Anda di halaman 1dari 11

DASAR HUKUM DAN LANDASAN KEWARISAN DALAM ISLAM

I. Pendahuluan
Alhamdulillah, puja dan puji syukur kita kepada Allah SWT, yang mana telah
melimpahkan rahmat serta hidayahnya serta nikmat kesehatan dan Islam sampai detik ini.

Shalawat beserta salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi besar
Muhammad SAW, yang mana telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benderang yang diterangi oleh iman, islam, dan ikhsan

Kewarisan adalah salah satu hokum yang termasuk dalam Hukum Islam yang
berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist, yang mana dilaksanakan oleh Umat Islam dan
menjadi suatu kewajiban dalam beragama.

Sebagai umat beragama Islam, waris haruslah dilaksanakan untuk memenuhi hak-hak
dalam Agama Islam dan hak-hak dalam berkeluarga.
Dengan makalah ini saya ingin menjabarkan dan menjelaskan Hukum Waris Islam
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah, sejarah Hukum Waris Islam, beserta tata
cara pembagian warisan dalam Islam
BAB I
SEJARAH HUKUM WARIS PRA ISLAM DAN SESUDAH ISLAM MASUK
Dalam sejarah Hukum Waris Islam, saya akan menjelaskan tentang kewarisan
sebelum dan sesudah Islam.
A. Kewarisan sebelum Islam
Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia telah mengenal sistem pembagian
waris. Pada zaman Jahiliyah, misalnya, bangsa Arab sudah menerapkan pembagian waris
yang amat merugikan kaum wanita. Saat itu, yang berhak mendapatkan hak waris dari
orang yang meninggal dunia hanyalah kaum Adam.
Tak semua laki-laki bisa memperoleh harta warisan. ‘’Yang boleh mewaris hanyalah
laki-laki dewasa yang telah mahir naik kuda dan memanggul senjata ke medan perang
serta memboyong harta ganimah (rampasan perang),’’ ungkap Dr Moch Dja’far dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam.
Menurut Dja’far, asalkan memenuhi syarat mampu berperang, seorang lelaki dewasa
tak peduli masuk kategori nasab, anak angkat, kategori sumpah, dan bahkan lahir di luar
nikahpun dapat mewarisi.
alam tradisi Arab Jahiliyah, faktor-faktor yang memungkinkan seseorang bisa
menjadi ahli waris antara lain: pertama, nasab atau kerabat dengan syarat. Kedua, anak
angkat dengan syarat. Ketiga, sumpah setia antara dua orang yang bukan kerabat dengan
kata-kata.
Pembagian sistem waris pada zaman itu cenderung diskriminatif. Betapa tidak. Anak
laki-laki yang belum dewasa dan tidak ikut berperan dinyatakan tak berhak mendapatkan
hak waris. Begitu juga dengan kaum perempuan, mereka sama sekali tidak berhak
mendapatkan harta warisan, kendati yang meninggal dunia adalah orang tuanya atau
bahkan suaminya.
Di masa Jahiliyah, anak perempuan juga tak berhak mendapatkan harta warisan.
Sebaliknya, orang lain yang bukan anggota keluarganya, namun mereka pernah mengikat
sumpah setia, malah diberikan hak warisan.
‘’Kaum perempuan tak diperbolehkan memiliki harta benda, kecuali wanita-wanita
dari kalangan elite,’’ tulis Ensiklopedi Islam. Bahkan, pada zaman Jahiliyah, wanita
menjadi sesuatu yang diwariskan.
Ketika ajaran Islam datang, Rasulullah SAW merombak sistem hukum waris Arab
Jahiliyah, sekaligus merombak sistem kepemilikan masyarakat atas harta benda,
khususnya harta pusaka. Menurut Ensiklopedi Islam, struktur masyarakat Arab pra-Islam
amat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kesukuan.
Sehingga, harta benda termasuk pusaka orang yang meninggal menjadi milik
sukunya. Rasulullah SAW memperkenalkan sistem hukum pembagian waris yang sangat
adil. Setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan berhak memiliki harta benda.
Selain itu, kaum perempuan juga berkah mewariskan dan mewarisi, seperti halnya kaum
Adam.
B. Kewarisan sesudah datanngnya Islam
Sebelum turun ayat Alquran yang mengatur tentang waris, di awal perkembangan
Islam masih berlaku landasan pengangkatan anak dan sumpah setia untuk dapat mewarisi.
‘’Lalu berlaku alasan ikut hijrah serta alasan dipersaudarakannya sahabat Muhajirin dan
Ansar,’’ papar Dja’far.Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah, papar Dja’far, adalah
jika seorang sahabat Muhajirin wafat, maka yang mewarisinya adalah keluarga yang ikut
hijrah. Sedangkan, kerabat yang tak ikut hijrah tak mewaris. Jika tak ada satupun
kerabatnya yang ikut hijrah, maka sahabat Ansar-lah yang akan mewarisinya.
’Inilah makna yang terkandung dari perbuatan Nabi SAW yang mempersaudarakan
sahabat Ansah dan Muhajirin,’’ ujar Dja’far. Di awal perkembangan Islam, Rasulullah
SAW juga mulai memberlakukan hak waris-mewarisi antara pasangan suami-istri.
Nabi Muhammad SAW kemudian memberlakukan kewarisan Islam dalam sistem
nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam
Alquran surah al-Anfal ayat 75. Dengan berlakunya sistem nasab-kerabat, maka hak
mewarisi yang didasarkan atas sumpah setia mulai dihapuskan.
Warisan atas alasan pengangkatan anak juga telah dihapuskan sejak awal kedatangan
Islam. Menurut Dja’far, hal itu mulai diberlakukan sejak turunnya Firman Allah SWT
yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menghapus akibat hukum
yang timbul dari pengangkatan Zaid bin Haris sebagai anak angkatnya. (QS 33:5, 37, dan
40).
Di zaman sebelum turunnya ayat waris, Rasulullah SAW kedatangan istri Sa’ad bin
ar-Rabi bersama dua anak perempuannya. Ia lalu berkata, ‘’Ya Rasulullah, ini dua anak
Sa’ad bin ar-Rabi yang mati syahid pada Perang Uhud bersamamu. Paman mereka
merampas semua harta mereka tanpa member bagian sedikitpun.’’‘’Mudah-mudahan
Allah segera memberi penyelesaian mengenai masalah ini,’’ sabda Rasulullah.
Tak lama setelah itu, turunlah ayat tentang waris dalam surah an-Nisa ayat 11. Setelah
turunnya ayat-ayat tentang waris itu, maka jelaslah orang-orang yang berhak menjadi ahli
waris (Ashab al-Furudl). Semua pihak -- laki-laki, perempuan, anak, ibu, bapak, suami,
istri, saudara kandung, saudara sebapak, saudara seibu, kakek, nenek, dan cucu--
memiliki bagian dalam waris.
Rasulullah SAW amat menganjurkan umatnya untuk melaksanakan hukum waris
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Alquran. Semua yang sudah diatur dalam
Alquran bertujuan memberikan keadilan pada setiap orang. Selain itu, Rasul juga
memerintahkan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami ilmu waris (faraidl) ini.
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘’Pelajarilah ilmu waris dan
ajarkan, karena ilmu waris merupakan separuh ilmu. Ilmu waris adalah ilmu yang mudah
dilupakan dan yang pertama kali dicabut dari umatku.’’ (HR Ibnu Majah dan
Daruquthni).
Ilmu waris merupakan ilmu yang pertama kali diangkat dari umat Islam. Cara
mengangkatnya adalah dengan mewafatkan para ulama yang ahli dalam bidang ini. Orang
yang paling menguasai ilmu waris di antara umat Rasulullah SAW adalah Zaid bin
Tsabit.
‘’Tak heran para imam mazhab menjadikan Ziad bin Tsabit sebagai rujukan dalam
ilmu waris,’’ ungkap Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam Ahkamul Mawarits:
1.400 Mas’alah Miratsiyah.
BAB II
DASAR HUKUM WARIS ISLAM
Dasar hukum waris islam adalah Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah, yang mana Al-
Qur’an dan Hadist adalah landasan beragama bagi Umat Islam di seluruh dunia.
A. Dalil kewarisan dalam Al-Qur’an
Surat An-Nisa ayat 11
‫َت َوا ِح َدةً فَلَهَا‬ ْ ‫ك ۖ َوإِ ْن َكان‬ َ ‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َر‬ َ ْ‫ْن ۚ فَإ ِ ْن ُك َّن نِ َسا ًء فَو‬dِ ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَوْ اَل ِد ُك ْم ۖ لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اأْل ُ ْنثَيَي‬
ِ ‫يُو‬
ْ‫ث ۚ فَإِن‬ ُ ُ‫النِّصْ فُ ۚ وَأِل َبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َركَ إِ ْن َكانَ لَهُ َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُ أَبَ َواهُ فَأِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
ۚ ‫صي بِهَا أَوْ َد ْي ٍن ۗ آبَا ُؤ ُك ْم َوأَ ْبنَا ُؤ ُك ْم اَل تَ ْدرُونَ أَيُّهُ ْم أَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا‬ ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ‫َكانَ لَهُ إِ ْخ َوةٌ فَأِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
َ‫ضةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ إِ َّن هَّللا َ َكان‬ َ ‫فَ ِري‬
Artinya :
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka
ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan
dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Surat An-Nisa ayat 12
ۚ ‫صينَ بِهَا أَوْ َد ْي ٍن‬ ِ ‫ك أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكنَ ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ َ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َر‬
َ
‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِهَا أوْ َدي ٍْن ۗ َوإِ ْن‬ ْ ُّ ْ
ِ ‫َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َركتُ ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَإ ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الث ُمنُ ِم َّما تَ َركتُ ْم ۚ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
‫ث ۚ ِم ْن‬ِ ُ‫ت فَلِ ُكلِّ َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ۚ فَإ ِ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن ٰ َذلِكَ فَهُ ْم ُش َر َكا ُء فِي الثُّل‬
ٌ ‫ث كَاَل لَةً أَ ِو ا ْم َرأَةٌ َولَهُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬
ُ ‫ُور‬
َ ‫َكانَ َر ُج ٌل ي‬
‫صيَّةً ِمنَ هَّللا ِ ۗ َوهَّللا ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬ َ ‫ص ٰى بِهَا أَوْ َدي ٍْن َغ ْي َر ُم‬
ِ ‫ضا ٍّر ۚ َو‬ َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
Artinya ;
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
B. Dalil kewarisan dalam Hadist
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َما ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ٍ ‫ َع ِن ا ْب ِن َعبَّا‬:
ِ ‫س َر‬

‫ت الفَرائِضُ فَأِل َوْ لى َر ُج ٍل َذ َك ٍر‬


ِ َ‫ فَ َما أَ ْبق‬،‫ض بأ َ ْهلِها‬
َ ِ‫أَ ْل ِحقُوا الفَرائ‬.

ِ ‫َّجهُ البُ َخ‬


‫اريُّ َو ُم ْسلِ ٌم‬ َ ‫خَ ر‬

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, “Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya
adalah milik laki-laki yang paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari, no. 6746 dan
Muslim, no. 1615)

Penjelasan hadits
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini mencakup segala hukum waris
dan sudah terhimpun di dalamnya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:419)
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna hadits “Berikan bagian warisan
kepada ahli warisnya”, ada ulama yang berpendapat makna dari al-faraidh adalah
ashabul furudh yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Apa saja yang sisa setelah
ashabul furudh diberi, maka didahulukan laki-laki yang paling dekat dengan mayit.
Yang dimaksud al-awla dalam hadits adalah al-aqrab, yang lebih dekat. Laki-laki
yang paling dekat, itulah ashabah yang paling dekat. Maka sisanya yang mendapatkan
jatah ‘ashabah. (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:419-420)
BAB III
TATA CARA PEMBAGIAN WARISAN
Pembagian Harta Waris dalam Islam merupakan harta yang diberikan dari orang yang
telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya.
Pembagian harta waris dalam Islam diatur dalam Al-Qur an, yaitu pada An Nisa yang
menyebutkan bahwa Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan ada 6 tipe persentase
pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Selain itu, merujuk pada beberapa ketentuan dalam Ilmu Fiqih yang lebih spesifik terkait
dengan pembagian waris antara lain adalah:

A. Asal Masalah
Asal Masalah adalah: ‫أقل عدد يصح منه فرضها أو فروضها‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian secara benar.”
(Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, halaman 339).
Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau dalam ilmu faraidl disebut
Tashhîhul Masalah adalah:
‫ يتأتى منه نصيب كل واحد من الورثة صحيحا من غير كسر‬d‫أقل عدد‬
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian masing-masing ahli
waris secara benar tanpa adanya pecahan.” (Musthafa Al-Khin, 2013:339)
Ketentuan Asal Masalah bisa disamakan dengan masing-masing bagian pasti ahli waris
yang ada.
B. Adadur Ru’ûs (‫)عدد الرؤوس‬
Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala.
Asal Masalah sebagaimana dijelaskan di atas ditetapkan dan digunakan apabila ahli
warisnya terdiri dari ahli waris yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl. Sedangkan
apabila para ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya menjadi ashabah maka
Asal Masalah-nya dibentuk melalui jumlah kepala/orang yang menerima warisan.
C. Siham (‫)سهام‬
Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah dan bagian pasti
seorang ahli waris dzawil furûdl.
D. Majmu’ Siham (‫)مجموع السهام‬
Majmu’ Siham adalah jumlah keseluruhan siham dalam menghitung pembagian
warisan:

Penentuan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan


Penentuan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak laki-laki
sisa (ashabah) dan seterusnya.
Penentuan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24
Penentuan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan seterusnya
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hukum kewarisan dijelaskan sebagai
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
beragama Islam, meninggalkan ahli awaris dan harta peninggalan.Ahli waris adalah orang
yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.Harta warisan adalah harta
bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan
pemberian untuk kerabat.
Namun demikian, selain memperoleh hak waris, ahli waris juga memiliki kewajiban
menurut ketentuan pasal 175 KHI yakni untuk mengurus dan menyelesaikan sampai
pemakaman jenazah selesai. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan,
perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.Menyelesaiakan wasiat
pewaris. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan
dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta
warisan (pasal 188 KHI) dengan ketentuan sebagaiman berikut ini :
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak
diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan
penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum
(Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat
bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian
pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan
apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180
KHI).
Masalah waris mewaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur
dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan.
Sedangkan menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita
(anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara
perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang
terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak
laki-laki ialah:
Anak laki-laki (al ibn).
Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
Bapak (al ab).
Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
Paman seibu sebapak.
Paman sebapak (al ammu liab).
Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
Suami (az zauj).
Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang
hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
Anak perempuan (al bint).
Cucu perempuan (bintul ibn).
Ibu (al um).
Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
Isteri (az zaujah).
Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila
sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila si
pewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri berhak mendapatkan juga bagian warisnya.
Dengan demikian maka dalam Islam, pembagian waris bukan melalui pembagian
merata kepada ahli waris, akan tetapi dengan pembagian yang proporsional seperti penjelasan
diatas.
BAB IV
PENUTUP
Seperti yang kita ketahui, bahwa masyarakat Indonesia adalah mayoritas beragama
Islam dan Agama adalah unsur yang tidak dapat dilepas di Negara kita, jadi sudah semestinya
kita mempelajari Hukum Islam, terutama bagi yang menjalankan studi Ilmu Hukum.
Sekian makalah ini saya buat, terima kasih kepada dosen pembimbing saya atas
bimbingan serta dukungan yang telah diberikan, salah kurangnya mohon dimaafkan,
Wassalam.

Anda mungkin juga menyukai