Anda di halaman 1dari 9

-PENYIMPANGAN

PENYIMPANGAN DALAM
PENAFSIRAN AL-QUR’AN

A. Penyimpangan dalam Tafsir Sejarawan


Kitab suci al-Qur’an diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad
dengan perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an tersebut berisi banyak kisah di
antaranya terdapat kisah para nabi dan ummatnya, berkaitan dengan kisah-
kisah orang di zaman dahulu yang bukan nabi ataupun rasul seperti kisah
Ashabul Kahfi dan Dzulkarnaen.
Selain al-Qur’an, terdapat kitab-kitab seperti Injil, Taurat dan
Zabur. Bila kita meneliti kitab-kitab Taurat dan Injil, maka kita akan
mendapati bahwa kedua kitab suci itu juga memuat banyak kisah yang sama
seperti dalam al-Qur’an, terutama kisah-kisah yang berkaitan dengan para
nabi, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan besar atau kecil. Misalnya
“kisah Adam da Iblis sama-sama diceritakan dalam Taurat dan al-Qur’an di
banyak surat, dan yang terpanjang adalah salam surat al-Baqarah dan al-
A’raf. Dalam al-Qur’an tidak menyebitkan di mana letak surga yang
dimaksud, nama pohon yang tidak boleh dimakan oleh adam dan hawa dan
tidak juga menjelaskan bahwa setan menjelma menjadi ular membujuk adam
agar mau memakan buah. Sedangkan dalam kitab taurat disebutkan bahwa
surga yang ditempati Adam dan Hawa adalah surga Aden dan bentuk
penjelmaan Iblis merupakan hukuman Allah”.
Ada keinginan untuk mengetahui kelengkapan jalan cerita, di
antara kaum muslimin pada masa sahabat dahulu ada yang meminta beberapa
ahli kitab yang telah masuk Islam utuk memperjelas kisah yang ada dalam al-
Qur’an selama tidak menyimpang dari batas kebolehan yang telah ditentukan
oleh Rasulullah.
Keinginan untuk memperoleh kelengkapan cerita melalui riwayat
kisah-kisah Israiliyat ini dapatkah dipertahankan secara konsisten seperti pada
masa sahabat? Pada kenyataannya, pada masa Tabi’in banya kisah Israiliyat
yang diselundupkan ke dalam tafsir, adapun di antara penyebabnya, yaitu:
1. Semakin banyak orang ahli kitab yang masuk Islam.
2. Adanya keinginan dari umat Islam pada waktu itu untuk mengetahui kisah-
kisah selengkapnya mengenai ummat Yahudi, Nasrani yang dalam al-
Qur’an hanya disebut secara garis besar saja.
Setelah masa Tabi’in terdapat mufassir yang sangat tertarik untuk
memasukan kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang Yahudi dan
Nasrani, sehingga penafsiran tersebut penuh dengan kisah yang bersimpang
siur bahkan terkadang mendekati takhayul dan khurafat. Di antara muffasir-
muffasir itu adalah Muqatil bin Sulaiman.
Muffasir yang kita kenal paling besar perhatiannya terhadap kisah-
kisah Israiliat itu adalah Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Ats-
Tsa’labi dengan bukunya Al-Kasyfu wal Bayanu ‘an Tafsir Quran dan
Alaudin Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil
Asy Syaihi al-Baghdadi yang terkenal dengan julukannya Al-Khazin dengan
bukunya tafsirnya Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil.
Dengan sangat mencolok kedua orang itu memasukkan kisah-kisah
Israiliyat ke dalam buku-buku tafsir mereka masing-masing, dan banyak
mengemukakan kisah-kisah yang sama sekali tidak benar. Kedua mufassir
tersebut kadang-kadang mengemukakan kritik terhadap beberapa kisah yang
mereka kutip tetapi kadang-kadang tidak memberikan komentar apa-apa dan
tidak mau mengorek kesalahan yang terdapat dalam kisah-kisah terebut
meskipun jelas menodai kesucian para Nabi.
Faktor yang kami lihat mendorong kedua orang mufassir tersebut
untuk memasukkan kisah-kisah Israiliyat ke dalam tafsir mereka adalah
kegemaran mereka membaca dan menceritakan kembali kisah-kisah Israiliyat
itu meskipun di dalamnya sebenarnya terdapat hal-hal yang tidak benar.
B. Penyimpangan dalam Tafsir Ahli Tata Bahasa Arab
Ilmu Tafsir dibukukan bersamaan dengan dibukukannya berbagai
macam ilmu. Jika seorang ahli dalam bidang studi tertentu menyusun tafsir,
maka tafsirnya akan sangat diwarnai oleh bidang yang menjadi keahliannya
itu. Tafsir yang ditulis oleh sejarawan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur
sejarah. Demikian juga tafsir yang ditulis oleh seorang ahli hukum Islam
(Faqih), ahli masing-masing. Pendek kata, keahlian seseorang dalam retorika
dan ahli tata bahasa Arab (Ilmu Nahwu) akan dipengaruhi oleh keahlian
bidang studi tertentu akan banyak mempengaruhi cara penafsirannya terhadap
al-Qur’an, dan kadang-kadang penafsiran itu kurang sesuai bahkan
pembahasannya sama sekali tidak terarah.
Mereka menulis sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditulis dan
merepotkan pembacanya saja karena kesimpangsiuran penafsirannya,
sehingga menyebabkan orang mengabaikannya. Yang paling jelek adalah
para mufassir mengistimewakan Ilmu Nahwu (Tata Bahasa Arab) dengan
berbagai macam alirannya, kemudian menganggap tidak benar aliran-aliran
lain yang tidak sama dengan yang dianutnya. Mereka menemukan suatu ayat
dalam al-Qur’an yang dibaca menurut bacaan (qira’at) yang konsisten dengan
bacaan Nabi Muhammad SAW. kemudian menganggapnya salah karena
bacaan itu tidak sesuai dengan aliran (madzhab) Nahwu yang mereka anut.
Bahkan lebih dari itu, mereka mencela orang yang membaca dengan bacaan
tersebut dan sekaligus menganggapnya sebagai orang yang tidak mengetahui
keindahan dan keanggunan susunan kalimat al-Qur’an.
Di antara mufassir-mufassir yang melakukan penyimpangan seperti
ini adalah Az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H) dengan kitab tafsirnya Al-
Muharrarul Wajiz fi Tafsiri Kitabil ‘Aziz. Contoh penyimpangan jenis ini
paling mencolok adalah yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari ketika
menafsirkan firman Allah SWT. dalam surat al-An’am: 137, yang berbunyi:
     
 
“Dan Demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan
kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik
membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka . . .”

Ayat ini ditafsirkan menurut qiraat Hafs, kata kerja atau fi’ilnya
dibaca zayyana dalam bentuk aktif atau mabni lilma’lum dan pelaku atau
fa’ilnya syurakauhum. Sedangkan menurut qiraat lain, kata kerjanya dibaca
zuyyina dalam bentuk pasif atau mabni lilmajhul, dan objeknya adalah kata
qatla yang digabungkan dengan lafal auladihim, sedangkan kata
syurakauhum dibaca dhammah, dikaitkan dengan sebuah kata kerja yang
tersembunyi (yaitu zayyana). Jadi seakan-akan ada pertanyaan: “Siapakah
yang menyebabkan mereka menganggap baik?” Kemudian dijawab: “Yang
menyebabkan adalah para pemimpin mereka”.
Menurut Az-Zamakhsyari penafsiran dengan dua macam qiraat di
ataslah yang dapat dibenarkan, sedangkan bacaan (qiraat) Ibnu ‘Amir yang
berbunyi dengan mendhomahkan lafal qatl, memfathahkan lafal aulad dan
mengkasrahkan lafal suraka’, dengan mengidhafahkan kata qatl kepada
syuraka’, dan memisahkan keduanya tidak dengan keterangan (dzharf)
melainkan dengan maf’ul “auladahum” jelas salah, meskipun untuk menjaga
kecocokan sajak dalam syair misalnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam kitab Al-Kasysyaf terdapat
banyak pendapat Az-Zamakhsyari yang bertentangan dengan beberapa jenis
bacaan (qiraat) yang benar, karena di terpengaruh oleh madzhab nahwu yang
dianutnya. Az-Zamakhsyari dan orang-orang seperti dia tidak berhak
menghakimi kitab suci dengan madzhabnya. Al-Qur’an adalah kitab yang asli
yang menjadi acuan kita dan sekaligus menjadi argument terakhir untuk
menyeleseikan perselisihan yang terjadi di kalangan para Ahli Nahwu.
C. Penyimpangan dalam Tafsir Orang-orang yang tidak
Menguasai Kaidah-kaidah Bahasa Arab
Ada sekelompok orang yang berbicara tentang dan menulis tafsir
al-Qur’an padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang
kaidah-kaidah dan aturan Bahasa Arab, termasuk pengetahuan tentang pola
pembentukan kata dan konjungsi (tasrif)nya. Karena itu, mereka cenderung
melakukan penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an dan memberikan arti
etimologis suatu lafal al-Qur’an dengan arti lain yang tidak sesuai, baik dalam
arti yang hakikinya maupun dalam arti kiasannya.
Kami tidak menemukan buku-buku tafsir khusus yang ditulis oleh
orang-orang yang berkualitas seperti ini. Kami dapati hanyalah pendapat-
pendapat orang yang dikutip oleh beberapa orang mufassir dalam buku-buku
atau karangan mereka yang membicarakan tafsir.
Adapun contoh penafsiran yang disebabkan oleh ketidak pahaman
terhadap konjugasi (tasrif) kata adalah yang dikutip Az-Zamakhsyari ke
dalam tafsirnya Al-Kasysyaf dari orang yang berorientasi seperti ini ketika
menafsirkan firman Allah SWT. Dalam surat al-Isra’: 71 yang berbunyi:
     
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) kami panggil
tiap umat dengan pemimpinnya . . . .”
Az-Zamakhsyari mengatakan: termasuk penyimpangan penafsiran
yang paling besar adalah bahwa kata imam dianggap sebagai bentuk jamak
dari kata um yang berarti Ibu. Jadi pada hari kiamat orang akan dipanggil
dengan disertai nama ibunya. Pemanggialn nama ibu bukan nama ayah ini
dimaksudkan untuk menjaga perasaan Nabi Isa dan untuk memperlihatkan
kemulian Hasan dan Husein, bila tidak dengan cara demikian maka anak-anak
zina akan merasa dipermalukan.
Penafsiran ini menyebabkan Az-Zamakhsyari melemparkan kata-
kata kasar kepada penafsirannya: “Amboi! Mana yang lebih mengherankan,
kebenaran kata-katanya ataukah ketinggian ilmunya?”.
Memanng pernyataan Az-Zamakhsyari benar, bahwa pendapat di
atas termasuk penyimpangan pnafsiran yang paling tercela. Penafsiran seperti
ini jelas salah dan menunjukkan ketidaktahuan penafsirnya terhadap tasrif
kata (Arab). Bentuk jamak dari kata um bukanlah imam melainkan
ummahaat. Apa yang disebut dalam tafsir ini tidak lebih daripada
kepercayaan orang awam yang tidak bisa dipercayai untuk memahami al-
Qur’an, kitab Allah SWT.
D. Penyimpangan dalam Tafsir Mu’tazilah
Adanya berbagai madzhab keagamaan, sangat mempengaruhi
Tafsir Al-Qur’an. Hal itu terjadi karena al-Qur’an merupakan acuan pertama
bagi kaum Muslimin pendukung madzhab-madzhab tersebut. Mereka
berusaha mencari dalil untuk mendukung madzhabnya masing-masing,
meskipun dengan cara mencocokkan teks (nash) al-Qur’an dengan pandangan
madzhabnya itu. Mereka menafsirkannya sesuai dengan jalan pikiran dan
keinginannya serta mena’wilkan ayat yang berbeda dengan pendapat
madzhabnya sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan dengan
madzhab serta kepercayaannya.
Keadaan telah berkembang begitu parah, para penganut madzhab-
madzhab itu berusaha keras untuk mempertahankan dan menyebarluaskan
madzhab-madzhab itu keluar lingkungannya sendiri dengan menggunakan
berbagai macam penafsiran yang cenderung menyimpangkan makna firman
Allah SWT. sesuai dengan keinginan dan madzhab yang mereka anut.
Di antara kelompok-kelompok madzhab itu, Mu’tazilah merupakan
kelompok yang banyak mena’wilkan ayat-ayat al-Qur’an secara tidak
proporsional dan menyimpangkan makna teks-teks al-Qur’an dari makna
yang sebenarnya dalam rangka mendukung prinsip-prinsip yang diyakininya.
Di sini cukup kami sebut beberapa contoh pena’wilan yang
memberikan gambaran tentang betapa pintarnya orang Mu’tazilah
menyimpangkan makna suatu ayat sesuai dengan pandangan mereka dan
menjadikannya tidak cocok sebagai dalil bagi lawan-lawannya.
Contoh dari penyimpangan yang terdapat dalam tafsir Mu’tazilah
adalah penafsiranmereka terhadap firman Allah SWT. dalam surat An-Nisaa:
164 yang berbunyi:
    
“. . . . Allah Telah berbicara kepada Musa dengan
langsung”
Menurut mereka ayat tersebut bertentangan dengan pendapat
mereka tentang sifat Allah Al-Kalam. Dalam ayat itu terdapat masdar taklima
untuk menguatkan kata kerja kallama dan untuk menghilangkan
kemungkinan masuknya arti yang tidak sebenarnya (majaz). Dengan serta
merta untuk menyesuaikannnya dengan pendapat mereka, bacaan ayat itu
mereka ubah menjadi:
   
Ran dengan Allah”. Sebagian orang Mu’tazilah tidak mengubah
bacaan mutawatir dari ayat tersebut, tetap menakwulkannya dengan arti lain
sehingga tidak bertentangan dengan madzhab mereka. Mereka menyatakan
bahwa kata kallama berasal dari al-kalimu yang berartu luka (al-Jarahu),
karena itu makna ayat tersebut adalah “Allah melukai Musa dengan kuku-
kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”. Penafsiran ini dilakukan untuk
menghindari arti lahiriah ayat yang berbenturan dengan kepercayaan
danmadzhab mereka.
Yang saya sebutkan ini adalah penafsiran yang dikemukakan oleh
Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyaf juz I halaman 397-398. Dikatakan
bahwa pendapat yang pertama tadi berasal dari sebagian tokoh mu’tazilah
tetapi tidak dikoreksinya sehingga seakan-akan Az-Zamakhsyari menerima
dan membenarkannya. Padahal sebenarnya penafsiran itu tidak bisa disetujui
orang yang berpikir netral dan ia hanya dapat dibenarkan oleh orang-orang
sesame mazhab. Bacaan (qiraah) yang merafa’kan kata Allah sebagai fa’il
atau pelaku dan menashabkan kata Musa sebagai maf’ul atau objek
merupakan bacaan yang mutawatir. Orang yang berpikir netral tidak akan
mau meninggalkan qira’at yang mutawatir dan mengambil qira’ah yang
tidak sampai tingkatan itu, apalagi yang tidak diketahui urutan sanadnya yang
benar sampai kepada Rasulullah saw.
Sedangkan penafsiran yang ke dua menyimpang dari makna
langsung kata kallama dan tidak didukung oleh konteksnya. Oleh karena itu
Az-Zamakhsyari tanpa melepaskan dirinya dari komitmennya dengan aliran
mu’tazilah meremehkannya dan menganggapnya sebagai penafsiran yang
menyimpang. Ibnu Munir menanggapi sikap Az-Zamakhsyari ini: “Az-
Zamakhsyari benar dan adil. Penafsiran itu memang tercela dan makna
membingungkan dan meragukan”.

E. Penyimpangan dalam Tafsir Syi’ah (Imamiyah Itsna


‘Asyariyah)
Adanya berbagai madzhab keagamaan, sangat mempengaruhi
Tafsir Al-Qur’an. Hal itu terjadi karena al-Qur’an merupakan acuan pertama
bagi kaum Muslimin pendukung madzhab-madzhab tersebut. Mereka
berusaha mencari dalil untuk mendukung madzhabnya masing-masing.
Di antara kelompok-kelompok madzhab itu, kelompok Syi’ah
menyebut dirinya Islam dan mengakui al-Qur’an meskipun secara garis besar
saja. Menjadikan al-Qur’an sebagai dalil untuk menguatkan pendapat mereka.
Syi’ah dengan berbagai macam kelompoknya mempunyai pengaruh terhadap
penafsiran al-Qur’an dan yang paling besar pengaruhnya adalah kelompok
Imamiyah Itsna ‘Asy’ariyah. Mereka berpendapat bahwa Rasulullah saw.,
telah menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin (imam) setelah beliau
wafat kemudian kepemimpinan itu berturut-turut beralih keputra-putranya
sampai imam yang ke-12 yaitu Muhammad Al-Mahdi (yang ditunggu-
tunggu) sebagai imam yang ke-12, yang akan kembali di akhir zaman untuk
meneggakan keadilan dan kesejahteraan di dunia sebagai pengganti
kedzaliman dan ketakutan di dunia sekarang.
Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah mempunyai beberapa ajaran
pokok di antaranya yang paling terkenal adalah Al-Ishmah, Al-Mahdiyah, Ar-
Ruj’ah dan At-Taqiyah.
Untuk menjelaskan sampai sejauh mana pengaruh keyakinan
Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah ini terhadap penafsiran al-Qur’an dan
untuk mengetahui sejauh mana penyimpangan-penyimpangan mereka dari
pemahaman al-Qur’an yang benar, akan kami sebutkan contoh penafsiran
Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, yaitu:
Tafsir al-Qur’an karya Sayid Abdullah Al-‘Alawy dalam
penafsirannya terhadap firman Allah
     
     
 
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Al-‘Alawy mengatakan bahwa ayat ini diturunkan mengenai Ali as.,
ketika itu ada seorang pengemis datang kepadanya dan Ali sedang melakukan
ruku’ dalam shalatnya. Ali menyodorkan jari manisnya kepada pengemis itu
dan cincin di jarinya itu diambil oleh penegmis tadi selanjutnya dia
mengatakan: “Ayat ini menunjukan kepemimpinan Ali bukan yang lain
karena dalam ayat tersebut digunakan hashr (Innamaa) sedangkan apa yang
digambarkan dalam ayat tersebut tidak terjadi pada orang lain. Digunakannya
bentuk jama’ di sini adalah untuk memuliakannya (Ali) atau untuk mencakup
anak-anaknya yang suci”.
Al-Bahrani (wafat. 1107 H) dalam kitabnya Al-Burhan fi Tafsiril
Qur’an ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan sebagai berikut:
“beberapa orang Yahudi telah masuk Islam di antaranya adalah Abdullah bin
Salim, Usa’id bin Tsa’labah, Ibnu Yamin dan Ibnu Shuria. Kemudian mereka
menemui Nabi dan bertanya: Wahai Nabi, dulu Musa menunjuk Yusya’ bin
Nuun, lalu siapakah orang yang engkau tunjuk sebagai penggantimu?
Siapakah orang yang memimpin kami setelah engkau wafat? Kemudian
turunlah ayat tersebut. Lalu Rasulullah saw., bersabda: bangkitlah!
Merekapun bangkit menuju masjid. Tiba-tiba mereka berjumpa dengan
seorang pengemis yang baru saja keluar dari masjid itu. Rasulullah bertanya
kepadanya: Hai pengemis, apakah ada seseorang yang memberimu sesuatu?
Pengemis itu menjawab: Ya. Cincin inilah yang diberikannya kepadaku. Nabi
bertanya lagi: siapakah yang memberimu? Ia menjawab: orang laki-laki yang
sedang mengerjakan shalat itu. Dalam keadaan bagaimana dia memberimu?
Tanya Nabi pula. Dia menjawab: ketika sedang ruku’. Maka nabi pun
bertakbir dan diikuti pula oleh orang-orang yang ada dimasjid itu. Kemudian
Nabi bersabda: Ali bin Abi Thalib adalah pemimpinmu setelah aku
meninggal. Mereka menjawab serentak: kami rela Allah sebagai Tuhan kami,
Islam sebagai agama kami Muhammad saw., sebagai Nabi kami, dan Ali bin
Abi Thalib sebagai pemimpin kami”.

Anda mungkin juga menyukai