Anda di halaman 1dari 8

AL-DAKHIL KARENA FAKTOR BAHASA

Disusun oleh :
Kelompok 5

Mita Elfiani :180303074

Ulfa Khairin :190303044

Khairatul Usrah :190303129

Mata kuliah : Al-Dakhil fi al-Tafsir

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Dr. Muslim Djuned, M.Ag

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2022 M/1443 H
A. PENDAHULUAN
Dalam memahami kandungan Al-Qur’an tidak dapat dipungkiri akan adanya
perbedaan produk penafasiran di kalangan mufassir. Heterogenitas pemahaman
penafsiran seperti yang telah banyak kita temukan dalam kitab kitab tafsir, baik
dengan corak Falsafi, Fiqhi, Sufi, Ilmi dan lain sebagainya merupakan salah satu
bukti tersebut. Oleh karena itu tidak salah jika kemudian ada sebagian kalangan
mengatakan bahwa produk penafsiran tidak bisa lepas dari subjektifitas
mufassirnya. 1

Produk penafsiran yang tidak bisa lepas dari subjektifitas mufassirnya


seperti yang telah disinggung di atas tentu memiliki kemungkinan besar terhadap
adanya penyimpangan-penyimpangan tafsir dengan indikasi membuat kekaburan
nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah ayat tertentu atau bahkan bertolak
belakang dengan spirit yang dalam Al Qur’an, dari latarbelakang subyektifitas
itulah kemudian lahir istilah Al Dakhil Fi Al Tafsir, yang pertama kali diperkenalkan
oleh Ibrahim Abdur Rahman khalifah melalui karyanya yang berjudul Al Dakhil
Fil Al Tafsir. istilah Al Dakhil Fi Al Tafsir dalam konteks penafsiran Al Qur’an
adalah kejanggalan yang ditemukan dalam penafsiran seorang mufassir terhadap
Al Qur’ankarena keluar dari muatan nilai atau bahkan bertolak belakang dengan
pemahaman teks yang terkandung di dalamnya.Atau sebagaimana dikatakan oleh
Ibrahim Khalifah bahwa ditinjau dari aspek bahasanya, Al Dakhil Fi Al Tafsir
dapat diartikan suatu kecacatan dan kesalahan baik sengaja atau tidak sengaja
dalam sebuah penafsiran.

1
Ilyas, Ahmad faidhal. “Syura dan Demokrasi dalam al-Quran Perspektif al-Dakhil fi al-Tafsir , Vol.1
No.1, Maret 2018.
B. PEMBAHASAN
1. Kekeliruan dalam penafsiran
Pembahasan mengenai penyimpangan ini banyak disinggung oleh Husain
al-Dzahabî dalam bukunya yang berjudul Al-Ittijâh al-Munharifah fî tafsîr al-
Qur’ân al-Karîm (buku ini telah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul
“Penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’an). Al-Dzahabî menilai
bahwa penyimpangan berawal dari pengutipan riwayat dalam menafsirkan al-
Qur’an yang tidak disertai sanad. Selain itu, penggunaan rasio (Tafsîr bi ra’yi)
yang berlebihan dan menonjolkan mazhab tertentu juga berimplikasi pada bentuk
penyimpangan penafsiran. Lebih lanjut, al-Dzahabî menyebutkan faktor
kesalahan dalam Tafsîr bil ra’yi. Pertama, mufassir meyakini salah satu makna
yang ada dan menggunakan maknanya untuk menerangkan berbagai lafaz al-
Qur’an. Kedua, mufassir berusaha menafsirkan berdasarkan makna yang
dimengerti oleh penutur bahasa Arab semata tanpa memperhatikan siapa yang
berbicara dengan al-Qur’an (konteks).
Quraish Shihab menyebutkan ada beberapa faktor yang berkenaan dengan
kekeliruan dalam penafsiran, diantaranya yaitu:
1. Subyektifitas mufasir
2. Kekeliruan dalam menerapan metode atau kaidah
3. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat
4. Tidak memperhatikan konteks, baik asbab nuzul, hubungan antarayat, maupun
kondisi sosial;
5. Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan
ditujukan”.
6. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu dan alat
Menurut Ghazali dan Gunawan mengetahui ilmu-ilmu bantu sangat
penting dalam menafsirkan Al-Quran.2 Ilmu-ilmu tersebut salah satunya
yaitu ilmu bahasa Arab. Dengan ilmu ini akan diketahui pengetahuan
makna, syarah kata-kata yang tunggal, aturan-aturan bahasa Arab, baik
mengenai kata-kata tunggalnya, maupun mengenai tarkib-tarkibnya atau
dengan kata lain menguasai ilmu sharaf atau ilmu nahwu;
2. Contoh-Contoh al-Dakhil karena Faktor Bahasa
a. (contoh Dakhil Lughah kelompok 4) Al-Dakhil dengan penggunaan bahasa
yang tidak pada tempatnya dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Mengenai contoh Dakhil al-Lughah ini dapat dilihat pada penafsiran yang
dilakukan oleh Muhammad Bin Ka‟ab al-Qurazi terhadap ayat ke- 71 dari
surah al-Isra‟:

ٰٰۤ
ْ ‫املىِٕكَ يَ ْق َر ُء ْونَ ِك ٰتبَ ُه ْم َو َل ي‬
َ‫ُظلَ ُم ْون‬ َ‫ي ِك ٰتبَهٗ ِبيَ ِم ْينِ ٖه ف‬
َ ِ‫ام ِه ْۚ ْم فَ َم ْن امت‬ ٍۢ ‫يَ ْو َم نَدْعُ ْوا كُ َّل اُن‬
ِ ‫َاس ِب ِا َم‬
‫فَتِي ًْل‬

Artinya: (ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan
pemimpinnya; dan barangsiapa diberikan catatan amalannya di tangan
kanannya, mereka akan membaca catatannya (dengan baik), dan mereka tidak
akan dirugikan sedikitpun”.
‫ام‬
َ ‫إ َم‬

Terma ‫ام‬
َ ‫ إ َم‬dalam ayat di atas menurut Muhammad Bin Ka‟ab al-Qurazi
adalah bentuk plural dari kata ‫ام‬. ayat ini dapat dimaknai, bahwa pada hari
kiamat setiap manusia akan dipanggil dengan nama ibu-nya. Al-Zamakhshary
menganggap tafsir yang mengatakan terma ‫ام‬
َ ‫ إ َم‬sebagai bentuk plural dari kata

2
Noblana Adib, Faktor-Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Penafsiran al-
Quran, dalam Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan Vol. 8,
no. 1 (2017), Universitas Islam Negeri Syarif HidayatullahJakarta, Indonesia
‫ام‬serta manusia akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama ibu-nya adalah
termasuk bid‟ah. Karena hikmah dari panggilan dengan nama ibu-nya adalah
untuk menjaga haknya „Isa as. Begitu pula untuk menjelaskan keutamaan
alHasan dan alHusain, hal itu agar tidak dipersepsikan sebagai anak-anak dari
hasil zina. Meskipun demikian, AlZamakhshary tidak menegaskan manakah
yang dianggap bid‟ah, apakah terma ‫ ام‬ataukah “hikmah” yang terkandung di
dalamnya?. Adapun Al-Alusi tidak menerima penafsiran yang dilakukan
AlZamakhshary dalam tafsir Al-Kashshaf dengan argumentasi sebagai
berikut:

 Penyebutan terma ‫ام‬


َ ‫ إ َم‬sebagai plural dari kata ‫ ام‬adalah tidak lazim dalam
penggunaannya, karena bentuk plural dari kata ‫ ام‬lebih lazim menggunakan
kata (‫ ) أمهاث‬penjagaan terhadap hak Isa as. adalah dalam keistimewaannya
yang dipanggil dengan nama ibunya, karena penciptaan „Isa tanpa seorang
ayah adalah sebagai karamah yang diberikan Allah kepadanya, hal itu
dimaksudkan agar manusia tidak menisbatkannasabnya kepada seorang ibu.

Adapun keutamaan al-Hasan dan al-Husain dapat sempurna.tanpa harus


dijelaskan, karena ayah-nya tidaklah lebih baik dari ibunya. 3

Penafsiran terhadap term ‫ام‬


َ ‫ إ َم‬yang dilakukan Muhammad Bin Ka‟ab alQurazi
di atas juga bertentangan dengan penafsiran mayoritas „Ulama. Menurut „Ali
al-Shabuny, maksud kata ‫ام‬
َ ‫ إ َم‬dalam ayat di atas adalah catatan amal, yang
bermakna, bahwa pada hari itu setiap manusia akan dipanggil untuk menerima
catatan amalnya dan memperoleh balasan dari perbuatannya4

Adapun Al-Thabary berpendapat, bahwa kata “‫ام‬


َ ‫“ إ َم‬dalam ayat di atas lebih
tepat bermakna sebagai seseorang yang diikuti ketika di dunia, karena term

3
muhammad Sa‟id Muhammad „Atiyah „Iram, dalam al-Sabil ila ma’rifati al-Asil wa al-Dakhil fi
al-Tafsir,149-150
4
Muhammad Ali al-Shabuny, Safwat al-Tafasir, Jilid 2, 170.
“‫“ اإليام‬dalam penggunaan bahasa arab bermakna “sesuatu yang dijadikan
imam (panutan) dan diikuti”.5

b. Penafsiran Surah al-Qiyamah:22-23, tafsir al-Kasyaf

Al-Dzahabi menunjukkan kerancuan penafsiran al-Zamakhsyari[20] dalam


kitab Tafsîrnya, alKasysyâf. Kritik al-Dzahabî ditujukan atas penafsiran
Zamakhsyari antara lain ketika ia penafsirkan Sûrah al-Qiyâmah: 22-23.

ِ ‫اض َر ۚة ا ِٰلى َربِ َها ن‬


‫َاظ َرة‬ ِ َّ‫ُو ُج ْوه ي َّْو َم ِٕىذ ن‬
“Wajah-wajah orang-orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhanya mereka melihat”.
Sebagaimana diketahui, bahwa kelompok Mu’tazilah sangat
mengedepankan akal, mereka menafsirkan ayat ini dari perspektif mereka.
Mereka mengingkari bahwa kelak akan melihat Tuhan. Mereka berkata:
“Ketahuilah, bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang
diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah
didasarkan firman tersebut”. Mereka menjelaskan bahwa memandang
(nadhar) tidak berarti melihat; dan melihat tidak merupakan salah satu makna
dari nadhar. Nadhar itu bermacam artinya, antara lain, mengerakkan biji mata
ke arah suatu benda untuk melihat, menunggu, simpati, memikirkan dan
merenung.
Lebih lanjut, al-Dzahabî mengutip pendapat kelompok Mu’tazilah yang
berkata: “Bila ru’yat itu tidak merupakan salah satu bagian dari nadhar, maka
pendapat yang mempersamakan nadhar dan ru’yat dalam ayat tersebut tidak
relevan. Oleh karena itu kami semua berpendapat perlu dicari ta’wil ayat

5
Al-Thabary, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an, Juz 15, tahqiq Dr. Abdullah Bin, Abd al-
Muhsin alTurky (Dar Hijr, cet.1, 2001), 8.
dengan arti selain ru’yat. Sebagian diantara kami memberi penakwilan dengan
‘menunggu pahala’, meski pahala yang ditunggu tidak disebutkan dalam ayat
tersebut”. 10 Zamakhsyari berpendapat bahwa “Nadhar dalam ayat di atas
berarti mengharap, seperti perkataan orang yang berarti ‘Aku mengharap si
Fulan melakukan sesuatu untuk ku’. Nadhar yang berarti mengharap juga
terdapat dalam sebuah syair:

َ َ‫*وإذَا ن‬
‫ط ْرتُ إلَيْكَ ِم ْن ملك‬ ُ َ‫َو ْالب‬
َ ‫حْر د ُونَكَ ِزدْت َني نِعَ َما‬

artinya: “Jika aku mengharap pemberianmu, sedangkan lautan tergelar di


bawahmu. Tentu kau akan melimpahkan karunia kepadaku”.
Menurut al-Dzahabî penafsiran ini berbeda dengan mayoritas ahlusunnah.
Mereka meyakini adanya ru’yat dengan Allah di akhirat. Pendapat mereka
dikuatkan dengan hadis-hadis. AlDzahabî memaparkan bahwa Zamakhsyari
seringkali menafsirkan ayat guna menguatkan faham Mu’tazilah yang
menolak makna lahiriah ayat. Penafsiran tersebut terlihat ketika ia
menafsirkan Sûrah al-Baqarah: 255

ُّ ‫ض َو َل يَـُٔ ْود ُٗه ِح ْفظُ ُه َم ْۚا َوه َُو ْالعَ ِل‬


‫ي ْالعَ ِظ ْي ُم‬ َ ْۚ ‫ت َو ْالَ ْر‬
ِ ‫َو ِس َع كُ ْر ِسيُّهُ السَّمٰ ٰو‬

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Zamakhsyari menyebut empat makna kata “kursi ”pada ayat di atas,
bahwa kursi Allah sangat luas meliputi langit dan bumi itu tidak lain
gambaran keagungan Tuhan dan pengandaian semata, bukan arti kursi yang
sebenarnya. Bahwa disana tidak terdapat kursi dan tempat duduk. Penafsiran
ini sama halnya dengan yang terdapat dalam Sûrah al-Zumar: 67

‫ط ِوي ٍۢهت‬
ْ ‫ضتُهٗ َي ْو َم ْال ِق ٰي َم ِة َوالسَّمٰ ٰوتُ َم‬
َ ‫ض َج ِم ْي ًعا قَ ْب‬ ُ ‫ال ْر‬ َ ْ ‫ّٰللا َح َّق قَد ِْر ٖ ٖۖه َو‬
َ ‫َو َما قَدَ ُروا ه‬
َ‫ع َّما يُ ْش ِركُ ْون‬ َ ‫سبْحٰ نَهٗ َوتَعٰ ٰلى‬
ُ ۗ ‫ِب َي ِم ْي ِن ٖه‬
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang
semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat
dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha
Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”
Zamakhsyari berpendapat bahwa ayat ini bukan menyebut genggaman
Allah, juga bukan tentang “tangan kanan”, melainkan tamsil yang
menggambarkan keagungan Allah.

C. Kesimpulan
Pengertian Ad-Dakhil dalam bahasa Arab memilki banyak arti.
Fairuzzabadi dalam kamusnya Al-Muhit mengartikan kata Ad-Dakhil sebagai
sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit
atau sesuatu yang jelek. Sedangkan masyarakat Arab memaknainya sebagai suatu
kata atau bahasa asing yang masuk dan bercampur ke dalam bahasa Arab. Selain
itu, secara istilah Ad-Dakhil menurut Dr.Ibrahim Khalifah adalah penafsiran Al-
Qur’an yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik itu tafsir yang
menggunakan riwayat-riwayat hadits yang lemah dan palsu, ataupun
menafsirkannya dengan teori-teori sesat sang penafsir (karena sebab lalai ataupun
disengaja).
Pada zaman Rasulullah, ad-Dakhil belum ada, karena semua penafsiran al-
Quran di bawah pengawasan Allah secara langsung. Para sahabat Nabi yang sulit
memahami al-Quran, maka mereka akan terus bertemu dengan Rasulullah SAW.
Ad-Dakhil terbagi dua bagian, pertama Dakhil yang muncul dari orang-orang
yang non Islam, dan yang kedua, muncul dari orang Islam sendiri.

Anda mungkin juga menyukai