sampaikan Salkamku Kepadanya (1935)

Beberapa karya sastra yang penting pada tiap-tiap angkatan, yakni sebagai berikut :
Angkatan Balai Pustaka
1. Azab dan Sengsara (roman karya Merari Siregar)
2. Siti Nurbaya (roman Marah Rusli)
3. Salah Asuhan (roman karya Abdul Muis)
4. Tenggelamnya Kapal van Der Wijk (roman karya HAMKA)
5. Sengsara Membawa Nikmat (roman karya Tulis Sutan Sati)
DAFTAR PUSTAKA

https://gudangliterasi.wordpress.com/2018/04/15/karya-sastra-angkatan-20-an/
http://shareforgoodpeople.blogspot.com/2015/03/ciri-dan-karya-sastra-penting-tiap.html
http://dyantezaanggara27.blogspot.com/2014/01/sejarah-sastra-angkatan-1920-1942.html

Anda mungkin juga menyukai