Anda di halaman 1dari 5

A.

Latar Balakang
Kehadiran al-Qur’an di tengah umat islam digunakan sebagai
pemecahan atas berbagai persoalan hidup yang dihadapi umat manusia.
Komplikasi kehidupan tersebut dapat dipecahkan dengan baik jika
pemahaman terhadap teks al-Qur’an dilakukan dengan cara yang baik
pula. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar mampu memahami teks
al-Qur’an dengan baik adalah dengan melakukan penafsiran.1
Seiring berjalanannya waktu, perkembangan dunia penafsiran
mengalami pasang-surut. Hal itu disebabkan karena saat ini umat islam
tidak memiliki juru penafsir yang mutlak sejak wafatnya Rasulullah saw.,
akibatnya banyak ditemukan berbagai warna dan corak penafsiran. Warna
dan corak penafsiran tersebut dalam perkembangannya selalu berubah dan
dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat yang selalu berubah dari masa
ke masa.2
Salah satu yang mempengaruhi warna dan corak penafsiran adalah
istilah ad-Dakhil yaitu penafsiran yang tidak berlandaskan pada kaidah-
kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh ulama. Penafsiran model ini
dapat berakibat pada kerancuan serta menyesatkan umat, sehingga umat
islam akan kehilangan petunjuknya yang benar, sebagaimana al-Qur’an
sendiri menyatakan dirinya sebagai kitab petunjuk bagi manusia serta
rahmat bagi seluruh alam semesta, yang kebenaran dan keterpeliharaannya
tidak dapat diragukan sedikitpun hingga akhir zaman.3
Ad-Dakhil dalam tafsir ini sangat penting untuk dipelajari dan
diketahui hingga bentuk dan macam-macamnya yang berbeda-beda dalam
kategorinya, agar akal pikiran kita tidak terbodohi oleh hal-hal yang
sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan penafsiran.4
B. Rumusan Masalah
1
Muhammad Amin, “Sistematika Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an Sebagai Pola Gerakan
Dakwah,” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir 1, (2004), hlm. 83.
2
Irma Riyani, “Menelusuri Latar Historis Turunnya Alquran Dan Proses Pembentukan
Tatanan Masyarakat Islam,” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir 1, no. 1 (2016),
hlm. 27–34.
3
Mujiburrohman, “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur,” Jurnal Pemikiran, Pendidikan
dan Penellitian ke-Islaman 8, no. 1 (2022), hlm. 82.
4
Enok Ghosiyah, “Al-Dhakhil Fi Tafsir Sebagai Kajian Ilmu Al-Qur’an,” al-Fath 6, no.
11 (1967). hlm. 96.
Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik pokok masalah
pada penulisan ini, yaitu sebagai berikut :
1. Apa saja macam-macam Ad-Dakhil fi At-Tafsir?
2. Apa saja faktor-faktor terjadinya Ad-Dakhil fi At-Tafsir?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat diketahui tujuan
penulisan pada makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui macam-macam Ad-Dakhil fi At-Tafsir?
2. Mengetahui faktor-faktor terjadinya Ad-Dakhil fi At-Tafsir?

ISI
A. Ad-Dakhil bil Ma’tsur
B. Ad-Dakhil bil Ra’yi
Ad-Dakhil bil Ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan
menggunakan pemikiran yang salah dan sesat, dengan alasan tidak
kuatnya seorang mufassir dalam memenuhi syarat ijtihad, ia menyalah-
gunakan aturan tafsir serta tidak mengindahkan pemahamannya terhadap
penafsiran. Akibatnya, ia membawa serta hawa nafsu dan akal pikirannya
(subjektif) untuk menafsirkan al-Qur’an, maka akan mendapatkan hasil
pemikiran yang salah dan sangat tercela.5 Ad-Dakhil bil Ra’yi mencakup
dua hal, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Lughah (Bahasa)
Ad-Dakhil lughah yaitu ad-Dakhil dengan penggunaan bahasa
yang tidak pada tempatnya dalam menafsirkan al-Qur’an. Salah satu
contohnya pada penafsiran Q.S al-Isra ayat 71 yang dilakukan oleh
Muhammad Bin Ka’ab al-Qurazi
Masukkan Q.S al-Isra ayat 71 (besrta terjemahannya)
Menurut Muhammad Bin Ka’ab al Qurazi term ‫ إمام‬dari ayat di atas
adalah bentuk plural dari kata ‫ مأ‬. Ayat ini dimaknai bahwa pada hari
kiamat setiap manusia akan dipanggil dengan nama ibu-nya. Al-
Zamakhshary dalam tafsir al-Kashahaf mengatakan bahwa tafsir yang

5
Ibid. hlm. 101.
mengatakan term ‫ إمام‬sebagai bentuk plural dari kata ‫ مأ‬serta manusia
akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama ibu-nya adalah termasuk
bid’ah, karena hikmah dari panggilan dengan nama ibu-nya adalah untuk
menjaga haknya ‘Isa as. Namun al-Zamakhshary tidak menegaskan
manakah yang dianggap bid’ah, apakah term ‫ مأ‬ataukah “hikmah” yang
terkandung di dalam-nya.
Al-Alusi tidak menerima penafsiran yang dilakukan al-
Zamakhshary dalam tafsir al-Kashshaf dengan argumentasi sebagai
berikut:
a. Penyebutan term ‫ إمام‬sebagai plural dari kata ‫ مأ‬adalah tidak lazim
dalam penggunaannya, karena bentuk plural dari kata ‫ مأ‬lebih
lazim menggunakan kata ‫ أ‬I‫مهات‬
b. Penjagaan terhadap hak ‘Isa as. dalam keistimewaannya yang
dipanggil dengan nama ibu-nya, karena penciptaan ‘Isa tanpa
seorang ayah merupakan sebagai karamah yang diberikan Allah
kepadanya, hal itu dimaksudkan agar manusia tidak menisbatkan
nasabnya kepada seorang ibu.
Penafsiran terhadap term ‫ام‬III‫ إم‬yang dilakukan Muhammad Bin
Ka’ab al-Qurazi juga bertentangan dengan penafsiran mayoritas ‘Ulama.
Menurut Muhammad ‘Ali al-Shabuny, maksud kata ‫ إمام‬dalam ayat di atas
adalah catatan amal, yang bermakna, bahwa pada hari itu setiap manusia
akan dipanggil untuk menerima catatan amalnya dan memperoleh balasan
dari perbuatannya, seperti dalam firman Allah: “dan segala sesuatu Kami
kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Adapun Al-Thabary berpendapat, bahwa kata ‫ إمام‬dalam ayat di
atas lebih tepat bermakna sebagai seseorang yang diikuti ketika di dunia,
karena terma ‫ اإلمام‬dalam penggunaan bahasa arab bermakna sesuatu yang
dijadikan imam (panutan) dan diikuti.6
2. Al-‘Aql atau Al- Isyarah (akal/ intuisi)

6
Mujiburrohman, “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur,” Jurnal Pemikiran, Pendidikan
dan Penellitian ke-Islaman 8, no. 1 (2022), hlm. 87-88.
Ad-Dakhil al-‘Aql yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan nalar yang
sesat, hanya berdasarkan subjektivitas diri. Pada umumnya ad-Dakhil
al-‘Aql terbagi menjadi dua kelompok yakni:
a. Aliran Mu’tazilah dan Shufiyah, aliran ini masih tergolong pada
aliran yang baik karena tidak bertentangan jauh dengan kaidah
penafsiran bi al-Ra’yi.
b. Aliran-aliran yang bertentangan dengan agama dan dianggap
keluar fari agama, yaitu aliran Bathiniyyah, Baha’iyyah, dan
Qadiyaniyyah.
Salah satu contoh dari penafsiran yang dilakukan oleh aliran
Qadiyaniyyah pada Q.S al-Ahzab ayat 40
Q.S al-Ahzab ayat 40 serta terjemahannya
Aliran ini berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kalimat ‫النبيين‬
‫ خاتم‬dalam ayat di atas adalah bermakna ‫يين أفضل‬II‫( النب‬nabi yang paling
utama) atau paling bagus, hal itu didasarkan pada:
a. Sabda Nabi saw. kepada ‘Abbas : “Kamu adalah orang paling
utama yang berhijrah diantara para muhajirin, begitu pula aku
adalah Nabi paling utama dalam kenabian.
b. Pendapat Syaikh al-Najfi dalam Kitab-nya Maj’ma’ al-Bahraini,
bahwa kalimat ‫ البيين خاتم محمد‬dapat dibaca dengan mem-fathah-kan
huruf Ta’ (‫)ت‬ atau me-kasrohkan-nya. Kata ‫اتم‬II‫ خ‬dengan me-
fathah-kan huruf ta’ (‫ ) ت‬bermakna ‫( الزينة‬keindahan/perhiasan).
Menurut Muhammad al-Khudri Husain, penafsiran yang dilakukan
aliran Qadiyaniyyah di atas adalah Bathil. Di dalam kitab Usd al-
Ghabah dijelaskan, bahwa ‘Abbas meminta izin kepada Rasulullah
saw. Untuk berhijrah, lalu rasul saw. bersabda kepadanya: “wahai
paman, diamlah kamu di tempat-mu, karena Allah swt. Telah
mengakhirkan-mu untuk berhijrah, sebagaimana Allah telah
menjadikan aku akhir dari kenabian”.
Adapun dalam kitab al-Ishabah fi ta’rif al-Shahabah dijelaskan,
bahwa ‘Abbas berhijrah sebelum penaklukan Makkah (fath Makkah),
sebagaimana Ibn Hisham berpendapat, bahwa ’Abbas bertemu dengan
Rasulullah saw. di Juhfah pada saat berhijrah bersama keluarganya.
Dari keterangan tersebut dapat dikatakan, bahwa penetapan hadits
‫اتم أنت‬II‫اجرين خ‬II‫ المه‬bermakna bahwa ‘Abbas adalah orang yang terakhir
berhijrah dari Makkah ke Madinah, hal ini sejalan dengan sabda Nabi
saw.: “Tidak ada hijrah setelah penaklukan Makkah”.
Dengan demikian, argumentasi Qadiyaniyyah di atas tidak dapat
memberikan bukti yang mengatakan bahwa kaum muslimin berhijrah
setelah ‘Abbas ra.7

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad. “Sistematika Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an Sebagai Pola


Gerakan Dakwah.” Jurnal Ilmiah Komunikasi Islam 2 (2004).
Ghosiyah, Enok. “Al-Dhakhil Fi Tafsir Sebagai Kajian Ilmu Al-Qur’an.” al-Fath
6, no. 11 (1967).
Mujiburrohman. “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur.” Jurnal Pemikiran,
Pendidikan dan Penellitian ke-Islaman 8, no. 1 (2022).
Riyani, Irma. “Menelusuri Latar Historis Turunnya Alquran Dan Proses
Pembentukan Tatanan Masyarakat Islam.” Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir 1, no. 1 (2016).

7
Ibid. hlm. 88-89

Anda mungkin juga menyukai