14
15
Artinya:Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
16
2.1.2.3 Ijma’
Dalam menyelesaikan masalah kewarisan sebagian kecil diambil dari
ijma’ para ahli dan beberapa masalah diambil dari ijtihad para sahabat.
Ijma’ dan ijtihad para sahabat, imam mazhab dan para mujtahid dapat
digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum
dijelaskan dalam nash yang sharih, sebagai contoh:
1. Status saudara-saudara bersama dengan kakek. Dalam al-Qur’an
masalah ini tidak dijelaskan, kecuali dalama masalah kalalah. Akan
tetapi menurut kebanyakan sahabat dan imam mazhab yang mengutip
pendapat Zaid bin Sabit, saudara-saudara tersebut mendapat bagian
waris secara muqasamah bersama dengan kakek.
2. Status cucu-cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari pada kakek
yang bakal diwarisi dan yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-
saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu-cucu tersebut tidak
mendapat bagian bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya,
tetapi menurut kitab Undang-undang hukum wasiat Mesir yang
mengistinbatkan dari ijtihad para ulama muqadimin mereka diberi
bagian berdasarkan wasiat wajibah (Umam 2006, 15-16).
waris yang ditinggalkan oleh pewaris tidak merasa sedih dan bisa
melanjutkan hidup setelah ditinggalkan oleh pewaris. Misalnya seorang
anak yang ditinggalkan oleh bapaknya, dengan diberikan harta warisan
tersebut mereka bisa melanjutkan hidupnya misal dengan cara membuka
usaha baru untuk kelangsungan hidupnya. Selanjutnya agar tidak terjadi
pertengkaran atau perebutan harta warisan antara ahli waris.
yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. cara peralihan
ini disebut secara Ijbari.
Kata Ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (Compulsory),
yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Kata Ijabari dalam
terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua
perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba, bukanlah atas kehendak
dari hamba tersebut tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan Allah,
sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam Jabariyah (Nasution
1974, 31).
Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan
memeberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut
ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang
ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan
oleh pewaris. Kewajibanya hanya sekedar menolong membayarkan utang
pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajiban
melunasi utang itu dengan hartanya sendiri. Dalam BW diberikan
kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan, karena menerima
akan membawa akibat menanggung resiko untuk melunasi utang pewaris.
Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa sebelum meninggal
ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. apapun kemauan
pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan
yang ditetapkan Allah. oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu
memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya beralih
kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka maupun tidak. Asas Ijbari
dapat dilihat dari beberapa segi yaitu: dari segi peralihan harta, dari segi
jumlah harta yang beralih, dari segi kepada siapa harta itu beralih.
Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bagian hak ahli waris dalam
harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris
maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau
mengurangi apa yang telah ditentukan (Syarifuddin 2004, 18-19).
23
b. Asas Bilateral
Asas bilateral adalah harta warisan beralih kepada atau melalui dua
arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat
garis keturunan perempuan.
Asas bilateral terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 7, 11, dan 176. Surat
ai-Nisa’ ayat 7 dijelaskan bahwa seseorang laki-laki berhak mendapat
warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, begitu juga
seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya
dan juga dari pihak ibunya. Secara terperinci akan dijelaskan dalam ayat
11 yaitu:
1. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya
sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan
seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang
anak perempuan.
2. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan, begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak
menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada
meninggalkan anak.
Selanjutnya diterangkan dalam surat al-Nisa’ ayat 12 sebagai
berikut:
1. Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki
pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan
perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.
2. Bila pewaris adalah seorang perempuan yang tidak memiliki
pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan
perempuannya berhak menerima harta tersebut.
Selanjutnya surat al-Nisa’ ayat 176 menjelaskan
24
1) Anak
Anak adalah manusia yang dilahirkan sebagai akibat
(disebabkan) hubungan sperma dan ovum dalam pernikahan
yang sah. Anaka yang lahir sebagai akibat hubungan diluar
sebagai akibat hubungan di luar nikah atau zina, maka tidak
termasuk anak yang sah bagi suami dari istri yang
melahirkanya walaupun kelahiranya dalam pernikahan yang
sah (Nasution 2012, 113).
Berikut akan diurai bagian masing-masing dari anak
laki-laki dan anak perempuan dari Pewaris:
(a) Anak Laki-laki
31
b. Ibu
kewarisan ibu memeperoleh tiga kemungkinan yaitu;
Pertama, jika simati meninggalkan anak atau cucu dan ibu maka ibu
mendapat 1/6 bagian. Kedua, jika si mati meninggalkan saudara
lebih dari satu orang maka ibu memperoleh 1/6 bagian . Ketiga, jika
simati tidak meninggalkan siapa-siapa, kecuali ibu atau
meninggalkan ibu dengan bapak maka ibu memperoleh 1/3 harta
(Muhibbin, wahid 2009, 90-91).
c. Ayah dari Ayah (Kakek) dan Seterusnya Ke Atas
Sebagai ahli waris dzaul furudh kemungkinan bagian kakek
adalah sama dengan ayah, karena ia adalah pengganti ayah waktu
33
dan wiratsatan. Akar dasar dari kata ini adalah perpindahan harta
milik dan perpindahan harta pusaka. Sedangkan menurut Amir
Syarifuddin harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya
(Surwati 2010, 27-28).
Harta warisan adalah hak milik seseorang yang meninggal
dunia, yang dapat dimanfaatkan secara bebas (tasafru) semasa
hidupnya, setelah dikurangi biaya jenazah (tajhiz al-mayit) (Sabiq
1984, 202).
Ulama fiqh mengemukakan rumusan tentang kewarisan yaitu
apa yang ditinggalkan pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk
harta atau hak-hak. Menurut ulama ini tidak ada bedanya antara harta
warisan dengan harta peninggalan, namun jika diperhatikan dalam
pelaksanaan selanjutnya, bahwa sebelum harta peninggalan itu
dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dulu wasiat dan
utangnya sebagaimana yang dituntut Allah dalam ayat 11 dan 12 surat
al-Nisa’. Para ulama hanya berbeda pendapat dalam perumusan
namun dalam substansinya tetap sama.
Penjelasan di atas dinyatakan bahwa harta yang menjadi
harta warisan itu harus murni dari hak orang lain di dalamnya. Di
antara memurnikan hak orang lain itu adalah dengan mengeluarkan
wasiat dan membayar utang pemilik harta.
Hal ini berarti bahwa hak untuk mengelola harta pusaka tinggi dibagi
secara adil oleh perempuan tertua yang masih ada di dalam suku itu. Hasil
dari pusaka tinggi yang dikelola masing-masing kelompok kaum dapat
dimanfaatkan oleh kelompok kaum itu. (Amir 2011, 29).
Adapun Fungsi dari harta pusaka tinggi adalah sebagai berikut:
a. Merupakan tali persatuan dan kesatuan sebuah kaum yang bertali
darah.
b. Mengingatkan semua orang akan berhubungan budi yang luhur
terhadap nenek moyangnya.
c. Mampu memberikan contoh pada generasi berikutnya, untuk selalu
memikirkan generasi-generasi yang akan datang.
Pada hakikatnya harta pusaka tinggi dalam pengelolaanya sama sekali
tidak bertentangan dengan hak waris Islam karena harta tersebut adalah
harta bersama dan bukan harta kepemilikan pribadi. Harta kepemilikan
bersama atas nama satu kaum dan orang banyak tidak dapat dibagi secara
hukum Islam. Karena harta pusaka tinggi di Minangkabau harta yang
diturunkan secara turun temurun bukan dibagi untuk kepemilikanya (Azrial
2008, 40).
Pada prinsipnya harta pusaka tidak boleh dijual atau digadaikan,
seperti kata pepatah: dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando
(dijual tidak boleh dibeli, digadai tak boleh di sandera). Harta pusaka tinggi
boleh digadaikan atau dijual untuk kepentingan bersama, dengan
persetujuan semua anggota, bila keadaan memasak. Kepentingan itu adalah
sebagai berikut:
1. Maik tabujua ditangah rumah yaitu untuk membiayai upacara
kematian anggota suku yang dihormati.
2. Managak gala pusako yaitu untuk membiayai penukaran
penghulu.
3. Gadih gadang indak balaki yaitu untuk keperluan perkawinan
anggota suku.
40