Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN

2.1Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan


2.1.1 Pengertian Hukum Kewarisan
Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini
disebut dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui
beberapa istilah yang menamakan hukum kewarisan Islam, seperti faraidh,
fikih mawaris, dan hukum al-waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi,
karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.
Kata yang lazim dipakai adalah faraidh. Kata ini diggunakan oleh an-Nawawi
dalam kitab fikh Minhaj al-Thalibin. Oleh al-Mahally dalam komentarnya atas
matan Minhaj disebutkan alasan pengunaan kata tersebut:
Lafaz faraidh merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafaz faridhah
yang mengandung arti mafrudhah yang sama artinya dengan muqaddarah,
yaitu suatu yang ditetapkan bagianya secara jelas. Di dalam ketentuan
kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, lebih banyak terdapat bagian
yang ditentukan dibanding bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu
hukum ini dinamai dengan faraidh.
Penyebutan kata faraidh di dasarkan pada bagian yang diterima oleh
ahli waris. Adapun penggunaan kata mawarits lebih melihat kepada yang
menjadi objek dari hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris
yang masih hidup. Sebab, kata mawarits merupakan bentuk plural dari kata
miwrats yang berarti mauruts, harta yang diwarisi. Dengan demikian, maka
arti kata warits yang digunakan dalam beberapa kitab merujuk kepada orang
yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya yang menerima
warisan.
Menurut literatur hukum di Indonesia digunakan pula beberapa
nama yang keseluruhanya mengambil dari bahasa Arab, yaitu waris, warisan,
pusaka, dan hukum kewarisan. Adapun yang menggunakan nama hukum

14
15

“waris” memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan,


yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Selanjutnya ada yang memberi
nama “pusaka” yaitu nama lain dari harta yang dijadikan objek dari warisan,
terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau.
Istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan
mengambil kata asal “waris” dengan tambahan awal ‘ke’ dan akhiran ‘an’.
Kata “waris” ini sendiri dapat berarti pula proses. Arti pertama mengandung
makna orang yang menerima harta warisan, sedangkan arti yang kedua
mengandung makna peralihan peralihan harta dari orang yang sudah mati
kepada orang yang masih hidup.
Secara bahasa, kewarisan berasal dari kata waratsa yang dalam al-
Qur’an memiliki tiga arti yaitu mengganti, memberi dan mewarisi. Sedangkan
secara terminologi hukum kewarisan Islam adalah seperangkat peraturan
tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal
peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih
hidup, yang diakui dan diyakini dan mengikat untuk semua yang beragama
Islam. (Syarifuddin 1990, 139).
2.1.2 Dasar Hukum Kewarisan
Dasar dan sumber hukum Islam mengenai kewarisan, adalah nash
atau teks yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi. Berikut ayat al-
Qur’an dan sunnah Nabi yang mengatur tentang kewarisan:
2.1.2.1 Ayat al-Qur’an
a. Qs. al-Nisa’ (4):7
     
      
       

Artinya:Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
16

Ayat ini turun berkenaan dengan Aus bin Tsabit Al-Anshari


tatkala ia wafat dan meninggalkan seorang istri yang bernama Ummu
Kujjah yang memiliki tiga orang anak perempuan, kemudian datanglah
kedua keponakannya lalu ia mewasiatkan hartanya kepada mereka
berdua yaitu Suwaid dan Arfajah, setelah itu keduanya mengambil
seluruh hartanya dan tidak meninggalkan sedikitpun kepada istri Aus
bin Tsabit dan anak-anaknya, sebab dahulu pada masa jahiliyah wanita
dan anak-anak kecil tidak mendapat waris walaupun ia anak laki-laki.
Orang-orang jahiliayah berkata, “Warisan itu tidak diberikan kecuali
kepada orang yang bisa berperang dengan kuda, membawa tombak,
membawa pedang dan yang memperoleh harta rampasan perang”.
Ummu Kujjah menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah
SAW, lalu ia memanggil mereka berdua, selanjutnya ia berkata, “Wahai
Rasulullah anak wanita ini tidak dapat menunggang kuda, tidak
membawa senjata ataupun melukai musuh”, mendengar hal itu
Rasulullah bersabda, “Pulanglah sampai aku mendapatkan keputusan
dari Allah tentang masalah mereka.”
Kemudian Allah menunurunkan ayat ini sebagai bantahan
terhadap mereka, bahwa perkataan dan cara mereka mengambil harta
tersebut didasari kebodohan mereka, karena anak-anak kecil lebih
berhak mendapatkan warisan dari pada orang-orang dewasa. Di
samping itu mereka tidak dapat mencari nafkah untuk kemaslahatan
masa depan mereka oleh karena itu apa yang mereka lakukan
bertentangan dengan hukum, menyalahi hati nurani dan hanya
memperturut ambisi nafsu, sehinggga mereka keliru dalam mengambil
keputusan dan memperlakukan harta warisan tersebut (Hifnawi,
Utsman 2008, 114-115).
17

b. Qs. al-Nisa’ (4):9


       
       
Artinya:Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.

Abu Ja’far berkata: Ahli takwil berbeda pendapat tentang


penafsiran firman Allah ini yaitu: sebagian pendapat bahwa firman
Allah adalah “hendaklah orang-orang yang menghadiri seseorang yang
akan mewasiatkan hartanya, merasa takut untuk memerintahkan agar
orang itu agar membagikan hartanya sebagai wasiat kepada orang yang
berhak mewarisinya. Akan tetapi mereka harus memerintahkan orang
itu agar menyisakan hartanya untuk anak-anaknya. Hal ini berlaku pula
jika mereka yang memberikan wasiat tersebut. Orang-orang yang
menghadirinya diharapkan memberikan anjuran kepadanya agar
memelihara hartanya untuk anak-anaknya dan tidak meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin, lemah dan tidak mampu melakukan
transaksi. (Hifnawi, Utsman 2008, 513)
c. Qs. al-Nisa’ (4):11
         
          
       
           
        
         
       
           
 
Artinya:Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
18

pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu


seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. Pembagian-
pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha bijaksana.

Abu Ja’far berkata: ayat ini diturunkan kepada Nabi


Muhammad SAW sebagai sebuah penjelasan dari Allah tentang
ketentuan yang diwajibkan ketika seseorang mewarisi harta orang yang
meninggal dunia, juga tentang hak untuk mewarisi yang dimiliki ahli
waris. Sebab orang jahiliyah dahulu tidak memberikan harta warisan
mereka kepada seorang ahli warispun yang tidak turut menghalau
musuh dan berperang, yaitu anak-anak mereka yang masih kecil dan
istri-istri mereka.
Mereka mengkhususkan harta warisan mereka kepada orang-
orang yang ikut berperang, bukan kepada keturunan mereka.
Selanjutnya Allah SWT memberitahukan bahwa warisan yang
ditinggalkan oleh orang yang meningggal dunia itu berhak diwarisi oleh
orang-orang yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan wajib
menerima warisan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat ini.
Allah berfirman tentang anak yang masih kecil dan sudah
dewasa, baik yang laki-laki maupun perempuan mereka berhak
mewarisi harta ayah mereka jika tidak ada ahli waris lain selain
mereka. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan (Hifnawi, Utsman 2008, 533).
2.1.2.2 Hadis
19

a. Hadis Nabi dari Abdullah Ibn Abbas

‫ َأحْلُِق ْوا ال َفرا‬: ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَ َال‬ ِ


َ ِّ ‫َع ِن ابْ ِن َعبَّا ٍس َرض َي اهللُ َعْنهُ َع ِن النَّيِب‬
)‫ِئض بََأ ْهلِ َها فَ َما بَِق َي َف ُه َو َأِل ْو ىُل َر ُج ٍل َذ َك ٍر (رواه البخاري‬
Artinya:Berikanlah faraid (bagian yang ditentukan) itu kepada yang
berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari
keturunan laki-laki yang terdekat.

Hadis yang disebutkan di atas menjadi landasan kewarisan


ashabah yang berlaku dikalangan ulama ahlu sunah. Hadis
menyebutkan kewarisan furudh dalam jumlah yang terbatas sebagai
tambahan penjelasan dari apa yang secara dzahir dinyatakan Allah
dalam al-Qur’an (Syarifuddin 2004, 42).
b. Hadis Jabbir bin Abdullah
ِ ‫و َل‬4 ‫ا رس‬44 ‫ا للَت ي‬44‫ا َف َق‬44 ‫ِإبنََت ِ هَل‬4 ِ‫رَأةُ ب‬4‫م‬4 ْ‫ت ال‬ ِ ِ
‫اهلل‬ ُْ َ َ ْ َ ‫ا َئ َ ْ ْ نْي‬4‫ج‬4َ : ‫ال‬44َ‫د اهلل ق‬44‫ ِر يْ ِن َعْب‬4 ِ‫ا ب‬4‫ج‬4َ ‫َع ْن‬
‫ا َأ‬4‫ ِهْي َدا َوِإ َّن َع َّم ُه َم‬4‫ح ٍد َش‬4ِ ‫و َم ُأ‬4ْ 4‫ك َي‬4 َّ ‫ ْع ِد بْ ِن‬4‫ات ِإيِن ِإ ْبنَتَا َس‬
َ 4‫ا َم َع‬4َ‫و مُه‬4ْ ُ‫ل َأب‬4َ 4ِ‫ ِع قُت‬4‫الربِْي‬ َ ‫َه‬
ِ ِ ‫ال ي ْق‬4 ٌ ‫َخ َذ َما هَلَُم َفلَ ْم يَ َد ْع هَلَُما َماالَ َوالَ َتْن ِك َح ِن ِإالَّ َوهَلَُما َم‬
َ ‫ى اهللُ يِف َذل‬4‫ض‬
‫ك‬4 َ َ َ‫ال ق‬
َ 4‫ا َف َق‬4‫م‬4َ ‫لَّ َم ِإىَل َع ِّم ِه‬4‫ه َو َس‬4ِ 4‫لّى اهللُ َعلَْي‬4‫اهلل ص‬
ِ 4‫ال ِإ ْع‬4
‫ط‬4 ِ ‫ث رسو ُل‬
ْ ُ َ َ ‫اث َفَب َع‬ 4ِ ‫ت َأيَةُ املِرْي‬ ْ َ‫َفَنَزل‬
)‫ك (رواه أبو داود‬ ِ
َ َ‫الثلَُثنْي ِ َو ْاع ِط ُأ َّم ُه َما الث ُُّم َن َو َما بَق َي َف ُه َو ل‬ ُّ ‫اِْبنَيَت ْ َس ْع ٍد‬

Artinya:Dari jabir Ibnu Abdullah berkata janda Sa’ad datang kepada


Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuanya. Lalu ia
berkata: “Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad
yan telah gugur secara syahid bersamu di perang uhud, paman
mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak
memberikan apa-apa kepada mereka. Keduanya tidak bisa
kawain kalau tidak mempunyai hart. Nabi berkata: “Allah SWT
akan menetapkan hukum dalam kejadian ini. “kemudian turun
ayat-ayat tentang kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si
paman dan berkata: “Berikanlah dua pertiga untuk anak dua
perempuan Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan
selebihnya ambil untukmu.

c. Hadis Riwayat ‘imran ibn Husain


20

‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َف َقال َّ ِإ يِن‬ َّ ٍ ‫َع ْن ِع ْمَرا َن بْ ِن ُح َسنْي‬


َ َّ ‫َأن َر ُجالَ َأتَى انَّيِب‬
ْ ْ‫َأن إبْ َن ب‬
)‫س (رواه أبو داود‬ ُ ‫الس ُد‬
ُّ ‫ك‬ َ َ‫ال ل‬َ ‫ات فَ َما يِل ْ ِم ْن ِمْيَرا ثِِه َف َق‬
َ ‫َم‬
Artinya:Dari, ‘Imron bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi
nabi SAW sambil berkata: “Bahwa anak laki-laki dari anak laki-
laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta
warisannya”. Nabi berkata: “Kamu mendapat seperenam”

2.1.2.3 Ijma’
Dalam menyelesaikan masalah kewarisan sebagian kecil diambil dari
ijma’ para ahli dan beberapa masalah diambil dari ijtihad para sahabat.
Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam mazhab dan para mujtahid dapat
digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum
dijelaskan dalam nash yang sharih, sebagai contoh:
1. Status saudara-saudara bersama dengan kakek. Dalam al-Qur’an
masalah ini tidak dijelaskan, kecuali dalama masalah kalalah. Akan
tetapi menurut kebanyakan sahabat dan imam mazhab yang mengutip
pendapat Zaid bin Sabit, saudara-saudara tersebut mendapat bagian
waris secara muqasamah bersama dengan kakek.
2. Status cucu-cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari pada kakek
yang bakal diwarisi dan yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-
saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu-cucu tersebut tidak
mendapat bagian bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya,
tetapi menurut kitab Undang-undang hukum wasiat Mesir yang
mengistinbatkan dari ijtihad para ulama muqadimin mereka diberi
bagian berdasarkan wasiat wajibah (Umam 2006, 15-16).

2.1.2.4 Hikmah Pembagian Waris


Hikmah dibagikan harta warisan kepada setiap ahli waris adalah;
Pertama, untuk menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
karena dalam al-Qur’an Allah telah memerintahkan untuk membagikan
harta warisan kepada ahli waris sesuai dengan furudnya. Kedua, agar ahli
21

waris yang ditinggalkan oleh pewaris tidak merasa sedih dan bisa
melanjutkan hidup setelah ditinggalkan oleh pewaris. Misalnya seorang
anak yang ditinggalkan oleh bapaknya, dengan diberikan harta warisan
tersebut mereka bisa melanjutkan hidupnya misal dengan cara membuka
usaha baru untuk kelangsungan hidupnya. Selanjutnya agar tidak terjadi
pertengkaran atau perebutan harta warisan antara ahli waris.

2.2 Asas-asas dan Unsur Kewarisan


2.2.1 Asas-asas Kewarisan
Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut faraidh dalam
literatur hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum
Islam yang mengatur tentang peralihan harta dari orang yang telah
meninggal kepada orang yang masih hidup.
Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hukum kewarisan Islam
mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam
hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Di samping itu hukum
kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda
dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini
memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam.
Hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dari al-
Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam sunnahnya. Pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang
berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan
harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu
terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas
bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang dan asas semata akibat
kematian (Syarifuddin 2004, 16-17).
a. Asas Ijbari
Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal
kepada orang yang masih hidup belaku dengan sendirinya tanpa usaha
22

yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. cara peralihan
ini disebut secara Ijbari.
Kata Ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (Compulsory),
yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Kata Ijabari dalam
terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua
perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, bukanlah atas kehendak
dari hamba tersebut tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan Allah,
sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam Jabariyah (Nasution
1974, 31).
Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan
memeberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut
ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang
ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan
oleh pewaris. Kewajibanya hanya sekedar menolong membayarkan utang
pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajiban
melunasi utang itu dengan hartanya sendiri. Dalam BW diberikan
kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan, karena menerima
akan membawa akibat menanggung resiko untuk melunasi utang pewaris.
Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa sebelum meninggal
ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. apapun kemauan
pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan
yang ditetapkan Allah. oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu
memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya beralih
kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka maupun tidak. Asas Ijbari
dapat dilihat dari beberapa segi yaitu: dari segi peralihan harta, dari segi
jumlah harta yang beralih, dari segi kepada siapa harta itu beralih.
Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bagian hak ahli waris dalam
harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris
maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau
mengurangi apa yang telah ditentukan (Syarifuddin 2004, 18-19).
23

b. Asas Bilateral
Asas bilateral adalah harta warisan beralih kepada atau melalui dua
arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat
garis keturunan perempuan.
Asas bilateral terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 7, 11, dan 176. Surat
ai-Nisa’ ayat 7 dijelaskan bahwa seseorang laki-laki berhak mendapat
warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, begitu juga
seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya
dan juga dari pihak ibunya. Secara terperinci akan dijelaskan dalam ayat
11 yaitu:
1. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan
seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang
anak perempuan.
2. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan, begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak
menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada
meninggalkan anak.
Selanjutnya diterangkan dalam surat al-Nisa’ ayat 12 sebagai
berikut:
1. Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki
pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan
perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.
2. Bila pewaris adalah seorang perempuan yang tidak memiliki
pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan
perempuannya berhak menerima harta tersebut.
Selanjutnya surat al-Nisa’ ayat 176 menjelaskan
24

1. Seorang laki-laki yang mempunyai keturunan (ke atas dan ke


bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan
perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima
warisannya.
2. seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas
dan ke bawah) sedangkan dia mempunyai saudara laki-laki
maupun perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak
mendapatkan warisannya (Syarifuddin1984, 19-20).
Dalam ketiga ayat dikemukakan di atas terlihat secara jelas bahwa
kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu) dan
kesamping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu
laki-laki dan perempuan yang menerima warisan dari dua garis keluarga
yaitu dari garis laki-laki dan perempuan, inilah yang dinamakan kewarisan
secara bilateral.
c. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan
arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara
perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagianya secara
tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi,
kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak
menurut kadar bagian masing-masing (Muhibbin, Wahid 2011, 28).
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
tergantung dan terikat dengan ahli waris tang lain. Hal ini didasarkan
kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai
kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban.
Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan
Al-Qur’an yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Ayat 7
surat al-Nisa’ secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun
perempuan berhak menerima warisan dari karib kerabatnya, terlepas dari
25

jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan. Penjelasan


lebih rinci mengenai hak masing-masing ahli waris secara individual
terdapat dalam QS. al-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176, selain itu dalam ayat juga
dijelaskan jika dalam keadaan tertentu anak laki-laki mewarisi bersama
anak perempuan maka bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan.
Pembagian secara individual adalah ketentuan yang mengikat dan
wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi berat di akhirat bagi
yang melanggar sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam Surat al-Nisa’
ayat 13 dan 14.
Bila telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiap ahli
waris, maka untuk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk
menggunakan harta tersebut. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan
harta tersebut terdapat ketentuan lain dalam kaidah Ushul Fiqih disebut
ahliyat al-ada’.
Di antara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk
bertindak atas hartanya (seperti belum dewasa), maka harta warisan yang
diperolehnya berada dibawah kuasa walinya dan dapat dipergunakan
untuk belanja kebutuhan sehari-hari anak tersebut. Hal ini didasarkan
pada firman Allah dalam Surat al-Nisa’ ayat 5 yang menyatakan tidak
bolehnya menyerahkan harta kepada safih, yaitu orang yang dalam ayat ini
berarti “belum dewasa”.
Dengan memperhatikan bahwa pada satu sisi setiap ahli waris
berhak secara penuh atas harta yang diwarisinya, dan sisi lain terdapat
ahli waris yang tidak berhak menggunakan hartanya sebelum ia dewasa,
maka ahli waris yang telah dewasa dapat saja memberikan harta warisan
secara individual kepada ahli waris yang belum dewasa itu. Dalam kasus
seperti ini, saudara tertua di antara beberapa orang bersaudara (yang
belum dewasa) dapat menguasai sendiri harta bersama ibu untuk
sementara. Walaupun demikian sifat individualnya harus tetap
26

diperhatikan dengan mengadakan perhitungan terhadap bagian masing-


masing ahli waris, memelihara harta orang yang belum pantas mengelola
hartanya kemudian jengembalikan harta itu saat yang berhak telah cakap
menggunakannya. Tidak ada pihak yang dirugikan dengan cara tersebut
sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Surat al-Nisa’ ayat 2.
Menghilangkan bentuk individualnya dengan jalan mencampur
adukan harta warisan tanpa perhitungan dan dengan sengaja menjadikan
hak kewarisan itu bersifat kolektif berarti menyalahi ketentuan yang
disebut di atas. Hal tersebut akan mengakibatkan pelakunya terkena
sanksi sebagaimana disebut dia akhir ayat 2 surat al-Nisa’ yaitu sanksinya
“dosa besar” (Syarifuddin 2004, 22-23).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk kewarisan
kolektif yang terdapat dalam masyarakat dengan adat tertentu tidak
sesuai dengan ajaran agama Islam. Sebabnya adalah dalam pelaksanaan
hukum kewarisan kolektif itu mungkin sengaja atau tidak, ikut termakan
harta anak yatim yang sangat dilarang oleh ajaran agama Islam (Ali 2008,
57)
d. Asas Keadalian Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan dapat dikatakan
sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar
pengertian tersebut terlihat asas keadilan dalam pembagian harta warisan
dalam hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa pendapat
gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya
sebagaimana pria, wanita pun mendapat hak yang sama kuat untuk
mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam al-Quran
surat al-Nisa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam hak mendapatkan warisan.
Tentang jumlah bagian yang didapat laki-laki dan perempuan
terdapat dua bentuk:
27

Pertama: laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan


perempuan seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat seperenam dalam
keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, sebagaimana dinyatakan
dalam ayat 11 surat al-Nisa’ ayat 11. Begitu pula saudara laki-laki dan
saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam kasus
pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki ahli waris langsung
sebagaimana tersebut dalam surat al-Nisa’ ayat 12.
Kedua: laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat
dari yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak laki-
laki dengan anak perempuan dalam ayat 11 dan saudara laki-laki dengan
saudara perempuan dalam ayat 176. Kasus yang terpisah, duda mendapat
dua kali bagian yang diperoleh oleh janda yaitu setengah banding
seperempat bila pewaris tidak ada meninggalkan anak dan seperempat
banding seperdelapan apabila pewaris ada meninggalkan anak
sebagaimana tersebut dalam surat al-Nisa’ ayat 12.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak,
memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti
tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur
dalam jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan
terhadap kegunaan dan kebutuhan. Secara umum, dapat dikatakan pria
membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan wanita. Hal tersebut
dikarenakan pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu
untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita.
e. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah
yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa seserang
tidak dapat beralih kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris
selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala
bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung
28

maupun langsung, maupun terlaksana sesudah kematiannya, tidak


termasuk kedalam istilah kewarisan menurut hukum Islam.
Asas tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan asas ijbari. Pada
hakikatnya bila seseorang telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum
dapat bertindak atas hartanya pribadi yang menyangkut dengan kemauan
dan keperluan selama ia hidup. Tetapi ia tidak mempunyai kebebasan
untuk mengatur harta tersebut untuk penggunaan setelah matinya.
Walaupun ada kebebasannya untuk bertindak dalam tujuan seperti
tersebut di atas dalam kadar batas maksimal sepertiga dari hartanya,
namun tindakannya itu walaupun berlaku sesudah kematiannya, tidak
disebut dengan nama kewarisan (Syarifuddin 1984, 25).
2.2.2.Unsur-Unsur Kewarisan
Proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang
yang telah hidup dalam hukum kewarisan mengenal tiga unsur yaitu:
pewaris, harta warisan dan ahli waris.
a. Pewaris
Pewaris dalam literatur fiqh disebut al-muwarrits, ialah seseorang
yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih
kepada keluarganya yang masih hidup (Syarifuddin 2004, 204). Secara
garis besar dijelaskan dalam al-Quran, bahwa pewaris ialah orang tua
dan karib kerabat. Hal ini dapat diketahui secara jelas dari firman Allah
pada surat al-Nisa’ ayat 7 yang menyatakan bahwa bagi seseorang laki-
laki atau perempuan ada bagian dari peninggalan orang tua dan karib
kerabatnya. (Syarifuddin 1990, 51) mengenai pewaris dijelaskan oleh Q.S
al-Nisa’ ayat 7.

    


    
       
  
Artinya: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
29

bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan


kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang Telah ditetapkan." (Q.S al-Nisa’(4): 7).

Syarat yang harus dipenuhi berkenaan dengan pewaris adalah


“sudah jelas matinya”. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan akibat
kematian, yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli
warisnya setelah kematiannya. Bila seseorang tidak jelas kematiannya
dan tidak ada pula berita tentang hidup atau matinya, maka hartanya
tetap menjadi miliknya yang utuh sebagaimana dalam keadaan yang jelas
hidupnya. Menganggap seseorang itu masih hidup selama belum ada
kepastian tentang kematianya (Zahrah 1957, 285).
b. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas harta warisan
yang ditinggalkan oleh pewaris dan mempunyai hubungan kekerabatan
dan hubungan perkawinan dengan pewaris.
Syarat dari ahli waris adalah:
1. Ahli waris masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.
2. Tidak ada hal yang menghalanginya secara hukum untuk
menerima warisan.
3. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang
lebih dekat. (syarifuddin 1990, 56)
Secara umum ahli waris dapat dikelompokan kepada dua
kelompok yaitu: ahli waris sababiyah dan ahli waris nasabiyah.
1. Ahli waris sababiyah adalah orang yang berhak mendapatkan harta
warisan, karena adanya sebab yaitu adanya akad perkawinan
sehingga antara suami dan istri mempunyai hubungan saling
mewarisi.
a) Istri
Istri dalam menerima warisan dari suaminya mempunyai dua
fard yaitu: seperempat apabila si suami (pewaris) tidak
mempunyai far’u warits (anak laki-laki atau perempuan) dan
30

cucu-cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki


seperdelapan apabila pewaris meninggalkan far’u warits (anak
laki-laki atau anak perempuan). Dasar hukum Surat al-Nisa’ ayat
12.
b) Suami
Suami menerima warisan dari istrinya ia mempunyai dua fard
yaitu: seperdua apabila si istri (pewaris) tidak mempunyai far’u
warits. Seperempat bila si pewaris meninggalkan far’u warits.
Dasar hukumnya adalah QS. al-Nisa’ ayat 12.
2. Ahli waris nasabiyah adalah orang yang berhak memperoleh harta
warisan karena ada hubungan nasab (hubungan darah atau
keturunan). Ahli waris nasabiyah ini dapat dibedakan ketiga jenis
yaitu: furu’ al-mayyit, ushul al-mayyit, dan al-hawasyi.
a) Furu’ al-Mayyit
Furu’ al-mayit yaitu hubungan nasab menurut garis lurus
keturunan kebawah. Yang termasuk kedalam jenis furu’ al-mayyit
adalah:

1) Anak
Anak adalah manusia yang dilahirkan sebagai akibat
(disebabkan) hubungan sperma dan ovum dalam pernikahan
yang sah. Anaka yang lahir sebagai akibat hubungan diluar
sebagai akibat hubungan di luar nikah atau zina, maka tidak
termasuk anak yang sah bagi suami dari istri yang
melahirkanya walaupun kelahiranya dalam pernikahan yang
sah (Nasution 2012, 113).
Berikut akan diurai bagian masing-masing dari anak
laki-laki dan anak perempuan dari Pewaris:
(a) Anak Laki-laki
31

(1) Anak laki-laki mendapatkan semua harta warisan, jika tak


ada pewaris lain daripadanya atau mendapat sisa harta
apabila ada ahli waris yang lain (asabah binafsihi yang
telah menjadi ijma’ ulama).
(2) Anak laki-laki dan anak perempuan bersama-sama, maka
untuk anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan
(mereka asabah).
(b) Anak Perempuan
(1) Anak perempuan apabila sendiri maka ia mendapat
separuh dari harta warisan.
(2) Anak perempuan dua orang atau lebih dan tidak ada anak
laki-laki mendapat 2/3 harta warisan.
(c) Anak dari Anak Laki-laki (Cucu)
Cucu terdiri dari dua jenis, yaitu cucu laki-laki dan cucu
perempuan. Cucu laki-laki ialah anak-laki-laki dari anak laki-
laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya
kebawah, sedangkan cucu perempuan adalah anak
perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan dari cucu
laki-laki dan seterusnya kebawah.
Berikut akan dijelaskan bagian masing-masing cucu
menurut hukum kewarisan Islam:
1. Cucu laki-laki menempati kedudukan anak laki-laki bila
tidak ada anak laki. Karena itu apabila ia seorang diri dan
tidak ada pewaris selainya, maka ia mendapat semua harta
atau mendapat sisanya, bila ada ahli waris yang lain.
2. Bila cucu laki-laki bersama cucu perempuan, maka bagian
laki-laki dua kali bagian cucu perempuan. Mereka bersama-
sama menjadi asabah.
3. Cucu perempuan, bila seorang diri dan tidak ada anak atau
cucu, maka mendapat separuh harta.
32

4. Cucu perempuan, dua orang atau lebih, mendapat 2/3 bila


tidak ada anak atau cucu laki-laki.
5. Cucu perempuan, bila tidak ada anak laki-laki atau cucu
laki-laki, tetapi ada seorang anak perempuan, mendapat
1/6 (Nasution 2012, 116-119).
1) Usul al-Mayit
Usul al-mayit adalah ahli waris yang merupakan asal keturunan
dari orang yang mewariskan, atau hubungan nasab garis keturunan ke
atas, mereka ini adalah:
a. Ayah/Bapak
Bapak sebagai ahli waris memperoleh harta warisan:
Pertama, jika si mati meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki
bapak memperoleh seperenam bagian. Kedua, Jika simati tidak
meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan tidak
meninggalkan anak laki-laki ataupun cucu laki-laki bapak dapat
seperenam dan sisa. Ketiga, Jika simati tidak meninggalkan siapa-
siapa bapak memperoleh semua harta. Keempat, Jika simati
meninggalkan bapak dan ibu maka bapak dapat 2/3 bagian.

b. Ibu
kewarisan ibu memeperoleh tiga kemungkinan yaitu;
Pertama, jika simati meninggalkan anak atau cucu dan ibu maka ibu
mendapat 1/6 bagian. Kedua, jika si mati meninggalkan saudara
lebih dari satu orang maka ibu memperoleh 1/6 bagian . Ketiga, jika
simati tidak meninggalkan siapa-siapa, kecuali ibu atau
meninggalkan ibu dengan bapak maka ibu memperoleh 1/3 harta
(Muhibbin, wahid 2009, 90-91).
c. Ayah dari Ayah (Kakek) dan Seterusnya Ke Atas
Sebagai ahli waris dzaul furudh kemungkinan bagian kakek
adalah sama dengan ayah, karena ia adalah pengganti ayah waktu
33

ayah sudah tidak ada. Bagianya sebagai berikut: Pertama,


memperoleh seperenam kalau bersamanya ada anak atau cucu laki-
laki. Kedua, seperenam bagian dan kemudian mengambil sisa harta
bila ia bersama anak atau cucu perempuan.
d. Nenek
Nenek yang berhak menjadi ahli waris adalah nenek melalui
ayah dan nenek melalui ibu , maka dalam susunan ahli waris
mungkin terdapat lebih dari satu nenek (Syarifuddin 2012, 228).
Maka bagian nenek adalah Pertama, jika simati meninggalkan
seorang nenek saja dan tidak meninggalkan ibu maupun ada ahli
waris lainya ataupun tidak ada maka ia dapat seperenam bagian.
Kedua, jika simati meninggalkan nenek lebih dari satu orang dan
tidak meningalkan ibu maupun ada ahli waris lainya ataupun tidak
ada maka 1/6 (seperenam) dibagi sama rata di antara mereka.
Ketiga, nenek itu seorang atau lebih dari pihak ibu atau bapak
dapat seperenam bagian (Muhibbin, Wahid 2009, 100).
2) Al-Hawasyi
Al-hawasyi adalah, hubungan nasab dari arah menyamping dan
mereka terdiri dari:
a) Saudara Perempuan Kandung
Saudara kandung mendapat setengah bila ia seorang dan
tidak disertai saudara laki-lak, dua pertiga bila saudara perempuan
ada dua orang atau lebih dan tidak disertai saudara laki-laki
(Syarifiddin 1984, 69)
b) Saudara Laki-laki Kandung
Saudara kandung menjadi ahli waris asabah apabila tidak
ada pewaris meninggalkan anak cucu laki-laki dan tidak ada pula
ayah. Saudara dapat mewarisi bersama kakek menurut jumhur
ulama. Menurut ulama Hanafi dan Hazairin, kakek dalam
kedudukannya sebagai pengganti ayah menutup saudara.
34

Ahli waris yang mungkin mewarisi bersama saudara hanya


ibu atau nenek, suami istri, anak atau cucu perempuan dan saudara
seibu baik laki-laki ataupun perempuan, begitupula saudara
kandung perempuan yang menjadi asabah bersama saudara laki-
laki kandung. Bila saudara sendirian, maka ia berhak atas semua
harta dan bila bersama ahli waris lain yang berkedudukan sebagai
zul furud, maka mengambil sisa harta sesudah pembagian zul furud.
Bila saudara ada orang atau bersama dengan kakek, maka mereka
berbagi sama banyak.
c) Saudara Laki-laki Seayah
Saudara laki-laki seayah berkedudukan sebagai ashabah bila
tidak ada saudara laki-laki kandung dan tidak ada pula ahli waris
yang menutup saudara kandung. Ia terhalang oleh saudara kandung
laki-laki dan tidak oleh saudara kandung perempuan. Dapat
mewarisi bersama orang yang dapat bersama mewaris dengan
saudara kandung (Syarifuddin, 1984, 73-74).
d) Saudara Perempuan Seayah
Saudara perempuan seayah mendapat setengah bila seorang
saja dan tidak disertai saudaranya yang laki-laki bila ada dua orang
saudara perempuan seayah dan tidak disertai oleh saudaranya
yang laki-laki mereka mendapat dua pertiga. Bila bersamanya ada
seorang saudara perempuan kandung sedangkan ia tidak disertai
oleh saudaranya yang laki-laki maka ia mendapat seperenam
(Syarifuddin 1984, 16).
e) Saudara Laki-laki dan Perempuan Seibu
Saudara laki-laki atau perempuan seibu memperoleh bagian
seperenam jika hanya sendiri dan sepertiga jika lebih dari satu
orang dan di antaranya berbagi sama banyak (Syarifuddin 2012,
229).
35

f) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya


kebawah dari keturunan laki-laki.
g) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, dan seterusnya
kebawah dari turunan laki-laki.
h) Saudara laki-laki seayah dari ayah (paman sekandung) dan
seterusnya ke atas.
i) Saudara laki-laki seayah dari ayah (paman sekandung)dan
seterusnya ke atas.
j) Anak-laki-laki dari paman sekandung dan seterusnya ke bawah
k) Anak laki-laki dari paman seayah dan seterusnya ke bawah
(Nasutioan,2014 99-101).
2) Harta Warisan
Sebelum menguraikan mengenai harta warisan maka
dikemukakan dahulu apa itu harta peninggalan. Harta peninggalan
adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal
dunia, baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak
kebendaan, serta hak-hak yang bukan kebendaan (Lubis,
Simanjuntak 2008, 50).
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris,
terlebih dahulu harus dikeluakan hak-hak yang berhubungan dengan
harta peninggalan si mayit, yang terdiri dari:
a. Zakat Atas Harta Peninggalan
Adapun yang dimaksud dengan zakat atas harta peninggalan
yaitu: zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh simayit, akan
tetapi zakat tersebut belum dapat direalisasikan, lantas ia
meninggal, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari harta
peninggalannya tersebut, seperti zakat pertanian dan zakat harta.
b. Tajhiz atau Biaya Penyelengaraan Jenazah
Tajhiz adalah segala yang diperlukan oleh seseorang yang
meninggal dunia dari wafatnya sampai kepada penguburanya. Di
36

antara kebutuhan tersebut antara lain biaya memandikan,


mengafankan, menguburkan, dan segala yang diperlukan sampai
diletakannya ke tempat yang terakhir.
c. Melunasi Utang
Utang merupakan suatu yang harus dibayar oleh orang yang
meninggal, apabila si mayit mempunyai utang atau tanggungan
belum dibayar ketika masih hidup di dunia, baik yang berkaitan
sesama manusia maupun kepada Allah yang wajib diambil dari
harta peninggalanya setelah diambil keperluan tajhiz.
Adapun kewajiban-kewajiban terhadap Allah yang belum
sempat ditunaikan seperti pengeluaran zakat, pergi haji,
pembayaran kafarah, disebut sebagai hutang secara majasy, sebab
kewajiban untuk menunaikan hak-hak tersebut bukan sebagai
imbalan dari suatu prestasi yang pernah diterimanya, tetapi suatu
kewajiban yang pernah dituntut sewaktu masih hidup.
d. Melaksanakan Wasiat
Wasiat adalah pesan seseorang untuk memberikan sesuatu
kepada orang lain setelah ia meninggal dunia (Muhibbin, wahid
2009, 51-55). Sebagaimana telah diterangkan dalam al-Quran
bahwa melaksanakan wasiat itu wajib hukumnya yang terdapat
dalam surat al-Bagarah ayat 180:
        
     
  
Artinya:Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ru, (Ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertakwa.

Warisan merupakan arti terhadap istilah al-Irts. Kata al-irts


berasal dari kata waritsa, yaritsu dan irtsan. Irtsan adalah salah satu
bentuk masdarnya dan bentuk masdar lainya adalah wirtsan, turatsan
37

dan wiratsatan. Akar dasar dari kata ini adalah perpindahan harta
milik dan perpindahan harta pusaka. Sedangkan menurut Amir
Syarifuddin harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya
(Surwati 2010, 27-28).
Harta warisan adalah hak milik seseorang yang meninggal
dunia, yang dapat dimanfaatkan secara bebas (tasafru) semasa
hidupnya, setelah dikurangi biaya jenazah (tajhiz al-mayit) (Sabiq
1984, 202).
Ulama fiqh mengemukakan rumusan tentang kewarisan yaitu
apa yang ditinggalkan pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk
harta atau hak-hak. Menurut ulama ini tidak ada bedanya antara harta
warisan dengan harta peninggalan, namun jika diperhatikan dalam
pelaksanaan selanjutnya, bahwa sebelum harta peninggalan itu
dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dulu wasiat dan
utangnya sebagaimana yang dituntut Allah dalam ayat 11 dan 12 surat
al-Nisa’. Para ulama hanya berbeda pendapat dalam perumusan
namun dalam substansinya tetap sama.
Penjelasan di atas dinyatakan bahwa harta yang menjadi
harta warisan itu harus murni dari hak orang lain di dalamnya. Di
antara memurnikan hak orang lain itu adalah dengan mengeluarkan
wasiat dan membayar utang pemilik harta.

3.4. Macam-macam Harta Warisan di Minangkabau


Harta warisan di Minangkabau dinamakan dengan harta Pusaka.
Harta pusaka yaitu sesuatu yan bersifat material yang ada pada
seseorang yang telah meninggal dunia yang dapat beralih kepada orang
lain semata akibat kematianya.
Dalam pengertian di atas dikemukakan kata “material” untuk
memisahkannya dari pada sako yaitu perpindahan yang berlaku dari
orang mati kepada orang yang masih hidup dalam bentuk gelar
38

kebesaran dalam adat. Pemakaian kata “semata akibat kematian”


dimaksudkan untuk memisahkannya dari pengertian hibah, yang
peralihannya kepada orang yang masih hidup bukan oleh sebab
kematian yang mempunyai harta tetapi oleh tindakan hukum yang
dilakukannya pada waktu ia masih hidup (Syarifuddin 1984, 212).
Berikut ini akan dijelaskan macam-macam harta pusaka yang
terdapat di Minangkabau:
3.4.2. Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang sudah dimiliki secara turun
temurun dari beberapa generasi sebelumnya hingga bagi penerima harta itu
sudah kabur asal usulnya. Pada beberapa daerah harta pusaka tinggi disebut
juga dengan harta tua karena sudah terlalu lama umurnya.
Ciri-ciri khusus harta pusaka tinggi adalah:
1) Tidak dapat diketahui secara pasti asal usulnya.
2) Pemilik harta pusaka tinggi adalah kaum secara bersama untuk
kepentingan bersama.
3) Tidak dapat berpindah tangan ke luar kaum yang memilikinya kecuali bisa
dilakukan oleh kaum secara bersama-sama pula.
Harta pusaka tinggi dikenal sebagai harta garapan nenek moyang
yang diwarisi turun temurun dari mamak pada kemenakan dari suatu kaum
sehingga merupakan harta pusaka tinggi dari kaum tersebut. Harta pusaka
tinggi bukan saja tidak dibagi tetapi juga tidak boleh dijual kecuali dalam
keadaan terpaksa hanya boleh digadaikan.
Harta pusaka tinggi merupakan milik bersama kaum yang sesuku.
Namun dalam pengelolaan harta pusaka tinggi, khususnya tanah berlaku
ketentuan adat yang berbunyi:
Ganggam bauntuk
Hak bapunyo,
Milik bamasiang
39

Hal ini berarti bahwa hak untuk mengelola harta pusaka tinggi dibagi
secara adil oleh perempuan tertua yang masih ada di dalam suku itu. Hasil
dari pusaka tinggi yang dikelola masing-masing kelompok kaum dapat
dimanfaatkan oleh kelompok kaum itu. (Amir 2011, 29).
Adapun Fungsi dari harta pusaka tinggi adalah sebagai berikut:
a. Merupakan tali persatuan dan kesatuan sebuah kaum yang bertali
darah.
b. Mengingatkan semua orang akan berhubungan budi yang luhur
terhadap nenek moyangnya.
c. Mampu memberikan contoh pada generasi berikutnya, untuk selalu
memikirkan generasi-generasi yang akan datang.
Pada hakikatnya harta pusaka tinggi dalam pengelolaanya sama sekali
tidak bertentangan dengan hak waris Islam karena harta tersebut adalah
harta bersama dan bukan harta kepemilikan pribadi. Harta kepemilikan
bersama atas nama satu kaum dan orang banyak tidak dapat dibagi secara
hukum Islam. Karena harta pusaka tinggi di Minangkabau harta yang
diturunkan secara turun temurun bukan dibagi untuk kepemilikanya (Azrial
2008, 40).
Pada prinsipnya harta pusaka tidak boleh dijual atau digadaikan,
seperti kata pepatah: dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando
(dijual tidak boleh dibeli, digadai tak boleh di sandera). Harta pusaka tinggi
boleh digadaikan atau dijual untuk kepentingan bersama, dengan
persetujuan semua anggota, bila keadaan memasak. Kepentingan itu adalah
sebagai berikut:
1. Maik tabujua ditangah rumah yaitu untuk membiayai upacara
kematian anggota suku yang dihormati.
2. Managak gala pusako yaitu untuk membiayai penukaran
penghulu.
3. Gadih gadang indak balaki yaitu untuk keperluan perkawinan
anggota suku.
40

4. Rumah gadang katirisan yaitu untuk biaya memperbaiki rumah


adat atau menukarnya.
Pada masa ini syarat menggadai atau menjual harta pusaka sudah
agak longgar, Ia digunakan sebagai modal berdagang, membayar utang, biaya
pendidikan, biaya naik haji dan kesehatan (Kamaluddin 2005, 87-88).
3.4.3. Harta Pusaka Rendah
Harta pusaka rendah (pencarian) adalah harta yang dipusakai
seseorang atau kelompok, yang dapat diketahui secara pasti asal-usul harta
itu. Hal ini dapat terjadi apabila harta warisan diturunkan oleh orang tua dan
mamak, ataupun dua tingakat di atasnya yang masih dapat dikenal
pewarisnya (Dijk 1960, 45). Harta pencarian adalah harta yang didapat dari
hasil usaha sendiri, waktu bujang atau setelah kawin, baik dengan mengelola
tanah pusaka atau kerja lain seperti berdagang atau diperolehi dari
pemberian atau hibah orang lain. (Kamaluddin 2005, 89)
Harta pencarian tersebut terdiri dari harta yang sifatnya dapat
dipindah-pindahkan seperti perhiasan, mobil, rumah dan lainya. Merupakan
sebuah barang-barang tetap seperti sawah dan ladang.
Pusaka rendah sebagai harta yang diterima seseorang sebagai warisan
dari ibu sendiri, secara otomatis menjadi milik pribadi bersangkutan.
Pengelolaan dan hasilnya otomatis pula merupakan tambahan bagi harta
pencarian pribadi bersangkutan. Sebagai milik pribadi maka harta pusaka
rendah dengan sendirinya dapat dijual atau dihadiahkan kepada siapa saja
yang diinginkan pemilik (Amir 2011, 31).
Harta pusaka rendah ini telah diwariskan lagi kepada anak-anaknya
disebut dengan harta susuk. Di masa yang akan datang sangat memegang
peranan yang sangat besar untuk menambah pusaka tinggi di Minangkabau,
yang akan menjamin kesejahteraan rakyat baik di ranah minang maupun di
perantauan.
Pusaka rendah yang telah diuraikan di atas adalah harta pencarian
orang tua yang diwariskan kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun
41

perempuan, serta pemberian dari mamak (saudara laki-laki ibu). Pewaris


harta pencarian dilakukan menurut ketentuan Islam. Di mana laki-laki
memperoleh dua kali lebih banyak dari masing-masing anak perempuan.
Contoh kalau anak pewaris terdiri dari dua orang anak laki-laki dan tiga
orang anak perempuan maka dihitung seluruhnya seperti tujuh orang yaitu
dua anak laki-laki dihitung empat dan wanita keseluruhanya tiga orang
karena satu orang wanita tetap dihitung satu.
Menurut perjalanan sejarahnya adat Minangkabau telah mengalami
beberapa kali perubahan, khususnya untuk masalah pewarisan ini sudah
disepakati dan diputuskan dalam musyawarah besar urang nan ampek jinih
seluruh Sumatera Barat pada tanggal 2-4 Mai 1952 di Bukittinggi, yang
diikuti oleh ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, dan angkatan muda
yang datang sebagai utusan dari seluruh alam Minangkabau. Menurut
kerapatan tersebut ditetapkan dua prinsip pokok dalam menyelesaikan harta
peninggalan yaitu:
1. Harta pusaka tinggi yang telah disepakati secara turun temurun dari
nenek moyang dari garis ibu, diturunkan menurut sepanjang adat.
2. Harta pencarian yang menurut adat bernama harta pusaka rendah
diturunkan menurut peraturan syara’.
Hasil dari kesepakatan itu merupakan suatu kompromi antara
tuntunan pihak agama dan tuntunan pihak adat, pihak agama telah melepas
harta pusaka untuk diwariskan secara adat dan mendapatkan lapangan harta
pencarian untuk diwariskan dengan tuntunan agama.
Kesepakatan empat jinih tersebut kemudian diperkuat dalam seminar
hukum adat Minangkabau, tanggal 21-25 Juli 1968 di Padang yang isinya
menetapkan sebagai berikut:
1. Harta pusako tinggi di Minangkabau merupakan harta badan hukum,
diurus dan diwakili oleh mamak kepala waris, di mana mamak kepala
waris maupun kemenakan bukanlah pemilik dari harta badan hukum itu.
42

2. Harta pencarian (pusako rendah), diwariskan menurut hukum faraidh.


Harta pencarian adalah seperdua dari harta yang didapat selama dalam
perkawinan ditambah dengan harta bawaan sendiri (milik pribadi bukan
milik kaum).
3. Seseorang dibenarkan berwasiat kepada kemenakan atau kepada yang
lain hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencarian itu
(Syarifuddin 1984, 289-290).

Anda mungkin juga menyukai