Anda di halaman 1dari 26

MAHAR

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah :

Tafsir Ahkam Tematik 4

Dosen pengampu :

Kholila Mukaromah, S.Th.I, M.Hum

Disusun Oleh :

Abu Rizal Afandi

NIM. 933806019

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) KEDIRI

2022
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis selalu panjatkan kehadirat Tuhan Allah SWT karena
rahmat dan izin-izin-Nya lah makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya dan
dapat diselesaikan dengan tepat waktu, adapun dalah makalah ini akan membahas tentang
Mahar
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu
dalam penyelesaian makalah ini, terkhusus kepada ibu Kholila Mukaromah, S.Th.I,
M.Hum yang telah membimbing dalam penyelesaian makalah ini.

Tentu penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus agar
kelak menjadi sebuah amal jariyah di dalam literatur keilmuan islam, dan secara Umum
untuk kita semua yang akan membaca makalah ini sesuai pembahasannya, meskipun makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis memohon maaf apabila dalam makalah ini ada
yang kurang berkenan di hati para pembaca karena penulis juga manusia biasa yang tidak
sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Dan semoga dapat terhitung sebagai
Nasrul al-Ilmi yang membawa keberkahan dan rida dari Allah SWT untuk kita semuanya.

Kediri,22 Desember 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sumber yang pertama bagi hukum-hukum syara’.


Pembacaan terhadap ayat-ayat al-Qur’an baik dari segi penafsiran, metodologi dan
lainnya telah berkembang dari masa ke masa. Dinamika pemahaman al-Qur’an sejak
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sampai saat ini senantiasa dilakukan.
Aktivitas pemahaman ini tidak pernah selesai karena pemahaman terhadap al-Qur’an
akan selaluer bengan perkembangan zaman. Meskipun al-Qur’an diturunkan di Arab
dengan konteks sosial budaya Arab pada masa itu, tetapi nilai-nilai dari al-Qur’an
akan selalu relevan untuk setiap zaman dan tempat karena al-Qur’an telah, sedang dan
akan selalu ditafsirkan, karena al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan
pada setiap arti yang tidak terbatas sehingga ayat-ayatnya selalu terbuka untuk
diinterpretasi aru, tidak pernah pasti dan tidak tertutup dengan interpretasi tunggal.1

Pernikahan merupakan salah satu dari sunnah Rasulullah SAW,pernikahan


diartikan sebagai sebuah ikatan dan perjanjian antara suami-istri yang mengharuskan
masing-masing pihak menaati semua kewajibannya demi memenuhi hak satu sama
lain.2 Pernikahan di masa jahiliyyah sama sekali tidak mencerminkan sifat
kemanusiaan dan menodai kesucian wanita. Salah satu dari kebiasaan yang dilakukan
orang Arab dulu adalah Provokasi suami terhadap istri yang hendak dicerai untuk
menarik kembali mahar yang telah diberikan. Ketika hendak menceraikan istrinya,
mereka menuduhnya telah berbuat asusila (Selingkuh) dengan orang lain, sehingga
sang istri merasa takut dan malu, dan pada akhirnya sang istri rela menukar diri
dengan menyerahkan kembali maharnya kepada suami. 3Untuk itu, Islam datang
dengan misi menyelamatkan hak-hak perempuan perempuan, menjadikan hubungan
diantara suami istri lebih terhormat. Pernikahan merupakan pertemuan dua jiwa yang
saling menyatu dengan hati yang tulus.

Mahar dijadikan sebagai hak bagi wanita, bukan milik seorang wali. Mahar
adalah sebagai bentuk rasa syukur sang suami kepada istrinya. Seorang istri yang
telah menjalankan kewajiban dengan baik berhak mendapatkan ucapan terimakasih
dari sang suami. Dengan keberadaan mahar berarti menunjukkan bahwa Islam
mewajibkan suami untuk membalas kebaikan yang telah dilakukan istri. Belaian kasih

1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1989), 43.
2
M. ʻAlī al-Ṣābūni, Kawinlah Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, terj. M. Nurdin, cet. I
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), 83.
3
Ahla Shuffah 103 FKI, Tafsir Maqashidi/Kajian Tematik Maqashidi al-Syari’ah, Lirboyo Press, Kediri,
2013 M. Hlm 174.
sayang yang telah dilakukan hendaknya dibalas dengan sambutan hangat yang lebih
romantis. Suami tidak hanya bisa mengatur istrinya seenaknya sendiri, tidak hanya
menikmati tubuh istri, melainkan kewajiban – kewajiban yang diemban harus
dilakukan dengan sebaik-baiknya.4

B. Rumusan Masalah

1. Apa Yang di maksud Mahar di dalam Islam?

2. Bagaimana Konsep Mahar di dalam al-Qur’an ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui serta menjelaskan pemaknaan Mahar di dalam Islam dan
menganlisis konsep Mahar di dalam al-Qur’an serta hadis maupun pendapat dari
Ulama Salaf al-Salih mengenai Mahar dan yang berkaitan dengan pembahasan.

4
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar al-Fikr, 2006 M.), V: 130.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahar dalam Islam

Secara bahasa mahar merupakan bentuk mufrad, jamaknya muhūr.5 Dalam


kamus Al-Munawwir kata mahar berarti maskawin.6 Dalam Kamus besar bahasa
Indonesia, yang dimaksud dengan mahar adalah pemberian Wajib berupa uang atau
barang oleh mempelai laki-laki kepada mempelai Perempuan. 7 Mahar menurut
Wahbah al-Zuḥaili adalah harta yang menjadi hak istri yang diberikan oleh suami
dikarenakan adanya sebab akad pernikahan untuk diperbolehkannya berhubungan
badan suami kepada istrinya.8

Historis singkat dari mahar (maskawin), sudah dikenal sejak masa Jahiliyyah,
jauh sebelum Islam datang. Akan tetapi, mahar sebelum datangnya Islam bukan
diperuntukkan bagi calon istri, melainkan untuk ayah atau kerabat dekat laki-laki dari
pihak istri, konsep perkawinan menurut berbagai bentuk hukum adat ketika itu sama
dengan transaksi jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan
ayah atau keluarga dekat laki-laki dari calon istri sebagai pemilik barang. Ketika itu,
wali yaitu ayah atau kakek dan keluarga dekat yang menjaga perempuan menganggap
bahwa mahar adalah hak mereka sebagai imbalan atas tugas menjaga dan
membesarkan perempuan tersebut.9 Dari penjelasan ini, maka apabila perempuan
tersebut dinikahkan, maka mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki akan
menjadi milik walinya atau penjaganya. Oleh karena itu, secara tidak langsung mahar
dalam penjelasan di sini digambarkan sebagai pembelian perempuan.

5
Ibn Manẓūr, Lisān al-ʻĀrab (Beirut: Dār al-Ṣādr, 2002), 4286.
6
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), 1363.
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), 613.
8
Wahbah al-Zuḥaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani dll (Jakarta: Gema
Insani, 2010), 251.
9
Halimah B, “Konsep Mahar (Maskawin) dalam Tafsir Kontemporer”. Al-Risalah, Vol.15, no.2
(Desember 2017): 162.
Di era Jahiliyyah , ada dua hal yang mendapat perlakuan secara tidak adil,
yaitu perempuan dan anak yatim. Keduanya dianggap manusia yang sebelah mata dan
terbelakang, hak-hak nya tidak dipenuhi secara utuh. Dalam memperlakukan
perempuan saja, jika seorang wali menikahkan anak gadisnya, mahar yang diperoleh
dari mempelai pria diambil secara semena-mena oleh pihak wali, si gadis tidak berhak
mendapatkan apa-apa. Perempuan dianggap layaknya komoditas perdagangan antara
pihak wali dan pihak suami. Ada lagi model transaksi yang lebih kejam dari itu, yaitu
nikah Syighar . maksudnya pertukaran gadis diantara diantara dua pihak wali.
Prakteknya adalah pihak wali menikahkan anak gadisnya dengan pihak lain,
sementara pihak kedua juga harus memberikan anak gadisnya terhadap pihak pertama
sebagai maharnya. Ada lagi bentuk transaksi yang disebut dengan al-bigha , yaitu
hubungan intim bertarif dengan wanita. Namun yang akan penulis bahas dalam
makalah ini bukanlah bentuk diskriminatif orang-orang Jahiliyyah terhadap wanita,
akan tetapi pembahasan mengenai mahar di dalam Islam. Akan tetapi bisa digunakan
sebagai stimulus mengenai pembahasan tema ini.

Secara terminologi mahar adalah suatu pemberian wajib calon suami kepada
calon istri sebagai bentuk rasa ketulusan hati dan rasa cinta kasih.Mahar juga
didefinisikan sebagai suatu pemberian yang wajib bagi calon suami kepada calon istri
baik berupa benda maupun jasa. Mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah pemberian yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita dalam bentuk barang,uang atau jasa selama tidak bertentangan dengan hukum
Islam.10

Sedangkan menurut syara’ mahar adalah pemberian wajib dari suami kepada
istri sebagai bentuk usaha menyenangkan hati istri dan rela menerima hak
kepemimpinan kepada istrinya.11 Para Imam mazhab mendefinisikan mahar berbeda-
beda namun memiliki maksud dan tujuan yang sama. Imam Hanafi mendefinisikan
mahar adalah sesuatu yang berhak dimiliki oleh seorang wanita karena terdapat sebab
adanya akad pernikahan atau persetubuhan. Imam Māliki berpendapat bahwa mahar
adalah sesuatu yang diberikan kepada istri sebagai balasan jimak dengannya. Imam
Hambali berpendapat bahwa mahar adalah suatu Imbalan dalam pernikahan dengan
adanya rasa kerelaan atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti waṭa’
10
Kementrian Agama, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Direktur Pembinaan Badilag, 2001), 184.

11
Sayyid Sābiq, Fikih Sunnah, Jilid 7, terj. M. Thalib (Bandung: Dar Al-Ma’rif, 1990), 53.
syubhat dan waṭa’ yang dipaksakan, baik disebutkan pada akad nikah ataupun
ditetapkan setelahnya dengan adanya keridhoan pada kedua pasangan atau hakim.
Imam Syafiʻi mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang diwajibkan dengan adanya
akad nikah atau menguasai seluruh tubuhnya.12

Para ulama sepakat bahwa mahar bersifat wajib bagi seorang laki-laki yang
hendak menikah sehingga tidak boleh ditinggalkan ataupun menyepakati untuk
meniadakannya. Mahar tidak selalu berupa uang dan barang, melainkan jasa pun
dapat dijadikan mahar selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dari beberapa definisi mahar yang telah dipaparkan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwasanya pengertian mahar ini memiliki kesamaan. Mahar merupakan
harta yang wajib diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya sebagai simbol
persetujuan dan kerelaan untuk menempuh hidup bersama. Mahar juga dijadikan
sebagai tanda bukti bahwa suami mencintai wanita yang telah dipilih untuk
dinikahinya dan dijadikan istri untuk memulai hidup bersama, serta dijadikan sebagai
niat ketulusan dari calon suami untuk membina dan memimpin kehidupandalam
berumahan tangga.

B. Ayat tentang Mahar di dalam al-Qur’an

Pada pernikahan mahar menjadi bagian yang penting. Mahar harus ditetapkan
sebelum pelaksanaan pernikahan. Tanpa adanya mahar pernikahan tidak bisa
dinyatakan bahwa pernikahan tersebut telah dilaksanakan dengan benar. Problematika
mengenai konsep mahar memang tidak pernah berakhir dan menjadi suatu
pembahasan yang menarik untuk dikaji. Dalam istilah bahasa Arab selain kata mahar,
terdapat istilah lain yang memiliki konotasi yang sama dan lebih dikenal dengan
nama:ṣaduqāt, niḥlah, ujr, farīḍah, hibah, uqar, ‘alaiq, ṭawl dan nikāḥ. Tetapi disini
penulis hanya mengulas yang ada pada al-Qur’an saja sebagai berikut:

1. Ṣaduqāt berarti kejujuran ketulusan dan persahabatan. Kata ini

12
Muḥammad Zuḥaili, al-Mażhab fi al-Fiqh al-Imām al-Syāfi’i, Jilid 4, cet. I (Damaskus: Dār al-
Qalam, 1996), 193.
yang paling tepat karena hubungan antara suami dan istri harus
didasarkan pada sifat kejujuran dan ketulusan. Allah SWT Berfirman
Qs. Al-Nisā’ ayat 4 :

‫َو آُتوا الِّنَس اَء َص ُد َقاِتِهَّن ِنْح َلًةۚ َفِإْن ِط ْبَن َلُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِم ْنُه َنْفًسا َفُك ُلوُه َهِنيًئا َم ِريًئا‬

Artinya: Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.
Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah
dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Yakni pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya


ditetapkannya atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu
harus dilakukan dengan ikhlas sebagai bukti kejujuran suami dan
kesungguhan untuk membiayai istrinya.

2. Niḥlah, yaitu pemberian dan hibah. Niḥlah adalah pemberian dengan


dijalan tabarru (suka rela). Kata niḥlah lebih khusus dari hibah
(hadiah) karena tiap-tiap hibah adalah niḥlah sedangkan tiap-tiap
niḥlah belum bisa disebut hibah.
3. Ujr, jamak dari kata ajrun, yang artinya ganjaran atau upah. Hal ini
terdapat dalam QS. Al-Nisā’ ayat 24 :

‫َو اْلُم ْح َص َناُت ِم َن الِّنَس اِء ِإاَّل َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم ۖ ِكَتاَب ِهَّللا َع َلْيُك ْم ۚ َو ُأِح َّل َلُك ْم َم ا َو َر اَء َٰذ ِلُك ْم َأْن‬
ۚ‫َتْبَتُغ وا ِبَأْم َو اِلُك ْم ُم ْح ِصِنيَن َغْيَر ُمَس اِفِح يَن ۚ َفَم ا اْسَتْم َتْع ُتْم ِبِه ِم ْنُهَّن َفآُتوُهَّن ُأُج وَر هَُّن َفِر يَض ًة‬
‫َو اَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َتَر اَض ْيُتْم ِبِه ِم ْن َبْع ِد اْلَفِريَضِةۚ ِإَّن َهَّللا َك اَن َع ِليًم ا َحِكيًم ا‬

Artinya:
(Diharamkan juga bagi kamu menikahi) perempuan-
perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya
perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki) sebagai
ketetapan Allah atas kamu. Dihalalkan bagi kamu selain
(perempuan-perempuan) yang demikian itu, yakni kamu
mencari (istri) dengan hartamu (mahar) untuk
menikahinya, bukan untuk berzina. Karena kenikmatan
yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah
kepada mereka imbalannya (maskawinnya) sebagai
suatu kewajiban. Tidak ada dosa bagi kamu mengenai
sesuatu yang saling kamu relakan sesudah menentukan
kewajiban (itu).Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Ujr adalah mahar yang diberikan seorang laki-laki kepada wanita
sebagai kompensasi dari hak laki-laki untuk mendapatkan kenikmatan
dari wanita tersebut.
4. Farīḍah dari kata faraḍa yang artinya kewajiban. Dalam Qs. Al-
Baqarah ayat 237 :
‫َو ِإْن َطَّلْقُتُم وُهَّن ِم ْن َقْبِل َأْن َتَم ُّسوُهَّن َو َقْد َفَر ْض ُتْم َلُهَّن َفِر يَض ًة َفِنْص ُف َم ا َفَر ْض ُتْم َأْن‬
‫َيْع ُفوَن َأْو َيْع ُفَو اَّلِذ ي ِبَيِدِه ُع ْقَد ُة الِّنَك اِحۚ َو َأْن َتْع ُفوا َأْقَر ُب ِللَّتْقَو ٰى ۚ َو اَل َتْنَسُو ا اْلَفْض َل َبْيَنُك ْم ۚ ِإَّن‬
‫َهَّللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َبِص يٌر‬
Artinya:
Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh
(campuri), padahal kamu sudah menentukan
maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah
kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang
memiliki kewenangan nikah (suami atau wali)
membebaskannya, Pembebasanmu itu lebih dekat pada
ketakwaan. Janganlah melupakan kebaikan di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.
Maka al-farīḍah di sini maksudnya adalah mahar, mas kawin.
Berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam al-Qur’an, istilah
mahar tidak dapat ditemukan. Mahar di dalam al-Qur’an Menggunakan
istilah ṣaduqāt, niḥlah, Ujr, farīḍah dan lain sebagainya. Berbeda
dengan di Indonesia sendiri kata yang sering digunakan yaitu mahar
atau maskawin. Pernyataan para ulama mengenai penyebutan kata
mahar yang berbeda ini tidak memiliki perbedaan antara ṣaduqāt,
nihlah, farīḍah, Ujr dan mahar sendiri. Istilah dari Lafal-Lafal-lafal
tersebut memiliki pengertian yang sama-sama mendefinisikan Mahar.

C. Penafsiran Ayat al-Quran tentang Mahar


1. Mahar adalah kewajiban bagi suami
Terdapat pada Qs. An-Nisa’ ayat 4 yang berbunyi:
‫َو آُتوا الِّنَس اَء َص ُدَقاِتِهَّن ِنْح َلًةۚ َفِإْن ِط ْبَن َلُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِم ْنُه َنْفًسا َفُك ُلوُه َهِنيًئا َم ِريًئا‬

Artinya: Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah
dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

Ayat ini turun sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abī Ḣātim dari
Abī Ṣālih berkata: “Pada zaman dahulu ketika seseorang ingin menikahkan budak
wanita yang dimilikinya, maka maskawin (mahar) nya tersebut ia ambil tanpa
diserahkan kepada budaknya. Lalu turunlah surat Al-Nisā’ ayat 4 ini sebagai
larangan Allah SWT kepada mereka yang mengambil hak mahar budaknya.
Firman Allah, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”13
Mahar dalam penafsiran Rasyīd Riḍā terhadap kata ṣaduqāt dipakai
sebagai istilah pemberian kepada perempuan sebelum dukhūl berdasarkan
kesadaran diri. Rasyīd Riḍā mengatakan bahwa dengan kata ṣaduqāt menyatakan
tingkatan mahar lebih tinggi dan mulia dari sekadar alat tukar.Mahar juga sebagai
simbol kasih sayang yang berfungsi untuk mempererat tali kebersamaan dalam
membangun keluarga menjadi harmonis. Kewajiban dalam memberi mahar tidak
bisa di tawar menawar layaknya seperti jual beli. Mengenai kata niḥlah Rasyīd
Riḍā mengatakan bahwa kata niḥlah merupakan sebuah ungkapan pemberian
sukarela kepada oranglain tanpa adanya balas jasa.14

13
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Asbabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Terj. Tim Abdul
Hayyie (Depok: Gema Insani, 2015), 127.
14
Muḥammad Rasyīd Ridā, Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm (Tafsīr al-Manār), Jilid 5 (Kairo: Dār al-Manar,
1950), 307-308.
Dr. Thahir Ibnu ‘Asyur menjelaskan, mahar dibahasakan dengan nihlah
untuk menajauhkan dari kesan Mu’awadah (Pertukaran). Akan tetapi Nihlah
diartikan dengan makna hadiah , Logikanya jika anda memberikan sesuatu secara
Cuma-Cuma maka hal tersebut dinamakan dengan hadiah, bukan merupakan
timbal balik atau semacam ganti rugi atas perlakuan seseorang yang anda beri.
Begitupun dalam masalah ini, mahar bukan merupakan upah dari pelayanan istri
terhadap suaminya. Pernikahan adalah hubungan antara dua sejoli yang saling
mencintai dengan misi mewujudkan ikatan yang maha dahsyat, menciptakan
Mu’asyarah yang baik dan menjadikan hubungan yang harmonis. Mahar
merupakan kado istimewa yang dibebankan Allah kepada suami untuk diberikan
terhadap istrinya, sebagai simbol dari hubungan yang suci. Mahar diberikan untuk
membedakan dengan “ hubungan tak bermoral “ layaknya binatang.15
Terkait dengan penafsiran kata ṣaduqāt dan niḥlah al-Sya’rāwi
menafsirkan kata ṣadūq yang berarti mahar, sedangkan niḥlah memiliki arti
pemberian. Menurut al-Sya’rāwi mahar adalah pembahasan mengenai hak dan
imbalan atas manfaat yang diperoleh suami dalam pernikahan, karena dalam
pernikahan suami mendapatkan kesenangan dari istrinya yang tidak hanya pada
kesenangan biologis semata namun juga mendapatkan kesenangan jiwa. Oleh
karenanya, ketika suami menceraikan istrinya dan belum terjadi hubungan
biologis suami wajib memberikan dari setengah mahar Musamma (mahar yang
disebutkan pada akad nikah). Dari penjelasan al-Syaʻrāwi dapat disimpulkan
bahwa mahar tidak hanya sebatas pemberian.16
Berdasarkan penjelasan dari berbagai mufasir mengenai makna dari kata
ṣadūq dan niḥlah yang ada di surah al-Nisā’ ayat 4, maka makna Mahar tidak
hanya berkaitan dengan nominal besar kecilnya saja akan tetapi proses dalam
menentukan nominal mahar didasari dengan jujur dan ikhlas dalam
memberikannya. Sayyid Quṭb mengatakan bahwa mahar memiliki tiga aspek yang
jarang diketahui yaitu kerelaan, kesadaran dan kemurahan hati dari kedua belah
pihak. Dalam proses penentuan dan pemberian mahar, maka mahar tidak boleh
menyulitkan pihak laki-laki, Mahar harus diberikan dengan kerelaan istri dan
15
‘Asyur, al-Tahrir, IV:229 dan Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’ li ahkami al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Fikr,tt) V:25.
16
Muḥammad Mutawalli al-Syaʻrāwi, Tafsīr al-Sya’rāwi, Jilid 4, terj. Tim Safir al-Azhar (Jakarta:
Duta Azhar, 2004), 2009.
kemurahan hati dari pihak laki-laki. Jika mahar tersebut menyulitkan pihak laki-
laki maka makna kata niḥlah dari ayat ini sebagai pemberian dengan sukarela
hilang.
pada ayat ini menjelaskan mengenai mahar atau maskawin sebagai
pemberian dari calon suami kepada calon istri yang akan dinikahinya yang besar
kecilnya ditetapkan atas persetujuan dari kedua belah pihak dan pemberian itu
dilakukan dengan ikhlas.17 Pada hakikatnya memberikan mahar dalam agama
Islam merupakan sebuah kewajiban dan sebagai penghormatan serta adanya bukti
cinta dan kasih seorang laki-laki kepada perempuannya. Dalam menentukan
mahar, kedua belah pihak tidak boleh memiliki unsur yang berlebihan sehingga
memberatkan dari pihak laki-laki. Pemberian mahar harus memiliki rasa
keikhlasan dan kerelaan hatinya. Ketika mahar sudah menjadi hak istrinya maka
suami tidak bisa mengganggu apa yang telah menjadi hak istrinya tersebut kecuali
dengan izin sang istri.
2. Mahar adalah hak istri
Terdapat pada Qs. An-Nisa’ ayat 20-21 yang berbunyi :
‫َو ِإْن َأَر ْدُتُم اْس ِتْبَداَل َز ْو ٍج َم َك اَن َز ْو ٍج َو آَتْيُتْم ِإْح َداُهَّن ِقْنَطاًرا َفاَل َتْأُخ ُذ وا ِم ْنُه َشْيًئاۚ َأَتْأُخ ُذ وَنُه ُبْهَتاًنا َو ِإْثًم ا‬
)٢١( ‫) َو َكْيَف َتْأُخ ُذ وَنُه َو َقْد َأْفَض ٰى َبْعُض ُك ْم ِإَلٰى َبْع ٍض َو َأَخ ْذ َن ِم ْنُك ْم ِم يَثاًقا َغ ِليًظا‬٢٠( ‫ُم ِبيًنا‬
Artinya:
Jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedangkan
kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka harta
yang banyak (sebagai mahar), janganlah kamu mengambilnya kembali
sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan cara
dusta dan dosa yang nyata? (20) Bagaimana kamu akan mengambilnya
(kembali), padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai
suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian
yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu? (21).
Munasabah ayat Pada surah al-Nisā’ ayat 19-21 menjelaskan mengenai
pembelaan kemuliaan perempuan. Ayat-ayat ini memberikan pembelajaran
bagi suami, di antaranya seorang suami diharuskan menerima kekurangan
perempuan, jika suami ingin mengganti istri lain maka harta yang
diberikannya janganlah diambil kembali karena itu sudah menjadi hak istri
pada perjanjian ikatan pernikahan.
17
Buya Hamka, Tafsīr al-Azhar, Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani, 2015), 1096.
Asbabun al-Nuzul pada ayat ini yaitu, kebiasaan orang-orang Jahiliah
ketika bercerai dengan istrinya yaitu mengambil kembali harta-harta yang
telah diberikan sebagai mahar. kebiasaan ini masih berlangsung hingga Islam
datang ke tengah-tengah mereka. Suatu ketika ʻ Umar ibn Khaṭṭāb berkata:
“Ingatlah! Janganlah kamu sekali-kali mengambil kembali harta yang sudah
kamu berikan kepada istrimu, karena hal itu menjadi perbuatan yang mulia di
dunia dan termasuk bentuk takwa kepada Allah.” Dengan perkataan ʻ Umar
ibn Khaṭṭāb ini turunlah surah al-Nisā’ ayat 20-21 ini untuk menegaskan
mengenai larangan mengambil harta yang telah diberikan kepada istri yang
dijadikan mahar apabila ingin menceraikan istrinya. (H.R. Aḥmad dari Ismāʻīl
dari Salamah).18
Rāsyid Riḍā mengatakan larangan untuk mengambil sebagian mahar
Qinṭar karena ingin menceraikan untuk mengganti istrinya dengan perempuan
yang lain dengan kesepakatan sepihak dari suami karena dorongan hawa
nafsunya. Istri yang digantikan merupakan istri yang taat dan tidak melakukan
hal-hal yang dilarang syariat. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang
dibenarkan oleh syariat untuk mengambil dari sebagiannya. Bagaimana bisa
suami mengambil barang yang telah diberikan kepadanya, padahal pernah
bersatu dalam membina rumah tangga dan tidak pernah berpikir untuk
berpisah hingga mendapatkan keturunan sebagai kebahagiaan yang
sesungguhnya dalam berumah tangga kemudian ketika sudah mencapai
puncak kebahagiaan yang sesungguhnya dalam berumah tangga, tiba-tiba
suami menalak istrinya dan mengambil barang darinya.19
Kebiasaan kaum Jahiliyyah jika berniat untuk mentalak istrinya dan
ingin menebus dirinya dari suami dengan mengembalikan mahar yang pernah
diberikan kepadanya. Maka suami ini menghalalkan mengambil mahar wanita
bila mereka bermaksud berpisah melalui jalur talak, bukan karena dosa yang
dilakukan wanita dan bukan juga tidak menegakkan batasan-batasan Allah.
Pada kedua ayat di atas bertujuan untuk memperingati seorang suami. Apabila
suami menalak istrinya dan memilih untuk hidup masing-masing serta tidak

18
Mujab Mahali, Asbabun Nuzul, cet. I (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 216

19
Muḥammad Rasyīd Ridā, Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm (Tafsīr al-Manār), Jilid 5 (Kairo: Dār al-Manar,
1950), 375.
bermaksud untuk menikah lagi dengan perempuan lain dan tidak ingin terikat
dengan wanita mana pun karena menyadari bahwa kebutuhan mereka banyak.
maka dalam keadaan seperti ini suami tidak diperbolehkan untuk mengambil
sesuatu dari hartanya.20
Pada ayat ini dijelaskan bahwa ketika suami telah bosan dengan
istrinya kemudian ingin menceraikan istrinya dan mengganti dengan istri yang
lain maka pemberian yang telah diberikan suami selama membangun rumah
tangga tidak boleh diambil kembali karena perbuatan tersebut tidak
mencirikan sebagai orang yang beriman dan tidak dibenarkan oleh syariat.
Karena bagaimanapun di antara keduanya pernah terjalin cinta dan kasih
dalam membangun rumah tangga dan ketika berpisah suami tidak boleh
mengambil apa pun dari harta yang telah diberikan.

3. Suami boleh mengambil mahar nya kembali


Hal ini terdapat pada QS. Al-Mumtaḥanah ayat 10 :

ۖ ‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا ِإَذ ا َج اَء ُك ُم اْلُم ْؤ ِم َناُت ُمَهاِج َر اٍت َفاْم َتِح ُنوُهَّن ۖ ُهَّللا َأْع َلُم ِبِإيَم اِنِهَّن‬
‫َفِإْن َع ِلْم ُتُم وُهَّن ُم ْؤ ِم َناٍت َفاَل َتْر ِج ُعوُهَّن ِإَلى اْلُك َّفاِر ۖ اَل ُهَّن ِح ٌّل َلُهْم َو اَل ُهْم َيِح ُّلوَن‬
‫َلُهَّن ۖ َو آُتوُهْم َم ا َأْنَفُقواۚ َو اَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم َأْن َتْنِكُحوُهَّن ِإَذ ا آَتْيُتُم وُهَّن ُأُجوَر ُهَّن ۚ َو اَل‬
‫ُتْمِس ُك وا ِبِعَص ِم اْلَك َو اِفِر َو اْس َأُلوا َم ا َأْنَفْقُتْم َو ْلَيْس َأُلوا َم ا َأْنَفُقواۚ َٰذ ِلُك ْم ُح ْك ُم ِهَّللاۖ َيْح ُك ُم‬
)١٠( ‫َبْيَنُك ْم ۚ َو ُهَّللا َع ِليٌم َح ِكيٌم‬

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan
mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah
mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai)
perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka
kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi
mereka. Berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka
berikan. Tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu
20
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Beirut: Dar al-Fikr, 2006 M.), V: 388.
membayar mahar kepada mereka. Janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.
Hendaklah kamu meminta kembali (dari orang-orang kafir) mahar
yang telah kamu berikan (kepada istri yang kembali kafir).
Hendaklah mereka (orang-orang kafir) meminta kembali mahar yang
telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman).
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu.
Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Munasabah Surat al-Mumtaḥanah ayat 10 ini memiliki keterkaitan
pembahasan dengan ayat setelahnya. Penjelasan ayat setelahnya merupakan
penjelasan lanjutan dari ayat sebelumnya. Dalam ayat 10 dijelaskan bahwa
ketika laki-laki menikahi perempuan kafir maka hendaknya meminta kembali
mahar yang telah kamu berikan, dan ketika perempuan telah beriman dan
suaminya tetap kafir biarkan suami (kafir) tersebut meminta kembali mahar
yang telah mereka bayar kepada mantan istrinya yang beriman. Kemudian di
ayat 11 dijelaskan persoalan jika istrinya kembali kepada orang-orang kafir,
lalu suaminya dapat mengalahkan mereka, maka perolehan dari harta
rampasan perang tersebut sebelum diberikan kepada golongan yang berhak,
dibayarkan lebih dahulu mahar-mahar kepada suami yang istri mereka lari ke
daerah kaum kafir.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ketika ada wanita-wanita datang
kepadamu sedang mereka dalam keadaan berhijrah dari orang-orang kafir, dan
mengaku sudah mengucapkan persaksian serta tidak terlihat pertentangan
terkait hal-hal tersebut dari mereka, maka dalam surat ini untuk menguji
keadaan mereka karena bisa jadi mereka itu adalah wanita -wanita
munafik.21Karena pada hakikatnya yang mengetahui Iman mereka adalah
Allah. Ketika kamu mengira bahwa keimanan mereka kuat hanya melalui
sumpah yang dikatakannya serta menyebabkan ketentraman hatimu atas
keislaman mereka, maka jangan dikembalikan mereka kepada suami-suami
mereka yang musyrik.
Telah dijelaskan bahwa mahar bukan hak suami, orang tua dan

21
Al-Marāgi, Terjemah Tafsir al-Marāgi, 117.
saudara laki-laki dari pihak istri dan merupakan hak istri sepenuhnya, maka
dia memiliki hak penuh untuk menggunakannya dan memberikan kepada yang
ia kehendaki. Namun, apabila istri merelakan dan menghendaki sebagian atau
seluruhnya dari maskawin tersebut kepada suaminya maka suami boleh
menerima apa yang telah diberikan oleh
istrinya. Hak mahar menjadi gugur ketika dalam dua kondisi:
1. Ketika ditalak sebelum dikumpuli
Tidak diwajibkan bagi suami membayar mahar atau yang
lainnya ketika menalak istrinya sebelum adanya pergaulan dan belum
ditetapkannya mahar. Apabila telah digauli maka diwajibkan
membayar mahar sesuai ketetapan yang telah diputuskan sebelumnya,
jika belum adanya penentuan mahar dari kedua belah pihak maka
wajib membayar mahar dengan sepantasnya. Namun apabila ketika
menjatuhkan talak sebelum terjadinya pergaulan namun mahar telah
ditentukan maka wajib membayar setengahnya dari yang telah
ditentukan.22 Seperti firman Allah SWT pada QS. Al-Baqarah ayat 236
:

‫اَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم ِإْن َطَّلْقُتُم الِّنَس اَء َم ا َلْم َتَم ُّسوُهَّن َأْو َتْفِر ُضوا َلُهَّن َفِريَض ًةۚ َو َم ِّتُعوُهَّن‬
)٢٣٦( ‫َع َلى اْلُم وِس ِع َقَدُر ُه َو َع َلى اْلُم ْقِتِر َقَدُر ُه َم َتاًعا ِباْلَم ْعُروِف ۖ َح ًّقا َع َلى اْلُم ْح ِسِنيَن‬

Artinya:
Tidak ada dosa bagimu (untuk tidak membayar mahar) jika
kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh (campuri)
atau belum kamu tentukan maharnya. Berilah mereka mut‘ah, 73) bagi
yang kaya sesuai dengan kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai
dengan kemampuannya pula, sebagai pemberian dengan cara yang
patut dan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat ihsan.
Menurut suatu riwayat, ayat ini turun berkenaan dengan
peristiwa yang terjadi oleh seorang sahabat dari kaum Ansar menikahi

22
Al-Qurṭubi, Tafsīr al-Qurṭubi, Jilid 3, terj. Faturrahman Ahmad Hotib (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), 420.
seorang perempuan. Namun pada saat dilaksanakan akad nikah tidak
menentukan jumlah mahar dan sebelum bercampur istrinya ditalak.
Maka turunlah ayat ini, setelah adanya ayat ini Rasulullah
memerintahkan kepada pria tersebut untuk memberikan hadiah kepada
mantan istrinya tersebut.23
Dapat disimpulkan bahwa penjelasan mengenai ayat ini Allah
tidak menentukan ukuran dan jumlah mahar secara permanen. Allah
SWT menyerahkan hal ini kepada pendapat kedua belah pihak yang
akan melangsungkan pernikahan, karena hanya mereka yang
mengetahui terhadap harta yang dimiliki. Karena tidak ada penentuan
ukuran jumlah mahar, maka di dalam syariat menganjurkan agar
bersikap bijaksana dengan melebihkan pemberian kepada mereka
sebagai penghibur hati mereka serta dapat pengganti kesusahan yang
telah menimpa mereka.

2. Ketika ditalak dan belum digauli tetapi sudah menentukan


maharnya, maka wanita berhak mendapatkan dari setengah
maharnya. Hal ini tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 237 :

‫َو ِإْن َطَّلْقُتُم وُهَّن ِم ْن َقْبِل َأْن َتَم ُّسوُهَّن َو َقْد َفَر ْض ُتْم َلُهَّن َفِريَض ًة َفِنْص ُف َم ا َفَر ْض ُتْم ِإاَّل َأْن َيْع ُفوَن‬
‫َأْو َيْع ُفَو اَّلِذ ي ِبَيِدِه ُع ْقَد ُة الِّنَك اِحۚ َو َأْن َتْع ُفوا َأْقَر ُب ِللَّتْقَو ٰى ۚ َو اَل َتْنَسُو ا اْلَفْض َل َبْيَنُك ْم ۚ ِإَّن َهَّللا ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬
)٢٣٧( ‫َبِص يٌر‬
Artinya: Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh
(campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka
(bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika
mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali)
membebaskannya.74) Pembebasanmu itu lebih dekat pada ketakwaan.
Janganlah melupakan kebaikan di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ketika talak terjadi dan istri
belum dicampuri namun jumlah mahar sudah disepakati, maka suami
wajib memberikan setengah dari mahar yang telah disepakati.

23
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 351.
Kewajiban membayar mahar akan gugur jika sang istri yang ditalak
memaafkan suaminya dan tidak mengambil setengah atau sebagian
dari mahar yang telah diterima istrinya. Begitu pun jika suami
memaafkan istrinya dengan tidak mengambil setengah dari mahar yang
telah ditentukan sebagai tanda terima kasih untuk istri yang
diceraikannya, maka ketika itu istri boleh mengambil mahar
sepenuhnya, yaitu setengah dari mahar yang wajib ia terima dan
setengah lagi sebagai hadiah.24
Pada QS. Al-Baqarah ayat 236-237, Allah SWT, menyebutkan
tentang istri yang ditalak dan belum digauli serta belum ditentukan
maharnya dan juga istri yang ditalak belum digauli tetapi sudah
ditentukan maharnya. Allah SWT menetapkan kepada perempuan
pertama yaitu mut’ah (hadiah atau pemberian cuma-cuma) dan untuk
perempuan kedua ditetapkan untuk mendapatkan setengah mahar
karena menjadi hak istri. Setelah keadaan istri yang ditalak dibagi
menjadi dua bagian, yaitu istri yang ditalak telah ditetapkan maharnya
dan istri yang ditalak belum ditentukan maharnya maka Allah SWT
membolehkan nikah tafwīḍ. Nikah tafwīḍ adalah pernikahan tanpa
menyebut mahar dengan syarat setelah akad harus ditentukan
maharnya. Jika mahar belum ditentukan dan terjadi talak maka tidak
ada mahar yang wajib dibayar suami menurut ijma’ ulama.25
Kesimpulan dari kedua ayat di atas. Bahwa jika suami menalak
istrinya dan belum terjadi dukhul dan mahar sudah ditetapkan, maka
istri berhak mendapatkan setengah dari maharnya. Apabila pasangan
suami istri salah satu meninggal dunia sebelum terjadi dukhūl maka
mahar seluruhnya menjadi hak istri atau ahli warisnya, kecuali jika istri
yang ditalak memaafkan suaminya dengan tidak mengambil setengah
maharnya.

D. Bentuk Mahar

24
Al-Qurṭubi, Tafsīr al-Qurṭubi, Jilid 3, terj. Faturrahman Ahmad Hotib (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), 437.
25
Al-Qurṭubi, Tafsīr al-Qurṭubi, Jilid 3, terj. Faturrahman Ahmad Hotib (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), 420.
Pada umumnya mahar dalam bentuk materi baik berupa uang atau barang
berharga lainnya. Namun, di dalam agama Islam memungkinkan dengan hal-hal
lainnya. Sebagaimana landasannya yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi
SAW.26 Hal-hal yang bisa dijadikan mahar memiliki berbagai macam, di antaranya :
a. Mahar dalam bentuk jasa
Al-Qur’an mengabadikannya dalam QS. Al-Qaṣaṣ ayat 27 yang berbunyi:

ۖ‫َقاَل ِإِّني ُأِريُد َأْن ُأْنِكَح َك ِإْح َدى اْبَنَتَّي َهاَتْيِن َع َلٰى َأْن َتْأُج َرِني َثَم اِنَي ِح َج ٍجۖ َفِإْن َأْتَم ْم َت َع ْش ًرا َفِم ْن ِع ْنِد َك‬
‫َو َم ا ُأِريُد َأْن َأُش َّق َع َلْيَكۚ َس َتِج ُد ِني ِإْن َش اَء ُهَّللا ِم َن الَّصاِلِح يَن‬

Artinya: Dia (ayah kedua perempuan itu) berkata, “Sesungguhnya aku


bermaksud menikahkanmu dengan salah seorang dari kedua anak
perempuanku ini dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama
delapan tahun. Jika engkau menyempurnakannya sepuluh tahun, itu adalah
(suatu kebaikan) darimu. Aku tidak bermaksud memberatkanmu. Insyaallah
engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.”
Pada ayat ini terdapat sebuah cerita yang bermunasabah dengan ayat
sebelumnya, antara Nabi Syu’aib dengan Nabi Musa. Kemudian salah satu
putri Nabi syu’aib meminta kepada ayahnya untuk mempekerjakannya di
rumah mereka, Yang mana Nabi syu’aib mengetahui bahwa salah satu dari
putrinya tersebut menyukai Nabi Musa, dan akhirnya turunlah ayat 27 ini.
Dari penjelasan cerita tersebut jika disimpulkan, bahwa penjelasan ini menjadi
dalil disyariatkannya wali dari kedua orang wanita tersebut dapat menawarkan
kepada seorang laki-laki untuk menikahi anaknya. Dan memiliki nilai
bahwasanya janganlah lupa untuk berdoa kepada Allah untuk meminta
petunjuk serta rezeki karena hanya Allah-lah yang dapat menolong ketika
berada dalam kesulitan. Menikahlah Musa dengan salah seorang dari kedua
wanita tersebut dengan mahar bekerja selama delapan tahun (jasa). Doanya
dalam meminta keselamatan, perlindungan,pekerjaan terkabul dan
mendapatkan istri juga.
b. Mahar berupa uang atau barang

26
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), 100.
Mahar dengan uang atau barang, maka Nabi menghendaki maskawin
itu dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagaimana sabda Nabi:
“Dari ʻĀisyah r.a. bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW Bersabda: Nikah
yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya.” (H.R.
Aḥmad).27
c. Mahar memerdekakan budak
Memerdekakan budak bisa dijadikan untuk mahar, karena sebagaimana
Nabi SAW sendiri waktu menikahi Ṣafiyah yang pada saat itu masih dengan
statusnya sebagai hamba sahaya kemudian Nabi menikahkan Ṣafiyah dengan
maharnya memerdekakan Ṣafiyah tersebut dan kemudian ia menjadi Ummu
al-Mukminīn. Sebagaimana terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas
ra.
: “Dari Anas ra. Bahwa Nabi SAW telah memerdekakan shafiyah (istrinya)
dan beliau menjadikan kemerdekaan itu sebagai Maskawinnya.” (H.R. al-
Bukhāri Muslim).
Kesimpulannya mahar tidak selalu tentang materi, karena di dalam al-
Quran maupun hadis Nabi tidak memberikan petunjuk yang memastikan
bahwa yang dijadikan maskawin itu adalah uang. Penjelasan di atas disertai
dengan dalil-dalil berupa al-Quran dan hadis, ini menunjukkan bahwa mahar
bisa berupa apa saja yang memiliki nilai harga dan juga bisa memberi
manfaat. Segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga bisa dijadikan mahar,
misalnya uang, emas, perak, rumah, kebun asalkan mahar tersebut memiliki
nilai finansial dan harga.28 Serta segala sesuatu yang bernilai manfaat bisa
dijadikan mahar contohnya dengan mahar berupa jasa, hafalan al-Quran dan
memerdekakan budak.

E. Signifikansi Mahar
Menghadapi realitas sosial disertai dengan perubahan masyarakat yang
begitu cepat akibat perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi)
yang dampaknya berhasil mempengaruhi sosial keagamaan baik dalam aspek

27
Muḥammad Fuʻad ʻAbdul al-Bāqi, Lu’lu wa al-Marjān, terj. Taufiq Munir (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2011), 136.
28
Ibrahim Amini, Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadis (Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 1997), 164.
akidah maupun muamalah yang terkadang hukumnya masih belum diketahui
oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan untuk
mengkontekstualkan teks-teks al-Qur’an dalam segi kehidupan sosial secara
menyeluruh terhadap permasalahan yang muncul.
Salah satunya yaitu permasalahan mahar (maskawin) di dalam Islam
memang tidak ada habisnya. Berawal dari perbedaan pendapat mengenai
disebutkan atau tidak maharnya pada saat akad, kadar mahar dan jenis mahar.
Ketika berbicara mengenai mahar dalam agama Islam, maka berbagai
pendapat yang telah diberikan oleh para ulama ini memiliki dalil-dalil yang
berpijak pada al-Qur’an dan hadis sebagai dua landasan utama dalam
menetapkan hukum.
Secara kaidah mahar telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis, akan tetapi
dalam pengaplikasian mahar harus sesuai dengan tradisi yang berlaku di suatu
daerah.43 Pengaplikasian mahar di kehidupan sehari-hari memiliki tiga bagian
yaitu dengan seadanya, sederhana ataupun ketinggian. Realita yang terjadi di
masyarakat sekarang memiliki rasa gengsi yang tinggi, sehingga
pengaplikasian mahar pun berubah. Fenomena yang terjadi sekarang dalam
pernikahan lebih mengutamakan kepada penampilan sehingga membutuhkan
banyak biaya. Terkadang didaerah tertentu orang tua ikut berperan dalam
menentukan mahar jumlah mahar yang dianggap sesuai dengan harkat dan
martabat putrinya, tidak
jarang jumlah yang diinginkan membuat calonnya kesulitan dalam
memenuhinya sehingga ini menjadi salah satu penyebab batalnya pernikahan
karena ketidaksanggupannya untuk memenuhi mahar tersebut dan dapat
menyebabkan maraknya perzinaan.
Kenyataan yang terjadi pada masyarakat tidak hanya praktik mahar
dengan nominal tinggi tetapi terdapat juga praktik mahar dengan kadar
dibawah standar kelayakan. Dengan adanya praktik yang seperti ini, batas
minimal mahar perlu ditentukan dengan tetap mempertimbangkan kemampuan
laki-laki dengan tidak menghilangkan tradisi yang berlaku di daerahnya.
Sebagaimana pendapat Imam Hanafi dan Imam Māliki, menurut Imam Hanafi
standar minimal adalah sepuluh dirham. Sedangkan menurut Imam Mālik
minimal mahar adalah seperempat dinar emas murni atau perak seberat tiga
dirham atau barang yang setara dengan berat emas dan perak. Pada intinya
pemberian mahar mengikuti standar nilai dari tiap-tiap daerah dengan tetap
mempertimbangkan batas kemampuan laki-laki. Allah SWT memang tidak
menentukan batas minimal dan maksimal dalam mahar, namun Allah SWT
menganjurkan untuk bersikap sederhana dan tidak dengan berlebih-lebihan.
Secara hukum status mahar dalam pernikahan merupakan keharusan
dilakukan oleh pihak suami kepada istri. Tetapi keharusan memberi mahar
dalam pernikahan dapat dilakukan dengan kondisional artinya mahar diberikan
tidak terikat dengan suatu jenis dan kadar barang tertentu, boleh diberikan
dengan kontan atau cicilan. Mahar memiliki status sebagai kewajiban dan
bersifat kondisional dikarenakan dua hal; pertama, mahar bukan bagian dari
rukun pernikahan. Meski mahar berstatus wajib tapi tidak termasuk bagian
dari rukun nikah, maka jika mahar tidak disebutkan dalam akad atau tidak
dapat dipenuhi oleh suami dan istri telah merelakan maharnya maka
pernikahan tersebut tetap sah. Kedua, penyebutan mahar dalam al-Qur’an
dengan istilah ṣadūq dan niḥlah merupakan usaha agama agar pernikahan
dapat dilaksanakan oleh semua umat Islam terkhusus yang memiliki latar
belakang dengan ekonomi rendah.
Secara Global tujuan mahar adalah untuk menghormati dan
menghargai wanita dan mahar merupakan kewajiban calon suami kepada
calon istrinya. Jika pernikahan itu diperbolehkan tanpa membayar mahar dari
pihak laki-laki, maka secara logika tidak menutup kemungkinan akan
menyebabkan terjadinya pelecehan terhadap pihak wanita, di mana kaum pria
akan meninggalkan istrinya begitu saja. Maka dengan adanya mahar, seorang
suami atau istri akan menjalani kehidupan rumah tangganya dengan penuh
rasa cinta kasih dan bertanggung jawab atas keutuhan rumah tangganya.
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan bahwa mahar adalah
pemberian wajib yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya
dengan harapan menyenangkan hati istrinya. Dalam pemberian mahar
memiliki beberapa ketetapan; Pertama, mahar tidak boleh menyulitkan pihak
laki-laki disebabkan harus diberikan dengan rasa keikhlasan dan kerelaan
hatinya. Kedua, mahar harus dibayar sempurna, jika mahar belum dibayar
sempurna sesuai yang telah disepakati di awal maka selama masih berumah
tangga sisa dari mahar yang belum dibayar tersebut harus dibayarkan agar
mahar tersebut menjadi sempurna. Pemberian mahar di sini tidak dijadikan
sebagai alat jual beli, melainkan sebagai penghormatan, menyenangkan hati
istrinya dan sebagai bukti adanya kasih dan sayang dari pihak laki-laki. Ketika
mahar sudah diberikan maka suami tidak boleh memakai dari pemberian
tersebut tanpa seizin istrinya karena mahar sudah mutlak menjadi hak istri.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, dan ,


penulis dapat memberikan kesimpulan dari tema pembahasan bahwa:

1. Konsep mahar menjadi bagian yang esensial dalam pernikahan. Dalam al-
Qur’an mahar disebutkan dengan lafaz-lafaz yang berbeda, di antaranya;
lafaz ṣaduqāt memiliki makna kejujuran dengan maksud pemberian mahar
tidak ada unsur kebohongan di dalamnya. Lafaz niḥlah bermakna ikhlas
dan tidak berharap imbalan. Lafaz farīḍah bermakna kewajiban, karena
pemberian mahar dalam pernikahan merupakan kewajiban bagi calon
suami. Lafaz ujr bermakna upah, bermakna upah dimaksudkan untuk
kenikmatan yang akan didapatkan dalam berumah tangga.
2. Konsep mahar meliputi: Substansi mahar adalah suatu pemberian wajib
oleh calon suami kepada calon istrinya sebagai pemberian penuh kerelaan
dan tanpa adanya paksaan. Fungsi mahar dalam pernikahan adalah menjadi
kewajiban seorang suami dan sepenuhnya menjadi hak istri. Bentuk mahar
dapat berupa jasa, harta, benda dan bahkan memerdekakan budak. Syariat
Islam tidak memberikanketentuan terhadap batas minimal dan maksimal
ukuran mahar, dalam penentuan mahar al-Qur’an memerintahkan untuk
bersikap sederhana dan tidak berlebih-lebihan.
B. Saran
Dengan makalah ini semoga bisa membantu dari sisi keilmuan serta
pemahaman bagi kalangan pemuda, orang awam, ataupun orang tua yang hendak
menikahkan putrinya, dan tentunya makalah ini tidak luput dari kekhilafan dan
kesalahan dalam penyusunannya karena penulis hanyalah manusia biasa yang
sangat lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa kecuali dengan Rahmat dan
kekuatan dari Allah, Adapun jika dalam makalah ini Jikalau ada benarnya maka
semata-mata itu datangnya hanya dari Allah SWT.
Daftar Pustaka

Ahla Shuffah 103 FKI, Tafsir Maqashidi/Kajian Tematik Maqashidi al-Syari’ah, Lirboyo
Press, Kediri, 2013 M.

Al-Asqalānii, Ibn Ḥajr. Terjamah Bulūgul Marām. Semarang: Wicaksana,1993.

Al-Bāqi, Muḥammad Fu’ad ʻAbdul. Lu’lu wa al-Marjān, terj. Taufiq Munir. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2014.

Al-Marāgi, Aḥmad Muṣṭafa. Terjemah Tafsīr al-Maragi, jilid 4, terj. Anshori Umar
Sitanggal. Semarang: Toha Putra, 1993.

Al-Qurṭubi, Tafsīr al-Qurṭubi, terj. Faturahman Ahmad Hotib, jilid 3.Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007.

Al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn. Asbabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, terj.
Tim Abdul Hayyie. Depok: Gema Insani, 2015.

Amini, Ibrahim. Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’an dan Hadis. Semarang:
Wicaksana, 1993.

Asyur, al-Tahrir, IV:229 dan Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’ li ahkami al-
Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr,tt) V:25.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II.
Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Halimah B, “Konsep Mahar (Maskawin) dalam Tafsir Kontemporer”. Al-Risalah,


Vol.15, no.2 (Desember 2017)

Hamka, Buya. Tafsīr al-Azhar, jilid 2. Jakarta: Gema Insani, 2005.

Ibrahim Amini, Kiat Memilih Jodoh Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadis (Jakarta: PT.
Lentera Basritama, 1997),

Kementerian Agama. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktur Pembinaan Badilag,


2001.
Mahali, Mujab. Asbabun Nuzul, cet. I. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Manẓur, Ibnu. Lisān al-ʻArab. Beirut: Dār al-Ṣādr, 2002.

M. ʻAlī al-Ṣābūni, Kawinlah Selagi Muda: Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, terj. M.
Nurdin, cet. I (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000),

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1989),

Muḥammad Mutawalli al-Syaʻrāwi, Tafsīr al-Sya’rāwi, Jilid 4, terj. Tim Safir al-Azhar
(Jakarta: Duta Azhar, 2004), 2009.

Munawwir, A.W, 2002, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka


Progressif, Surabaya.

Rasyīd Riḍā, Muḥammad. Tafsīr al-Qur’ān al-Ḥakīm (Tafsīr Al-Manār). Kairo: Dār al-
Manār, 1950.

Sābiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, terj. Noor Hassanuddin. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006

Zuḥaili, Muḥammad. Al-Mażhab fi al-Fiqh al-Imām al-Syāfi’I, Jili 4, cet.I ,Damaskus:


Dār al-Qalam, 1996.

Al-Zuḥaili, Wahbah. Fiqh Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani dll.
Jakarta: Gema Insani, 2011.

_______. Tafsīr al-Munīr, Jilid 2, terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani,
2013.

Anda mungkin juga menyukai