Anda di halaman 1dari 112

SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM PRODUSEN SARUNG SUTERA MANDAR DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG

INDIKASI GEOGRAFIS

Oleh MUH. NUR UDPA NIM. B111 07 173

BAGIAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

HALAMAN JUDUL

PERLINDUNGAN HUKUM PRODUSEN SARUNG SUTERA MANDAR DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI GEOGRAFIS

Oleh

MUH. NUR UDPA NIM B111 07 173

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang senantiasa memberi petunjuk dan membimbing langkah penulis sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada jenjang Studi Strata Stau (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Skripsi ini merupakan semata-mata untuk memberikan kontribusi pemikiran mengenai Perlindungan Hukum Produsen Sarung Sutera Mandar ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari hasil sempurna, karena itu merupakan kebanggaan bagi penulis apabila ada kritik dan saran yang positif sebagai masukan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan untaian terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Hasanudin dan segenap jajarannya 2. Dekan dan segenap jajaran Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 3. Ketua bagian, Sekertaris bagian, dan para dosen di bagian Hukum Perdata, serta dosen-dosen pada Fakultas Hukum Unhas 4. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, di tengah kesibukan dan aktivitasnya, beliau telah bersedia membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si., selaku Pembimbing II yang selalu menyediakan waktunya untuk dapat berdiskusi, membimbing, dan menyemangati penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini

6. Bapak Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H., Ibu Dr. Harustiati A. Moein, S.H., M.H., Bapak Dr. Hasbir, S.H., M.H., selaku tim penguji, atas segala saran dan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini 7. Bapak Muh. Ramli Rahim, S.H., M,H. selaku Pembimbing Akademik (PA), atas segala motivasi, nasihat, serta bantuanbantuan yang diberikan penulis selama kuliah di Fak. Hukum UNHAS. 8. Para staf akademik, Bagian Kemahasiswaan, dan

perpustakaan yang telah banyak membantu penulis 9. Bapak Andi Baso Matunrungan, Ulida Kamaria Rasyid, Bapak Muhammad Amir, S.H., atas segala bantuan dan motivasinya selama ini 10. Ibu Dra. Hj. A. Sainarwana, Bapak Drs. Abbas, Ibu Dra. Lenora, serta para staf UPTD Museum La-Galigo, Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan atas segala bantuan dan motivasinya 11. Ibu Nosema, S.Hi., Bapak Muh. Rusdianto, serta para staf Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan atas segala bantuannya 12. Bapak Victor Teguh P.Bc. IP. S.Sos.M.H dan seluruh keluarga KKN-PH 2010, Lembaga Pemasyarakatan Klas I Makassar, atas segala kisah dan kebersamaannya selama ini 13. Teman-teman penulis, Istihanah Marwan, Sukma Ekawaty Salam, A. Nirmala Dewi, A. Soraya Mirahani, A. Putri Cahaya, All HMP, Muh. Riswan Amir, Asrianto, Muh. Ersyad Indrapraja S., Hendra Dauta, Eka Suci Mauliyani, Harma Satriana D, Fitri Pratiwi Rasyid, Ika Arwiny, Wa Ode Fadilah Yusuf, Sarah Mahardhika, Ika Kurniasi, Ayu Amaliah, Resqy Awwalia,

Nurhidayah Khaeril, Wisdawati Jamal, Andi Ramdhan Adi Saputra, Andi Nur Auliyah, Siti Mashitah Tualeka, Mawar Hidayati, Khalida Yasin, yang mengenalkan penulis betapa bahagianya dapat mengeyam pendidikan di Fak.Hukum Unhas 14. Teman-teman Ekstradisi, Kanda-Kanda Eksaminasi, Adik-Adik Notaris dan Doktrin atas motivasi dan kebersamaannya 15. Keluarga besar UKM Karate-Do Gojukai Fakultas Hukum UNHAS atas motivasi dan kebersamaannya 16. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H., dan Ibunda Hamsia Dahlan yang senantiasa merawat, mendidik, dan memotivasi penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang dari kecil hingga saat ini 17. Kakak penulis, Syahruni Bahrum, S.H., M.H., Jamaluddin, S.Com, Mukhtaruddin Bahrum, S.Hi., M.Hi., Sitti Nadirah, S.Pd., M.Pd., dr. Pauzin Mupidah Bahrum, Rushan Nasyrul Haq Bahrum, S.E., Satriani Hasyim, S.Hi., Mawar Putri Bahrum, S.E., Ak, Zoel Dirga Dinhi, S.E., Ak., Ahsan Indrawan Bahrum, S.Kg yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis 18. Adik penulis, Muh. Irsyad Hasyim, Tri Karta Dinhi, Muh. Silmi Kaffah yang selalu membagi canda dan tawa kepada penulis. Walaupun terkadang penulis sangat menyebalkan bagi mereka 19. Keponakan penulis, Andi Aulia Lailatil Ramadani, Ahmad Marti Ahtisari, Sri Mulyani, Fajriatussoleha, Muntazer Zaidul Haq, Lili Wahid, Almh. Sitti Fatimah yang selalu menjadi pelipur lara ketika penulis menemukan kebuntuan dalam penulisan skripsi 20. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan

pemikiran,

bantuan

materi

maupun

non-materi,

penulis

haturkan terima kasih Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan tersebut dengan segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, Amin. Makassar, Januari 2011

PENULIS

ABSTRAK MUH. NUR UDPA (B11107173), Perlindungan Hukum Produsen Sarung Sutera Mandar ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, dibimbing oleh Ahmadi Miru dan Nurfaidah Said. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perlindungan Hukum Produsen Sarung Sutera Mandar ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian, baik data primer dan data sekunder, dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Setelah itu dideskripsikan, dengan menelaah permasalahan yang ada, menggambarkan, menguraikan, hingga menjelaskan permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Berdasarkan analisis kualitatif terhadap data primer dan data sekunder tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa Perpaduan faktor alam dan faktor manusia pada hasil tenunan Sarung Sutera Mandar memberikan karakteristik dan kualitas pada hasil tenunan. Selain itu, pencantuman nama geografis dibelakang hasil tenunan tersebut memberikan kesempatan pada penenun/produsen Sarung Sutera Mandar untuk melakukan permohonan pendaftaran sebagai produk yang dapat dilindungi dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Berdasarkan PP tentang Indikasi Geografis, pendaftaran Indikasi Geografis dilalui melalui beberapa proses, yaitu proses permohonan, proses pemeriksaan administratif, proses pemeriksaan substantif, pengumuman, sanggahan, hingga pemeriksaan substantif ulang. Selain itu pula, PP tentang Indikasi Geografis menentukan, setiap pihak produsen yang berkepentingan untuk memakai Indikasi Geografis harus mendaftarkan sebagai pemakai Indikasi Geografis ke Direktorat Jenderal. Kurang jelasnya pengertian faktor alam dan faktor manusia dalam PP tentang Indikasi Geografis, kurangnya penyuluhan hukum terkait Indikasi Geografis kepada masyarakat, kurangnya dukungan pemerintah untuk mendaftarkan Sarung Sutera Mandar, serta masih kurangnya pelatihan mengenai penerimaan pendaftaran Indikasi Geografis di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM merupakan beberapa hambatan yang ditemukan penulis dalam hal pemberian perlindungan hukum terhadap produsen Sarung Sutera Mandar.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..i HALAMAN PENGESAHAN ii HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI.. iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iv KATA PENGANTAR v ABSTRAK. viii DAFTAR ISI...... ix BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.1 1.2 Rumusan Masalah...7 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan.8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hak Kekayaan Intelektual dalam Persetujuan TRIPs.9 2.2 Indikasi Geografis..14 2.3 Polewali Mandar 25 2.4 Pakaian Adat Mandar-Sarung Sutera Mandar31 BAB 3 METODE PENULISAN 3.1 Lokasi Penelitian39 3.2 Jenis dan Sumber Data40 3.3 Teknik Pengumpulan Data41 3.4 Analisis Data..42

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlindungan Hukum Produsen Sarung Sutera Mandar. 43 4.1.1 Karakteristik, Kualitas, dan Reputasi43 4.1.2 Pendaftaran Indikasi Geografis73 BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan92 5.2 Saran93 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

Gbr.1 Peta Administratif Kabupaten Polewali Mandar.28 Gbr.2 Sarung Sutera Mandar digunakan sebagai pelengkap dalam tarian Mandar............. 45 Gbr.3 Peralatan Menenun49 Gbr.4 Proses Perendaman/disasai51 Gbr.5 Tahap Menganai Gbr.6 Proses Penenunan dengan Menggunakan Gedokan 54 56

Gbr.7 Sarung Sutera Mandar Sureq PaBicara...60 Gbr.8 Sarung Sutera Mandar Sureq Padhadha.61 Gbr.9 Sarung Sutera Mandar Sureq Komandan Kodim. 65 Gbr.10 Sarung Sutera Mandar Modifikasi dengan memasukan unsur motif tenun BugisMakassar.. 65 Gbr. 11 Sarung Sutera Mandar Modifikasi dengan memberikan hiasan pada bagian badan 66 Gbr.12 Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).. 70

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan hak kebendaan, hak atas sesuatu benda di mana bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio, manusia yang menalar. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai intelektualitas. Tidak semua orang dapat dan mampu memperkerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat menghasilkan Hak Kekayaan Intelektual. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya secara maksimal sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan. Hal tersebut pula yang menyebabkan hak atas kekayaan intelektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat melahirkan hak semacam itu.1 Sejak ditandatanganinya Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) pada tahun 1994, telah dirasakan semakin pentingnya arti dan peran Hak Kekayaan Intelektual dalam dunia perdagangan global. Sebagaimana telah diketahui, Persetujuan Mengenai Aspek-Aspek Dagang yang Terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual
OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Medan, hlm.11
1

Property RightsTRIPs), merupakan salah satu bagian dari persetujuan pembentukan WTO, telah memicu perubahan yang sangat fenomenal dalam perkembangan sistem perlindungan HKI di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu perkembangan sistem perlindungan HKI di Indonesia yaitu dengan berubahnya perangkat peraturan perundang-undangan yang telah ada di bidang HKI, serta tersusunnya penetapan peraturan perundangundangan untuk bidang HKI yang baru. Sebagai realisasinya, kini Indonesia telah memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan yang lengkap dan moderen di bidang HKI yaitu UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek, UU No.31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, UU No.32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, dan UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Peraturan perundang-undangan tentang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia dalam cakupan intellectual property rights tidak secara utuh diatur dalam undang-undang tersendiri, beberapa aturan digabungkan dalam satu undang-undang. Salah satunya yaitu pengaturan tentang Neighbouring Rights yang diatur dalam UU Hak Cipta, utility models (UU di Indonesia tidak mengenal istilah ini tetapi menggunakan istilah paten sederhana) diatur

dalam UU Paten, demikian pula pengaturan tentang geographical indications (Indikasi Geografis) diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 58 UU Merek.2 Sebagaimana halnya dengan merek, geographical indications (Indikasi Geografis) merupakan salah satu bentuk kekayaan intelektual yang wajib diupayakan perlindungan bagi negara-negara anggota World Trade

Organization. Ketentuan mengenai hal tersebut tertuang dalam Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs) khususnya Article 22 sampai dengan Article 24. Berdasarkan Pasal 56 ayat (9) UU No.15 tahun 2001 tentang Merek yang mengatur ketentuan mengenai tata cara pendaftaran Indikasi Geografis akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka disusunlah Peraturan Pemerintah (PP) No.51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis yang dimaksudkan untuk mengatur secara menyeluruh ketentuan pelaksanaan UU No.15 tahun 2001 tentang Merek mengenai Indikasi Geografis. Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang tanpa disadari sudah lama ada dan secara tidak langsung dapat menunjukkan adanya kekhususan pada suatu barang yang dihasilkan dari daerah tertentu. Tanda dimaksud selanjutnya dapat digunakan untuk menunjukkan asal suatu barang, baik yang berupa hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau
2

OK. Saidin, Op. Cit., hlm. 16

barang lainnya, termasuk barang mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang. Penunjukan asal suatu barang merupakan hal penting, karena pengaruh dari faktor geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut di daerah tertentu tempat barang tersebut dihasilkan dapat memberikan ciri dan kualitas barang yang dipelihara dan dapat dipertahankan dalam jangka waktu tertentu akan melahirkan reputasi (keterkenalan) atas barang tersebut, yang selanjutnya memungkinkan barang tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi. 3 Indonesia merupakan negara megadiversity, negara dengan

keragaman budaya dan sumberdaya, baik sumberdaya alami maupun sumberdaya manusia dari segi budaya. Banyak produk unggulan daerah yang telah dihasilkan Indonesia dan berpotensi mendapatkan tempat di pasar internasional.4 Kopi Arabika Gayo asal Provinsi Aceh Kabupaten Aceh Tengah, Kopi Arabika Lintong/Mandalilling asal Provinsi Sumatera Utara Kabupaten Lintongnihuta, Kayu Manis Kerinci asal Provinsi Jambi Kabupaten Kerinci, Kopi Robusta Lampung asal Provinsi Lampung Kabupaten Lampung, dan Telur Asin Brebes asal Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Brebes

Direktorat Jenderak Hak Kekayaan Intelektual Departement Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kompilasi Undang-Undang Republik Indonesia di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Japan Internasional Co-operating Agency. 4 Direktorat Kerjasama dan Perdagangan Internasional, 2004, Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia dengan pengembangan Indikasi Geografis.

merupakan beberapa contoh produk unggulan daerah yang berpotensi mendapatkan tempat di pasar internasional.5 Selain dari produk tersebut, terdapat pula Sarung Sutera Mandar asal Provinsi Sulawesi Barat. Sarung Sutera Mandar yang merupakan hasil kerajinan yang dikembangkan masyarakat Sulawesi Barat (Sulbar) ini memiliki potensi menembus pasar ekspor. Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Provinsi Sulbar mengatakan, produksi Sarung Sutera Mandar memiliki kualitas ekspor, sehingga bisa bersaing dengan produk serupa dari daerah lain.6 Sarung Sutera Sulbar, yang telah menjadi icon pemerintah kabupaten Polewali Mandar, memiliki ciri khas tersendiri dari teknik pembuatan sarung sutera. Teknik pembuatan yang berbeda, menghasilkan sarung sutera dengan kerapatan tenunan lebih baik daripada produk sarung sutera daerah lainnya. Tidak hanya dari sisi kualitas kerapatan, Sarung Sutera Mandar terkenal dengan motif (dalam bahasa Mandar motif disebut Surre) tenunan yang berbeda dan membawa ciri khas tersendiri. Kotak-kotak yang berukuran kecil dengan warna coklat tua agak kehitam-hitaman, biru kelam, dan merah hati merupakan salah satu motif dan warna, ciri khas dari daerah Mandar.7
5 6

www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14871 http://regional.kompas.com/read/2010/01/15/21335463/Peluang.Ekspor.Ada.di.Sarung.S utera.Sulbar 7 Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Ujung Pandang, 1982, Sekilas Lintas Mengenai Motif-Motif Ornamen dan Ragam Hias Daerah Sulawesi-Selatan, hlm: 23

Terdapat beberapa jenis motif dalam Sarung Sutera Mandar, jenis-jenis motif tersebut memiliki makna tersendiri bagi pemakainya, contohnya Surre LokoLoko (di mana loko-loko merupakan nama si-penenun), Surre Datu (Datu berarti raja), dan Surre Puang Lembang (Puang Lembang artinya penghulu).8 Jika ciri khas dipertahankan dan dijaga konsistensi mutu tingginya maka produk tersebut akan tetap mendapatkan pasaran yang baik, sebaliknya bila ciri khas dan mutu produk tersebut tidak konsisten maka nilainya akan merosot. Suatu produk yang bermutu khas tentu banyak ditiru orang sehingga perlu diupayakan perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk tersebut. Beberapa kasus telah membuktikan bahwa nama produk Indonesia seperti kopi Mandailing atau Mandheling Coffee digunakan untuk produk lain atau diisi dengan kopi yang berasal dari daerah lain bahkan negara lain. Tidak hanya sebatas penggunaan tanda yang telah disalahgunakan oleh negara lain di mana menunjukkan produk berasal dari Indonesia, salah satu contoh lainnya yang dapat dijadikan bahan renungan yaitu produk asal Indonesia, Toraja-Sulawesi Selatan, kopi Toraja yang telah beralih

kepemilikan oleh Perusahaan Key Coffe asal Negara Jepang. Jepang telah

Album Tenun Tradisional. Aceh-Sumatera Barat-Sulawesi Selatan-Nusa Tenggara Barat. hlm. 54-61

mendaftarkan kopi Toraja sebagai Hak Kekayaan Intelektual negaranya pada tahun 2000.9 Sarung Sutera Mandar yang melekatkan kawasan daerah atau wilayah geografis tempat diproduksinya, berpotensi untuk dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila telah terdaftar dalam daftar umum Indikasi Geografis di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut Direktorat Jenderal). Pendaftaran tersebut dapat mencegah produk-produk unggulan buatan Indonesia, termasuk Sarung Sutera Mandar, digunakan dan diambil alih kepemilikannya oleh negara lain. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu Sejauh manakah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis memberikan Perlindungan Hukum kepada Produsen Sarung Sutera Mandar?

http://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-PotensiIndikasi-Geografis-Indonesia

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1.3. 1 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu untuk mengetahui Perlindungan Hukum yang diberikan Kepada Produsen Sarung Sutera Mandar ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis. 1.3.2 Kegunaan Penulisan Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini yaitu diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai perlindungan hukum

Produsen Sarung Sutera Mandar ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hak Kekayaan Intelektual dalam Persetujuan TRIPs TRIPs merupakan instrumen hukum Internasional. Berdasarkan Statuta of International Court of Justice (ICJ) atau Statuta Mahkamah Internasional, perjanjian merupakan salah satu sumber pokok hukum internasional. Namun, TRIPs bukanlah titik awal tumbuhnya konsep Hak Kekayaan Intelektual. Berbagai konvensi internasional telah sejak lama dilahirkan dan telah beberapa kali diubah. Secara signifikan dan menjadi dasar utama bagi konsep industrial property yaitu Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention), sedangkan untuk bidang copyright yaitu Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Berne Convention).10 Paris Convention merupakan konfrensi pertama yang membicarakan perlindungan bagi inventor, yang diselenggarakan di Wina tahun 1873 dan dilanjutkan di Paris tahun 1878. Paris Convention diubah beberapa kali dan terakhir tahun 1967 di Stockholm dan diubah lagi pada tahun 1979.11 Paris

Achmad Zen Umar Purba 2005, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Jakarta, hlm.21 11 Indonesia ikut serta meratifikasi Paris Convention tanggal 18 Desember 1979 melalui Keputusan Presiden No.24 tahun 1979 tanggal 18 Desember 1979 dan juga menjadi anggota Paris Union.

10

Convention berlaku terhadap Hak Kekayaan Industrial (Industrial Property) dalam pengertian luas termasuk paten, merek, desain industri, utility models, nama dagang, Indikasi Geografis serta pencegahan persaingan curang. TRIPs mengharuskan negara-negara anggota mematuhi ketentuan dalam Art.1 sampai dengan 12, serta Art. 19 dari Paris Convention. Berne Convention12 termasuk menjadi rujukan dalam TRIPs setelah Paris Convention. Sesuai dengan namanya, Berne Convention mengatur mengenai cabang kedua dari Hak Kekayaan Intelektual yaitu hak cipta dan pararel dengan Paris Convention, Berne Convention merupakan pelopor kesepakatan internasional di bidang tersebut. TRIPs mengharuskan negaranegara anggotanya mematuhi Art.1 sampai dengan Art.21 Berne Convention beserta lampirannya. Namun demikian, hal tersebut tidak berlaku dalam hubungannya dengan hak yang diberikan Art.6 bis, yaitu pengaturan tentang merek terkenal. Berne Convention memiliki tiga prinsip dasar yaitu:13 1) Terhadap karya dari satu negara diberikan perlindungan yang sama di tiap negara anggota konvensi, sebagaimana yang diberikan kepada karya dari negara asalnya; 2) Perlindungan di atas tidak boleh kondisional harus otomatis; dan
Indonesia merupakan salah satu negara anggota Berne Convention sejak tanggal 5 September 1997 melalui Keputusan Presiden No.18 Tahun 1997. 13 Achmad Zen Umar Purba, Op. Cit., hlm.44
12

3) Perlindungan independen. Berne Convention menguraikan mengenai ketentuan-ketentuan

pembentukan Union (dimaksudkan untuk melindungi hak para pencipta atas karya-karya seni dan sastra mereka), perlindungan karya cipta, kriteria pemberian perlindungan, kriteria perlindungan bagi karya-karya

sinematografi; arsitektur; dan karya artistik tertentu, hak-hak yang diberikan, pembatasan perlindungan atas karya tertentu dan Warga Negara Bukan anggota Union, jangka waktu perlindungan, perlindungan karya bersama, hak menerjemahkan, hak reproduksi, penggunaan bebas karya-karya yang dilindungi, ketentuan lebih jauh mengenai penggunaan secara wajar (fairuse), hak eksklusif bagi karya-karya drama dan musik, penyiaran dan hakhak terkait, hak-hak tertentu dalam karya sastra, hak untuk adaptasi; penataan (Arrangement); dan perubahan lain, pembatasan hak perekaman karya musik dan kata-kata yang melekat, sinematografi dan hak-hak terkait, ketentuan khusus mengenai karya sinematografi, droit de suite atas karya seni dan manuskrip, pelaksanaan perlindungan hak, perbanyakan yang merupakan akibat pelanggaran hak, pengawasan atas sirkulasi serta pemaparan dan pameran karya cipta, karya cipta pada saat berlakunya

konvensi, perlindungan yang lebih besar, hingga ketentuan mengenai perjanjian-perjanjian khusus.14 Pada hakikatnya, TRIPs mengandung empat kelompok pengaturan. Pertama, yang mengaitkan Hak Kekayaan Intelektual dengan konsep perdagangan internasional. Kedua, yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mematuhi Paris Convention dan Berne Convention. Ketiga,

menetapkan aturan atau ketentuan sendiri. Keempat, yang merupakan ketentuan atas hal-hal yang secara umum termasuk upaya penegakan hukum yang terdapat dalam legislasi negara-negara anggota. Di samping merujuk Paris Convention dan Berne Convention, TRIPs merujuk beberapa perjanjian internasional lain seperti perjanjian International Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organization (Rome Convention), dan Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuit (Washington Treaty). 15 Ciri-ciri pokok persetujuan TRIPs ini pada dasarnya berpola pada tiga hal, yaitu: 1) TRIPs lebih berpola pada norma-norma dan standar-standar yang berbeda dari persetujuan-persetujuan internasional lain, terutama perjanjian-perjanjian di bidang perdagangan barang

14 15

Ibid., hlm. 45-51 Ibid., hlm.22

(Trade in Goods), yang lebih banyak berpola pada aspek-aspek yang konkret seperti akses ke pasar dan tarif; 2) Sebagai persyaratan minimal, TRIPs menetapkan sebagai salah satu cirinya yaitu Full Compliance terhadap beberapa perjanjian internasional di bidang HKI; 3) TRIPs memuat ketentuan-ketentuan mengenai penegakan

hukum yang ketat berikut mekanisme penyelesaian sengketa yang diberi sarana berupa hak bagi negara yang dirugikan untuk mengambil tindakan-tindakan batasan di bidang perdagangan secara silang. Selain ketiga ciri di atas, terdapat tiga unsur lainnya yang terkandung dalam TRIPs yang perlu dicermati oleh negara-negara yang bermaksud untuk menyesuaikan perundang-undangan nasionalnya di bidang HKI. Ketiga unsur yang dimaksud yaitu unsur-unsur yang berupa norma-norma baru, standar-standar yang lebih tinggi, dan penegakan hukum yang ketat. Persetujuan TRIPs diadakan dengan maksud untuk mengurangi gangguan (distortion) dan hambatan (impediment) dalam perdagangan internasional dan kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HKI dan untuk menjamin bahwa proses serta langkah-

langkah penegakan hukum HKI itu sendiri tidak menjadi hambatan terhadap perdagangan. 16 2.2 Indikasi Geografis Sebagai salah satu rezim dari perjanjian TRIPs, pengaturan Indikasi Geografis tentu saja harus berdasarkan tujuan utama dari TRIPs. Tujuan utama dari TRIPs yaitu untuk mempromosikan perlindungan yang efektif dan kuat bagi Hak Kekayaan Intelektual, selain itu pula untuk menjamin bahwa Hak Kekayaan Intelektual tidak akan menjadi salah satu aspek non-tarif yang menghalangi arus barang dan jasa dalam perdagangan internasional. Indikasi Geografis diatur secara independen dalam bagian 3 Pasal 22-24, perjanjian TRIPs. Sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) perjanjian TRIPs, Indikasi Geografis adalah: Indikasi yang menandakan bahwa suatu barang berasal dari wilayah teritorial negara anggota, atau dari sebuah daerah atau daerah lokal didalam wilayah territorial itu, yang membuat kualitas, reputasi, atau karakter-karakter khusus lain dari barang tersebut dapat dikaitkan secara esensial kepada asal geografis barang itu. Definisi ini sejalan dengan pengertian Indikasi Geografis yang terdapat dalam sistem hukum di lingkungan komunitas Eropa (Eurpoean

Community/EC) atau Uni Eropa (European Union/EU), yang mengaturnya sebagai Indikasi Geografis yang dilindungi (protected geographical

16

Rachmadi Usman, 2006, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Bandung, hlm.41

indications/PGI), kata dilindungi ditambahkan dalam penyebutan Indikasi Geografis dalam hukum tersebut. Penambahan ini dimaksudkan untuk membedakan Indikasi Geografis yang telah memperoleh perlindungan hukum di tingkat komunitas Eropa dengan perlindungan hukum di tingkat nasional. Indikasi Geografis yang belum mendapat perlindungan di tingkat komunitas Eropa biasanya telah mendapat perlindungan, tetapi hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan tingkat nasional salah satu Negara

Komunitas Eropa saja.17 Indikasi Geografis yang dimaksudkan dalam perjanjian TRIPs yaitu tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, di mana reputasi, kualitas, dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa asal suatu barang yang melekat dengan reputasi, karakteristik, dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis. Peran positif nama asal barang terhadap goodwill atau karakteristik lainnya yang secara langsung dapat menaikkan keuntungan ekonomis dari perdagangan barang tersebut harus ada. Singkatnya, nama itu

Miranda Risang Ayu, 2006, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual-Indikasi Geografis, Alumni, Bandung, hlm. 42

17

sendiri harus memiliki reputasi. Reputasi merupakan salah satu elemen proteksi yang disebutkan secara eksplisit oleh perjanjian TRIPs.18 Terdapat dua kewenangan yang diberikan TRIPs kepada negara anggotanya untuk mencegah pihak lain melanggar hak berdasarkan Indikasi Geografis, yaitu:19 1) Penggunaan setiap cara penunjukkan barang yang merujuk atau menjanjikan bahwa barang tersebut berasal dari daerah geografis, selain dari tempat asal yang sebenarnya sehingga menyesatkan publik mengenai asal geografis dari barang tersebut; dan 2) Setiap penggunaan yang menunjukkan adanya perbuatan

persaingan curang menurut Pasal 10 bis Paris Convention (1967). Adanya rujukan pada Art. 10 bis Paris Convention (1967) ini menunjukkan bahwa Indikasi Geografis seperti juga bidang-bidang Hak Kekayaan Intelektual yang lain, di mana sangat berkaitan dengan upaya pencegahan persaingan curang. Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU Merek mengatur bahwa Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,

18 19

Ibid, hlm. 43 Achmad Zen Umar Purba, Op. Cit., hlm.76

faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Berdasarkan Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Merek, bahwa Indikasi Geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas, reputasi, dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut. Tanda yang digunakan sebagai Indikasi Geografis dapat berupa etiket atas label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dan unsur-unsur tersebut. Pengertian nama tempat dapat berasal dari nama yang karena pemakaian secara terus-menerus sehingga dikenal sebagai nama tempat asal barang yang bersangkutan. Perlindungan Indikasi Geografis meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan, atau hasil industri tertentu lainnya. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) PP No.51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, pengertian Indikasi Geografis adalah: Suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Berdasarkan PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, pada Pasal 2 menentukan bahwa tanda yang dimaksudkan dalam Pasal 1 angka (1) merupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkan barang yang dilindungi oleh Indikasi Geografis. Barang dalam hal ini dapat berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) PP No.51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Selain sebagai tanda pembeda, aspek-aspek khusus dari nama asal barang ini juga harus memiliki nilai ekonomis. Hal tersebut berarti bahwa nama asal itu tidak hanya harus berfungsi untuk membedakan suatu barang dari barang lainnya, tetapi juga harus jelas bahwa tempat asal ini memiliki pengaruh yang besar terhadap peningkatan kualitas atau mutu barang tersebut, sehingga meningkat pula harga jualnya.20 Jika dilihat dari segi rumusan, definisi Indikasi Geografis berdasarkan TRIPs Pasal 22 ayat (1) dengan ketentuan Indikasi Geografis pada Pasal 56 ayat (1) UU Merek dan Pasal 1 angka (1) PP No.51 tahun 2007, di mana ketiga definisi tersebut terdiri dari dua hal pokok yaitu tanda yang menunjukkan suatu daerah asal atau barang yang dipengaruhi oleh faktor

20

Miranda Risang Ayu, Op. Cit., hlm. 43

alam dan atau manusia serta memaparkan bahwa produk dari barang yang dihasilkan tersebut memiliki ciri dan kualitas. Perlindungan Indikasi Geografis pada dasarnya tidak terbatas pada produk pertanian saja, semua produk yang memiliki keterkaitan dengan faktor geografis termasuk faktor alam dan atau manusia sebagai dominasi terbentuknya ciri khas dan kualitas serta telah dikenal keberadaannya dapat dilindungi sebagai Indikasi Geografis. Pada bidang produk-produk pertanian, Indikasi Geografis tampak dari hubungan terkuat antara produk dengan karakter tanah yang menghasilkan bahan mentah dari produk tersebut. Misalnya, anggur merah Connawarra Australia. Anggur ini terkenal karena kekhasan rasa yang timbul dari tanah merah Connawarra yang bernama terrarosa. Singkatnya, secara sekilas, produk Indikasi Geografis tampak bergantung kepada tanah. Meskipun demikian, aspek-aspek yang

memengaruhi karakter suatu barang yang bisa dilindungi dalam rezim Indikasi Geografis sebetulnya dapat juga berasal dari unsur alam yang bukan tanah. Beberapa negara, terutama yang menjadi penandatanganan

Perjanjian Lisabon 1958 dan memiliki produk-produk Indikasi Geografis yang kaya atau amat signifikan bagi peningkatan devisanya, telah mengartikan pengaruh lingkungan tidak saja dalam arti pengaruh unsur-unsur tanah. 21

21

Ibid, hlm. 31

Pengaruh lingkungan ini juga diartikan secara lebih luas sebagai pengaruh lingkungan alam sebagai totalitas, seperti cara pandang yang dianut dalam Konvensi Internasional tentang Keanekaragaman Hayati (the International Convention on Biodiversity). Berdasarkan konteks tersebut, lingkungan alam dapat juga dipandang sebagai suatu kesatuan alamiah yang dapat juga mencakup faktor manusia, yakni penduduk asli, yang tidak terpisahkan dari lingkungan tersebut. Hal tersebut disebabkan karena TRIPs tidak secara spesifik menentukan aspek-aspek ini selain bahwa aspek-aspek itu harus secara signifikan menentukan kualitas, reputasi atau karakterkarakter khusus lain dari suatu barang, aspek-aspek lingkungan ini dapat saja diartikan secara luas.22 Indikasi Geografis pada pokoknya memuat empat elemen dasar yaitu:23 1) Penentuan wilayah penghasil produk 2) Spesifikasi metode produksi 3) Spesifikasi kualitas produk 4) Nama dan reputasi tertentu yang membedakan dari produk yang sejenis

22 23

Ibid, hlm. 32 www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14872

Berbeda dengan kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual lainnya yang bersifat individu, Indikasi Geografis kepemilikan haknya bersifat kolektif. Hak kolektif diartikan bahwa tiap orang yang berada dalam daerah penghasil produk dan mereka yang diizinkan untuk itu, dimungkinkan untuk bersamasama memiliki hak dan menggunakan nama Indikasi Geografis pada produksinya sepanjang syarat-syarat yang telah ditentukan secara bersamasama dalam buku persyaratan bisa dipenuhi.24 Buku persyaratan merupakan suatu syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi tiap-tiap pihak yang akan mendaftarkan produk Indikasi Geografis. Sesuai dengan Pasal 1 angka (9) PP No.51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, buku persyaratan adalah: suatu dokumen yang memuat informasi tentang kualitas dan karakteristik yang khas dari barang yang dapat digunakan untuk membedakan barang yang satu dengan barang yang lainnya yang memiliki kategori sama. Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) PP No. 51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, buku persyaratan harus memuat: a. Daftar isi; b. Nama Indikasi Geografis yang dimohonkan pendaftarannya; c. Nama barang yang akan dilindungi Indikasi Geografis; d. Uraian karakteristik dan kualitas yang membedakan barang tertentu dengan barang lain, dimana memiliki kategori yang sama
24

Ibid., Hlm.2

dan menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut dihasilkan; e. Uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan; f. Uraian tentang batas-batas wilayah dan/atau peta daerah yang dilindungi oleh Indikasi Geografis. Peta yang dimaksud disini adalah peta geografis bukan peta administratif wilayah; g. Uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian Indikasi Geografis untuk memadai barang yang dihasilkan didaerah tersebut termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai Indikasi Geografis tersebut; h. Uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengelolaan, dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan setiap produsen di daerah tersebut dapat

memproduksi, mengolah, atau membuat barang terkait; i. Uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan; j. Label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi Geografis sebanyak sepuluh lembar maksimal 9X9 cm minimal 5X5 cm;

k.

Daftar pustaka, rujukan yang digunakan dalam penulisan buku persyaratan;

l.

Daftar lampiran.

Pasal 56 ayat (2) PP No.51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menentukan bahwa yang berhak mengajukan permohonan adalah: a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, terdiri atas: - Pihak yang mengusahakan barang hasil alam atau kekayaan alam - Produsen barang hasil pertanian - Pembuat barang hasil hasil kerajinan tangan atau barang hasil industri; atau - Pedagang yang menjual barang tersebut b. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau c. Kelompok konsumen barang tersebut. Berdasarkan Pasal 3 PP No.51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menentukan bahwa, terdapat beberapa kategori Indikasi Geografis yang tidak dapat didaftarkan, yaitu apabila tanda yang dimohonkan pendaftarannya: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum;

b. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai ciri, sifat, kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; c. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau d. Telah menjadi generik. Indikasi yang bersifat generik merupakan indikasi mengenai suatu barang yang telah menjadi milik umum karena sering digunakan dalam bahasa sehari-hari. Menurut Frederick Abbott, isu Indikasi Geografis memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi promosi produk yang mempunyai karakter tertentu serta membawa manfaat bagi wilayah tempat produk tersebut dibuat

(manufactured) atau dipasarkan. Kedua, Indikasi Geografis merupakan sumber informasi penting untuk konsumen pada pasar yang sangat beragam dalam kaitan dengan asal, kualitas serta reputasi produk yang

bersangkutan.25

25

Achmad Zen Umar Purba, Op. Cit., hlm. 76

Adapun manfaat perlindungan Indikasi Geografis yaitu:26 1) Memperjelas identifikasi produk dan menetapkan standar produksi serta standar proses diantara para pemangku kepentingan Indikasi Geografis; 2) Menghindari terjadinya praktik persaingan curang dalam

perdagangan, memberikan perlindungan bagi konsumen dari penyalahgunaan reputasi Indikasi Geografis dengan cara menjual produk yang berasal dari daerah lain yang memiliki karakteristik berbeda bahkan lebih rendah; 3) Jaminan pada kualitas produk yang dilindungi Indikasi Geografis sebagai produk asli memberikan kepercayaan pada konsumen; 4) Membina para produsen lokal dan mendukung koordinasi serta memperkuat organisasi sesama pemegang hak dalam rangka menciptakan, menyediakan, dan memperkuat citra nama dan reputasi produk. 2.3 Polewali Mandar Kabupaten Polewali Mandar (sering disingkat Polman) merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Barat, Indonesia. Sebelum dinamai Polewali Mandar, daerah ini bernama Kabupaten Polewali Mamasa disingkat
26

Polmas,

yang

secara

administratif

berada

dalam

wilayah

www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14872

Provinsi Sulawesi

Selatan.

Setelah

daerah

ini

dimekarkan tersendiri, Mandar.

dengan maka Nama

berdirinya Kabupaten nama Polewali

Mamasa sebagai diganti

kabupaten

Mamasa pun

menjadi Polewali

Kabupaten ini resmi digunakan dalam proses administrasi Pemerintahan sejak tanggal 1 Januari 2006 setelah ditetapkan dalam bentuk PP No.74 Tahun 2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang perubahan nama Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mandar. Kabupaten Polewali Mandar merupakan salah satu diantara lima Kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, yang terbentuk

berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran ex-Daerah Swatantra (Afdeling) Mandar yang menjadi tiga kabupaten atau daerah tingkat II, yang dimekarkan berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 1959 yaitu:

1) Kabupaten Majene, meliputi bekas Swapraja Majene, Swapraja Pamboang, dan Swapraja Cenrana (sendana); 2) Kabupaten Mamuju, meliputi bekas Swapraja Mamuju dan Swapraja Tappalang; 3) Kabupaten Polewali Mamasa, yang meliputi Swapraja Balanipa dan Swapraja Binuang yang termasuk dalam Onder Afdeling Polewali dan Onder Afdeling Mamasa.

Kabupaten Polewali Mandar secara geografis terletak antara 2400033200 LU dan 1184027-1193227 BT dan dibatasi pada Kabupaten Mamasa (sebelah utara), Kabupaten Pinrang (sebelah Timur), Selat Makassar (sebelah selatan), dan Kabupaten Majene (sebelah Barat). Luas wilayah Polewali Mandar adalah 2.022,30 km, dan secara administrasi kepemerintahan, Polewali Mandar terbagi menjadi 16 kecamatan. Jumlah Penduduk Kabupaten Polewali Mandar pada tahun 2008, berjumlah 371.420 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk per-tahun 0,50%, jumlah penduduk tersebut terbagi habis ke dalam 79.768 rumah tangga, di mana rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebesar 4-5 jiwa. Kecamatan Campalagian merupakan Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar, yaitu sebesar 50.991 jiwa. Sedangkan yang terkecil adalah Kecamatan Matangnga sebesar 4.910 jiwa. Kepadatan penduduk rata-rata di Polewali Mandar sebesar 184 jiwa per Km2. Kabupaten Polewali Mandar mempunyai 16 Kecamatan yaitu Kecamatan Allu, Anreapi, Balanipa, Binuang, Bulo, Campalagian, Limboro, Luyo, Mapilli, Matakali, Matangnga, Polewali, Tapango, Tinambung, Tutallu, dan Wonomulyo.27

27

http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Kecamatan_di_Kabupaten_Polewali_Mandar

KABUPATEN MAMASA

MATANGNGA

BULO

G N RA N L PI E N L-S TE U A .S UP P B RO KA P

TUBBI TARAMANU

TAPANGO ANREAPI MATAKALI LUYO MAPILLI POLEWALI BINUANG

KABUPATEN MAJENE

WONOMULYO ALU

LIMBORO CAMPALAGIAN BALANIPA TINAMBUNG

SELAT MAKASSAR

Gambar 1. Peta Administratif Kabupaten Polewali Mandar

Kabupaten Polewali Mandar secara umum terdiri atas 2 (dua) bagian wilayah, yaitu: 1) Bagian Wilayah Pantai (dataran rendah) yang terdiri dari 8 (delapan) wilayah Kecamatan, meliputi: Kecamatan Binuang, Kecamatan Matakali, Polewali, Kecamatan Kecamatan Balanipa, Wonomulyo, Kecamatan Kecamatan Campalagian,

Kecamatan Tinambung, dan Kecamatan Mapilli. 2) Bagian Wilayah Bukit dan Pegunungan yang meliputi 8 (Delapan) Kecamatan: Kecamatan Anreapi, Kecamatan Luyo, Kecamatan Tubbi Taramanu, Kecamatan Alu, Kecamatan Limboro,

Kecamatan Matangnga, Kecamatan Tapango dan Kecamatan Bulo.

Kegiatan industri kecil menengah di Provinsi Sulawesi Barat pada umumnya dan Kabupaten Polewali Mandar pada khususnya merupakan kegiatan penggerak ekonomi kerakyatan yang melibatkan masyarakat sampai ke pelosok pedesaan. Berikut gambaran bidang usaha yang digeluti oleh masyarakat Kabupaten Polewali Mandar Jumlah Nilai Produksi dan Nilai Investasi Pada Industri Kecil di Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2007
Nilai Investasi (Rp. 000,-) 72.000 2.248.000 47 196 16.244.100 18.664.343 Nilai Produksi (Rp. 000,-) 653.346 20.975.000 654 6.000.000 55.116.800 82.746.400

No 1 2 3 4 5

Bidang usaha Industri Gerabah Industri Pertenunan Kain Sutera Industri Kerajinan Tempurung Industri Pengupas Kemiri dan Kakao Industri lainnya JUMLAH

Sumber: Polewali Mandar Dalam Angka Tahun 2008 (telah diolah)28 Kosa kata Mandar diangkat dari bahasa Baqba Binanga Mandar yaitu "Mandaraq yang sama dengan Paindo dan berarti bercahaya (yang mengeluarkan cahaya yang kemilau). Kata ini diturunkan dari suatu keterangan, bahwa pada masa dahulu ada sebuah gunung dalam daerah Arayang Sendana Kabupaten Majene yang selalu mengeluarkan cahaya kemilau seperti emas karena tanahnya memang bercampur dengan butir-

Baso A. Matturungan, 2008, Analisis Manajemen Industri Kecil Di Kabupaten Polewali Mandar, Tesis, Fakultas Manajemen STIA LAN, Makassar, hlm: 4

28

butir tanah yang berwarna kemilau seperti emas. Cahaya kemilau gunung inilah kemudian diangkat kata bercahaya yang dalam bahasa Mandar disebut Mandaraq.Kata Mandaraq yang diangkat menjadi kosa kata Mandar tersebut di atas dapat pula berarti mendarat (naik ke darat). Maksudnya bahwa nenek moyang orang Mandar datang dari seberang yaitu dimulai dari persebaran pertama oleh manusia-manusia rakit Proto Melayu (Melayu Tua) menempati pesisir pantai nusantara. Kemudian disusul oleh kedatangan manusiamanusia rakit Melayu Baru yang juga datang menempati pesisir pantai dan mengakibatkan Proto Melayu terdesak naik kepegunungan. 29 Selain pendapat mengenai penggunaan kosa kata Mandaraq terhadap Mandar, terdapat pula kosa kata Mandar lainnya yaitu Meandar. Meandar berasal dari Bahasa Binanga Mandar. Kata Meandar diartikan bahwa pada masa dahulu terjadi suatu peristiwa penting yang berkesan di sekitar daerah aliran sungai yang membelah Kecamatan Tinambung (Balanipa), dalam peristiwa tersebut tentu terdapat orang yang pergi dan kepergiannya disebut niandar (diantar) oleh orang yang ditinggalkan. Orang yang ditinggalkan, mengantar, disebut dengan kata Meandar. Kata Meandar kemudian berubah menjadi Mandar. Berdasarkan penamaan Meandar dapat diartikan sebagai sungai atau uwai/air. Air sesuai dengan kodratnya dapat mengalir. Apabila diperlakukan baik, maka akan memberi manfaat yang baik pula. Akan tetapi

29

Ibrahim Abbas, 2000, Pendekatan Budaya Mandar, Makassar, hlm:7-8

perlu diingat pula bahwa air sewaktu-waktu dapat membawa malapetaka terhadap manusia yang kurang memahami akan keberadaanya. Jadi, orang Mandar dapat memberi manfaat kepada orang lain dan begitu pula sebaliknya. 30 2.4 Pakaian Adat Mandar-Sarung Sutera Mandar Sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Menurut pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah). Kain sarung dibuat dari bermacam-macam bahan yaitu bahan katun, poliester, atau sutera. Penggunaan sarung sangat luas, untuk santai di rumah hingga pada penggunaan resmi seperti ibadah atau upacara perkawinan. Pada umumnya penggunaan kain sarung pada acara resmi terkait sebagai pelengkap baju daerah tertentu.31 Proses penyebaran agama Islam melalui perdagangan kabarnya turut pula mendatangkan tradisi penggunaan sarung yang dikenalkan oleh pedagang Yaman. Pemakaiannya yang sederhana dan tidak menunjukkan aurat pemakainya membuat kain ini menjadi populer dalam di kalangan muslim Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda, para santri bahkan
30 31

Ibrahim Abbas, Ibid., hlm:9 http://id.wikipedia.org/wiki/Sarung

mengenakannya sebagai simbol perlawanan terhadap pengaruh budaya barat. Seiring perkembangan zaman, sarung dipakai tidak hanya dipakai untuk ritual keagamaan, tetapi juga upacara adat dan bahan sandang seharihari. Salah satu daerah penghasil kain tenun yang menjadi bahan sarung yaitu Sulawesi Selatan, tepatnya di kawasan Sengkang dan Mandar. Masyarakat Bugis di kedua daerah ini, memiliki ketrampilan menenun kain turun temurun.32 Sebelum era modernisasi, pada umumnya dikehidupan sehari-hari masyarakat Mandar, pakaian yang mereka gunakan yaitu berasal dari tekstil buatan pabrik dan tidak jarang pula berasal dari hasil tenunan sendiri untuk keperluan keluarganya. Sedangkan pakaian adat yang acap kali digunakan di upacara adat tentu berbeda dengan pakaian sehari-hari. Berikut pakaian adat yang digunakan oleh anak-anak, pria, dan wanita Mandar hingga saat ini:33 1) Pakaian anak-anak Mandar. Terdiri dari rok atau sarung berwarna hijau memakai tutup kepala dari bahan serat pelepah lontar yang dianyam berbentuk oval. Pelengkap dari pakaian ini adalah perhiasan tombi care-care berwarna hijau dan merah. Tombi jijir dari bahan perak sepuh emas berbentuk emas berbentuk untaian

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:T9fLBd7z2kJ:www.metrobalikpapan.co.id/index.php%3Fmib%3Dberita.detail%26id%3D43810+sar ung+adalah&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id 33 Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2001, Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan-suku bangsa Mandar, hlm:64

32

bunga, salawi berbentuk bundar memakai tali gantungan berwarna hitam, sima-sima atau gelang tangan, teppong atau hiasan lengan. Pakaian ini dipakai pada upacara sunatan dan menjadi pendamping pengantin pakaian anak-anak (khususnya anak perempuan), dikenal pula adanya bayu pasangan rawang (pasangan rawang) yang dipadukan dengan lipaq saqbe Mandar (Sarung Sutera Mandar) bermotif tradisional, dali dillileq beruq-beruq (subang berlapis bunga melati) dan simbolong (sanggul yang juga dihiasi dengan bunga melati). 2) Pakaian pria Mandar - Jas tutuq (jas tertutup) busana ini terdiri dari warna hitam, celana panjang, sarung Sutera yang dililit dipinggang, memakai tutup songkok biring, pakaian ini berfungsi sebagai pakaian adat dan dipergunakan pada upacara-upacara tradisional di daerah Mandar dan biasanya hanya untuk kalangan bangsawan. - Jas tibua (jas terbuka) pakaian ini merupakan pakaian tradisional masyarakat Mandar untuk golongan rakyat biasa untuk laki-laki. Pakaian ini memakai kombinasi kelengkapan seperti; pada perut dilingkar ikatan dengan rapi gulungan lipaq saqbe (Sarung Sutera Mandar), pada pinggung diselipkan gayang (keris), dikepala dipasang saputangang, biasa juga diucapkan suqtangang (destar) berwarna kecoklata-coklatan.

- Baju tutuq malotang (khusus untuk golongan anggota hadat) pakaian ini terdiri atas celana panjang hitam. Antara pusat sampai kelutut dilingkarkan dengan lipaq saqbe sureq puang limboro (Sarung Sutera Mandar bermotif puang limboro) dengan

meppasseq (menggulung sarung bagian atas pada bagian depan perut) khas cara berpakaian hadat yaitu gulungan khusus di muka pusat. Satu unit keris yang disebut pasaq tippo diselipkan dipinggang dan memakai sokkoq biring. - Baju tutuq malotong kocci raga-ragang. Pakaian ini hanya untuk raja/maradia dan anggota hadatnya. Pakaian ini memakai celana panjang hitam, pada bagian perut dilingkarkan lipaq saqbe sureq pangulu (Sarung Sutera Mandar bermotif pangulu) dengan

meppasseq (menggulung sarung bagian atas pada perut bagian depan perut) khas cara berpakaian hadat yaitu gulungan khusus di muka pusat, satu unit keris yang disebut keris pasaq tippo diselipkan di pinggang dan memakai sokkoq biring dan dari paha sampai di pinggang melalui dada dipasang selendang tanda kebesaran berwarna merah coklat bertahtahkan sulaman benang emas. Kancing bajunya dari emas berbentuk bulat/bundar. 3) Pakaian wanita Mandar - Bayu Pokko. Pakaian ini warnanya biru dipadukan dengan sarung sutera motif kotak-kotak kecil yang disebut sure pandan kamummu,

memakai hiasan telinga (dali), kalung ringgit, bunga kepala. Pakaian ini berfungsi sebagai pakaian tradisional untuk orang tua dan digunakan pada upacara-upacara adat. - Bayu pokko (khusus gadis remaja). Berbentuk lengan tiga perempat dari bahan beludru merah yang dipadukan dengan sarung tenunan Sutera bermotif kotak-kotak sedang yang disebut cure padada dan dilengkapi perhiasan dali (hiasan telinga), tombi dianaq atau kalung dari untaian ringgit, bunga kepala, sima (gelang manik-manik dari perak), gallang balle (gelang panjang), ponto atau gelang bundar. - Bayu pasangan atau biasa disebut boko, bahannya dari kain halus dan mengkilat, dipakai oleh rakyat biasa maupun bangsawan. Bayu pasangan disini dimaksudkan adalah baju yang diserasikan dengan pasangannya (sarung sutera) terutama menyangkut warnanya. - Bayu pasangan lotong (pasangan berwarna hitam) yang dipadukan dengan lipaq saqbe bolong sure Mandar (sarung sutera hitam motif Mandar), dulitang dililliq keruq-keruq (subang tanpa berlapis bunga melati), ujung pinggir sarung yang dipakai diletakkan pada lenganlengan. Bayu pasangan ini pemakainya yaitu wanita berusia lanjut/nenek. - Bayu pasangan mariri (pasangan berwarna kuning) dipadukan dengan lipaq saqbe sure Mandar (sarung sutera motif Mandar), dali dilliq beruq-beruq malassu (subang berlapis bunga melati yang

sudah laju), meppaseq lipaq saqbe Mandar (menggulung dan menguatkan Sarung Sutera Mandar bagian atas pada perut pemakai), simbolong (sanggul) yang dihiasi bunga melati. Bayu pasangan ini biasanya dikenakan oleh Indo susuang (wanita yang menyusukan anak raja/bangsawan atau raja). - Bayu pasangan mapute (pasangan berwarna putih) dipadukan dengan lipaq saqbe Mandar sureq salaka (Sarung Sutera Mandar bermotif perak), dali dililliq beruq-beruq (subang berlapis bunga melati) dan simbolong (sanggul) yang dihiasi bunga melati. Baju jenis ini hanya dikenakan oleh seqi puang to baine (para isteri pemegang jabatan hadat) dan dipakai pada malam hari. Sedang bayu pasangan yang dipakai untuk siang hari disebut bayu pasangan magabu (pasangan berwarna biru) yang membedakan hanya terletak pada motif sarung sutera sebagai paduannya yaitu lipaq saqbe Mandar sureq padada. - Bayu pasangan kurara (pasangan berwarna hijau) dipadukan dengan lipaq saqbe Mandar motif tradisional, dali dililliq beruq-beruq (subang berlapis bunga melati), simbolong (sanggul) yang dihiasi dengan bunga melati. Busana ini khusus dipakai oleh wanita yang tidak bersuami lagi (janda) atau to soroq dipamboyanganna.

Jika diperhatikan secara seksama pakaian adat Mandar yang telah dipaparkan di atas, memperlihatkan secara jelas bahwa lipa saqbe Mandar (Sarung Sutera Mandar) memiliki kedudukan utama dalam hal sempurnanya pakaian adat Mandar yang akan digunakan pada upacara-upacara adat. Motif Mandar tidak hanya sebatas pada motif lipaq saqbe sureq puang limboro (Sarung Sutera Mandar bermotif puang limboro), lipaq saqbe sureq pangulu (Sarung Sutera Mandar bermotif pangulu), Lipaq saqbe sure pandan kamummu, Lipaq saqbe sure padada, lipaq saqbe bolong sure Mandar (sarung Sutera hitam motif Mandar), lipaq saqbe sure Mandar (sarung Sutera motif Mandar), lipaq saqbe Mandar sureq salaka (Sarung Sutera Mandar bermotif perak), dan lipaq saqbe Mandar motif tradisional terdapat pula motif lainnya seperti Surre Loko-Loko (di mana loko-loko merupakan nama sipenenun), Surre Datu (Datu berarti raja), Surre Puang Lembang (Puang Lembang artinya penghulu). Usaha tenun Sarung Sutera Mandar, memang telah terkenal sejak dahulu dan hingga kini masih bisa bertahan. Usaha ini juga boleh dikatakan sudah sangat langka, hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu pada daerah tertentu pula di kawasan tanah Mandar. Prosesi pembuatan Sarung Sutera Mandar ada beberapa alat-alat yang dipergunakan dan tidak pernah mengalami perubahan bentuk antaranya yaitu caca, pamaluq, Sora, Awerang, Saat, Lumu-lumu, Susuale, Patakko, Talutang, Palapa, Pappa

Ottong, Pammatte, Passa, Suru (alat-alat tersebut merupakan alat untuk menenun), sedangkan alat-alat untuk mengolah sutera yaitu unusang, roeng, galenrong, ayungang, sautang (tempat membuat lungsing), balaqba (contoh motif).34

34

Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Ibid., hlm.61

BAB 3 METODE PENULISAN 3.1 Lokasi Penelitian Pada penulisan skripsi yang berjudul Perlindungan Hukum Produsen Produk Sarung Sutera Mandar ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis Penulis mengambil lokasi penelitian di Makassar untuk pengumpulan data sekunder. Adapun lokasi dalam tahap pengumpulan data sekunder ini yaitu a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, b. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, dan c. Perpustakaan Daerah Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Selanjutnya untuk mengumpulkan data primer penulis mengambil lokasi penelitian di Sulawesi Barat, lokasi dalam tahap pengumpulan data primer ini yaitu: a. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan; b. Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan; dan c. Polewali Mandar, tepatnya di Kecamatan Balanipa.

3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan oleh penulis dalam proses pelaksanaan penelitian ini yaitu: a. Data primer berupa data yang penulis peroleh di lapangan melalui wawancara. Wawancara dilakukan kepada narasumber terkait dengan kegiatan penelitian ini, yaitu Kepala Bagian Pendaftaran dan Kepala Bagian Penyuluhan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPTD Museum La GaligoDinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan, dan penenun Sarung Sutera Mandar. b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan berupa bahan-bahan tertulis berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian. Sumber data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil

penelitian yang berwujud laporan, buku persyaratan Indikasi Geografis, media elektronik, dan lain sebagainya. Selain itu pula penulis mengambil bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, seperti Undang Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek dan PP Nomor 51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis, bahan hukum sekunder yaitu hasil-hasil

penelitian dan pendapat para pakar, dan bahan hukum tersier yang digunakan penulis untuk mendapatkan petunjuk maupun penjelasan. Bahan hukum tersier tersebut yaitu kamus bahasa dan kamus hukum. Semua data-data tersebut Penulis baca dan telaah secara seksama untuk mendapatkan data yang Penulis perlukan dalam penelitian. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data primer dan sekunder yang penulis gunakan antara lain: a) Studi Kepustakaan/ Dokumentasi: Yaitu menelaah bahan-bahan tertulis berupa buku-buku, dokumen resmi peraturan perundang-undangan, buku persyaratan Indikasi Geografis, serta sumber tertulis lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data-data yang diperoleh kemudian diolah dengan teknik content analysis untuk menghasilkan suatu kesimpulan. b) Teknik Wawancara Wawancara yaitu usaha pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab berkaitan dengan kegiatan penelitian. Wawancara dalam pengumpulan data primer dilakukan kepada Kepala Bagian Pendaftaran dan Kepala Bagian Penyuluhan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan, Kepala Sub

Bagian Tata Usaha UPTD Museum La Galigo-Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan, dan penenun Sarung Sutera Mandar. 3.4 Analisis Data Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian, baik data primer dan data sekunder, dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Setelah itu dideskripsikan, dengan menelaah permasalahan yang ada, menggambarkan, menguraikan, hingga menjelaskan permasalahan-

permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Penggunaan metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data sedetail mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan bagaimana perlindungan hukum yang diberikan PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Perlindungan Hukum Produsen Sarung Sutera Mandar 4.1.1 Karakteristik, Kualitas, dan Reputasi Masyarakat Sulawesi Barat sejak kehadirannya di muka bumi ini telah mencipta dan memiliki budaya dari hasil lokal geniusnya sendiri, hal ini dibuktikan masih terdapat tradisi-tradisi masyarakat pedesaan Sulawesi Barat yang masih menampakkan ciri khas daerahnya seperti tradisi menenun Sarung Sutera Mandar.35 Kebudayaan menenun diperkirakan telah ada sejak 5.000 tahun Sebelum Masehi (SM) di Negara Mesopotamia dan Mesir. Kebudayaan ini kemudian berkembang dan menyebar ke Eropa dan Asia hingga akhirnya sampai di Indonesia setelah melalui India, Cina, dan Asia Tenggara. Kebudayaan menenun di Indonesia mulai dikenal sejak zaman

Neolithikum (2.000 tahun SM). Bahan baku yang digunakan yaitu kulit kayu dan kulit binatang, dengan cara ditumbuk, yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam mengisi waktu senggang saat menunggu panen. Awalnya kain dibuat sebagai pelindung tubuh dari pengaruh cuaca panas

Abbas, St.Arifah, dkk. 2000. Tenunan Sarung Sutera Khas Mandar Kabupaten Polmas. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sulawesi Selatan. Hlm. 1

35

maupun

dingin.

Seiring

dengan

perkembangan

kebudayaan,

pengetahuan, dan kebutuhan manusia baik kebutuhan lahiriah maupun spritual, unsur-unsur yang terkandung dalam tenunan menampakkan perubahan baik bahan baku, teknik menenun, peralatan yang digunakan, pewarnaan, motif/ragam hias, maupun fungsinya.36 Hasil tenunan yang awalnya hanya sekadar berfungsi sebagai kain penutup tubuh, mulai berkembang dengan berbagai fungsi. Tidak hanya sebagai sebuah karya seni, hasil tenunan dapat pula menunjukkan derajat dan martabat pemakainya. Hasil tenunan tersebut dapat menunjukkan pesan khusus yang tergambar dibalik motif dan warna tenunan tersebut. Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan manusia, segi spiritual, hasil tenunan berfungsi pula sebagai pakaian yang digunakan dalam upacara perkawinan dan upacara kematian.37

Hodijah (dkk). 2009. Pesona Kain Nusantara Menuju Pasar Global dan Industri Budaya, Katalog Pameran. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat-Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung. Hlm.6. 37 Album Tenun Tradisional. Aceh-Sumatera Barat-Sulawesi Selatan-Nusa Tenggara Barat. hlm.4

36

Gambar 2. Sarung Sutera Mandar digunakan sebagai pelengkap dalam tarian Mandar

Motif dari tenunan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai dekoratif atau hiasan saja, tetapi merupakan simbol atau lambang yang memiliki kekuatan magis untuk menolak bala atau simbol penolak bahaya. Menenun merupakan kegiatan yang dapat membantu memenuhi

kebutuhan hidup masyarakat, jika dilihat dari segi ekonomi. Masyarakat Mandar memaknai kegiatan menenun merupakan salah satu latihan jiwa untuk tekun, sabar, setia, dan ulet. Hal ini menunjukkan bahwa tenun tradisional berkaitan dengan faktor kultural, religi, hingga sosio-ekonomi.38 Bahan baku yang awalnya menggunakan kulit kayu dan kulit binatang, bagi masyarakat Mandar, berangsur-angsur mulai tergantikan oleh bahan baku benang sutera yang berasal dari kepompong ulat sutera dan penambahan beberapa bahan baku lainnya, seperti abu untuk merendam benang (yang didapatkan dari hasil pembakaran mayang
38

Abbas, St.Arifah, dkk. Op. Cit. Hlm. 2

kelapa, tempat gelantungan kelapa pada pohonnya, yang sudah kering, disebut kaloeng) dan cingga (pewarna). Desa Pallis Kecamatan Balanipa, Desa Tamanggalle Kecamatan Balanipa, dan Desa Samasundu

Kecamatan Limbor merupakan sentra pemeliharaan ulat sutera yang berada di Sulawesi Barat, walaupun telah tersedia sentra pemeliharaan ulat sutera tersebut hingga saat ini para produsen/penenun Sarung Sutera Mandar masih membeli dari daerah lain seperti Sengkang dan Enrekang mengingat ketiga sentra tersebut belum dapat memenuhi permintaan pasar di Sulawesi Barat. Proses penenunan Sarung Sutera Mandar secara tradisional menggunakan beberapa peralatan yaitu: a. Peralatan Pengelolahan Bahan Jarum, berfungsi untuk mendapatkan ukuran

ketebalan/keutuhan benang; Peluncur, lazimnya disebut sekoci yaitu alat untuk menggulung benang yang berukuran lebih besar; Paayungan, alat penggulung benang setelah direndam atau diwarnai; dan Galenrong, alat penggulung yang berbentuk pipa paralon.

b. Untuk menghasilkan Sarung Sutera Mandar maka terlebih dahulu benang sutera yang dihasilkan diolah dengan cara menenun. Adapun peralatan yang digunakan yaitu: Cacah, alat tenun terbuat dari kayu atau bambu, berfungsi sebagai tempat memasang pammaluk; Pammaluk, alat berbentuk papan yang terbuat dari kayu berfungsi menggulung benang yang telah di anai dan siap untuk ditenun; Sora, alat yang terbuat dari bambu yang diluncurkan balik membawa benang pakan di antara benang lungsi; Awerang, bambu licin yang berfungsi mengatur susunan benang; Saat, alat yang berfungsi mengatur benang lungsi di bagian tengah tenunan; Lumu-lumu, alat yang digunakan untuk mengatur benang pada saat menenun; Susuale, terbuat dari kayu berfungsi mengikat benang lungsi saat benang pakan dan pamatte dimasukkan; Patakko, kayu sebesar jari kelingking sepanjang

pammaluk yang berfungsi menahan ujung benang lungsi;

Talutang, alat yang terbuat dari kayu pada bagian tengahnya melebar dan melengkung, berfungsi sebagai tempat sandaran pada saat menenun; Palapa, alat yang berfungsi untuk mengatur jarak dan menyangkut ujung benang sehingga memudahkan

terbukanya benang lungsi atas bawah sewaktu benang pakan dimasukkan; Papa Ottong, terbuat dari kayu keras sepanjang

pammaluk berfungsi menekan tenunan saat merapatkan benang pakan dengan pammatte; Pammatte, alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan/mengetek; Passa, alat yang digunakan untuk menahan ujung benang yang akan ditenun juga sebagai tempat menggulung tenunan yang sudah selesai; dan Suru, berfungsi untuk mengatur benang yang

menentukan lebar tenunan.

Gambar 3. Peralatan Menenun

Proses pengolahan bahan merupakan salah satu bagian yang menentukan dalam menghasilkan tenunan yang berkualitas tinggi, sebab dalam proses ini apabila dikerjakan dengan benar dapat dihasilkan lembaran benang yang tahan lama (tidak pudar) dan tidak luntur. Proses penenunan tersebut dilakukan melalui empat tahap: a. Tahap Pembuatan Benang. Kepompong ulat sutera (kokom) digodok dalam air sampai mendidih kemudian dituang dalam baskom selagi masih hangat, serat kokom secara perlahan dan di pelintir hingga mendapatkan lembaran benang, untuk menghasilkan satu lembaran benang pertama diperlukan tiga puluh kokom dalam baskom dan setelah seratnya habis berikutnya dituang kembali tiga puluh kokom untuk

menyambung lembarang benang tersebut tadi, demikian

seterusnya. Lembaran benang yang diperoleh dari hasil pelintiran dimasukkan dalam jarum lalu digulung pada satu alat yang disebut peluncur dan melalui alat ini untuk mendapatkan gulungan benang yang lebih baik digulung ke gulungan yang lebih besar yang diberi nama paayungan. b. Tahap perendaman benang. Perendaman benang dilakukan untuk membuat benang menjadi lebih lembut (halus). Prosesnya sebagai berikut sediakan satu baskom air lalu dicampur atau diberi semacam abu kemudian air campuran abu tersebut didiamkan/ditenangkan sejenak hingga

mendapatkan air abu yang jernih. Air ini didihkan untuk dipakai merendam gulungan benang yang telah dilepas dari paayungan. Lama perendaman kurang lebih setengah jam proses perendaman disebut dengan nama lokal disasa, setelah itu benang (sabbe) diangkat lalu diangin-anginkan kemudian digulung pada roweng. Setelah dianginkan maka siap untuk diberi warna.

Gambar 4. Proses perendaman/disasai

c. Tahap pewarnaan. Bahan tenun dasar yaitu benang sutera yang berwarna putih, untuk memenuhi selera si pemakai maka Sarung Sutera Mandar dibuat dari benang sutera yang telah diberi warna. Warna yang dipilihnya yaitu merah dan hitam. Warna sutera yang asli dengan sendirinya berwarna putih dan ikut sertakan sebagai warna. Jadi pada prinsipnya tenunan mandar hanya menggunakan tiga warna (warna dominan) saja yaitu merah, hitam, dan putih. Adapun bahan yang dipakai untuk pewarna yaitu untuk warna merah menggunakan bahan semacam damar yang disebut gamalo atau menggunakan bahan lain yaitu semacam akarakaran yang disebut baudu (dalam Bahasa Indonesia berarti pinang), warna hitam digunakan bahan semacam daun yang sering disebut nyila (dalam Bahasa Indonesia berarti

nila/indofera). Keistimewaan pewarnaan pada suku bangsa Mandar yaitu hasil tenunan sutera mereka tidak luntur dan tidak pudar meskipun umurnya sudah berpuluh-puluh tahun, tidak seperti halnya dengan sarung sutera hasil tenunan suku bangsa lainnya di Sulawesi Selatan yang menggunakan pewarna berbeda dan proses pewarnaan yang berbeda pula. Hal ini menjadi salah satu karakteristik bagi hasil tenunan masyarakat Mandar, Sarung Sutera Mandar. Proses mewarnai benang sutera dimulai dengan

memanaskan air, kemudian masukanlah pewarna sambil diaduk-aduk, perbandingan kira-kira satu liter air dengan satu sendok makan pewarna, kemudian didihkan. Setelah

mendidih, benang sutera direndam ke dalam air panas tersebut. Jika pewarnaan telah merata keseluruh benang sutera, maka proses selanjutnya yaitu penambahan minyak tanah dalam rendaman. Hal tersebut bertujuan untuk

mendapatkan Sarung Sutera Mandar dengan hasil mengkilap dan tidak luntur. Agar pewarna tersebut tetap menyerap dalam benang sutera saat proses pemerasan, benang sutera yang sedang direndam akan ditambahkan perasan jeruk nipis. Proses perendaman tersebut kurang lebih satu setengah jam, setelah itu diangkat lalu dibilas dalam air dingin kemudian

dikeringkan dan digulung kembali dalam roweng, lalu dipindahkan atau digulung pada alat yang berbentuk pipa yang disebut gelenrong. Setelah melalui proses pewarnaan gulungan-gulungan benang pada galenrong mulai di-sumau. d. Tahap menganai, tahap ini memegang peranan penting karena sangat menentukan dalam mendapatkan motif ragam hias sarung yang diinginkan. Adapun alat yang dipakai pada proses ini, sebagian besar nantinya digunakan dalam proses menenun. Jadi setelah selesai pada tahap ini tinggal dipindahkan untuk ditenun. Alat-alat yang digunakan pada tahap ini yaitu susu ale, alerang, suru, lumu-lumu. Jangka waktu yang digunakan dalam massumau (Bahasa Mandar) atau massau (Bahasa Bugis) kurang lebih satu sampai dengan dua hari tergantung keaktifan dari penenun. Mengenai teknik peng-sumau-an seperti halnya dengan menenun tidak berbeda dengan teknik yang dilakukan oleh penenun BugisMakassar. Jadi benang diatur sesuai warna dan ragam hias yang diinginkan pada alat yang disebut suru, setelah semua sisir-sisir pada suru terisi penuh, lalu benang yang telah disusun rapi digulung pada alat yang disebut pammaluk, dan benang beserta pammaluk tersebut tinggal selanjutnya diangkat untuk memulai proses menenun.

Gambar 5. Tahap menganai (massumau)

Seperti halnya sarung sutera lainnya Sarung Sutera Mandar diolah dengan cara menenun. Adapun cara menenun dilakukan dalam keadaan duduk dengan melonjorkan kaki kedepan. Alat tenun yang digunakan yaitu alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu (kayu besi/ulin, kayu kapuk, kelapa, maupun batang pinang) dan bambu, dikenal dengan sebutan gedokan. Alat tersebut diletakkan di depan penenun dan benang lungsi direntangkan sepanjang kaki penenun, telapak kaki penenun bersandar pada pammaluk dan penenun duduk dengan diapit oleh passa dan talutang (sandara). Peralatan tenun yang terletak diantara pammaluk (penggulung benang lungsi) dan passa (penggulung kain yang sudah selesai) yaitu suru, lumu-lumu, papa ottong, saat, susuale, palapa. Sedangkan pamatte berfungsi pada saat akan mengetek benang pakan.

Adapun proses penenunan yaitu benang pakan dimasukkan, susuale diangkat bersamaan dengan terangkatnya lumu-lumu dan saat turut terangkat membawa benang lungsi sehingga terbentuklah mulut lungsi untuk memasukkan pamatte. Setelah pamatte masuk, kemudian dimiringkan. Saat mulut lungsi terbuka, diluncurkanlah tora yang berisi benang pakan, setiap helai benang yang dimasukkan diluncurkan bolakbalik kemudian diketek/dirapatkan dengan alat pamatte. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga secara berangsur-angsur kain yang jadi semakin panjang. Cara menggunakan alat pamatte dengan

menghentakkan ke suru agar benang pakan semakin rapat, semakin kuat hentakkan pamatte, semakin rapat benang kain tenun yang dihasilkan. Hal ini menentukan kualitas kain tenun (kuat dan rapih). Semakin panjang kain tenun yang dihasilkan maka alat tenun susuale, tora, dan pamatte semakin jauh dari penenun, kain yang sudah jadi digulung ke passa kemudian benang lungsi diulur dari pammaluk, untuk melanjutkan tenunan maka demikianlah seterusnya, sampai proses menenun selesai.

Gambar 6. Proses penenunan dengan menggunakan gedokan

Motif Sarung Sutera Mandar pada dasarnya hanya berbentuk geometris atau dengan garis kotak-kotak, baik kotak cukup besar maupun kotak yang sangat kecil, namun pada umumya kotak Sarung Sutera Mandar dibuat sangat kecil dengan bentuk segi empat panjang atau bujur sangar, yang dihasilkan dengan jalan menarik persilangan garis-garis horizontal dan vertikal. Garis-garis tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kuat dan tegasnya aturan dalam masyarakat mandar yang mengatur hubungan secara vertikal antara rakyat dan pemimpinnya dan di antara sesama pemimpin atau sesama rakyat secara horisontal dengan memperhatihan strata-strata dalam masyarakat. Selain itu juga ditemukan hubungan yang yang senantiasa dipelihara oleh masyarakat mandar

dalam kehidupan religius mereka dengan menjaga hubungan dengan manusia (Hablumminannas) dan hubungan dengan Allah SWT

(HablumminAllah). Oleh masyarakat Mandar menyebut bentuk garis-garis yang saling berpotongan itu sebagai pagar. Sesuai dengan fungsinya maka pagar merupakan sebuah benda yang ditemukan dalam kehidupan yang berfungsi untuk menjaga dan melindungi rumah atau sesuatu dari ancaman atau gangguan dari luar dirinya. Pagar juga berfungsi menjadi pemisah antara suatu hal yang menjadi hak kita atau bukan dan menjadi sebuah pemisah bagian-bagian dari suatu keutuhan.39 Sarung Sutera Mandar bermotif pagar tersebut diartikan sebagai penjaga dan pelindung kehormatan bagi pemakainya. Sarung Sutera Mandar sebagai pemisah dapat dimaknai bahwa orang yang memakai sarung menutup bagian-bagian tubuh yang harus tertutup sebagai bagian kehormatan manusia. Selain itu dengan melihat orang memakai sarung sutra maka akan diketahui strata sosial seseorang.40 Perbedaan motif antara yang satu dengan yang lain hanya dibedakan oleh warna dan besar kecilnya kotak-kotak atau tebal tipisnya garis. Kalau kita lihat tenunan mandar maka warna yang tampak hanyalah warna-warna berat seperti abu-abu, hitam, dan merah tua. Aneka warna

39 40

http://baruga2004.blogspot.com/2008/11/tenunan-tradisional-tenunan-mandar_25.html Ibid.

ini dihasilkan oleh percampuran antara dua atau tiga warna, biasanya warna hitam, putih, dan abu-abu digunakan sebagai garis tipis. Sering pula ditemukan penambahan hiasan pada Sarung Sutera Mandar berupa hiasan bentuk kembang. Namun, hanya terdapat pada kepala sarung yang dalam bahasa Mandar disebut Pucca, hiasan tersebut hanya diperuntukkan bagi kaum hawa, sedang bagi kaum pria pucca-nya masih tetap bertahan pada motif bentuk kotak-kotak. Motif pada tenunan mandar dibagi atas dua bagian, yaitu motif pada bagian kepala yang sering disebut pucca dan motif pada bagian badan. Kedua motif ini berbeda, baik warna maupun garisnya meskipun dalam satu tenunan. Bidang pada bagian kepala tidak begitu lebar apabila dibandingkan dengan bagian badan. Perbandingan lebar kepala dengan lebar badan kira-kira 1:6 atau 1:7. Pola desain tenun dan warna sarung sutera mandar, berbeda dengan sarung sutera bugis dan Makassar. Warna dasar sarung sutera mandar adalah hitam, merah tua, dan putih dengan pola desain (sure) kotak-kotak kecil segi empat. Ada dua sure yang dominan dan terkait dengan adat, yakni sure bolong (warna dasar hitam) dan sure padada (warna dasar merah), dikemudian hari dari hubungan dagang dan budaya dengan masyarakat dan adat

Minangkabau, Sarung Sutera Mandar menampilkan pola desain baru yang dikenal dengan nama sure datu dan sure panghulu.

Tata warna tenunan mandar yang berat tampak mantap, antik, dan berwibawa mengakibatkan Sarung Sutera Mandar dahulu hanya digunakan oleh para bangsawan. Sedangkan sekarang tenunan

semacam itu bisa dipakai oleh siapa saja. Berikut beberapa motif Sarung Sutera Mandar:41 - Sureq panghulu, panghulu artinya penghulu. Sureq ini lazimnya dikenakan oleh para kaum penghulu atau bangsawan Raja Putera dan Bangsawan Hadat Putera (Maraqdia Tommuane, SeI Puang Tommuane). Bentuk motifnya kotak-kotak kecil dengan warna coklat tua dan hitam; - Sureq Salaka atau Sureq Pabicara. Dewasa ini motif yang sangat diminati dan paling banyak dikenakan pada setiap ada penyelenggaraan acara-acara resmi yaitu sureq salaka dan sureq padhadha, ini kemungkinan disebabkan dari segi warna, kedua motif ini warnanya netral hampir serasi dipasangkan dengan baju warna apapun, warna sureq salaka yaitu biru hitam dengan garis perak. Pada zaman kerajaan, sureq salaka utamanya dikenakan oleh Putri Raja dan Putra Bangsawan hadat (Maraqdia Tobaine dan Puang Tobaine) termasuk

41

Abbas, St.Arifah, dkk. Op. Cit. Hlm. 21-23

keturunan Puang Tobaine Pabicara Kaiyang, oleh sebab itulah motif ini dikenal pula dengan julukan Sureq Pabicara;

Gambar 7. Sarung Sutera Mandar Sureq Salaka atau Sureq Pabicara

- Sureq Puang Limboro. Sebutan nama motif ini dikenakan pada Sarung Sutera Mandar yang dipakai oleh salah satu anggota hadat Kerajaan Balanipa yang menduduki jabatan sebagai Puang Limboro (anggota Hadat Pertama) dan sampai sekarang motif lazimnya masih dikenakan oleh turunan dari anggota hadat tersebut; - Sureq Padhadha. Motif ini sama halnya dengan sureq salaka begitu sangat diminati. Terdapat satu aturan yang tidak mengikat namun berlaku pada kedua motif Sarung Sutera Mandar tersebut yaitu apabila dalam acara resmi sang suami mengenakan sarung dengan motif Surreq Padhadha sebaiknya

si-istri mengenakan sarung dengan motif sureq salaka. Warna motif sureq padhadha yaitu merah;

Gambar 8. Sarung Sutera Mandar Sureq Padhadha - Sureq batu dadima, batu dadima artinya batu delima. Motif ini lazimnya dipakai oleh gadis-gadis remaja. - Sureq gattung layar, dinamakan gattung layar karena dahulu sarung jenis ini sering dipakai oleh para nelayan; - Sureq Penja. Nama sarung dengan motif ini diambil dari nama ikan seribu (Penja, sebutan dalam bahasa Mandar), hal tersebut disebabkan karena warna dan bentuk kotak-kotaknya mirip ikan tersebut yaitu warna hitam dan putih dengan bentuk kotak yang kecil-kecil. Sarung Sutera Mandar motif Penja lazimnya dikenakan oleh masyarakat yang berdiam dipesisir pantai; - Sureq tembang. Nama motif ini juga diambil dari nama ikan yaitu ikan tembang, seperti halnya dengan Sureq Gattulayar, sarung dengan motif ini juga dipakai oleh pelaut dan juga kaum

nelayan yang disebut Parroppong (nelayan yang mengambil ikan sampai berbulan-bulan tinggal dan mendirikan rumah ditengah laut). Jadi apabila mereka sampai di darat dan menhadiri suatu acara resmi mereka menggunakan sarung dengan motif ini; - Sureq Bendera. Sarung Sutera Mandar dengan motif ini diperuntukkan bagi orang yang sering memetik kemenangan dalam setiap perlombaan atau dengan kata lain para

cendikiawan dan para juara dalam bidang olahraga, seni, dan sebagainya. - Sureq Beru-Beru. Nama motif ini diambil dari bunga yang wanginya harum semerbak yaitu bunga Melati (dalam bahasa lokal disebut beru-beru). Sarung dengan motif ini dikenakan oleh sepasang pengantin baru untuk menandai bahwa mereka belum berhubungan pengantin sebagai baru suami-isteri, dapat sebab dahulu setelah

sepasang

berhubungan

berminggu-minggu bahkan kadang kala berbulan-bulan sebagai suami-isteri, dalam suasana itu mereka mengenakan Sarung Sutera Mandar dengan motif Sureq Beru-Beru agar senantiasa dalam suasana harumnya bunga melati. - Sureq Puang Lembang. Seperti halnya dengan Sarung Sutera Mandar motif Sureq Puang Limboro, sarung motif Puang

Lembang juga dulunya dikenakan oleh anggota hadat Kerajaan Balanipa yang berkedudukan sebagai Puang Lembang dan saat ini lazimnya dipakai oleh ahli waris dari anggota hadat tersebut. Adapun warnanya yaitu merah tua dan hitam. Penentuan motif dari Sarung Sutera Mandar yang akan diproduksi lazimnya sesuai dengan pesanan, tapi kadang kala

disesuaikan dengan situasi kondisi yang terjadi pada waktu motif tersebut dibuat, dengan kata lain sesuai dengan trend saat itu, ada juga yang dibuat berdasarkan jabatan, profesi, tokoh dan keadaan peristiwa tertentu. Misalnya Sarung Sutera Mandar motif Soeharto (Sureq Soeharto), motif bernama Soeharto sebab pada waktu itu Soeharto sedang mengunjungi daerah Sulawesi Barat dibuatlah Sarung Sutera Mandar dengan motif khusus sebagai cendera mata, sehingga setiap pembuatan Sarung Sutera Mandar dengan motif tersebut akan melekatkan nama Soeharto pada jenis motif Sarung Sutera Mandar (Sarung Sutera Mandar Motif SoehartoLipaq Saqbe Sureq Soeharto), demikian halnya dengan nama Sarung Sutera Mandar Sureq Rhoma Irama dapat juga dijumpai di sana. Contoh lainnya motif yang disesuaikan dengan jabatan seseorang yang memakainya yaitu Sarung Sutera Mandar Komandan Kodim dan Sarung Sutera Mandar Sureq Jassa sarung dengan motif ini lazimnya dikenakan oleh orang yang berkedudukan sebagai jaksa atau orang yang dianggap

dapat memutuskan perkara. Masih banyak lagi nama motif atau istilah Sarung Sutera Mandar tradisional lainnya yang berkembang dan pernah ada di masyarakat suku Mandar. Sejalan dengan perkembangan zaman dan pengaruh ragam hias tenunan sarung daerah lainnya, Sarung Sutera Mandar dewasa inipun banyak mengalami perkembangan, motif tenun Bugis-Makassar dapat dijumpai pengaruhnya pada tenunan Sarung Sutera Mandar, demikian halnya motif sarung Samarinda, motif Sarung Donggala dan banyak lagi lainnya. Walaupun mengalami perkembangan dan pengaruh, sebagian besar Sarung Sutera Mandar masih tetap mempertahankan motif dasar yaitu motif geometris (kotak-kotak).

Gambar 9. Sarung Sutera Sureq Komandan Kodim

Gambar 10. Sarung Sutera Mandar Modifikasi dengan memasukan unsur motif tenun Bugis-Makassar (ornamen tumpal-segi tiga sama kaki)

Gambar 11. Sarung Sutera Mandar Modifikasi dengan memberikan hiasan pada bagian badan, padahal telah diketahui sebelumnya bahwa pemberian hiasan hanya diberikan pada bagian kepala atau Pucca dan terkhusus hanya pada sarung sutera milik kaum hawa. Jika ditinjau, tenunan mandar dari segi seninya atau keindahan, maka letak keindahan dari tenunan mandar ini pada susunan persilangan garis-garis vertikal, horizontal dengan variasi tebal, tipis, ganda, dan tunggal. Akibat dari persilangan itu menimbulkan bidang kotak-kotak datar dan tembus yang ritmis kaya akan variasi. Penyusunan garis semacam itu menyerupai konsepsi artistik dari tokoh pelukis moderen aliran Neo Platisisme 20 Piet Mondrian. Penyusunan cara mandar ini bisa memberikan inspirasi bagi terciptanya seni pakai seperti pada arsitektur, dekorasi interior, meubel, desain grafik, dan lain-lainya.42

42

Husni djamaluddin dkk.1992. Info Budaya Nusantara. Jakarta.

Pembuatannya yang rumit baik teknik tenunan, pewarnaan maupun ragam hias yang menggunakan peralatan dan bahan khusus telah memberikan nilai tambahan pada karya seni tenun Sarung Sutera Mandar. Hal ini menyebabkan besarnya perhatian para ahli tekstil mancanegara terhadap potensi dan keunggulan tenun atau tekstil tradisi Indonesia, termasuk pula hasil tenunan masyarakat Mandar. Hal tersebut terbukti dengan terdapatnya publikasi dalam bentuk buku-buku hasil penelitian yang mereka lakukan.43 Masyarakat Mandar, menggunakan peralatan tradisional mereka secara turun temurun untuk memproduksi kain sutra mereka. Peralatan tersebut mereka buat sendiri dalam komunitas. Baik peralatan

pemeliharaan ulat sutera, memintal benang, pewarnaan benang, sampai pada peralan tenunan. Bahan-bahan dari Sarung Sutera Mandar tersebut mereka ambil dari alam yang ada di sekitar mereka (faktor alam), seperti kayu dari berbagai jenis pohon (kayu besi/ulin, kayu kapuk, kelapa, maupun batang pinang), bambu sebagai peralatan tenun, serta akarakaran (baudu), buah-buahan (jeruk nipis), dan daun-daunan (nyila) yang digunakan sebagai bahan pewarna. Kombinasi faktor alam dan faktor manusia tersebutlah yang memberikan karakteristik dan kualitas tersendiri bagi hasil tenunan Maysarakat Mandar yaitu Sarung Sutera Mandar.

43

Ibid.

Hingga saat ini sebagaian besar Masyarakat Mandar tetap mempertahankan alat tenun tradisional mereka. Kegiatan menenun menjadi salah satu mata pencarian masyarakat khususnya kaum perempuan di daerah-daerah Mandar. Kegiatan menenun ini mereka pertahankan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga mereka sehingga tradisi menenun kain sutera masih bisa berlangsung hingga saat ini. Masyarakat Mandar yang mendiami Pantai Timur Jazirah Selatan Pulau Sulawesi di Propinsi Sulawesi Barat masih melestarikan tradisi menenun sutera. Kualitasnya dikenal sangat tinggi karena tenunannya yang halus. Coraknya pun dapat dibedakan secara jelas dari tenunan sutra Bugis dan Makassar. Namun demikian, tradisi menenun ini bukannya tidak memiliki ancaman sama sekali. Industri tekstil yang berkembang dengan pesat, gejala globalisasi yang melanda dunia, serta perkembangan teknologi moderen, komunikasi, dan informasi merupakan beberapa faktor yang menjadi faktor ancaman bagi tradisi menenun Sarung Sutera Mandar. Kemajuan pertekstilan moderen dihantar dengan ditemukan dan dikembangkannya berbagai pewarna buatan dan alat tenun yang lebih baik dan moderen, baik yang bukan mesin (ATBM) maupun yang menggunakan mesin. Alat-alat tenun moderen tersebut memiliki banyak keunggulan, selain mengurangi penggunaan tenaga

manusia, juga jumlah produksinya pun jauh lebih tinggi dibanding tenunan tradisional. Walaupun dapat memproduksi tenunan dengan jumlah banyak, hasil tenunan dengan menggunakan Alat tenun moderen, memiliki kualitas yang lebih rendah dari pada hasil tenunan dengan menggunakan alat tradisional (gedokan). Sedangkan pada pewarna buatan memiliki keunggulan pada proses pewarnaan yang lebih cepat dan hasil pewarnaan yang lebih beragam. Namun, dampak negatif dari pewarnaan buatan ini cukup banyak dibandingkan keunggulannya. Menimbulkan pencemaran lingkungan, menyebabkan organisme kecil punah, bahkan memicu penyakit kulit akibat bahan kimia.44

Meskipun masyarakat Mandar telah memasuki era moderen dengan berbagai kemajuan teknologi yang semakin canggih. Sebagian besar penenun Sarung Sutera Mandar tetap mempertahankan alat tenunan tradisional (gedokan atau dalam bahasa Mandar panette) dalam proses penenunan. Selain tetap mempertahankan sisi tradisi dalam pembuatan Sarung Sutera Mandar, kualitas dari Sarung Sutera Mandar tersebut merupakan prioritas utama penenun tetap menggunakan alat tenun tradisional. Walaupun dalam perkembangannya alat tenun ini juga mulai digeserkan keberadaannya oleh alat tenun bukan mesin (ATBM) bagi segelintir penenun Sarung Sutera Mandar.
44

http://bataviase.co.id/node/112357

Hal tersebut juga didukung dengan masih banyaknya minat generasi muda/putri-putri Mandar untuk mempelajari kegiatan menenun. Hal tersebut diakibatkan mengingat tradisi menenun dalam masyarakat Mandar menjadi satu bentuk usaha keluarga yang menjadi perwujudan dari konsep sibali parri yang mendudukkan perempuan sebagai pendamping kaum lelaki untuk bersama-sama memikul tanggung jawab membangun keluarganya, di samping itu tradisi menenun juga menjadi lembaga pendidikan keluarga bagi anak-anak remaja putri Mandar untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan budaya, sehingga dalam masyarakat Mandar masih terjadi pewarisan keterampilan menenun dari generasi tua ke anak cucu mereka.

Gambar 12. Alat Tenun Bukan Mesin

Perpaduan faktor alam dan faktor manusia pada hasil tenunan Sarung Sutera Mandar memberikan karakteristik dan kualitas pada hasil tenunan. Selain itu, pencantuman nama geografis dibelakang hasil tenunan tersebut memberikan kesempatan pada penenun/produsen Sarung Sutera Mandar untuk melakukan permohonan pendaftaran sebagai produk yang dapat dilindungi dengan dasar hukum UndangUndang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Walaupun faktor alam yang menjadi salah satu faktor pendukung dalam memberikan

karakteristik dan kualitas pada Sarung Sutera Mandar bukanlah sebagai faktor alam yang hanya terdapat di wilayah Sulawesi Barat. Namun, dengan adanya faktor manusia yang dapat mengolah faktor alam hingga layak untuk digunakan dalam melakukan penenunan Sarung Sutera Mandar, menyebabkan faktor alam tersebut hanya dapat digunakan di Sulawesi Barat sebagai alat dan bahan untuk menenun sarung sutera dengan kualitas baik. Selain itu pula Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat telah melakukan upaya awal untuk tetap menjaga kelestarian alam, adat istiadat, pengetahuan serta kearifan lokal masyarakat menyangkut mengenai hal peralatan tenun tradisional Sarung Sutera Mandar, proses pengolahan bahan, proses tenun Sarung Sutera Mandar, hingga motif

tenunan Sarung Sutera Mandar dengan mendirikan Balai Industri Sutera Alama di Sulawesi Barat pada tahun 2008. Visi dari Balai Industri Sutera tersebut yaitu mewujudkan pembangunan perekonomian masyarakat yang tangguh, efisien, kompetitif melalui sektor industri dan perdagangan berdasarkan nilai agama dan budaya sipa Mandar (saling menghargai satu sama lain dalam bermasyarakat). Adapun misi Balai Industri Sutera tersebut yaitu meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), mengoptimalkan pengolahan SDM, mengembangkan IKM (Industri Kecil dan Menengah) yang memiliki keunikan dan kekhasan nilai kearifan lokal masyrakat Mandar yang berdaya saing. Anggota dari Balai Industri Sutera Alam sebagian besar terdiri dari Pegawai Negeri Sipil-Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM (Perindag) Provinsi Sulawesi Barat dan penenun Sarung Sutera Mandar. Namun, tidak menutup kemungkinan Balai Industri Sutera tersebut memiliki anggota diluar PNS-Perindag dan penenun Sarung Sutera Mandar. Kegiatan yang dilakukan oleh Balai Industri Sutera Alam salah satunya yaitu pemberian pelatihan mengenai peralatan tenun tradisional Sarung Sutera Mandar, proses pengolahan bahan, proses tenun Sarung Sutera Mandar, hingga motif tenunan Sarung Sutera Mandar. Balai Industri Sutera Alam tersebut digunakan sebagai wadah percontohan bagi

penenun-penenun, yang belum bergabung dalam Balai Industri Sutera Alam, agar para penenun tetap mempertahankan faktor alam dan faktor manusia yang terkandung dalam Sarung Sutera Mandar. 4.1.2 Pendaftaran Indikasi Geografis Suatu barang yang akan dimohonkan pendaftarannya sebagai Indikasi Geografis diharuskan untuk memenuhi unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1 ayat (1) PP tentang Indikasi Geografis, unsur-unsur tersebut yaitu: a. Terdapat tanda yang menunjukkan asal tempat dihasilkan barang akan dimohonkan pendaftarannya; dan b. Terdapat karakteristik dan kualitas yang diakibatkan karena adanya faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari faktor tersebut. Pada unsur kedua terdapat istilah faktor alam dan faktor manusia, tidak jelasnya definisi dari kedua istilah tersebut dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP tentang Indikasi Geografis serta tidak adanya batasanbatasan yang dapat dikategorikan sebagai faktor alam dan faktor manusia akan menimbulkan kesulitan bagi pihak pemohon untuk menentukan faktor alam dan faktor manusia yang akan dimuatnya dalam buku persyaratan.

Berdasarkan kedua unsur-unsur yang terkandung dalam PP tentang Indikasi Geografis yang telah disebutkan sebelumnya, penulis menarik kesimpulan bahwa Indikasi Geografis yang diberikan

perlindungan di Indonesia terbagi atas dua jenis yaitu: a. Indikasi Geografis Kombinasi Indikasi geografis secara Kombinasi diartikan bahwa barang yang akan diberikan perlindungan Indikasi Geografis memuat secara keseluruhan unsur yang terkandung dalam PP tentang Indikasi Geografis. Terdapatnya tanda yang menunjukkan asal tempat dihasilkan barang serta adanya kombinasi faktor alam dan manusia yang memberikan kualitas dan karakteristik dari barang tersebut; dan b. Indikasi Geografis Tunggal Indikasi Geografis secara tunggal diartikan bahwa

karakteristik dan kualitas tercipta diakibatkan karena hanya adanya faktor alam atau faktor manusia saja. Indikasi Geografis Tunggal ini akan memberikan kesempatan pada produk-produk kerajinan yang memiliki faktor manusia lebih dominan dalam menciptakan karakteristik dan kualitas pada barang kerajinan, mengingat pula bahwa Indikasi Geografis secara luas acap kali hanya dapat ditemukan pada barang-

barang hasil pertanian saja, misalnya Kopi Arabika Gayo, Kopi Arabika Mandailing, Lada Hitam Lampung, Mutiara Dobo, dan masih banyak lagi produk pertanian lainnya. Hingga saat ini tidak satupun produk kerajinan yang terdaftar dalam Daftar Umum Indikasi Geografis. Permintaan pendaftaran Indikasi Geografis yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal, merupakan salah satu upaya yang dapat digunakan produsen/penenun Sarung Sutera Mandar untuk melindungi hak pemanfaatan kekhasan Sarung Sutera Mandar dari pihak lain. Misalnya seperti penyalahgunaan, peniruan, dan pencitraan negatif terhadap Indikasi Geografis Sarung Sutera Mandar. Melalui pendaftaran Sarung Sutera Mandar sebagai Indikasi Geografis akan memberikan kepastian hukum bagi produsen/penenun. Adapun proses pendaftaran meliputi proses permohonan, proses pemeriksaan administratif, proses pemeriksaan substantif, pengumuman, keberatan dan sanggahan, hingga pemeriksaan substantif ulang. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau melalui kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap tiga kepada Direktorat Jenderal, dalam hal ini dapat diwakili oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM setiap provinsi yang terdapat disetiap kota. Permohonan tersebut selain mencantumkan

formulir, persyaratan administrasi serta buku persyaratan menjadi hal pokok dalam proses permohonan tersebut. Persyaratan administrasi berupa tanggal, bulan, dan tahun permohonan; nama lengkap,

kewarganegaraan, dan alamat pemohon; dan nama lengkap dan alamat kuasa, apabila permohonan diajukan melalui kuasa. Penerima kuasa harus melampirkan surat kuasa khusus dan serta bukti pembayaran biaya. Setelah lengkapnya formulir, persyaratan administrasi, serta buku persyaratan barulah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham akan mengirimkan dokumen-dokumen tersebut ke Direktorat Jenderal. Namun, tidak menutup kemungkinan pemohon dapat mengajukan langsung permohonan pendaftaran tersebut ke Direktorat Jenderal. Berdasarkan hasil kesimpulan wawancara penulis dengan Kepala Bagian Pendaftaran Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa masih kurangnya

pelatihan yang didapatkan untuk menerima pendafataran mengenai Indikasi Geografis, serta kurang populernya perlindungan Indikasi Geografis ditengah-tengah masyarakat mejadi salah satu hambatan, dalam hal pemberian perlindungan hukum bagi barang yang akan didaftarkan sebagai Indikasi Geografis.45

Nosemah, S.Hi. Wawancara. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Provinsi Sulawesi Selatan. 27 Desember 2010.

45

Selanjutnya

Direktorat

jenderal

melakukan

pemeriksaan

administratif atas kelengkapan persyaratan permohonan dengan jangka waktu paling lama empat belas hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. Hasil dari pemeriksaan terbagi atas tiga bagian yaitu a. Permohonan dinyatakan tidak lengkap. Direktorat Jenderal akan memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada pemohon atau kuasanya bagi permohonan yang dinyatakan tidak lengkap. Pemenuhan kelengkapan persyaratan tersebut memiliki jangka waktu selambat-

lambatnya tiga bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan. b. Permohonan ditolak. Jika dalam jangka waktu proses kelengkapan persyaratan pemohon tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan maka Direktorat Jenderal akan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon atau melalui kuasanya bahwa permohonan dianggap ditarik kembali dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Indikasi Geografis. c. Permohonan telah memenuhi persyaratan. Setelah permohonan dinyatakan memenuhi persyaratan, Direktorat Jenderal memberikan tanggal penerimaan paling

lambat

sebulan

terhitung

sejak

tanggal

dipenuhinya akan

kelengkapan

persyaratan,

Direktorat

Jenderal

meneruskan permohonan kepada Tim Ahli Indikasi Geografis. Tim ahli Indikasi Geografis melakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan dalam jangka waktu paling lama dua tahun, terhitung sejak tanggal diterimannya permohonan. Setelah tim ahli Indikasi Geografis mempertimbangkan bahwa permohonan telah

memenuhi ketentuan pendaftaran, berupa terpenuhinya seluruh unsur Indikasi Geografis, tidak bertentangannya Indikasi Geografis yang didaftarkan dengan Pasal 3 PP tentang Indikasi Geografis, serta terlengkapinya buku persyaratan. Tim ahli Indikasi Geografis akan menyampaikan usulan kepada Direktorat Jenderal agar Indikasi Geografis didaftarkan di Daftar Umum Indikasi Geografis yang memuat nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya, tanggal penerimaan serta mengumumkan informasi yang terkait dengan Indikasi Geografis termasuk abstrak dan buku persyaratan dalam berita resmi Indikasi Geografis, kurung waktu paling lama tiga puluh hari sejak tanggal diterimanya usulan dari tim ahli Indikasi Geografis. Selama dalam jangka waktu paling lama sepuluh hari sejak tanggal disetujuinya Indikasi Geografis, pengumuman sebagaimana yang dimaksud di atas akan dilaksanakan selama tiga bulan.

Sedangkan bagi permohonan yang dinyatakan ditolak oleh tim ahli Indikasi Geografis, dalam waktu paling lama tiga puluh hari sejak tanggal diterimanya usulan dari tim ahli Indikasi Geografis, Direktorat Jendral memberitahukan secara tertulis kepada pemohon atau melalui kuasanya dengan menyebutkan alasan penolakan. Selama kurung waktu paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan, pemohon atau kuasanya dapat menyampaikan

tanggapan atas penolakan tersebut dengan menyebutkan alasan. Sejak diterimanya tanggapan pemohon atau kuasanya, Direktorat Jenderal menyampaikan tanggapan penolakan tersebut kepada Tim Ahli Indikasi Geografis. Sehubungan dengan tanggapan penolakan tersebut Tim Ahli Indikasi Geografis akan melakukan pemeriksaan kembali dan

mengusulkan keputusan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan. Keputusan tersebut dapat berupa: a. Menyetujui tanggapan penolakan Seperti halnya dengan prosedur sebelumnya setelah

permohonan dinyatakan disetujui, tim ahli Indikasi Geografis akan menyampaikan usulan kembali kepada Direktorat Jenderal agar Indikasi Geografis didaftarkan di Daftar Umum Indikasi Geografis yang memuat nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya,

tanggal penerimaan serta mengumumkan informasi yang terkait dengan Indikasi Geografis termasuk abstrak dan buku persyaratan dalam berita resmi Indikasi Geografis, kurung waktu paling lama tiga puluh hari sejak tanggal diterimanya usulan dari tim ahli Indikasi Geografis. Selama dalam jangka waktu paling lama sepuluh hari sejak tanggal disetujuinya Indikasi Geografis, pengumuman sebagaimana yang

dimaksud diatas akan dilaksanakan selama tiga bulan; atau b. Tidak menyetujui tanggapan Dalam hal Tim Ahli Indikasi Geografis tidak menyetujui tanggapan, Direktorat Jenderal menetapkan keputusan untuk menolak permohonan dan selama kurung waktu paling lama tiga puluh hari Direktorat Jenderal akan memberitahukan secara tertulis keputusan penolakan tersebut kepada

pemohon atau melalui kuasanya dengan menyebutkan alasan. Selama kurung waktu paling lama tiga bulan, terhitung sejak tanggal diterimanya pemberitahuan keputusan

penolakan, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan banding kepada Komisi Banding Merek. Berbeda halnya ketika pemohon maupun kuasanya tidak mengajukan banding kepada Komisi Banding Merek dalam jangka waktu yang telah diberikan, Direktorat Jenderal akan mengumumkan keputusan

tersebut dalam Berita Resmi Indikasi Geografis dengan memuat nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya, dan nama Indikasi Geografis yang dimohonkan

pendaftarannya. Setiap pihak dapat mengajukan keberatan terhadap hasil keputusan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal, namun hak tersebut dibatasi selama jangka waktu pengumuman disetujuinya tanggapan penolakan dan atau pendaftaran Indikasi geografis. Keberatan tersebut ditujukan kepada Direktorat Jenderal secara tertulis dalam rangkap tiga dengan membayar biaya. Keberatan tersebut memuat alasan yang disertai bukti yang cukup bahwa permohonan seharusnya tidak didaftar atau ditolak berdasarkan PP tentang Indikasi Geografis maupun mengenai batas daerah yang mencakup Indikasi Geografis yang dimohonkan pendaftarannya. Direktorat Jenderal dalam waktu paling lama empat belas hari, terhitung sejak tanggal penerimaan keberatan, mengirimkan salinan keberatan tersebut kepada pemohon atau kuasanya. Setelah menerima salinan keberatan, pemohon atau kuasanya berhak menyampaikan sanggahan terhadap keberatan kepada Direktorat

Jenderal dalam waktu paling lama dua bulan terhitung sejak tanggal penerimaan salinan keberatan dimaksud. Sanggahan yang disampaikan oleh pihak pemohon atau kuasanya akan ditindaklanjuti melalui proses pemeriksaan substantif

ulang oleh tim ahli Indikasi Geografis yang akan diselesaikan dalam waktu paling lama enam bulan terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu penyampaian sanggahan. Hasil keputusan yang akan dikeluarkan tim ahli Indikasi Geografis dapat berupa: a. Tidak diterimanya keberatan yang ditujukan oleh pihak keberatan kepada pemohon atau kuasanya, dengan

keluarnya keputusan ini maka Direktorat Jenderal barulah melakukan pendaftaran terhadap Indikasi Geografis dalam Daftar Umum Indikasi Geografis; atau b. Keberatan dapat diterima, dengan hasil keputusan tersebut Direktorat Jenderal akan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon atau melalui kuasanya bahwa Indikasi Geografis ditolak. Selama jangka waktu paling lama tiga bulan terhitung sejak diterimanya keputusan penolakan, pemohon atau kuasanya dapat mengajukan banding kepada Komisi Banding Merek. Setelah Sarung Sutera Mandar dinyatakan terdaftar dalam Daftar Umum Indikasi Geografis, Sarung seluruh Sutera produsen Mandar yang akan untuk

memproduksi/menenun

diharuskan

mendaftarkan dirinya sebagai pemakai Indikasi Geografis Sarung Sutera Mandar ke Direktorat Jenderal dengan mengisi formulir pernyataan

sebagaimana

yang

ditetapkan

oleh

Direktorat

Jenderal

dengan

menyertakan rekomendasi dari instansi teknis yang berwenang. Selama jangka waktu paling lama tiga puluh hari setelah melengkapi persyaratan, Direktorat Jenderal akan mendaftarkan produsen pemakai Indikasi Geografis dalam Daftar Umum Pemakai Indikasi Geografis dan

mengumumkan nama serta informasi pada Berita Resmi Indikasi Geografis. Menurut penulis, diharuskannya para pihak produsen/penenun Sarung Sutera Mandar untuk mendaftar sebagai pemakai Indikasi Geografis memiliki dampak positif dan negatif ketika didaftarkan yaitu: a. Dampak Positif Pemakai Indikasi Geografis Sarung Sutera Mandar dalam memproduksi/menenun akan diberikan pengawasan agar tetap menggunakan faktor alam dan faktor manusia sebagai faktor terbentuknya karakteristik dan kualitas pada Sarung Sutera Mandar yang telah tertera di dalam Buku Persyaratan. Pengawasan tersebut akan berdampak positif dengan

meminimalisir hilangnya faktor alam dan atau manusia yang dapat berakibat terhapusnya perlindungan Indikasi Geografis.

b. Dampak Negatif Keharusan untuk mendaftarkan pihak produsen/penenun yang berkepentingan sebagai pemakai Indikasi Geografis di

kemudian hari akan mempersulit produsen/penenun tersebut. Mengingat sebagian besar penenun Sarung Sutera Mandar masih sangat kurang pemahamannya mengenai masalah hukum seperti pendaftaran yang akan diwajibkan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Bagian Penyuluhan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sulawesi Selatan (atau yang mewakili), penulis menarik kesimpulan bahwa hingga saat ini masyarakat belum mendapatkan pengetahuan secara pasti mengenai Indikasi Geografis baik secara luas maupun sempit.46 Selain itu produsen/penenun yang sebagian besar berdomisili di wilayah pedesaan47, akan mengalami kesulitan dalam hal pelaksanaan pendaftaran mengingat jarak tempuh

pendaftaran yang berada cukup jauh, yaitu di Kota Provinsi Sulawesi Barat, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.

Muh. Rusdianto. Wawancara. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Provinsi Sulawesi Selatan. 29 Desember 2010. 47 Desa Galung Tulu dan Desa Pambusuang merupakan desa sentra industri tenunan Sarung Sutera Mandar.

46

Setiap pihak dapat menyampaikan hasil pengawasan, berupa bukti dan alasannya, terhadap pemakai Indikasi Geografis kepada badan yang berwenang, badan yang dimaksudkan yaitu lembaga baik

pemerintah maupun non-pemerintah yang berkompeten untuk melakukan penilaian dan pengawasan mengenai kualitas/mutu suatu barang, dengan tembusan disampaikan kepada Direktorat Jenderal bahwa informasi yang dicakup dalam Buku Persyaratan mengenai barang yang dilindungi Indikasi Geografis tidak terpenuhi. Selama jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil pengawasan, Direktorat Jenderal menyampaikan hasil pengawasan tersebut kepada Tim Ahli Indikasi Geografis. Selama jangka waktu paling lama enam bulan terhitung sejak diterimanya hasil pengawasan, Tim Ahli Indikasi Geografis akan memeriksa hasil pengawasan tersebut dan menyampaikannya kepada Direktorat Jenderal beserta tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh Direktorat Jenderal. Selama jangka waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak diterimanya hasil pemeriksaan, Direktorat Jenderal akan memutuskan tindakan-tindakan penyampaian yang harus dilakukan, maupun baik berupa ditolaknya

pengawasan

diterimanya

penyampaian

pengawasan. Penerimaan penyampaian pengawasan akan ditindaklanjuti dengan melakukan pembatalan pemakai Indikasi Geografis terdaftar

melalui tindakan pencoretan pemakai dari Daftar Umum Pemakai Indikasi Geografis dan selanjutnya dinyatakan tidak berhak untuk menggunakan Indikasi Geografis. Selama jangka waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak diputuskannya pembatalan, Direktorat Jenderal akan mengumumkan keputusan tersebut dalam Berita Resmi Indikasi

Geografis.Pemakai yang dibatalkan hak-nya dalam memakai Indikasi Geografis dapat mengajukan keberatan terhadap pembatalan tersebut melalui Pengadilan Niaga paling lama tiga bulan terhitung sejak diterimanya keputusan pembatalan tersebut. Pendaftaran Sarung Sutera Mandar dalam Daftar Umum Indikasi Geografis dan pendaftaran produsen/penenun dalam Daftar Umum Pemakai Indikasi Geografis akan mencegah terjadinya pelanggaran berupa: a. Pemakaian Indikasi Geografis yang bersifat komersil baik secara langsung maupun tidak langsung atas Sarung Sutera Mandar yang tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya cakupan yang terkandung dalam buku persyaratan; b. Pemakaian suatu tanda Indikasi Geografis yang bersifat komersial, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap Sarung Sutera Mandar dengan maksud:

Untuk menunjukkan bahwa barang tersebut sebanding kualitasnya dengan barang yang dilindungi oleh Indikasi geografis;

Untuk mendapatkan keuntungan dari pemakaian; Untuk mendapatkan keuntungan atas reputasi Indikasi Geografis;

c. Pemakaian Indikasi Geografis yang dapat menyesatkan masyarakat sehubungan dengan asal-usul geografis barang tersebut; d. Pemakaian Indikasi Geografis secara tanpa hak sekalipun tempat asal barang dinyatakan; e. Peniruan atau penyalahgunaan lainnya yang dapat

menyesatkan sehubungan dengan asal tempat barang atas kualitas barang yang tercermin dari pernyataan yang terdapat dalam pembungkus atau kemasan, keterangan dalam iklan, keterangan dalam dokumen mengenai barang tersebut, serta informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal usulnya (dalam hal pengepakan barang dalam suatu kemasan). Setiap produsen/penenun yang berhak menggunakan Indikasi Geografis dari Sarung Sutera Mandar, lembaga yang mewakili

masyarakat, atau lembaga yang diberikan kewenangan (lembaga

pemerintah di daerah yang membidangi barang yang diajukan untuk permohonan) dapat mengajukan gugatan terhadap pelanggaran tersebut ke Pengadilan Niaga. Manfaat yang akan didapatkan produsen/penenun ketika telah mendaftarakan Sarung Sutera Mandar yaitu antara lain: a. Mencegah beralihnya kepemilikan hak pemanfaatan kekhasan produk Sarung Sutera Mandar dari masyarakat Sulawesi Barat kepada pihak lain; b. Memaksimalkan nilai tambah produk Sarung Sutera Mandar bagi masyarakat setempat; c. Memberikan perlindungan dari pemalsuan produk Sarung Sutera Mandar; d. Meningkatkan pemasaran produk Sarung Sutera Mandar; e. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang berdomisili di Sulawesi Barat; f. Menjamin keberlanjutan usaha penenun Sarung Sutera Mandar; g. Memperkuat ekonomi wilayah Sulawesi Barat; h. Mempercepat perkembangan wilayah Sulawesi Barat; i. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat; dan

j.

Memberikan produsen.

perlindungan

dan

kepastian

hukum

bagi

Pasal 56 ayat (2) PP No.51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menentukan bahwa yang berhak mengajukan permohonan salah satunya yaitu kelompok konsumen barang tersebut. Menurut Miranda Risang Ayu, ketentuan yang memungkinkan kelompok konsumen untuk menjadi pihak pendaftar Indikasi Geografis merupakan ketentuan yang tidak tepat dan merupakan ketentuan pertama yang pernah ada selama sejarah perlindungan Indikasi Geografis. Walaupun Indikasi Geografis pertama-tama ditujukan untuk kepentingan konsumen agar tidak terjadi penipuan atau pengelabuan asal barang yang berfungsi sebagai jaminan atas karakteristik dari barang yang dihasilkan dan kepentingan produsen dalam hal pendomplengan reputasi tanpa hak menjadi sasaran kedua. Tetapi, hak milik atau hak guna yang menjadi manfaat dari suatu Indikasi Geografis selalu dipegang oleh produsen atau produsen bersama dengan pedagang dan tidak pernah dipegang oleh konsumen. Menurut Miranda, hal tersebut amat logis karena konsumen memang tidak berkepentingan untuk membuat, memasarkan, atau melepaskan produk tersebut dengan mengambil keuntungan penjualan,

tetapi sebaliknya konsumen ingin memiliki, menikmati, dan menghabiskan produk tersebut melalui pembayaran. 48 Kewenangan untuk mengajukan permohonan pendaftaran bagi konsumen tidak tepat. Pertama, konsumen tidak berkepentingan untuk memproduksi atau memasarkan produk, tapi sebaliknya mengkonsumsi produk dengan kualitas yang sesuai dengan harapannya. Konsumen tidak berkepentingan untuk mengubah diri menjadi penjual produk untuk dibeli. Jadi, pemosisian konsumen seperti ini tidak sesuai dengan adanya unsur konsumen dalam sistem perlindungan Indikasi Geografis, karena konsumen merupakan penerima perlindungan pasif dan bukan aktif.49 Kedua, jika sampai ada konsumen yang mendaftarkan suatu Indikasi yang ternyata masih merupakan jerih-payah suatu kelompok produsen, produsen tersebut akan sangat dirugikan. Ini bertentangan dengan moralitas sejarah perlindungan Merek dan Indikasi Geografis sendiri, yang juga dimaksudkan untuk mengaitkan tanda yang tertera pada suatu produk dengan kelompok produsen tertentu yang memang merupakan penghasil dari produk tersebut. Jika pun konsumen

diharuskan untuk memiliki andil dalam proses perlindungan suatu Indikasi Geografis, tampaknya lebih tepat jika andil tersebut bukan dalam bentuk

48 49

Miranda Risang Ayu, Op. Cit., hlm.166-167 Ibid.

hak

untuk

mengajukan

aplikasi

pendaftaran,

tetapi

hak

untuk

berpartisipasi mengajukan keberatan, jika ternyata pendaftaran itu akan merugikan kepentingan masyarakat umum. Konsumen juga berhak melakukan pengaduan atau gugatan jika suatu indikasi sampai

membingungkan, menyesatkan, atau menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi, baik secara individual maupun bersama-sama.50 Menurut penulis, ketika permohonan pendaftaran diajukan oleh pihak kelompok konsumen tidak akan membawa pengaruh

pengambilalihan hak milik atau hak guna atas pemanfaatan Indikasi Geografis seperti yang dipaparkan oleh Miranda. Indikasi Geografis kepemilikan haknya bersifat kolektif. Hak guna atas pemanfaatan Indikasi Geografis secara kolektif tersebut hanya akan diberikan kepada produsen. Produsen yang dimaksudkan yaitu produsen yang telah mendaftar dan terdaftar sebagai pemakai Indikasi Geografis dalam Daftar Umum Pemakai Indikasi Geografis. Selain itu penulis beranggapan bahwa kelompok konsumen dapat diberikan kewenangan untuk mendaftarkan, selain bertujuan agar tidak terjadi penipuan atau pengelabuan atas asal barang. Kelompok konsumen dapat ikut serta dalam menjaga kelestarian alam, adat istiadat, pengetahuan serta kearifan lokal masyarakat yang terkandung dalam Sarung Sutera Mandar melalui pendaftaran tersebut.

50

Ibid.

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Perpaduan faktor alam dan faktor manusia pada hasil tenunan Sarung Sutera Mandar memberikan karakteristik dan kualitas pada hasil tenunan. Selain itu, pencantuman nama geografis dibelakang hasil tenunan tersebut memberikan kesempatan pada penenun/produsen Sarung Sutera Mandar untuk melakukan permohonan pendaftaran sebagai produk yang dapat dilindungi dengan dasar hukum UndangUndang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Berdasarkan PP tentang Indikasi Geografis, pendaftaran Indikasi Geografis dilalui melalui beberapa proses, yaitu proses permohonan, proses pemeriksaan administratif, proses pemeriksaan substantif, pengumuman, sanggahan, hingga pemeriksaan substantif ulang. Selain itu pula, PP tentang Indikasi Geografis menentukan, setiap pihak produsen yang berkepentingan untuk memakai Indikasi Geografis harus mendaftarkan sebagai pemakai Indikasi Geografis ke Direktorat Jenderal. Kurang jelasnya pengertian faktor alam dan faktor manusia dalam PP tentang Indikasi Geografis, kurangnya penyuluhan hukum terkait Indikasi Geografis kepada

masyarakat, kurangnya dukungan pemerintah untuk mendaftarkan Sarung Sutera Mandar, serta masih kurangnya pelatihan mengenai penerimaan pendaftaran Indikasi Geografis di Kantor Wilayah

Kementerian Hukum dan HAM merupakan beberapa hambatan yang ditemukan penulis dalam hal pemberian perlindungan hukum terhadap produsen Sarung Sutera Mandar. 5.2 Saran Adapun saran yang dapat penulis rekomendasikan yakni: a. Pemerintah. Pemerintah bekerjasama dengan pihak yang mengusahakan,

penenun, dan atau pedagang yang menjual Sarung Sutera Mandar untuk mendaftarkan Sarung Sutera Mandar sebagai barang yang dapat diberikan perlindungan Indikasi Geografis; Agar dapat melakukan peningkatan pengetahuan produsen/penenun serta penumbuhan dan penguatan Balai Industri Sutera Alam maupun unit kerja terkait; Perlunya dilakukan penyuluhan hukum mengenai pemahaman tentang perlindungan Indikasi Geografis secara rinci, mencakup manfaat, proses, persyaratan dan tantangannya kepada seluruh pelaku terkait;

Diharapkan adanya kebijakan dan konsistensi dukungan pemerintah, Gubernur serta Bupati/Walikota untuk melakukan pendaftaran Indikasi Geografis tidak hanya pada Sarung Sutera Mandar tapi juga produkproduk khas wilayahnya;

Diharapkan dapat membuat regulasi tersendiri tentang Indikasi Geografis berupa Undang-Undang tentang Indikasi Geografis;

b. Masyarakat-Penenun Sarung Sutera Mandar Diharapkan Masyarakat tetap mempertahankan kombinasi faktor alam dan faktor manusia yang menghasilkan kualitas dan karakteristik Sarung Sutera Mandar; Mempromosikan dan memasarkan Sarung Sutera Mandar sesuai dengan Buku Persyaratan; c. Konsumen Diharapkan dapat ikut serta dalam mendaftarkan Sarung Sutera Mandar sebagai barang yang dapat diberikan perlindungan Indikasi Geografis.

DAFTAR PUSTAKA Buku Achmad Zen Umar Purba. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Jakarta: Alumni. Agus Sardjono. 2009. Membumikan HKI di Indonesia. Bandung:Nuansa Aulia. Ahmadi Miru. 2007. Hukum Merek. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Aminuddin dan Zainal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Budi Agus Riswandi dan Syamsudin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ibrahim Abbas. 1999. Pendekatan Budaya Mandar. Ujung Pandang: Sipattau. Miranda Risang Ayu. 2006. Memperbincangkan Hak Kekayaan IntelektualIndikasi Geografis. Bandung: Alumni. OK.Saidin. 2006. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Rachmadi Usman. 2006. Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Bandung: Alumni. Sudargo Gautama dan Rizawanto. 2002. Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001. Jakarta: Citra Aditya Bakti. Tanawali Syah Azis. 2002. Sejarah Mandar Jilid I. Ujung Pandang: Yayasan Al Azis. .2004. Hak Atas Kekayaan Intelektual-Peraturan Baru Desain Industri. Jakarta: Citra Aditya Bakti.

Tambahan Bacaan Abbas, St.Arifah, dkk. 2000. Tenunan Sarung Sutera Khas Mandar Kabupaten Polmas. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sulawesi Selatan. Album Tenun Tradisional. 2002. Aceh-Sumatera Barat-Sulawesi SelatanNusa Tenggara Barat. Baso A. Matturungan. 2008. Analisis Manajemen Industri Kecil Di Kabupaten Polewali Mandar. Tesis. Fakultas Manajemen STIA LAN. Makassar. Departemen Pendidikan Nasional Jenderal Kebudayaan dan Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2001. Laporan Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan. Makassar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Tenunan Nusantara. Museum Negeri Provinsi Sulawesi SelatanLa Galigo. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departement Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kompilasi Undang-Undang Republik Indonesia di Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Japan International Co-operating Agency. Hodijah (dkk). 2009. Pesona Kain Nusantara Menuju Pasar Global dan Industri Budaya, Katalog Pameran. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat-Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung. Husni djamaluddin dkk.1992. Info Budaya Nusantara. Jakarta. Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Ujung Pandang. 1982. Sekilas Lintas Mengenai Motif-Motif Ornamen dan Ragam Hias Daerah Sulawesi Selatan. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Indonesia bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2005. Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional, Depok.

http://regional. kompas.com/read/2010/01/15/21335463/ Peluang.Ekspor.Ada.di.Sarung.Sutera.Sulbar http://id.wikipedia.org /wiki/Kategori: Kecamatan_di_Kabupaten_Polewali_Mandar http://id.wikipedia.org/wiki/Sarung http://webcache. googleusercontent.com/search?q=cache:T9fLBd7z2kJ:www.metrobali kpapan.co.id/index.php%3Fmib%3Dberita.detail%26id%3D43810+sar ung+adalah&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id http://regional.kompas.com/read/ 2010/01/15/21335463/Peluang.Ekspor.Ada.di.Sarung.Sutera.Sulbar www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent.php?fid=14872 http://baruga2004.blogspot.com/2008/11/tenunan-tradisional-tenunanmandar_25.html

Anda mungkin juga menyukai