Anda di halaman 1dari 5

BANK AIR SUSU IBU (ASI) DALAM PANDANGAN ISLAM

A. Latar Belakang Adanya Bank ASI

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik bagi bayi, karena pengolahannya telah
berjalan secara alami dalam tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah disiapkan lebih
dahulu. Begitu anak itu lahir, air susu ibu telah dapat dimanfaatkan. Demikian masih sayang Allah
terhadap makhluk-Nya. Karena begitu pentingnya ASI tersebut, maka orang mungkin
mendapatkannya pada Bank ASI, sekiranya air susu ibu itu tidak memadai atau karena bayi itu
berpisah tempat pada ibunya.
Proses menyusui adalah pemberian hak anak oleh ibu. Konon pada zaman Rasul, wanita-
wanita di desa menjadikan ini sebagai mata pencaharian. Mereka berkeliling kota mencari wanita
hamil dan menawarkan jasa menyusui kalau bayinya lahir nanti. Halimatussa'diah adalah wanita
dari bani saad yang dipercaya untuk menyusui manusia mulia bernama Muhammad saw.
Akhir – akhir ini, pemerintah selalu mengimbau kepada kaum ibu, supaya persediaan
makanan yang ada pada diri si ibu itu, jangan disia-siakan kemudian menggantinya dengan
makanan yang lain.
Menggunakan makanan lain seperti susu dan tepung yang khusus bagi bayi, sebenarnya tidak
dilarang tetapi sebagai makanan tambahan saja. Air susu iu adalah makanan terpokok yang khusus
dipersiapkan untuk si bayi dan ASI itu sudah pasti cocok untuk bayi itu.
Seperti layaknya bank yang mengatur dan menyediakan stok uang, kini ASI pun dirasa perlu
tersedia dalam bentuk bank atau yang dikenal dengan bank ASI. Namun hal ini masih mengundang
kontroversi.
Kesulitan para ibu memberikan ASI untuk anaknya menjadi salah satu pertimbangan
mengapa bank ASI perlu didirikan, terutama di saat krisis seperti pada saat bencana yang sering
membuat ibu-ibu menyusui stres dan tidak bisa memberikan ASI pada anaknya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Bank ASI ?


2. Bagaimana hukum serta dalil mengenai Bank ASI ?
3. Apakah ada perbedaan pendapat antara‘alim ulama mengenai Bank ASI

C. Pembahasan

1. Pengertian Bank ASI

ASI adalah makanan terbaik bagi bayi dibanding makanan pengganti yang terbuat
dari susu sapi termasuk susu sapi yang telah diolah sekalipun. Sudah menjadi kewajiban
seorang ibu untuk memberikan ASI atau menyusui anaknya, namun sering kali pada saat ini
terjadi berbagai permasalahan yang dimana seorang ibu tidak dapat menyusui anaknya
dikarnakan air susunya kering atau tidak keluar sama sekali. Seiring berkembangnya
kemajuan zaman kini manusia pun semakin maju dengan alat-alat teknologi dan kemajuan
ilmu pengetahuan. Kini di berbagai negara telah muncul bank-bank untuk memenuhi
kebutuhan ASI pada bayi. Seperti layaknya bank yang mengatur dan menyediakan stok
uang, yang kini dirasa perlu tersedia dalam bentuk bank atau yang dikenal dengan bank
ASI.
Kehalalan air susu ibu, tidak ada yang meragukannya, baik air susu ibu si bayi,
maupun air susu wanita lain, bila air susunya tidak memadai, atau karena suatu hal, ibu
kandung si bayi itu tidak dapat mensusuinya. Nabi Muhammad sendiri pernah dititipkan
kepada Halimahtussa’diyah untuk disusukan dan diperlihara/ didiknya. Perlu kita ketahui,
bahwa yang dimaksud dengan kata-kata menyusui bukanlah hanya terbatas kepada
menghisap tetek saja, tetapi meliputi juga susu yang diperah dari seorang ibu, walaupun
dicampur dengan benda lain, atau sudah menjadi beku seumpamanya dibuat keju atau
makanan lainnya. Bank ASI, yaitu suatu sarana yang dibuat untuk menolong bayi-bayi
yang tak terpenuhi kebutuhannya akan ASI. Di tempat ini, para ibu dapat menyumbangkan
air susunya untuk diberikan pada bayi-bayi yang membutuhkan.
Bank ASI Dalam Pandangan Islam, andai kata ada diantara wanita yang rela
menyerahkan susunya pada Bank ASI, maka air susu itu sama saja seperti darah yang
disumbangkan untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana darah yang boleh diterima dari
siapa saja dan boleh diberikan kepada siapa saja yang memerlukannya, maka air susupun
demikian hukumnya. Bedanya ialah darah adalah najis. Sedang air susu bukan najis. Oleh
sebab itu, darah baru dapat dipergunakan dalam keadaan darurat atau terpaksa. Tujuan
diadakannya bank air susu ibu (ASI) merupakan tujuan yang mulia yang didukung oleh
Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua orang yang memerlukan maupun
kekurangan ASI dari diri si ibu. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir
prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan. Perumpuan yang menyumbangkan
sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan
pahala dari Allah dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susu seorang perumpuan itu boleh
dibeli darinya, jika ia tidak berkenan menyumbangkan sebagaimana ia diperbolehkan
mencari upah dengan menyusui anak orang lain. Sebuah permasalahan yang akan timbul
kemudian hari adalah ketika anak itu tumbuh menjadi remaja dan kemudian menjadi
dewasa, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putra-putri dari bank
susu tersebut. Menurut hukum Islam, saudara radha’ah (sepersusuan) merupakan muhrim
yang tidak boleh melakukan pernikahan antara dua orang saudara radha’ah.
Bank ASI yang terdapat di Australia, bagi ibu yang ingin menyumbangkan air
susunya harus mendaftarkan diri dulu ke bank ASI. Setelah melalui tes kesehatan dan telah
dipastikan tak ada infeksi yang bisa ditularkan ibu penyumbang melalui air susunya ke
bayi, air susu diperah lalu dibekukan. Tak ada jumlah minimal berapa mililiter air susu
yang harus disumbangkan. Bayi prematur biasanya minum susu kurang dari 20 ml, jadi
sesedikit apapun susu yang disumbang, diterima oleh bank. Bank lalu mengumpulkan susu
perahan tersebut, melakukan proses pasturisASI dan mengetes kembali keamanannya untuk
dikonsumsi. Susu kemudian kembali dibekukan dan didistribusikan ke berbagai rumah
sakit untuk diberikan pada bayi-bayi yang membutuhkan. Pemilihan dan proses pengetesan
air susu ibu sama dengan proses yang dilakukan bank darah. Hal ini sukses dilakukan
sebuah bank ASI di Inggris, karena selama 30 tahun beroperASI, belum pernah ada kasus
bayi tertular infeksi melalui air susu dari ibu penyumbang. Ibu yang ingin menyumbangkan
air susunya dituntut prima kesehatannya, tidak merokok, tidak menggunakan obat-obatan,
tidak mengonsumsi alkohol. Mereka juga tak boleh mengonsumsi kafein, dan harus melalui
tes yang menyatakan mereka bebas HIV dan hepatitis B. “Proses pasturisASI akan
menghancurkan bakteri. Setelah itu, air susu akan diuji lagi untuk diketahui apakah masih
ada bakteri sebelum kembali dibekukan,” kata Marea. “Jika masih ditemukan sisa bakteri di
dalamnya, maka susu tersebut akan dibuang.” “Tujuan bank ASI sangat bagus dan mulia.

2. Hukum dan dalil mengenai Bank ASI

a) Hukum mengenai Bank ASI

Seorang bayi boleh saja menyusu kepada wanita lain, bila air susu ibunya tidak
memadai, atau karena suatu hal, ibu kandung bayi tidak dapat menyusuinya. Status
ibu yang menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung sendiri, tidak boleh
kawin dengan wanita itu, dan anak-anaknya. Dalam hukum islam disebut sebagai
saudara sepersusuan. Gambaran yang dikemukakan jelas bahwa siapa wanita yang
menyusukan dan siapa pula bayi yang disusukan itu hukumnya jelas yaitu sama
dengan mahram. Sekarang yang menjadi perrsoalan ialah, air susu yang disimpan
pada Bank ASI, maka air susu itu sama saja seperti darah yang disumbangkan untuk
kemaslahatan umat. Sebagaimana darah boleh diterima dari siapa saja dan boleh
diberikan kepada yang memerlukannya, maka air susupun demikian juga hukumnya.
Bedanya ialah darah najis, sedangkan air susu bukan najis. Oleh sebab itu, darah
baru dapat dipergunakan dalam keadaan darurat atau terpaksa. Namun timbul lagi
pertanyaan bagaimana hubungan antara donor ASI dengan bayi yang menerimanya?
Apakah sama dengan ar-Radha’ah atau saudara sepersusuan?
Menurut Ali Hasan, agak sukar menentukan atau mengetahui donor asli itu,
sebagaimana donor darah. Dengan demikian, baik ibu “susuan”, maupun “anak susuan”, tidak
saling mengenal. Hal ini berarti, masalah pemanfaatan air susu dari Bank ASI, tidak dapat
disamakan dengan ar-Radhaah. Pemanfaatan air susu dari Bank ASI adalah dalam keadaan
terpaksa (bukan karena haram). Sebab, selagi ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan
anak itu, maka itulah sebenarnya yang terbaik. Hubungan psikologis antara si bayi dan ibunya
terjalin juga dengan mesra pada saat menyusukan bayi itu. Si bayi merasa disayangi dan si
ibu pun merasakan bahwa air susunya akan menjadi darah daging anak itu. Berbeda, kalau air
susu yang diminum anaknya itu berasal dari orang lain. Pertumbuhan dan perkembangan anak
itu, dibantu oleh pihak lain, sebagaimana air susu sapi yang kita kenal selama ini, dan
makanan yang khusus dibuat (diproduksi) untuk bayi.

b) Perdebatan Dari Segi Dalil

Setidaknya ada dua syarat penyusuan yang diperdebatkan. Pertama, apakah


disyaratkan terjadinya penghisapan atas puting susu ibu? Kedua, apakah harus ada
saksi penyusuan?

1) Haruskah Lewat Menghisap Puting Susu ?

Kalangan yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi
minum air susu dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air
susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi
penyusuan. Sebab yang namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm, di mana beliau mengatakan bahwa
sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui
dengan mulutnya.
Dalam fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu
seorang wanita dengan menggunakan botol atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas
ditelannya, atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain,
dituangkan ke dalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang
demikian itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu


sepersusuan...' (QS An-Nisa':23)

Menurut Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut
bayi harus terjadi sebagai syarat dari penyusuan.
Sedangkan bagi mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria
menyusu harus dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi
kriteria adalah meminumnya, bukan cara meminumnya.
Dalil yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang
menyebutkan bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Perhatikan saudara


laki-laki kalian, karena saudara persusuan itu akibat kenyangnya menyusu. (HR
Bukhari dan Muslim)

Dari Aisyah ra dia menceritakan : “ Diantara ayat-ayat yang diturunkan dalam


Al-quran adalah sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi mengharamkan
( orang yang menyusui dan disusui menikah ), kemudian dinash ( di hapuskan )
dengan lima kali penyusuan yang dimaklumi, lalu Rasulullah saw wafat, sedang
ayat tersebut masih tetap dibacakan sebagai ketetapan Al-Quran “ ( HR.
Muslim dan Ibnu Majah)
2) Haruskah Ada Saksi ?

Hal lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian
ulama mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan
kemahraman, maka harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Azhar.
Namun ulama lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari
wanita yang menyusui saja.
Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan
karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-
laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak
mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi
tersebut.Sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu
yang diminum oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan
ketidak-jelasan itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.
Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak
ada saksi), maka tidak mungkin ditetapkan di atasnya suatu hukum. Pendeknya, bila
tidak ada saksinya, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
Sedangkan menurut ulama lainnnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah
penyusuan. Yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya.
Maka siapa pun bayi yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram
buat semua wanita yang menyumbangkan air susunya. Dan ini akan mengacaukan
hubungan kemahraman dalam tingkat yang sangat luas.
Dari pada kacau balau, maka mereka memfatwakan bahwa bank air susu
menjadi haram.

3. Perbedaan pendapat ‘alim ulama mengenai Bank ASI

Proses menyusui adalah pemberian hak anak oleh ibu. Konon pada zaman Rasul,
wanita-wanita di desa menjadikan ini sebagai mata pencaharian. Mereka berkeliling kota
mencari wanita hamil dan menawarkan jasa menyusui kalau bayinya lahir nanti.
Halimatussa'diah adalah wanita dari Bani Saad yang dipercaya untuk menyusui manusia
mulia bernama Muhammad saw.
Di masa sekarang ini kita memang dikejutkan dengan berita telah berdirinya bank
khsusus untuk menampung air susu ibu. Para ulama kontemporer melihat dari beberapa
sudut pandang yang berlainan, sehingga yang kita temui dari fatwa mereka pun saling
berbeda. Sebagian mendukung adanya bank air susu tapi yang lainnya malah tidak setuju.

a) Pendapat Yang Membolehkan


• Menurut Dr. Yusuf Al-Qaradawi Ia tidak menjumpai alasan untuk melarang
diadakannya semacam "bank susu." Asalkan bertujuan untuk mewujudkan mashlahat
syar'iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi. Beliau cenderung
mengatakan bahwa bank air susu ibu bertujuan baik dan mulia, didukung oleh Islam untuk
memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-
lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya
dan kekuatan.
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air
susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan
pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu
boleh menjual air susunya, bukan sekedar menyumbangkannya. Sebab di masa
nabi, para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata
pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air
susu.
Bahkan Al-Qaradawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang
pengumpulan ‘air susu’ itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat
dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak, patut mendapatkan ucapan terima
masih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.

• Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir.


Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus
melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita
sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak
mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak
bayi tersebut.

b) Pendapat Yang Tidak Membenarkan Bank ASI


• Dr. Wahbah Az-Zuhayli dan juga Majma' Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa
Mua`sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank ASI tidak dibolehkan
dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma' Fiqih Al-Islami melalui Badan Muktamar
Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22 – 28 Disember 1985/ 10 – 16
Rabiul Akhir 1406. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang
keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan
pengambilan susu dari bank tersebut.

KESIMPULAN

Masalah ini tetap menjadi titik perbedaan pendapat dari dua kalangan yang berbeda
pandangan. Wajar terjadi perbedaan ini, karena ketiadaan nash yang secara langsung
membolehkan atau mengharamkan bank susu. Nash yang ada hanya bicara tentang hukum
penyusuan, sedangkan syarat-syaratnya masih berbeda. Dan karena berbeda dalam
menetapkan syarat itulah makanya para ulama berbeda dalam menetapkan hukumnya.
Pemanfaatan air susu dari Bank ASI, adalah dalam keaadan terpaksa. Sebab, selagi
ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anaknya, maka itulah yang terbaik. Hubungan
psikologis antara si bayi dan ibunya akan terjalin dengan begitu mesra pada saat
menyusukan si bayi tersebut. Si bayi merasa disayangi dan si ibu pun merasakan bahwa air
susunya akan menjadi darah daging anaknya itu.

DAFTAR PUSTAKA

M. Ali Hasan, 1996, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer


Hukum Islam , Jakarta :PT RajaGrafindo Persada

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, 1996, Fiqih Wanita, Jakarta : Penerbit Al-Kautsar

http://helwy.multiply.com/journal/item/24/Bank_ASI_dlm_Islam_

http://menujucintanya.wordpress.com/2010/01/20/pandangan-islam-tentang-bank-ASI/

http://alifmagz.com/wp/2010/03/05/bank-ASI-bolehkah/
.

Anda mungkin juga menyukai