Anda di halaman 1dari 18

11

BAB II

AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Sumber Hukum Ahli Waris

Kata ahli waris berasal dari dua kata yaitu ahli dan waris, kata ahli

menurut kamus Bahasa Indonesia berarti orang yang faham sekali dalam bidang

Ilmu.1 Sedangkan kata waris keturunan yang berhak2.

Ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas harta warisan yang

ditinggalkan oleh pewaris.3 Dalam buku Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

Sajuti Thalib memberi definisi, ahli waris adalah orang yang berhak mendapat

bagian dari harta peninggalan.

Dalam literatur lain ahli waris diartikan, seorang atau beberapa orang

yang merupakan penerima harta warisan.4 Ahli waris juga diartikan orang yang

berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.5

Menurut Kompilasi Hukum Islam ahli waris adalah orang yang pada saat

meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan

1
Hamzah Ahmad, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, (Surabaya:Fajar Mulya,1996), h.13
2
Ibid, h.411
3
Hajar M, Hukum Kewarisan Islam,(Pekanbaru: Alaf Riau, 2007),cet. Pertama, h.32
4
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta:PT Grafindo Persada, 2002),cet.5,
h.262
5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta:Kencana,2004),cet.2. h.210
12

pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli

waris.6

Wirjono Prodjodikoro waris menurut hukum waris nasional dalam suatu

cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat, yang

melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seseorang.

Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban

tentang kekayan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada

orang lain yang masih hidup.7

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, ahli waris adalah seorang atau

beberapa orang yang berhak menerima warisan disebabkan adanya hubungan

kerabat dan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang

karena hukum untuk menjadi ahli waris.8

Jika ditelusuri lebih dalam, dasar utama kewarisan ini sudah lengkap

terdapat dalam al-Qur’an dan Sunah nabi Muhammad SAW. Dalam hal-hal

tertentu, para fuqaha’ berupaya pula untuk melakukan ijtihad dengan

menggunakan seluruh kemampuannya. Sumber hukum yang berasal dari al-

Qur’an , antara lain:

Firman Allah dalam QS: an-Nisa:4: 7 :

  


 

6
Himpunan Perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Fokusmedia,
2007), h.56
7
Beni Ahmad Saebani,Fiqih Mawaris,(Bandung: CV. Pustaka Setia,2009),cet. 1,h.17
8
Ibid.
13


 
 

  
    
 

Artinya: “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bahagian yang telah ditetapkan”.9

Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap ahli waris baik laki-laki maupun

perempuan berhak atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh karib

kerabatnya (pewaris) dengan ketentuan bagian yang telah disebutkan oleh hukum

faraidh. Dalam hukum Islam (al-Qur’an) telah menjelaskan bahwa bagian anak

laki-laki sama dengan dua banding satu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama

dengan dua bagian anak perempuan.

Sebagaimana disebutkan Allah dalam QS an-Nisa:4 :11 :

  


  
    
  
  
    
   
  
9
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, ,(Jakarta:PT Mahmud Yunus Wad Zuryah,
2006), Cet I,h.15
14

  


     
    
 
   
   
   
   
  
  
  
     
   
 
Artinya :“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.10

Sunnah Nabi diantaranya adalah sebagai berikut:

10
Ibid
15

َ‫ﺿﻲَ ﷲُ َﻋ ْﻨﮭُﻤﺎ َ َﻋﻦِ اﻟﻨ ﱠﺒِﻲِ ﺻَ ﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬ ِ ‫َﻋﻦْ أَﺑِﯿٌ ِﮫ ﻋَﻦْ إِ ْﺑﻦُ َﻋﺒﱠﺎ‬
ِ َ‫س ر‬
11
ٍ‫اَﻟٌﺤِ ﻘُﻮْ ااﻟﻔَﺮاَﺋِﺾَ ﺑِﺎ َ ْھﻠِﮭَﺎ ﻓَ َﻤﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﻓَﮭُﻮَ اﻷَوْ ﻟَﻰ رَ ُﺟﻞٍ َذ َﻛر‬

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a Nabi SAW, berkata ia: berikanlah faraidh (bagian

yang telah ditentukan dalam al-Qur’an) kepada yang berhak dan sisanya

berikanlah kepada keluarga laki-laki.

‫ ﺟَ ﺄ ًتْ اﻟ ﱠﺠ َﺪةُ إﻟﻰَ أَﺑِﻲْ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﻓَﺘَ ْﺴﺄ َﻟ ْﺘﮫُ ِﻣ ْﯿﺮَ ﺛَﮭَﺎ ﻗَﺎلَ ﻟَﮭَﺎ َﻣﺎ‬: ‫ﺐ ﻗَﺎ َل‬
ٍ ‫َﻋﻦْ ﻗَﺒِ ْﯿﺼَ ﺔَ ْﺑﻦ ُد ًو ْﯾ‬
َ‫ب ﷲِ َﺷ ْﯿ ٌﻰ ﻓَﺎرْ ﺟِ ِﻌﻲْ ﺣَ ﺘﱠﻰ أَ ْﺳﺄلَ اﻟﱠﻨﺎسَ ﻓَﻘَﺎلَ اﻟ ُﻤ ِﻐ ْﯿﺮَ اةُ ا ْﺑﻦُ ُﺷ َﻌ ْﯿﺒَﺔ‬
ِ ‫ﻟِﻚِ ﻓِﻲْ ِﻛﺘَﺎ‬
ِ‫ﺣَ ﻀَ ﺮْ تُ رَ ُﺳﻮْ لَ ﷲ ﺻَ ﻠَﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْﻋﻄَﺎھَﺎ اﻟ ُﺴ ُﺪ سَ ﻓَﻘَﺎلَ أَﺑُﻮْ ﺑَ َﻜﺮْ ھَﻞْ َﻣ َﻌﻚ‬
َ‫َﻏ ْﯿﺮَ كِ ؟ ﻓَﻘَﺎ َم ُﻣﺤَ ﱠﻤ ُﺪ ْﺑﻦُ ُﻣ َﺴﻠَ َﻤﺔَ اﻻاّ ْﻧﺼﺎري ﻓَﻘَﺎلَ ِﻣ ْﺜﻞَ َﻣﺎ ﻗَﺎلَ اﻟُﻤ ِﻐ ْﯿﺮَ اةٌ ْﺑﻦُ ُﺷ ْﻌﺒَﺔ‬
12
.‫ﻓَﺄ ّ ْﻧﻔَ َﺬهَ ﻟَﮭَﺎ اَﺑُﻮْ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ‬

Artinya: Dari Qubaishah bin Zueb yang berkata : seseorang nenek mendatangi
abu bakar yang meminta warisan kepada cucunya. Berkata kepadanya
Abu Bakar: “saya tidak menemukan sesuatu untukmu dalam kitab Allah
dan saya tidak mengetahui ada hakmu dalam sunah Nabi. Kembalilah
dulu, nanti saya akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini”
Maghirah dan Su’bah berkata :” saya pernah menghadiri Nabi
memberikan nenek sebanyak seperenam (1/6)”. Berkata Abu
Bakar:”Apakah ada orang lain selain kamu yang mengetahuinya.”
Muhammad bin Maslamah dan berkata seperti yang dikatakan
Maghirah. Maka akhirnya Abu Bakar memberikan hak kewarisan nenek
itu.

13
. ُ‫ اﻟﻘَﺎﺗِ ُﻞ َﻻﯾُ ِﺮث‬: َ‫َﻋﻦْ أَﺑِﻰْ ھُ َﺮ ْﯾﺮَ ةَ َﻋﻦْ رَ ُﺳﻮْ لِ ﷲِ ﺻَ ﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ وَ َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎل‬

11
Bukhari, al-Jami’ Shakhihu al-Bukhari, (Kairo: Daru wa mathaba’ah’u al-
Sya’bi), Juz VII, h.181.
12
Isa al-Tirmidzhi, Abu, al-Jami’ al-Shahih, (Kairo: Musthafa al-Babi, 1939), h.320.
13
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Kairo:Musthafa al-Babi al-Halbi, 1952), Jilid II, h.100
16

Artinya: Dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, bersabda: pembunuh terhalang

mewarisi.

ِ‫ھَﺘَﺎن‬ َ‫َﻋﻦْ ﺟَ ﺎﺑِ ٍﺮ ْﺑﻦِ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ﻗَﺎلَ ﺟَ ﺄ َتْ اﻟ َﻤﺮْ أَةُ ﺑِﺎ ْﺑﻨَﺘَ ْﯿﻦِ ﻟَﮭَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ ْﯾﺎ رَ ُﺳﻮل‬
‫ﺢ ﻗُﺘِﻞَ َﻣ َﻌﻚَ ﯾَﻮْ َم اُ ُﺣ ٍﺪ َﺷ ِﮭﺪاً وَ اِنﱠ َﻋ ﱠﻤﮭُ َﻤﺎ اَﺧَ َﺪ َﻣﺎ ﻟَﮭُ َﻤﺎ ﻓَﻠَ ْﻢ‬
ِ ‫إِ ْﺑﻨَﺘَﺎ َﺳ ِﻌ ْﯿﺪ ﺑﻦ اﻟﺮَ ﺑِ ْﯿ‬
ُ‫ﯾَ َﺪ ْع ﻟَﮭُ َﻤﺎ َﻣ ًﺎﻻ َو َﻻ ﺗُ ْﻨ ِﻜﺤَ ﺎنِ اِ ﱠﻻ وَ ﻟَﮭُ َﻤﺎ َﻣﺎ ٌل ﻗَﺎلَ ﯾَ ْﻘﻀِ ﻰ ﷲ ِﻓﻰ َذاﻟِﻚَ ﻓَﻨَﺰَ ﻟَﺖْ اَﯾَﺔ‬
: َ‫ث ﻓَﺒَ َﻌﺚَ رَ ُﺳﻮْ ُل ﷲِ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ اِﻟَﻰ َﻋ ﱢﻤ ِﮭ َﻤﺎ ﻓَﻘَﺎل‬
ِ ‫اﻟ ِﻤﯿﺮَ ا‬
14
. َ‫أَ ْﻋﻂِ اِ ْﺑﻨَﺘَﻲْ َﺳ ْﻌ ٍﺪ اﻟﺜﱡﻠُﺜُ ْﯿﻦِ وَ ْأ ْﻋﻂِ اُ ﱡﻣﮭُ َﻤﺎ اﻟﺜﱡ ُﻤﻦَ وَ َﻣﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﻓَﮭُﻮَ ﻟَﻚ‬

Artinya: Dari Jabir bin Abdullah berkata ia: Janda Saat ibn Rabi’ datang kepada
Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia
berkata: Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah
gugur dalam peperangan Uhud bersama kamu. Paman mereka
mengambil harta peninggalan ayah mereka, dan tidak memberikan apa-
apa untuk mereka. Keduanya tidak mengkin menikah tanpa harta. Nabi
berkata: Allah akan menetapkan hukum dalam kasus ini. Sesudah itu
turunlah ayat-ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Rasul
memanggil paman dari kedua anak perempuan itu, dan berkata:
seperdelapan (1/8) untuk jandanya dan sisanya untuk kamu.

B. Faktor Hubungan Kewarisan

Hubungan kewarisan antara seseorang dengan orang lain disebabkan oleh

dua faktor, yaitu :

1. Adanya hubungan darah atau kekerabatan dan adanya hubungan

perkawinan.

2. Hubungan kerabatat ditentukan pada saat terjadinya peristiwa

kelahiran.15

14
Ibid. h. 109.
15
Hajar M, Op.cit., h. 17
17

Pada tahap awal, seorang anak yang lahir dari seorang ibu mempunyai

hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkan itu. Hak itu tidak dapat dibantah,

karena anak tersebut secara nyata keluar dari rahim ibu. Hubungan darah ini

bersifat alamiah, dan berlaku sejak awal adanya manusia. Dengan berlakunya

hubungan kerabat antara seorang anak dengan ibunya, berlaku pula hubungan

darah, yang menyebabkan mereka saling berhubungan kewarisan.

Ulama berbeda pendapat, semata-mata aqad nikah apakah sudah cukup

untuk menentuka hubungan kekerabatan. Mayoritas fuqaha’ berpendapat bahwa

semata- mata aqad nikah belum menjamin terjadinya hubungan kekerabatan.

Sahnya hubungan kerabat, selain didahului aqad nikah yang sah, disyaratkan pula

bahwa diantara keduanya sedah berhubungan kelamin. Ulama hanafi mengatakan

bahwa semata-mata aqad nikah sah, sedah cukup untuk menetapkan hubungan

kekerabatan.16

Kedua kelompok ulama di atas sepakat sebab hakiki adanyan hubungan

kelamin yang menghasilkan janin, tetapi karena tidak nyata maka diganti dengan

mazinnahnya( akad nikah yang sah antara ayah dan ibu). Keduannya juga

sepakat bahwa mazinnah yang dapat dijadikan Ilat hukum adalah aqad nikah.bila

sebab hakiki itu tidak mungkin dibuktikan, apakah semata-mata mazinnah sudah

cukup kuat untuk dijadikan bukti. Dalam tersebut terdapat perbedaan pendapat.

Jumhur ulama’ menetapkan bahwa mazinnah itu tidak lagi diperhatikan bila

16
Ibid., h.18
18

dipastikan bahwa yang menjadi sebab hakiki itu tidak ada. Sedangkan ulama

Hanafi menetapkan bahwa yang dijadikan dasar tetap muzinnah.17

Kelahiran terjadi ketika ayah dan ibu masih dalam ikatan perkawinan,

anak yang lahir mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayahnya, kecuali jika

ayah mengikarinya dalam sumpah li’an. Jika ketika lahir, hubungan perkawinan

antara suami isteri sudah putus, untuk membuktikan adanya hubungan

kekerabatan antara anak yang lahir dengan suami yang menceraikan ibunya,

diukur jarak waktu antara putusnya perkawinan dengan waktu kelahiran atau

diukur dari maksimal masa kandungannya.18

Hubungan kewarisan juga dapat terwujud disebabkan adanya kelahiran

yang pernikahannya terjadi secara subhat. Subhat ada dua, subhat perbuatan dan

subhat aqad. Subhat perbuatan adalah hubungan kelamin yang yang terjadi

antara laki-laki dengan perempuan dengan keadaan tertentu yang masing-masing

mengira bahwa yang digaulinya adalah pasangan yang sah. Sedangkan subhat

aqad adalah hubungan kelamin yang terjadi karena aqad yang semula sah, tetapi

kemudian ternyata pasangannya itu tidak sah dinikahinya. Kelahiran yang

disebabkan oleh hubungan kelamin secara subhat, baik subhat aqad maupun

subhat perbuatan, menyebabkan terjalinnya hubungan kewarisan antara anak

yang lahir dengan yang membuahinya secara subhat itu.19

17
Ibid., h.19
18
Ibid.
19
Ibid., h.21
19

Untuk sahnya pembuktian kekerabatan ini diperlukan beberapa

persyaratan yaitu:

a. Ada orang yang hilang dan ada pula pihak keluarga yang kehilanagan.

b. Dari segi usia antara orang hilang antara pihak keluarga yang kehilangan

adalah pantas berhubun gan kerabat.

c. Kedua pihak sama-sama mengakui bahwa mereka memang berhubungan

kerabat.

Selain hubungan kekerabatan, adanya hubungan kewwrisan juga

disebabkan terjalinnya hubungan kewarisan.20 Berlakunya hubungan kewarisan

antara suami dan isteri didasarkan pada dua ketentuan yaitu:

a. Bahwa keduanya telah berlangsung aqad nikah yang sah. Aqad nikah yang

tidak sah dalam segala bentuknya tidak menyebabkan adanya hubungan

hukum antara laki-laki dan perempuan, termasuk hubungan kewarisan.

b. Diantara suami dan isteri masih berlangsung ikatan perkawinan pada saat

meninggalnya salah satu pihak . jika salah satu pihak meninggal dunia,

sementara ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak raj’i, isteri

yang sedang mengalami masa iddah talak raj’i tetap berstatus sebagai isteri

dengan segala akibat hukumnya, kecuali berhubungan kelamin. Hubungan

kelamin telah berakhir dengan terjadinya perceraian.21

20
Ibid., h.21-22
21
Ibid., h.18 22-23
20

3. Al-Wala Yaitu kekerabatan sebab hukum. Disebut juga wala al-‘itqi dan

wala an-ni’amah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang

dilakukan seseorang. dalam hal ini, orang yang membebaskan mendapat

kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-itqi.22

Kekerabatan terjadi karena adanya hubungan keturunan antara dua orang,

baik keduanya berada dalam satu titik hubungan (satu jalur) seperti ayah

keatas dan anak kebawah, maupun pada jalur yang memunculkan orang

ketiga, yaitu saudara-saudara paman dari ayah dan ibu. Keturunan yang seyah

(Syar’i) mencakup pernikahan yang sah dan percampuran syubhat, sedangkan

perkawinan tidak bisa terjadi, kecuali dengan adanya akad sah antara laki-laki

dan seorang perempuan.23

Dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya waris mewarisi adalah

kekeluargaan atau nasab, sabagaimana telah dijelaaskan dalam QS.an-

Nisa’:4:7.24 Karena adanya ikatan perkawinan, dan dengan jalan memerdekakan

hamba sahaya.25

Dalam tergabung lengkapnya ahli waris dalam kasus kewarisan, maka

akan timbullah persoalan pengutamaan sesama ahli waris itu. Ada yang perlu

didahulukan untuk mewaris dan adapula yang menempati urutan agak

dibelakang. Penyelesaian persoalan ini ada kalanya dilakukan dengan

22
Beni Ahmad saebani, op.cit., h. 109
23
Ibid., h.110
24
Ibid., h.111
25
Ibid.
21

merumuskan kelompok keutamaan dan ada kalanya dengan mempergunakan

lembaga yang dikenal dengan istilah hijab mahjub.26

Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup aau penghalang, orang yang

menghalangi disebut hajib, dan orang yang terhalang disebut mahjub. Hijab ada

dua, pertama hijab nuqsan yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian

ahli waris yang mahjub, seperti suami, seharusnya menerima bahagian ½, karena

bersama anak perempuan, bagiannya terkurangi menjadi ¼. Kedua hijab hirman

yaitu menghalangi secara total. Hak-hak waris si mahjub tertutup sama sekali

dengan adanya ahli waris yang menghijab. Misalnya, saudara perempuan

sekandung semula berhak menerima bagian ½, tetapi karena bersama anak laki-

laki, menjadi tertutup sama sekali.27

Tentang hijab ini terdapat perbedaan antara kelompok ahlu sunnah dan

Syi’ah. Menurut Ahlu Sunnah, yang berhak menghijab secara penuh adalah

kelompok ahli waris laki-laki, kecuali dalam hal tertentu seperti anak perempuan

menutup saudara seibu. Syi’ah berpendapat bahwa perempuan juga dapat

menghijab secara penuh.

Rincian hijab menurut Ahlu Sunnah ialah :

1. Cucu baik laki-laki maupun perempuan ditutup oleh anak laki-laki.

2. Kakek ditutup oleh ayah.

3. Nenek ditutup oleh ibu dan ayah.

26
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakara:Sinar Grafika,2004), h.85.
27
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media,
2001, h.71
22

4. Saudara kandung ditutup oleh anak atau cucu laki-laki.

5. Saudara seayah ditutup oleh saudara sekandung laki-laki dan oleh ahli waris

yang menutup saudara kandung.

6. Saudara seibu ditutup oleh anak,cucu,ayah,dan kakek.

7. Anak saudara kandung ditutup oleh saudara laki-laki seayah dan oleh ahli

waris yang menutup saudara laki-laki seayah.

8. Anak saudara seayah ditutup oleh anak laki-laki saudara kandung dan oleh ahli

waris yang menutup anak saudara kandung.

9. Paman kandung ditutup oleh anak laki-laki saudara seayah dan oleh ahli waris

yang menutup anak laki-laki saudara seayah.

10. Paman seayah ditutup oleh paman kandung dan oleh ahli waris yang

menutup paman kandung.

11. Anak laki-laki paman kandung ditutup oleh paman seayah dan oleh ahli waris

yang menutup paman seayah.

12. Anak laki-laki paman seayah ditutup oleh anak laki-laki paman kandung dan

oleh ahli waris yang menutup anak laki-laki paman kandung.28

C. Kategori Ahli Waris.

Ahli waris atau disebut juga dengan warist dalam istilah fiqih ialah orang

yang berhak atas hartwarisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Ahli waris dapat

dikelompokkan kepada tiga kelompok:

1. Ahli waris ashab al-furud

28
Hajar M, Op cit, h.28
23

2. Ahli waris ashabah.

3. Ahli waris dzawu al-arham.29

1. Ahli waris ashab al-furudh

Ahli waris ashab al-furudh adalah ahli waris yang bagiannya telah

diteapkan secara pasti di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Mereka menerima

harta warisan dalam urutan yang pertama. Ahli waris yang secara hukum syara’

berhak menerima warisan karena tidak ada yang menutupnya.

Ahli waris ashab al-furudh terdiri dari dua belas orang, yang terdiri dari

delapan orang perempuan dan empat orang dari anak laki-laki. Yang di maksud

dengan ahli waris ashab al-furudh adalah ahli waris yang mendapat bagian-

bagian tertentu sebagaimana yang telah di tetapkan oleh syara’ baik besar

maupun kecil.

Bagian- bagian tertentu (al furudh muqaddharah) itu ada enam macam,

yaitu:

a. Seperdua (1/2)

b. Seperempat (1/4)

c. Seperdelapan (1/8)

d. Duapertiga (2/3)

e. Sepertiga (1/3)

f. Seperenam (1/6).

Adapun ahli waris tersebut adalah:

29
Ahmad Rofiq, Op.cit,.h.49
24

1. Anak perempuan, mendapat: ½ jika sendirian dan tidak bersama anak laki-

laki, 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan anak laki-laki.

2. Cucu perempuan, mendapat: ½ jika sendirian dan tidak bersama cucu laki-

laki dan tidak terhijab, 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama cucu

laki-laki, 1/6 jika bersama seorang anak perempuan.

3. Ibu , mendapat: 1/6 jika ada anak atau cucu atau dua orang bersaudara atau

lebih, 1/3 jika tidak meninggalkan anak atau cucu atau dua orang saudara

atau lebih.

4. Ayah , mendapat: 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, 1/6 jika +

sisa jika tidak ada anak laki-laki dan cucu laki-laki.

5. Suami (duda), mendapat: ½ jika tidak meninggalkan anak atau cucu, ¼ jika

ada anak atau cucu.

6. Istri (janda), mendapat: ¼ jika tidak ada anak atau cucu, 1/8 jika ada anak

atau cucu.

7. Saudara perempuan seayah, mendapat: ½ jika sendiri dan tidak ada saudara

laki-laki maupun saudara perempuan seayah, 2/3 jika lebih dari seorang dan

tidak bersama saudara laki-laki atau saudara perempuan seayah, 1/6 jika

bersama dengan saudara perempuan kandung.

8. Saudara perempuan seibu, mendapat: 1/6 jika hanya sendirian saja, 1/3 jika

dari seorang laki-laki maupun perempuan atau mereka berhimpun laki-laki

dengan perempuan.
25

9. Saudara perempuan kandung, mendapat: ½ jika sendirian dan tidak ada

saudara laki-laki, 2/3 jika lebih dari seorang dan tidak bersama saudara laki-

laki.

10. Saudara laki-laki seibu, mendapat: 1/6 bila dia adalah seorang, 1/3 untuk

dua orang atau lebih.

11. Kakek , mendapat: 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu, mendapat sisa

harta bila tidak ada anak atau cucu laki-laki, 1/6 kemudian sisa harta bila

bersamanya ada anak atau cucu perempuan.

12. Nenek, mendapat: 1/6 selama tidak terhijab oleh ahli waris

yang lain.30

2. Ahli waris ashabah.

Ahli waris ashabah adalah ahli waris yang berhak namun tidak dijelaskan

bagiannya dalam al-Qur’an dan Hadist Nabi. Dia menerima hak dalam urutan

kedua. Dia mengambil seluruh harta bila tidak ada bersamanya ahli waris dzawu

al- furudh dan mengambil sisa harta setelah diberikan lebih dahulu kepada ahli

waris dzawu al- furudh yang ada bersamanya.31 Apabila harta warisan itu masih

bersisa hendaknya diberikan kepada ahli waris laki-laki yang terdekat hubungan

keluarganya dengan pewaris.

Ulama Sayyid Sabiq membagi ashabah kepada dua bagian yaitu:

- Ashabah Nasabiyah, yaitu berdasarkan adanya hubungan kekerabatan.

- Ashabah Sababiyah, yaitu berdasarkan adanya sebab memerdekakan

budak.Selanjutnya ashabah nasabiyah itu terbagi atas tiga golongan, yaitu:


30
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih,(Bogor: Kencana,2003), Cet 1,h.163-165
31
Ibid,h.165
26

1) Ashabah bi Nafsi, yaitu golongan laki-laki yang dipertalikan orang yang

meninggal tanpa diselingi oleh perempuan. Ashabah ini mempunyai empat

jihat:

a) Jihat Bunuwwah (anak keturunan), yaitu anak laki-laki dari orang yang

meninggal dunia dari keturunannya terus ke bawah.

b) Jihat Ubuwwah (bapak dan Leluhur), yaitu meliputi ayah, dan kakek dari

orang yang meninggal dan seterusnya ke atas.

c) Jihat Ukhuwwah (saudara dan keurunannya), meliputi saudara laki-laki

sekandung saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki

sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seterusnya ke

bawah.

d) Jihat ummah (paman dan keturunannya), meliputi paman sekandung,

paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki

dari paman seayah.

2) Ashabah bil Ghairi, terbatas kepada empat orang perempuan yang meliputi:

a) Anak perempuan, termasuk kedalam golongan ashabah dengan

saudaranya laki-laki.

b) Cucu perempuan.

c) Saudara perempuan sekandung, termasuk kedalam golongan ashabah

apabila dia mewarisi bersama saudara laki-laki.

d) Saudara perempuan seayah, apabila ia bersama saudara laki-laki seayah

dengan demikian masing-masing mereka menjadi ashabah bersama


27

saudara laki-lakinya dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat dari

bagian perempuan.

3) Ashabah ma’al ghairi khusus untuk saudara perempuan sekandung atau

perempuan seayah, yang mewarisi harta bersama dengan anak-anak

perempuan atau cucu perempuan dengan syara mereka tidak bersama

dengan saudara laki-laki, ashabah ini dikatakan juga dengan ahli waris

perempuan yang membutuhkan ahli waris perempuan lainnya untuk

menjadi ahli waris ashabah.32

1. Ahli waris Dzawu al-Arham

Ahli waris Dzawu al-Arham adalah orang-orang yang mempunyai

hubungan kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya

dalam al-Qur’an dan atau Hadis Nabi sebagai dzawu al-furudh dan tidak

pula dalam kelompok ashabah. Bila kerabat yang menjadi ashabah adalah

laki-laki, maka Dzawu al-Arham itu adalah perempuan atau laki-laki

melalui garis keturunan perempuan.33

Dzawu al-Arham dapat dikelompokan menjadi empat kelompok sesuai

dengan garis keturunan yaitu:

1. Garis keturunan lurus kebawah yaitu:

a. Anak laki-laki atau anak perempuan dari anak perempuan dan

keturunannya.

b. Anak laki-laki atau anak perempuan dari cucu perempuan dan

keturunannya.
32
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Ter, Muzakir,(Bandung:Al Ma’arif,1993),h.260
33
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:Kencana, 2004), h.149.
28

2. Garis keturunan lurus keatas yaitu:

a. Ayah dari ibu dan seterusnya keatas.

b.Ayah dari ibunya dan seterusnya keatas

c.Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya keatas.

3. Garis keturunan kesamping poertama yaitu:

a. Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya.

b.Saudara laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya

kebawah

4. Garis keturunan kesamping kedua yaitu:

a. Saudara perempuan (kandung, seayah dan seibu) dari ayah dan anaknya.

b.Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya kebawah.

c.Saudara laki- laki atau perempuan (kandung, seayah dan seibu) dari ibu dan

seterusnya kebawah.34

34
Amir Syarifuddin, Loc.cit.

Anda mungkin juga menyukai