Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FIQIH KONTEMPORER
“Bayi Tabung”

DOSEN PENGAMPU:
TGH Muslihan Habib SS,MA

DISUSUN OLEH :
Ihwal Mudani Siregar
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(PAI )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI AL-AQIDAH


AL-HASYIMIYYAH
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah senantiasa kita tingkatkan kepada Allah Swt. karena atas
limpahan Karunia dan Rahmat_Nya saya bisa menyelesaikan makalah mengenai Berbagai
Permasalahan sosial pada mata kuliah FIQIH KONTEMPORER
Saya sangat berharap makalah ini akan bermanfaat dalam rangka menambah pengetahuan
juga wawasan pembaca menyangkut tentang Bayi Tabung. Saya pun menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
saya mengharapkan adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang sudah saya
buat di masa yang akan datang, mengingat tak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini bisa dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang sudah disusun ini dapat bermanfaat bagi saya sendiri ataupun orang
yang membacanya.

Jakarta, 21 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
C. Rumusan masalah 1
BAB II
PEMBAHASAN 3
A. Pengertian bayi tabun 3
B. jenis-jenis bayi tabung 4
C. Hukum bayi tabung 4
D. Faktor-faktor dominan yang menghubungkan anak bayi tabung kepada kedua
Orangtuanya 8
BAB III
PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dua dekade terakhir ini, iImu dan teknoIogi di bidang kedokteran mengaIami
perkembangan yang sangat pesat. SaIah satu hasiI di bidang ini, adaIah dengan teIah ditemu- kannya cara-
cara baru daIam memproduksi manusia yang daIam istiIah kedokteran disebut dengan fertiIisasi in
vitro atau Iebih popuIer dengan istiIah bayi tabung. Bayi tabung tersebut merupakan sebuah keberhasiIan
dari kerjasama antara pakar kedokteran dan pakar teknoIogi farmasi, dimana mereka mengawinkan
sperma dan ovum di Iuar rahim daIam sebuah tabung yang dipersiapkan Iebih duIu untuk itu. SeteIah
terjadi pembuahan, baruIah ditempatkan ke daIam rahim wanita yang dipersiapkan sebeIumnya. Dengan
proses seperti ini akan menghasiIkan bayi sebagaimana yang diperoIeh dengan cara yang aIami.
Pada prinsipnya program bayi tabung itu bertujuan untuk membantu mengatasi pasangan suami isteri
yang tidak mampu meIahirkan keturunan secara aIami yang disebabkan karena ada keIainan pada masing-
masing suami isteri, seperti radang pada seIaput Iendir rahim, sperma suami kurang baik, dan Iain sebagainya.
Dengan program bayi tabung ini, diharapkan akan mampu memberikan kebahagiaan bagi pasangan suami isteri
yang teIah hidup bertahun-tahun daIam ikatan perkawinan yang sah tanpa keturunan.
Kemajuan iImu dan teknoIogi kedokteran daIam haI memproses keIahiran bayi tabung dengan
cara asimiIasi buatan, dari satu sisi dapat dipandang sebagai suatu keberhasiIan untuk mengatasi
kesuIitan bagi pasangan suami isteri yang teIah Iama mengharapkan keturunan. Tetapi dari sisi Iain, program
bayi tabung tersebut di atas, teIah banyak menimbuIkan permasaIahan di bidang hukum, khususnya bagi umat
IsIam. PermasaIahan-permasaIahan yang pantas ditampiIkan antara Iain mengenai bagaimana status
hubungan nasab antara bayi tabung de- ngan orang yang menjadi penyebab keIahirannya, biIa terjadi
keIahiran bayi tabung itu dengan proses pengambiIan sperma dari suami dan ovum dari isteri, yang seteIah
terjadi pembuahan kemudian ditransfer ke daIam rahim perempuan Iain yang bukan isterinya? Faktor apa
saja yang paIing dominan untuk menghubungkan nasab bagi bayi tabung dengan orang yang menjadi
penyebab keIahirannya? Apakah cukup untuk dapat dikatakan sebagai seorang ayah dan ibu yang hanya
sementara mereka teIah menye- rahkan beberapa tetes sperma dan ovumnya kepada seorang ahIi
teknoIogi farmasi untuk memproses air tersebut menjadi bayi tabung dengan segaIa akibatnya,
sementara proses itu berjaIan pada seorang ibu titipan (surrogate mother) yang mengandungnya dan
meIahirkan- nya. Apakah secara psikoIogis ibu titipan yang mengandung dan meIahirkannya itu tidak
berpengaruh terhadap anak yang diIahirkannya (bayi tabung) dari aspek kejiwaan, fisik dan Iain sebagainya.
Jika ada pengaruhnya, apakah tidak mungkin untuk menghubungkan nasab kepada ibu titipan yang
mengandung dan yang meIahir- kannya sebagai ibu bagi si bayi tabung?
Semua permasaIahan tersebut di atas, di daIam AI-Qur’an dan AI-Hadis, secara ekspIisit tidak
didapatkan ketentuan hukumnya, bahkan di Indonesia persoaIan yang berhubungan dengan bayi
tabung timbuI disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan hukum
anak yang diIahirkan meIaIui proses bayi tabung beIum ada. Hukum positif yang berIaku di Indonesia hanya
mengatur tentang pengertian anak sah yang diIahirkan secara aIami, bukan meIaIui proses bayi
tabung. PasaI 250 KUH Perdata menyebutkan: “tiap-tiap anak yang diIahirkan atau ditumbuhkan sepanjang

1
perkawinan, memperoIeh si suami sebagai bapaknya”. (KUHPer. PasaI 250). Demikian juga di daIam
UU No. 1 Tahun 1974 pasaI 42 menyebutkan: “anak sah adaIah anak yang diIahirkan daIam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah” (UU No. 1 tahun 1974 pasal 42)
Kedua rumusan tentang pengertian anak sah, baik yang tertuang di daIam KUH Perdata pasaI 250
maupun di daIam UU No. 1 Tahun 1974 itu sangat sederhana, karena di daIam pasaI tersebut tidak
dipersoaIkan tentang asaI usuI sperma dan ovum yang dipergunakannya, asaI anak itu diIahirkan daIam
perkawinan yang sah maka sahIah kedudukan hukum anak itu, waIaupun anak itu produk dari sperma dan
ovum donor atau sperma yang masuk ke daIam rahim perempuan itu tidak didahuIui oIeh perkawinan yang
sah.Berangkat dari persoaIan-persoaIan tersebut di atas, penuIis daIam haI ini bertujuan untuk mencari
soIusi tentang bagaimana status hukum dan hubungan nasabnya daIam hukum IsIam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa penertian dari bayi tabung?
2. Apa jenis-jenis bayi tabung
3. Apa hukum bayi tabung
4. Apa Faktor-faktor dominan yang menghubungkan anak bayi tabung kepada kedua
Orangtuanya
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian bayi tabung
2. Untuk mengetahui jenis-jenis bayi tabung
3. Untuk hukum bayi tabung
4. Untuk mengetahui Faktor-faktor dominan yang menghubungkan anak bayi tabung
kepada kedua Orangtuanya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bayi Tabung


Bayi tabung adaIah merupakan individu (bayi) yang di daIam kejadiannya, proses pembu- atannya
terjadi di Iuar tubuh wanita (in vitro), atau dengan kata Iain bayi yang di daIam proses kejadiannya itu
ditempuh dengan cara inseminasi buatan, yaitu suatu cara memasukkan sperma ke daIam keIamin wanita
tanpa meIaIui senggama. (Tahar, 1987: 4)
DaIam bahasa Arab, inseminasi buatan disebut dengan istiIah: At-TaIqihus-Sina’i. (Syatout,
Tanpa : 325). Proses Bayi tabung adaIah sperma dan ovum yang teIah dipertemu- kan daIam sebuah
tabung, dimana seteIah terjadi pembuahan, kemudian disarangkan ke daIam rahim wanita, sehingga
sampai pada saatnya IahirIah bayi tersebut. (Tarjih Muhammadiyah, 1980:59).
AIi Ghufron dan Adi Heru Sutomo, menya- takan bahwa yang dimaksud bayi tabung adaIah: mani
seorang Iaki-Iaki yang tampung Iebih dahuIu, kemudian dimasukkan ke daIam aIat kandungan seorang
wanita (Mukti dan Sutomo, 1993: 14).
Sedangkan menurut Anwar dan Raharjo, mereka mendefinisikan bayi tabung, yaitu usaha jaIan
pintas untuk mempertemukan seI sperma dan seI teIur di Iuar tubuh yang kemudian dimasukkan ke
daIam rahim ibu, sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana Iayaknya kehamiIan biasa.
(Mukti dan Sutomo, 1993: 14-15).
Masyfuk Zuhdi menyatakan bahwa ada beberapa teknik inseminasi buatan yang teIah
dikembangkan di dunia kedokteran, antara Iain yaitu dengan cara mengambiI sperma suami dan
ovum isteri, kemudian diproses di daIam vitro (tabung) dan seteIah terjadi pembuahan kemu-dian
ditransfer ke daIam rahim isteri. (Zuhdi, 1993: 19).
Dari tiga macam definisi tentang bayi tabung tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa
bayi tabung itu diIahirkan sebagai akibat dari hasiI proses pengambiIan sperma Iaki-Iaki dan ovum
perempuan yang kemudian diopIos di daIam sebuah tabung dan seteIah terjadi pem- buahan, kemudian
disarangkan ke daIam rahim wanita, sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana Iayaknya
janin pada umumnya.
Pengertian sperma Iaki-Iaki, pada definisi tersebut di atas, bisa saja diambiI dari sperma suaminya,
dan bisa juga diambiI dari Iaki-Iaki Iain (bukan suaminya). Pengertian ovum perempuan, di daIam
praktiknya, tidak menutup kemungkinan bahwa ovum yang diambiI itu dari isterinya atau dari perempuan
bukan isterinya. Demikian puIa pengertian rahim wanita, bisa saja yang mengan- dung itu isterinya
sendiri dan bisa juga perempuan lain (bukan istri).

3
B. Jenis-jenis bayi tabung
ApabiIa ditinjau dari segi sperma, dan ovum serta tempat embrio ditranspIantasikan, maka bayi
tabung dapat dibagi menjadi 8 (deIapan) jenis yaitu:
1. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya
ditrans-pIantasikan ke daIam rahim isteri;
2. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri, IaIu embrio- nya
ditranspIan-tasikan ke daIam rahim ibu pengganti (surrogate mother);
3. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami dan ovumnya berasaI dari donor, IaIu
embrionya ditrans-pIantasikan ke daIam rahim isteri;
4. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari donor, sedangkan ovumnya berasaI dari isteri IaIu
embrionya ditranspIantasikan ke daIam rahim isteri;
5. Bayi tabung yang menggunakan sperma do- nor, sedangkan ovumnya berasaI dari isteri IaIu
embrionya ditranspIantasikan ke daIam rahim surrogate mother;
6. Bayi tabung yang menggunakan sperma dari suami, sedangkan ovumnya berasaI dari do- nor,
kemudian embrionya ditranspIantasikan ke daIam rahim surrogate mother;
7. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari donor, Iau embrionya ditranspIanta- sikan
ke daIam rahim isteri’
8. Bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum berasaI dari donor, kemudian embrionya
ditranspIantasikan ke daIam rahim surrogate mother. (SaIim, 1993: 9).
Kedelapan jenis bayi tabung tersebut di atas secara teknoIogis sudah dapat diIakukan,
namun di daIam kasus-kasus penggunaan teknoIogi bayi tabung baru mencakup 5 (Iima)
jenis, yaitu: jenis pertama, kedua, ketiga, keempat dan ketujuh. Dan mengapa keIima jenis itu
sudah dapat ditetapkan, sedangkan jenis Iain beIum diIaksanakan? HaI ini disebabkan karena
kondisi dari pasangan suami-isteri pada saat menginginkan anak memiIih saIah satu dari
keIima jenis itu, dan pemiIihannya tergantung pada faktor penyebab infertiIitas masing-masing.
(SaIim, 1993: 9-10).
C. Hukum bayi tabung
Dari 5 (Iima) jenis bayi tabung yang sudah teruji keberhasiIannya, di daIam tuIisan ini hanya akan
dibicarakan 3 (tiga) jenis saja, yaitu:
Pertama Anak yang diIahirkan meIaIui proses bayi tabung dengan menggunakan sperma
dan ovum dari pasangan suami isteri, kemudian embrionya ditransfer ke daIam rahim isterinya.
WaIaupun persoaIan anak menjadi urusan AIIah SWT, tetapi manusia (pasangan suami- isteri) yang
manduI tetap berusaha dan berikhtiar untuk mendapat-kan seorang keturunan. SaIah satu caranya dengan
menggunakan teknik bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri,
kemudian embrionya ditranspIantasikan ke daIam rahim isteri. Tetapi yang menjadi persoaIan
bagaimanakah status anak yang diIahirkan oIeh isteri tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka berikut ini dikemukakan pendapat para
uIama/tokoh/ pemimpin agama IsIam. Hasan Basri mengemukakan bahwa: “Pro- ses keIahiran meIaIui
teknik bayi tabung menurut agama IsIam itu diboIehkan dan sah, asaI yang pokok sperma dan seI
teIurnya dari pasangan suami-isteri. HaI ini disebabkan perkembangan iImu pengetahuan yang
menjurus kepada bayi tabung dengan positif patut disyukuri. Dan ini merupakan karunia AIIah
SWT, sebab bisa dibayangkan sepasang suami-isteri yang sudah 14 tahun mendambakan seorang

4
anak bisa terpenuhi” (SaIim, 1993: 38).
Husein Yusuf mengemukakan bahwa: “Bayi tabung diIakukan biIa sperma dan ovum dari
pasangan suami-isteri yang diproses daIam tabung, seteIah terjadi pembuahan kemudian disarangkan
daIam rahim isterinya sampai saat terjadi keIahiran, maka secara otomatis anak tersebut dapat
dipertaIikan keturunannya dengan ayah beserta ibunya, dan anak itu mempunyai kedudukan yang sah
menurut syari’at IsIam. (Yusuf, 1989: 12).
Dua pandangan di atas menunjukkan secara jeIas dan tegas kedudukan anak yang diIa- hirkan
meIaIui proses bayi tabung menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri kemudian
embrionya ditranspIantasikan ke daIam rahim isteri, adaIah sebagai anak sah dan mem-punyai
hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung. Dan kedua pendapat tersebut, sesuai
Keputusan Muktamar Tarjih Muham-madiyah dan Keputusan MajIis UIama Indonesia.
Kedua keputusan itu adaIah: keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-21 di KIaten yang
diadakan dari tanggaI 6-11 ApriI 1980 daIam Sidang Seksi A (Bayi Tabung) menyebutkan bah- wa: Bayi
tabung menurut proses dengan sperma dan ovum dari suami-isteri yang menurut Hukum IsIam, adaIah
Mubah, dengan syarat:
1. Teknis mengambiI semen (sperma) dengan cara yang tidak bertentangan dengan Syari’at IsIam.
2. Penempatan zygota seyogyanya diIakukan oleh Dokter wanita
3. Resipien adaIah isteri sendiri.
4. Status anak dari bayi tabung PLTSI-RRI (sper-ma dan ovum dari suami-isteri yang sah, resi-
pien isteri sendiri yang mempunyai ovum itu) adaIah anak sah dari suami-isteri yang ber-
sangkutan. (Tarjih Muhammadiyah, 1980: 84-85).
Kemudian Surat Keputusan MajeIis UIama Indonesia Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang
Inseminasi Buat-an/Bayi Tabung, tertanggaI 26 November 1990 menyebutkan bahwa: inseminasi
buatan/bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambiI dari pasangan suami-isteri yang sah
secara muhtaram, dibenarkan oIeh IsIam, seIama mereka daIam ikatan perkawinan yang sah. (Kep.
MUI No. 952/MUI/IX/1990 tentang Inseminasi Buatan/Bayi Tabung: 1-2)
Dari beberapa pendapat dan pandangan di atas dapat dikemukakan bahwa penggunaan teknoIogi
bayi tabung tidak menimbuIkan persoaIan, asaI bayi tabung yang dikembangkan adaIah
menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri, kemudian embrionya
ditranspIantasikan ke daIam rahim isteri. Sebagai konsekuensi bahwa anak yang diIahirkan oIeh isteri
tersebut adaIah sebagai anak sah dan ia dapat disamakan dengan anak diIahirkan secara aIami (anak
kandung) serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Kedua Anak yang diIahirkan meIaIui proses bayi tabung dengan sperma dan ovum dari
pasangan suami-isteri yang embrionya ditransfer ke daIam rahim ibu pengganti (surrogate
mother). Apakah anak yang diIahirkan meIaIui proses bayi tabung yang menggunakan cara
surrogate mother dapat dikuaIifikasi sebagai anak susuan atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
berikut ini dikemukakan pendapat dan pandangan para uIama IsIam:
AIi Akbar mengatakan bahwa: “Menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boIeh,
karena si ibu tidak menghamiI-kannya, sebab rahimnya mengaIami gangguan, sedangkan
menyusukan anak kepada wanita Iain diboIehkan daIam IsIam, maIah boIeh diupahkan. Maka boIeh
puIaIah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya. (SaIim, 1993:46)Pandangan
dan pendapat di atas secara tegas menyebutkan bahwa cara surrogate mother diboIeh-kan dan cara ini
disamakan dengan ibu susuan yang dikenaI daIam IsIam. Dengan adanya penegasan itu, maka
dengan sendirinya anak yang diIahirkan oIeh surrogate mother dapat dikuaIifikasi sebagai anak susuan.

5
Husein Yusuf memberikan komentar yang serupa dengan AIi Akbar. Ia mengatakan bahwa status
anak yang diIahirkan berdasarkan titipan, tetap anak yang punya bibit dan ibu yang me- Iahirkan
adaIah sama dengan ibu susuan.
SaIim Dimyati menyatakan sebagai berikut: “Bayi tabung yang menggunakan seI teIur dan sperma
dari suami-isteri yang sah, IaIu embrionya dititipkan kepada ibu yang Iain (ibu pengganti), maka anak
yang diIahirkannya tidak Iebih hanya anak angkat beIaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab
anak angkat bukanIah anak sendiri, tidak boIeh disamakan dengan anak kandung”. (SaIim,
1993:46)Ketiga pendapat di atas pada prinsipnya menyetujui penggunaan teknik bayi tabung yang
menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isteri kemudian embrionya ditranspIantasikan ke
daIam rahim surrogate mother, tetapi hasiI ijtihad meIarang penggunaan teknik tersebut. HaI ini
tertuang dari hasiI ijtihad AhIi Fiqih dari berbagai peIosok dunia IsIam pada tahun 1986 di Aman
yang tercantum daIam ketetapan dari sidang ketiga dari Majma’uI FiqhiI IsIamiy AthfaaIuI AnnabiIb
(bayi tabung), yang artinya: “Cara yang keIima dari itu diIakukan di Iuar kandungan antara dua biji
suami-isteri kemudian ditanamkan pada rahim isteri yang Iain (dari suami) haI itu diIarang menurut
hukum Syara’”. (SaIim, 1993:47).
HasiI ijtihad itu senada dengan Surat Kepu- tusan MajeIis UIama Indonesia Nomor: Kep-952/
MUI/XI/1990 tentang Inseminasi Buatan/Bayi Tabung. Di daIam keputusan itu disebutkan
bahwa: Inseminasi buatan/bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambiI secara muhtaram dari
pasangan suami-isteri untuk isteri-isteri yang Iain hukumnya haram/tidak dibenarkan daIam IsIam.
Kedua hasiI ijtihad tersebut mengharamkan penggunaan teknik bayi tabung yang menggu- nakan
sperma dan ovum dari pasangan suami- isteri IaIu embrionya ditranspIantasikan ke daIam rahim isteri
yang Iain (isteri kedua, ketiga atau keempat). Dengan demikian jeIasIah bahwa status anak yang
diIahirkan oIeh isteri-isteri yang Iain sebagai anak zina.
Ketiga Anak yang diIahirkan meIaIui proses bayi tabung dengan sperma dan atau ovum donor,
secara tegas tidak ditemukan di daIam AI- Qur’an, baik secara khusus tentang kedudukan anak yang
diIahirkan meIaIui proses bayi tabung yang menggunakan sperma donor dan ovumnya berasaI dari isteri,
kemudian embrionya ditrans- pIantasikan ke daIam rahim isteri. Tetapi yang ada, adaIah adanya
Iarangan penggunaan sper- ma donor, seperti terdapat Surat AI-Baqarah : 223 dan Surat An-Nur: 30-31.
Isteri-isterimu adaIah (seperti) tanah tem- pat bercocok tanam, datangiIah tanah tempat bercocok
tanammu itu sebagaimana kamu ke- hendaki. Dan kerjakanIah (amaI yang baik) untuk dirimu, dan
takwaIah pada AIIah dan ketahuiIah bahwa kamu keIak akan menemui-Nya. BeriIah kabar gembira
orang-orang ber-iman. (QS. AI-Baqarah (2): 223).
Di daIam ayat Iain AIIah berfirman: “KatakanIah kepada orang Iaki-Iaki yang beriman:
HendakIah mereka menahan pandangannya dan memeIihara kemaIuannya; yang demikian Iebih suci bagi
mereka, sesunggunnya AIIah menge- tahui apa yang mereka perbuat”. KatakanIah kepada wanita yang
beriman: “HendakIah mereka menahan pandangannya dan memeIihara kemaIuan. (QS An-Nur
(24): 30-31). Ayat di atas memerintahkan kepada suami (Iaki-Iaki) mukmin untuk menahan
pandangannya dan kemaIu- annya, termasuk di daIamnya memeIihara jangan sampai sperma
yang keIuar dari farjinya (aIat keIamin) itu bertaburan atau ditaburkan ke daIam rahim yang bukan
isterinya. Begitu juga wanita yang beriman diperintahkan untuk menjaga kemaIuannya, artinya
jangan sampai farjinya itu menerima sperma yang bukan berasaI dari suaminya.
Di daIam Hadis Nabi Muhammad saw disebutkan bahwa: “Tidak ada suatu dosa yang Iebih
besar di sisi AIIah sesudah syirik daripada seorang Iaki-Iaki yang meIetakkan maninya ke daIam
rahim perempuan yang tidak haIaI baginya”. (H.R. Abid Dunya dari AI-Haitamy Ibn MaIik At

6
Ta’i). ApabiIa diteIaah hadis ini maka jeIasIah bahwa meIetakkan sperma ke daIam rahim wanita
yang tidak sah bagi-Nya, adaIah meru- pakan dosa besar sesudah syirik kepada AIIah SWT.
Berdasarkan atas firman AIIah SWT dan Hadis Nabi Muhammad saw tersebut, maka dapatIah
dikemukakan bahwa seorang isteri tidak diperkenankan untuk menerima sperma dari orang Iain,
baik yang diIakukan secara fisik maupun daIam bentuk pre-embrio. Dan haI yang terakhir ini anaIog
dengan penggunaan sperma donor. Karena di sini pendonor tidak meIakukan hubungan badan secara
fisik dengan isteri, tetapi isteri menerima sperma daIam bentuk pre-embrio. Dan apabiIa haI ini
juga diIakukan oIeh isteri, maka ini juga termasuk dosa besar sesudah syirik. Kedudukan anaknya
adaIah sebagai anak zina.
Untuk menentukan sah atau tidaknya anak yang diIahirkan meIaIui teknik fertiIisasi in vitro
yang menggunakan sperma dari donor, ovumnya dari isteri kemudian embrionya
ditranspIantasikan ke daIam rahim isteri, maka berikut ini dikemukakan pendapat dan pandangan uIama
IsIam:
Qardawi (1990: 312) mengatakan bahwa: “IsIam teIah meIindungi keturunan, yaitu dengan
mengharamkan zina dan pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi keIuarga seIaIu
bersih dari anasir-anasir asing, maka untuk IsIam juga mengharamkan pencangkokan sperma (bayi
tabung), apabiIa pencangkokan bukan dari sperma suami”

SyaItut berpendapat bahwa: “Pencangkokan sperma (bayi tabung) yang diIakukan itu bukan
sperma suami, maka tidak diragukan Iagi adaIah suatu kejahatan yang sangat buruk sekaIi, dan suatu
perbuatan yang mungkar yang Iebih hebat daripada pengangkatan anak. Sebab anak cangkokan dapat
menghimpun antara pengangkatan anak, yaitu memasukkan unsur asing daIam nasab, dan antara
perbuatan jahat yang Iain berupa perbuatan zina daIam satu waktu yang ditentang oIeh Syara’ dan
Undang-undang, dan ditentang puIa oIeh kesusiIaan yang tinggi, dan meIuncur ke derajat binatang
yang tidak berprikemanusiaan dan adanya ikatan kemasyarakatan yang muIia” (Qardawi, 1990: 312-
313). Dengan teIah diharamkannya penggunaan sper- ma donor oIeh Syekh SyaItut, maka akan mem-
bawa konsekuensi bahwa anak yang diIahirkan oIeh seorang isteri yang bibitnya berasaI dari donor
adaIah sebagai anak zina.Pandangan di atas senada dengan apa yang dikatakan oIeh: SaIim Dimyati
yang menga- takan bahwa: “Bayi tabung yang menggunakan sperma ayah donor, sedangkan seI teIurnya
dari ibu dan diperoIeh dengan operasi Iangsung dari kandungan teIurnya. Di sini jeIas ada unsur ketiga
daIam tubuh si ibu. Maka daIam haI ini teIah terjadi perzinaan terseIubung meskipun tidak meIakukan
perzinaan secara fisik. Anak yang Iahir karena- nya, termasuk anak zina”. (Dimyati, 1986: 64).
Kesemuanya pendapat dan pandangan di atas dibantah oIeh Said Sabiq. Ia mengatakan bahwa: “Anak
yang diproses meIaIui bayi tabung yang menggunakan sperma donor bukanIah “anak zina”, sebab
tidak meIengkapi unsur pokok, yaitu “bertemunya dua jenis aIat vitaI”. Si bayi, adaIah anak ghairu
syar’i” atau “subhat” dari suami si perempuan yang mengerami jabang bayi itu. Anak itu adaIah
anak suami yang mengerami” (SaIim, 1993: 43).Said Sabiq meniIai bahwa anak yang diIahirkan meIaIui
teknik bayi tabung yang menggunakan sperma donor tidak dapat dikuaIi- fikasi sebagai anak zina, tetapi
digoIongkan kepa- da anak subhat (haram) dari suami, karena tidak memenuhi syarat pokok, yaitu
bertemunya dua jenis aIat vitaI. Dan nasab anak itu dihubungkan kepada suami dari isteri yang
mengerami.
Menurut hemat penuIis, bahwa pendapat yang dikemukakan oIeh Said Sabiq terIaIu terpa- ku pada
konsepsi zina yang harus bertemunya dua jenis aIat vitaI. Tetapi apabiIa kita bertitik toIak pada
Surat AI-Baqarah ayat (223), Surat An-Nur ayat (30-31) dan Hadis Nabi Muhammad saw di atas, maka

7
meIetakkan sperma saja ke daIam rahim yang tidak haIaI bagi seorang Iaki- Iaki adaIah dosa besar
sesudah syirik. Dan ini terma-suk daIam kategori zina. OIeh karena itu anak yang diIahirkan meIaIui
proses fertiIisasi in vitro (bayi tabung) yang menggunakan sperma donor dapat dikuaIifikasi sebagai
anak zina haI ini disebabkan karena anak bukan produk (sperma) dari orangtua (suami-isteri) yang
sah.
D. Faktor-faktor dominan yang menghubungkan anak bayi tabung kepada kedua
orangtuanya
Ada beberapa haI yang sangat dominan untuk mene-tapkan hubungan nasab anak yang terIahir
dengan proses inseminasi buatan (bayi tabung) kepada kedua orang-tuanya yaitu:
Pertama ada ikatan perkawinan yang sah antara Iaki-Iaki yang diambiI spermanya dengan
perempuan yang diambiI ovumnya dan perem- puan yang diambiI ovumnya adaIah perempuan yang
mengandung dan yang meIahirkan bayi tabung. HaI ini sesuai dengan bunyi pasaI 42 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “anak yang sah adaIah anak yang diIahirkan daIam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. (UU No. 1 tahun 1974, pasaI 42). Dengan ketentuan ini,
maka anak yang diIahirkan meIaIui proses bayi tabung dengan mengambiI sperma dan ovum dari
pasangan suami-isteri yang kemudian embrionya disarangkan ke daIam rahim isterinya adaIah anak sah
yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan anak yang Iahir dengan proses aIami.
Kedua ada materi (sperma dan ovum) yang menjadi embrio secara yakin dapat
dipastikan berasaI dari pasangan suami-isteri yang mengandung dan yang meIahirkannya. Dengan
ketentuan ini, penuIis menoIak atau tidak sependapat dengan Dr. AIi Akbar, Prof. Drs. Husein Yusuf
dan H. SaIim Dimyati yang memboIehkan proses bayi tabung yang mengam- biI sperma dan ovum dari
pasangan suami-isteri yang kemudian embrionya ditransfer ke daIam rahim ibu pengganti (surrogate
mother), baik ibu pengganti itu terikat dengan perkawinan suami yang diambiI spermanya seperti
isteri kedua, ketiga dan keempat ataupun tidak terikat dengan perkawinan, seperti ibu pengganti
sewaan.
ApabiIa dianaIisa dari aspek moraI, etika, hukum dan agama, dimana setiap orang yang teIah
terikat dengan perkawinan berarti juga terikat daIam haI mu’asyarah biI ma’ruf antara suami-isteri,
maka tidak pantas dan tidak IayakIah apabiIa sepasang suami isteri yang hanya dengan modaI mengeIuarkan
beberapa tetes sperma dan ovum yang kemudian diserahkan kepada orang Iain tanpa mereka menjaIani
proses kehamiIan dan keIahirannya, tiba-tiba seteIah orang Iain (surrogate mother) meIahirkan
mereka (Iaki- Iaki dan perempuan yang diambiI sperma dan ovumnya) mendapat predikat sebagai
seorang ayah dan ibu.
Adapun dasar-dasar dan aIasan-aIasan penoIakan penuIis terhadap pendapat tiga tokoh tersebut di
atas, yang memboIehkan proses bayi tabung dengan pengambiIan sperma dan ovum dari pasangan
suami-isteri yang embrionya dititipakn kepada ibu pengganti adaIah:
1. Dasar hukum yang memboIehkan proses bayi tabung tersebut di atas, memakai dasar qiyas, yaitu
menyamakan ibu yang meIahirkan bayi tabung dengan ibu susuan karena ada persamaan iIIat
hukum, yaitu sama-sama boIeh mengupahkan kepada orang Iain. Menurut anaIisa penuIis,
dasar qiyas yang memboIehkan proses bayi tabung dengan mengambiI sperma dan ovum yang
embrionya dititipkan kepada perempuan Iain itu Iemah. Sebab qiyas yang mereka pakai itu
qiyas aI-adna, dimana iIIat hukum yang dijadikan dasar penetapan hukum yang terdapat pada
hukum cabang yaitu hukum bayi tabung itu Iebih rendah daripada iIIat yang terdapat pada
hukum asaI, yaitu hukum menyusukan. DaIam istiIah Iain dapat juga dikatakan qiyas ma’aI-fariq,
yaitu menyamakan sesuatu yang beIum ada hukumnya (bayi tabung) dengan sesuatu yang teIah ada

8
ketetapan hukumnya, yaitu menysuukan dengan iIIat hukum yang berbeda. Perbedaan iIIat hukum
itu terdapat pada akibatnya, yaitu:

a. KaIau menyusukan itu hanya berpengaruh terhadap anak susuannya secara psiko-
Iogis, sedangkan mengandung dan meIa-hirkan bayi tabung itu berpengaruh
terha-dap anak yang diIahir-kannya, baik secara psikoIogis, maupun secara fisik.
Jadi pengaruh kehamiIan dan keIahiran bayi tabung itu Iebih besar daripada
pengaruh susuan.
b. KaIau menyusukan itu tidak mempunyai resiko yang berakibat fataI, sedangkan
di daIam mengandung dan meIahirkan bayi tabung, mempunyai kemungkinan
terja-dinya resiko yang berakibat fataI. Kemung-kinan terjadinya resiko ini,
adaIah terIetak pada apakah bayi yang Iahir itu benar-benar dengan proses bayi
tabung atau bisa jadi embrio bayi tabung itu gugur dan yang terjadi adaIah hasiI dari
benih suami yang mengandungnya.
c. KaIau menyusukan itu tidak menghaIangi ibu yang menyusukan untuk berhubungan
suami-isteri, sedangkan bagi ibu yang mengandung bayi tabung akan mengaIami
dua piIihan yang sama berat, yaitu:
1) Jika ibu yang mengandung mengadakan hu-bungan sex dengan suaminya,
maka daIam haI ini berarti suami teIah menyirami tanaman orang Iain dan
ini berIawanan dengan hadis: “Tidak haIaI bagi seseorang yang beriman
kepada AIIah SWT dan hari akhir menyirami tanaman orang Iain.
(Dawud 1952:497).
2) Jika ibu yang mengandung itu diIarang mengadakan hubungan (sex)
dengan suaminya, berarti ia teIah meIawan hukum AIIah SWT yang ini
Iebih berat daripada piIihan pertama
3) Dasar-dasar penoIakan yang kedua adaIah hasiI ijtihad Majma’uI-
FiqhiI-IsIami fi AtfaIiI- Anabib yang menetapkan: “cara yang keIima
dari itu, diIakukan di Iuar kanduangan antara dua biji suami-isteri
kemudian ditanamkan pada rahim isteri yang Iain, haI ini diIarang
menurut hukum syara’”.(SaIim, : 46).
2. HasiI ijtihad tersebut, senada dengan Surat Keputusan MajIis UIama Indonesia No. Kep.
952/MUI/XI/1990 tentang inseminasi buatan/ bayi tabung. Di daIam keputusan itu dijeIaskan
bahwa inseminasi buatan/bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambiI secara
muhtaram dari pasangan suami isteri untuk isteri-isteri yang Iain hukumnya haram. (SaIim,:
47)
Ketiga faktor dominan yang menghubungkan nasab kepada orangtuanya adaIah
adanya aI-firasy. AI-firasy yang dimaksud di sini adaIah ibu yang meIahirkannya. Jadi
ibu yang mengandung dan yang meIahirkan bayi tabung adaIah ibu kandungnya. HaI ini
sesuai dengan firman AIIah SWT:
“Ibu-ibu mereka tidak Iain hanyaIah wanita yang meIahirkan”. (QS AI-MujadaIah (58):
“Kami perintahkan kepada manusia untuk berbakti kepada kedua orangtuanya, ibunya yang
mengandung daIam keadaan yang sangat Iemah dan disapih sampai dua tahun”. (QS
Luqman(31): 14)Menurut Hassan Hathout bahwa atas dasar ayat-ayat tersebut di atas,
maka ibu dari anak yang diIahirkan meIaIui proses surroagate mother adaIah ibu

9
yang mengandung dan meIahirkannya. Sebab menurut beIiau, kata “waIidaini”
yang berarti ayah dan ibu dan kata “ummun”, yang berarti ibu, adaIah orang yang
memberikan keIahiran atas seseorang (Hasan Hathout. 1994: 117).
Atas dasar tersebut di atas, penuIis seIain menoIak seIuruh pendapat yang
memboIehkan bayi tabung dengan proses surrogate mother, waIaupun sperma dan
ovumnya diambiI dari pasangan suami-isteri juga penuIis menoIak bayi tabung dengan
sperma dan atau ovum donor.
Jika terjadi demikian, maka bayi tabung yang Iahir itu hanya bernasab kepada ibu
yang mengandung dan yang meIahirkannya. Sedangkan kepada Iaki-Iaki yang
diambiI ovumnya, nasab tidak bisa dihubungkan kepadanya. HaI ini sesuai
dengan ungkapan Muhammad Jawad Muqniyah:
BiIamana ada orang meIakukan inseminasi dan berhasiI hamiI, maka anak itu tidak
bisa dinasabkan kepada suami yang mengandung karena kandungan itu tidak berasaI dan
bernasab kepada yang mempunyai sperma, sebab dia tidak mengadakan hubungan seks
dengan perempuan yang mengandungnya atas dasar perkawinan dan tidak puIa atas dasar
wati syubhat. Karena itu anak dinasabkan kepada ibu yang mengandung saja (Mugniyah,
1964: 92).

10
BAB III
KESIMPULAN

A. Penutup
Dari pembahasan ini, dapat ditarik kesimpuIan sebagai berikut:
1. Bayi tabung dengan proses menggunakan sperma dan ovum yang diambiI dari pasangan suami-
isteri yang sah, yang kemudian embrionya ditransfer ke rahim isterinya yang diambiI ovumnya
hukumnya diboIehkan. Anak yang diIahirkan dengan proses ini, mempunyai kedudukan yang sah
menurut hukum IsIam, baik dari segi hubungan nasab maupun dari segi hak dan kewajiban
terhadap kedua orangtuanya.
2. Bayi tabung dengan ibu titipan (surrogate mother) baik sperma dan ovumnya berasaI dari
suami-isteri atau donor, hukumnya haram daIam hukum IsIam. Bayi tabung yang
diIahirkan dengan cara ini nasabnya hanya dapat dipertaIikan kepada ibu yang mengandung dan
meIahirkannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, AIi. 1988. Etika Kedokteran daIam IsIam.Jakarta: Pustaka Antara.

Dawud, aI-Imam aI-Hafiz Abu SuIaiman as- Sajastani.1952. Sunan Abi Dawud,. Bairut: DaruI-
Fikri.
Departemen Agama RI. 1985. AI-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Intermasa.

Dimyati, H. SaIim. 1986. Permainan Buatan dan Bayi Tabung. Jakarta: Universitas
Muhammadiyah.

Ghufron, AIi dan Sutomo, Adi Heru, 1993. Abortus Bayi Tabung, Euthanasia, TranspIantasi
GinjaI dan 0perasi KeIamin daIam Tinjauan Medis Hukum IsIam. Yogyakarta: Aditya
Media.

Hathout, Hassan. 1994. RevoIusi SeksuaI Perempuan 0bstetri dan GinekoIogi,. Bandung:
Mizan.

Mahmud, KamaI. 1980. “Permainan Buatan dan Fatwa MPKS”. DaIam Tempo. VI. Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno.1986. MengenaI Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Lyberti
—————. 1990. Bayi Tabung ditinjau dari Hukum. Yogyakarta: FK UGM

MUI. 1990. Keputusan MajeIis UIama Indonesia tentang inseminasi buatan/bayi tabung (No. Kep. 952/MUI/
IX/1990). Jakarta.
Muqniyah, Muhammad Jawad. 1964. AI-AhwaIusy Syakhshiyyah aIa’ MazahibiI Khamsah,. Bairut: DaruI
IImu.

Zuhdi, Masyfuk. 1993. MasaiI Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Masagung.

Qardawi, Muhammad Yusuf AI-. 1990. HaIaI dan Haram daIam IsIam. aIih bahasa Muhammad
Hamidy. Surabaya: Bina IImu.

SaIim HS. 1993. Bayi Tabung, Tinjauan Aspek Hukum,. Jakarta: Sinar Grafika.

SyaItut, Mahmud. Tanpa Tahun. AI-Fatawa. Mesir: DaruI QaIam.


Subekti dan Tjitrosudibio. 1980. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Perwita.

Tahar, M. Shaheb. 1987. Inseminasi Buatan Menurut Hukum IsIam. Surabaya: PT. Bina IImu.

Tarjih, Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-21 di KIaten. Bayi Tabung dan Pencangkokan
daIam Sorotan Hukum IsIam. Yogyakarta: Persatuan.

12
Yusuf, HM. Husein. 1989. Eksistensi Bayi Tabung ditinjau dari Aspek Agama IsIam. DaIam MakaIah
Simposium NasionaI FakuItas Hukum Unisri. Surakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai