Anda di halaman 1dari 30

KITAB

FAROIDH

Disusun oleh: Ahmad Baidlowi


Tangerang, Nopember 2016

1
Pelajaran 1
Ilmu Faroidh:
Definisi, Objek, Tujuan, Sumber Hukum dan Urgensi

A. Definisi Ilmu Faroidh

Menurut bahasa, kata al-faraidh ( )adalah bentuk jamak dari kata al-fariidhah (
) yang bermakna at-taqdiir ( ) yaitu ketentuan. Artinya, pembagian yang telah
ditentukan kadarnya.

Sedangkan secara terminologi adalah:

Ilmu faraidh adalah ilmu untuk mengetahui tata cara pembagian harta peninggalan
(tirkah) kepada yang berhak menerimanya.

B. Objek dan Tujuan Ilmu Faroidh

Objek kajian ilmu faroidh adalah at-tirkah () , yaitu harta peninggalan si mayit.
Sedangkan tujuan ilmu faroidh adalah untuk memenuhi hak para mustahiq yang berhak
menerimanya, baik yang berhubungan dengan fardh (bagian yang sudah pasti besar
kecilnya, tashib (mewarisi dengan jalan menerima sisa), maupun keduanya.

C. Sumber Hukum Ilmu Faroidh

Sumber-sumber hukum ilmu faroidh adalah Al-Quran, As-Sunnah Nabi SAW, dan
Ijma para ulama. Ijtihad atau qiyas dalam ilmu faroidh tidak memiliki ruang gerak,
kecuali jika ia sudah menjadi ijma para ulama.

Al-Quran

Dari sumber hukum yang pertama yakni Al-Quran, setidaknya ada beberapa yang
memuat tentang hukum waris, berikut ayat-ayat tersebut:

Ayat pertama, berbicara tentang warisan anak laki-laki dan perempuan serta ayah dan
ibu (al-furu dan al-ushul), seperti termaktub dalam firman Allah SWT.,

2
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-
anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta, dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisaa(4) : 11).

Ayat kedua, berbicara tentang warisan untuk suami-istri, anak-anak ibu (saudara seibu
bagi si mayit) laki-laki maupun perempuan, termaktub dalam firman Allah SWT.,

Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu
mempunyai anak, maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisaa(4) : 12).

Ayat ketiga, berbicara tentang warisan untuk saudara laki-laki maupun perempuan,
termaktub dalam firman Allah SWT.,

Artinya : mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah (kalalah ialah: seseorang mati
yang tidak meninggalkan ayah dan anak). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (An-Nisaa(4) : 176).

Ayat keempat, berbicara tentang hak para penerima waris baik laki-laki maupun
perempuan dan bagiannya, dalam firman Allah SWT.,

Artinya : bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (An-
Nisaa(4) : 7).

Ayat kelima, berbicara tentang dasar waris mewarisi dalam Islam yakni hubungan
kerabat, bukan hubungan keagamaan atau lainnya seperti hubungan muhajirin dan anshar
pada permulaan Islam, dalam firman Allah SWT.,

Artinya : dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang
mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada
yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (Al-Anfaal (8) : 75).

4
Ayat keenam, berbicara tentang keutamaan kerabat atau keluarga dibanding orang
lainnya dalam hal waris dan aturan wasiat untuk orang lain tidak boleh lebih dari
sepertiga, dalam firman Allah SWT.,

Artinya : Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka
sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah
daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat
baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di
dalam kitab (Allah). (Al-Ahzaab (33) : 6)

Sunnah Nabi SAW

( ) , :

Artinya : Rasulullah SAW bersabda : Berikanlah harta waris kepada orang-orang yang
berhak, sesudah itu, sisanya, yang lebih utama adalah orang laki-laki. ( HR. Bukhori &
Muslim).

) , :
(

Artinya : Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada
setiap yang memiliki hak, maka tidak ada wasiat bagi pewaris. ( HR. Abu Daud &
Tirmidzi).

Ijma

Para sahabat, tabiin (generasi pascasahabat) dan tabiit tabiin (generasi pasca-
tabiin)telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tiada seorangpun
yang menyalahi ijma tersebut.

D. Hukum dan Urgensi Mempelajari dan Mengamalkan Ilmu Faraidh

Hukum mempelajari ilmu faroidh adalah fardhu kifaayah (apabila salah seorang dari
suatu kaum mempelajari ilmu faroidh maka gugur kewajiban bagi yang lainnya),
sedangkan hukum mengamalkan atau mempergunakan ilmu faroidh adalah wajib.

Berikut hadits-hadits Nabi SAW yang menjelaskan tentang anjuran mempelajari dan
mengajarkan ilmu faroidh.

5
:
. :

Artinya : Abdullah bin Amr bin al-Ash r.a. berkata bahwa Nabi SAW bersabda: Ilmu
itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat
muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi SAW yang dilaksanakan dan Ilmu
faroidh. (HR. Ibnu Majah).

Sabda Nabi SAW lainnya adalah:


Ibnu Masud ra. Berkata bahwa Nabi SAW bersabda : Pelajarilah ilmu faraidh serta
ajarkanlah kepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akan direngut (mati),
sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akan tampak, sehingga dua orang yang
bertengkar tentang pembagian warisan, mereka berdua tidak menemukan seorangpun yang
sanggup meleraikan mereka. (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi SAW bersabda: Pelajarilah ilmu faraidh serta
ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraidh setengahnya ilmu, ia
akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku. (HR. Ibnu Majah
dan Darquthni).

Artinya : Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan
setengah dari ilmu, ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku. (HR.
Ibnu Majah, al-Hakim dan Baihaqi).

Ilmu faraidh merupakan ilmu yang digunakan untuk mencegah perselisihan-


perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang mempelajarinya
mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Ini karena ilmu faraidh
merupakan bagian dari ilmu-ilmu Qurani dan produk agama. Hanya Allah lah yang
menguasakan ketentuan faraidh, dan Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada seorang
raja maupun kepada para nabi-Nya.

Karena pentingnya ilmu faraidh, para ulama salaf dan khalaf sangat memperhatikan
ilmu ini, sehingga mereka menghabiskan waktu untuk menelaah, mengajarkan,
menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraidh dan mengarang beberapa buku tentang faraidh.
Merka melakukan hal tersebut karena anjuran Rasululllah SAW. Umar ibnul Khaththab
telah berkata: Pelajarilah ilmu faraidh, karna ia sesungguhnya termasuk bagian dari
agama kalian. Amiirul Muminiin berkata lagi: jika kalian berbicara, bicaralah dengan
ilmu faraidh, dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan.
Amiirul Muminiin berkata kembali: Pelajarilah ilmu faraidh, ilmu nahwu, dan ilmu
hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Quran.

6
Pelajaran 2
Tirkah dan Hak-Hak yang Terkait

A. Pengertian Tirkah

At-Tirkah ( ) adalah masdar bermakna maful yang berarti al-matruuk (sesuatu


yang ditinggalkan). Tirkah menurut bahasa yaitu sesuatu yang ditinggalkan dan disisakan
oleh seseorang. Sedangkan menurut istilah adalah seluruh yang ditinggalkan mayyit
berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak.

Dengan demikian, tirkah mencakup empat hal berikut:

1. Kebendaan, berupa benda-benda bergerak dan benda-benda tetap

2. Hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan, seperti hak monopoli untuk


mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan, sumber air minum, dan lain
sebagainya. Termasuk juga hak kemanfaatan, seperti memanfaatkan barang yang
disewa dan dipinjam. Hak yang yang bukan kebendaan, seperti hak syufah (hak beli
yang diutamakan untuk salah seorang anggota serikat atau tetangga atas tanah,
pekarangan atau lain sebagainya, yang dijual oleh anggota serikat yang lain atau
tetangganya), dan hak khiyar, seperti khiyar syarat.

3. Sesuatu yang dilakukan oleh mayyit sebelum ia meninggal dunia, seperti khamar yang
telah menjadi cuka setelah ia wafat, dan jerat yang menghasilkan binatang buruan
setelah ia meninggal dunia. Keduanya dapat diwariskan kepada ahliwaris si mayyit.

4. Diyat (denda) yang dibayarkan oleh pembunuh yang melakukan pembunuhan karena
khilaf.

B. Hak-hak yang terkait dengan Tirkah

Ketika seseorang meninggal dunia, entah si mayyit meninggalkan harta peninggalan


(tirkah) atau tidak. Seandainya ia memiliki harta peninggalan, maka tirkah tersebut
berkaitan erat dengan lima hak berikut:

1. Biaya-biaya perawatan jenazah/mayit.

2. Hak-hak yang terkait dengan harta waris/tirkah

3. Utang-utang mursalah

4. Wasiat

5. Harta Waris

7
1. Biaya-biaya Perawatan dan Penguburan Mayit

Biaya perawatan diambil dari harta peninggalan mayit menurut ukuran yang wajar,
tidak berlebih-lebihan dan tidak dikurang-kurangi. Karena biaya-biaya perawatan mayit
merupakan perkara penting yang erat kaitannya dengan hak mayit, menjaga kehormatan,
dan kemuliaan kemanusiaannya dalam harta dan kuburnya.

Perawatan mayit yang dimaksud ialah segala sesuatu yang dibutuhkan mayit sejak ia
meninggal dunia sampai berbaring didalam kubur, yakni berupa biaya-biaya untuk
memandikan, menkafani, mengusung, menggali kuburan dan menguburkannya dan biaya
perawatan mayit lainnya. Apabila si mayit tidak meninggalkan warisan, biaya tersebut
harus dipikul oleh keluarganya, kalau tidak ada keluarga maka biaya diambil dari baitul
maal, dan jika baitul maal pun tidak memunkinkan, maka biaya tersebut ditanggung oleh
seorang muslim yang mengetahui kondisi tersebut.

2. Hak-hak yang terkait dengan harta waris

Termasuk dalam hak-hak ini adalah utang yang digadaikan, diyah jinayah (denda
tindakan kriminal) seorang budak, dan zakat yang diwajibkan pada harta benda sebelum
menjadi tirkah.

Menurut kalangan Hanabilah, utang-utang ini erat kaitannya dengan harta waris
dimana penunaiaannya dilaksanakan setelah pembiayaan untuk si mayit dikeluarkan.
Artinya pembiayaan perawatan mayit lebih didahulukan ketimbang utang-utang tadi,
sedangkan kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa hak-hak
yang terkait dengan warisan didahulukan daripada biaya yang harus dikeluarkan untuk si
mayit.

3. Utang-utang Mursalah

Adapun yang dimaksud dengan utang-utang mursalah adalah utang-utang muthlaqah,


yakni utang yang tidak berkaitan dengan wujud harta peninggalan, tetapi berkaitan
langsung dengan tanggungan si mayit. Utang-utang ini semuanya berkaitan erat dengan
tirkah. Baik utang-utang ini berupa utang kepada Allah, seperti utang zakat, Kaffarah dan
haji yang wajib, ataupun utangnya kepada anak adam, seperti utang qiradh, utang barang,
upah dan lain sebagainya.

4. Wasiat

Para ulama telah bersepakat bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya
adalah haram, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah SWT telah
memberikan faraidh, kemudian Dia berfirman:

.......




8


..........tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris dengan berwasiat
yang bertentangan dengan ketentuan). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa:12-14).

Dengan ayat diatas, wasiat untuk ahli waris dikategorikan sebagai pelanggaran
terhadap ketentuan Allah, karena wasiat itu akan memberikan tambahan kepada sebagian
ahli waris yang telah diberikan harta waris kepadanya. Abu Umamah r.a., berkata, Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, sungguh, Allah telah memberikan hak kepada
setiap yang berhak. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi orang yang mendapatkan
warisan.(HR. Al-khamsah, kecuali an-nasai).

Adapun wasiat untuk selain ahli waris hukumnya boleh dan sah, dengan jumlah
maksimal sepertiga dari harta warisan atau kurang dari sepertiga. Wasiat dengan sepertiga
bagian selaras dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.r. yang
berkata, Jikalau manusia mengganti sepertiga menjadi seperempat bagian, sesungguhnya
Nabi SAW telah bersabda, sepertiga, sebab sepertiga itu sudah banyak.(HR. Muttafaq
Alaih)

5. Harta Waris

Adapun yang dimaksud dengan harta waris adalah pergantian yang berhubungan
dengan si mayit dalam harta dan haknya, baik secara kerabat, perkawinan, maupun wala.
Setelah empat hak tersebut ditunaikan, barulah sisa harta waris dibagikan kepada ahli
waris sesuai bagian mereka masing-masing. Perhatikan firman Allah SWT surah An-Nisa
ayat 12 yang berbunyi: ....sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).....

Pembagian harta waris dimulai dari para ahli waris ash-habul furudh (ahli waris yang
bagiannya telah ditetapkan dalam syariat). Namun, jika harta waris masih tersisa, sisanya
dibagikan kepada ajli waris ash-habul ashabah (ahli waris yang bagiannya tidak
ditetapkan dalam syariat). Ini sesuai dengan hadits Nabi SAW, Berilah harta waris
kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu, sisanya untuk orang laki-laki yang lebih
utama.(HR.Muttafaq Alaih).

9
Pelajaran 3
Waris:
Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang dalam hukum waris

A. Pengertian Waris

Waris adalah peralihan atau pergantian kepemilikan atau hak dari yang mewariskan
kepada orang memiliki hubungan dengan pewaris, baik hubungan kekerabatan,
pernikahan, maupun wala yang terjadi setelah wafatnya orang yang mewariskan.

B. Rukun Waris

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk pelaksanaan hukum waris. Adapun
rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga:
1. Al-Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun
mati hukmiy (suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar
beberapa sebab.

2. Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak
mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.

3. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan atau At-Tirkah

Itulah rukun waris. Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada, waris-mewarisi pun
tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak punya ahli waris atau
mempunyai ahli waris, tapi tidak mempunyai harta waris, maka waris-mewarisi pun tidak
dapat dilakukan karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.

C. Syarat-syarat Waris

Syarat adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada hukum. Dengan
demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris.
Meskipun rukun-rukun waris terpenuhi, tidak serta-merta harta waris dapat langsung
dibagikan. Adapun syarat-syarat waris adalah sebagai berikut:
1. Matinya orang yang mewariskan (Al-Muwarrits), orang yang mewariskan harus
dipastikan kematiannya, menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki (sejati);
2) mati hukmiy (menurut putusan hakim); dan 3) mati taqdiry (menurut perkiraan).

2. Hidupnya Ahli waris (Al-Warits), ahli waris harus dipastikan benar-benar hidup, baik
secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian si mayit, sekalipun hanya sebentar.

3. Ilmu/pengetahuan untuk melaksanaan waris-mewarisi, seperti pengetahuan tentang


silsilah hak mewarisi secara terperinci, sebab-sebab yang mengikat hubungan antara
ahli waris dan si mayit, tata cara pembagian dan pengetahuan lainnya.

D. Sebab-Sebab Mewarisi
10
Sebab-sebab mewarisi yang disepakati ada tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Kekerabatan, kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan


dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun
jauh. Adapun dalil-dalil warisan karena sebab kekerabatan, antara lain: Surah An-
Nisa ayat 11,12 dan 176.

2. Pernikahan, pernikahan adalah hubungan yang terjadi akibat adanya akad yang sah
(menurut syariat) sekalipun hubungan intim dan khulwah belum dilakukan.
Diriwayatkan oleh al-khamsah sebagai berikut:

Dari Alqamah, dari Abdullah ibnu Masud r.a., bahwasanya dia telah
memutuskan perkara seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, yang
belum mengadakan hubungan intim. Sesungguhnya, isteri laki-laki tersebut
berhak mewarisi harta peninggalan suaminya. Maqal bin Sannan al-Asyjai
menyaksikan Nabi saw. telah memutuskan perkara Buru binti Wasyiq seperti
yang diputuskan oleh Abdullah ibnu Masud.

Dengan demikian isteri mewarisi harta dari suaminya dan juga sebaliknya suami
mewarisi harta dari isterinya. Adapun dalil Al-Quran tentang warisan sebab
pernikahan pada surah An-Nisa ayat 12.

3. Wala, wala berarti tetapnya hukum syara karena membebaskan budak, dalam
konteks ini yang dimaksud adalah wala al-ataqah adalah ushubah yaitu hubungan
antara pemilik budak dan budak, seperti hubungan orang tua dan anaknya.
Penyebabnya dalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya
dengan membebaskan budak. Rasulullah saw. bersabda dalam perkara barirah r.a.,
Hak wala itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya. (HR. Mutafaq
Alaih).

E. Penghalang dalam Hukum Waris

Penghalang-penghalang dalam hukum waris yang disepakati ada tiga, yaitu:

1. Berlainan Agama, para ulama fiqih bersepakat bahwasanya, berlainan agama antara
orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu
penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Rasulullah saw bersabda: Orang
Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan oran kafir tidak dapat mewarisi
harta orang Islam.(HR. Mutafaq Alaih).

2. Perbudakan, perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau dari


dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari ahli
warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Nabi saw. bersabda:
Siapa yang menjual seorang hamba sedangkan dia memiliki harta, maka hartanya

11
tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba tersebut mensyaratkannya
(supaya harta tidak menjadi milik tuannya). (HR.Ibnu Majah).

3. Pembunuhan, pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang


lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa
pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hukum waris. Dengan demikian
seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuhnya.
Nabi saw. bersabda: Seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun.
(HR. Abu Daud).

12
Pelajaran 4
Ahli Waris:
Pengelompokkan Ahli waris dan cara mewarisi

A. Pengelompokkan Ahli Waris

Pengelompokkan ahli waris dari segi sebab-sebab mewarisi ada tiga kelompok yaitu:
ahli waris yang disebabkan kekerabatan, ahli waris yang disebabkan pernikahan dan ahli
waris yang disebabkan wala.

1. Ahli waris yang disebabkan kekerabatan/nasab mereka adalah;

a) Ushul (leluhur) si mayit: ayah, ibu, kakek dari sisi Ayah, nenek dari sisi ibu, dan
nenek dari sisi ayah dan jalur keatasnya.

b) Furu (keturunan) si mayit: anak lk, anak pr, cucuk lk dari anak lk, cucu pr dan jalur
kebawahnya.

c) Hawasyi qoriibah (keluarga dekat mayit dari jalur horizontal): saudara kandung lk,
saudara kandung pr, saudara lk se-ayah, saudara pr se-ayah, saudara lk se-ibu, saudara
pr se-ibu, anak dari saudara kandung lk, anak dari saudara lk se-ayah.

d) Hawasyi baidah (keluarga jauh mayit dari jalur horizontal): Paman sekandung,
paman se-ayah, anak dari paman sekandung dan anak dari paman se-ayah.

2. Ahli waris yang disebabkan pernikahan mereka adalah suami dan isteri

3. Ahli waris yang disebabkan wala adalah Mutiq (seorang lelaki yang membebaskan
budak) dan Mutiqah (seorang wanita yang membebaskan budak)

Kemudian pengelompokan ahli waris dari segi gender yakni laki-laki dan perempuan:

a) Ahli waris laki-laki ada 15 mereka adalah: anak lk, cucu lk dari anak lk, ayah, kakek,
saudara lk sekandung, saudara lk se-ayah, saudara lk se-ibu, anak lk dari saudara lk
sekandung, anak lk dari saudara lk se-ayah, paman sekandung, paman se-ayah, anak
lk dari paman sekandung, anak lk dari paman se-ayah, suami dan mutiq.

b) Ahli waris wanita ada 10 mereka adalah: anak pr, cucu pr dari anak lk, ibu, nenek dari
sisi ibu, nenek dari sisi ayah, saudara pr sekandung, saudara pr se-ayah, saudara pr se-
ibu, isteri dan mutiqah.

13
B. Cara mewariskan

Untuk membagikan atau memberikan warisan kepada ahli waris si mayit, ada dua
cara yang dapat dilakukan, yakni fardh dan tashib atau ashabah. Fardh adalah bagian
untuk ahli waris yang besarannya telah ditentukan dalam syariat, adapun tashib adalah
bagian untuk ahli waris yang besarannya tidak ditentukan dalam syariat.

Mewariskan secara fardh yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris sesuai
dengan bagian yang telah ditentukan, seperti setengah, seperempat, seperdelapan,
duapertiga, sepertiga, dan seperenam. Adapun yang dimaksud dengan mewariskan secara
tashib yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris, yang besar bagiannya tidak
ditentukan. Dalam suatu kasus, ahli waris ashabah bisa mewarisi seluruh harta si mayit,
jika ia sendirian dan dalam kasus lain ia bisa mewarisi sisa, setelah bagian ash-habul
furuudh diberikan.

Pengelompokan ahli waris dari cara mewarisi ada empat kelompok, yaitu:

1. Ahli waris yang hanya mewarisi secara fardh (yang menerima bagian tetap),
berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibu, saudara lk se-ibu, saudara pr se-ibu, nenek dari ibu,
nenek dari ayah, suami, dan isteri.

2. Ahli waris yang hanya mewarisi secara tashib berjumlah dua belas yaitu: anak lk,
cucu lk dari anak lk, saudara lk kandung, saudara lk se-ayah, anak lk dari saudara lk
kandung, anak lk dari saudara lk se-ayah, paman sekandung, paman se-ayah, anak lk
dari paman sekandung, anak lk dari paman se-ayah, mutiq dan mutiqah.

3. Ahli waris yang sewaktu-waktu mewarisi secara fardh, tashib, atau keduanya (fardh
dan tashib). Ahli waris ini adalah ayah dan kakek.

14
4. Ahli waris yang mewarisi dengan jalan fardh pada suatu ketika dan disaat lain
mewarisi dengan jalan tashib. Ahli waris seperti ini ada empat yaitu: anak pr, cucu pr
dari anak lk, saudara pr sekandung dan saudara pr se-ayah.

15
Pelajaran 5
Mewariskan secara fardh

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk memberikan warisan kepada
ahli waris si mayit dapat dilakukan dengan dua cara, yakni fardh dan tashib. Mewariskan
secara fardh didahulukan daripada mewariskan secara tashib, berdasarkan sabda Nabi
saw, berikanlah harta waris kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk
orang laki-laki yang utama.

Bagian-bagian waris yang telah ditetapkan dalam Al-Quran (al-furuudh


almuqaddarah) ada enam yaitu: setengah, seperempat, seperdelapan, duapertiga, sepertiga,
dan seperenam. Berikut diuraikan para ahli waris yang mendapat bagian yang telah
ditetapkan:

A. Ashabun Nishfi

Ahli waris yang mendapat bagian 1/2 (setengah) ada lima mereka adalah:

1. Suami, apabila mayit tidak memiliki keturunan

2. Anak pr, apabila seorang dan tidak ada muassibnya (anak lk)

3. Cucu pr dari anak lk, apabila seorang dan tidak ada muassibnya (cucu lk dari anak
lk), serta tidak mewarisi bersama anak lk, anak pr dan ayah.

4. Saudara pr sekandung, apabila seorang dan tidak ada muassibnya (saudara lk


sekandung), serta tidak mewarisi bersama anak lk, anak pr, cucu lk ari anak lk,
cucu pr dari anak lk dan ayah.

5. Saudara pr se-ayah, apabila seorang dan tidak ada muassibnya (saudara lk se-
ayah), serta tidak mewarisi bersama anak lk, anak pr, cucu lk ari anak lk, cucu pr
dari anak lk, ayah, dan saudara sekandung baik laki maupun perempuan.

B. Ashabur Rubi

Ahli waris yang mendapat bagian 1/4 (seperempat) ada dua mereka adalah:

1. Suami, apabila mayit (isteri) memiliki keturunan.

2. Isteri, apabila mayit (suami) memiliki keturunan.

C. Ashabuts Tsumun

16
Ahli waris yang mendapat bagian 1/8 (seperdelapan) adalah istri atau para isteri,
apabila mayit (suami) memiliki keturunan.

D. Ashabuts Tsulutsaini

Ahli waris yang mendapat bagian 2/3 (duapertiga) ada empat mereka adalah:

1. 2 anak pr atau lebih, apabila tidak ada muashibnya (anak lk).

2. 2 cucu pr dari anak lk atau lebih, apabila tidak ada muasibnya (cucu lk dari anak
lk) dan tidak mewarisi bersama anak lk.

3. 2 saudara pr sekandung atau lebih, apabila mayit tidak memiliki keturunan dan
ayah serta tidak mewarisi beserta muasibnya (saudara lk sekandung).

4. 2 saudara pr se-ayah atau lebih, apabila mayit tidak memiliki keturunan, ayah dan
saudara sekandung baik laki-laki atau perempuan, serta tidak mewarisi beserta
muasibnya (saudara lk sekandung).

E. Ashabuts Tsuluts

Ahli waris yang mendapat bagian 1/3 (sepertiga) ada dua mereka adalah:

1. Ibu, apabila mayit tidak memiliki keturunan dan tidak mewarisi bersama 2 orang
saudara atau lebih, baik saudara sekandung, se-ayah dan se-ibu, baik itu saudara
laki-laki maupun perempuan.

2. 2 orang saudara se-ibu atau lebih baik laki-laki atau perempuan, apabila tidak
terhalang dengan ahli waris lainnya.

F. Ashabus Sudus

Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 (seperenam) ada tujuh mereka adalah:

1. Ayah, apabila mayit memiliki keturunan

2. Kakek, apabila mayit memiliki keturunan dan tidak mewarisi bersama ayah.

3. Ibu, apabila mewarisi bersama anak lk, cucu lk dari anak lk, dan 2 orang atau lebih
dari saudara mayit baik saudara sekandung, se-ayah dan se-ibu, baik itu saudara laki-
laki maupun perempuan.

4. Cucu pr dari anak lk, apabila ada 1 orang anak pr dan tidak mewarisi bersama
muasibnya (cucu lk) serta tidak terhalang oleh anak lk.

17
5. Saudara pr se-ayah (1 orang atau lebih), apabila tidak ada muasibnya (saudara lk se-
ayah) dan tidak mewarisi bersama 1 orang saudara pr sekandung.

6. Saudara se-ibu lk/pr, apabila hanya seorang dan tidak terhalang oleh ahli waris
lainnya.

7. Nenek, apabila tidak terhalang.

18
Pelajaran 6
Mewarisi secara ashabah

A. Pengertian

Definisi ashabah adalah laki-laki dari kerabat si mayit, dimana dalam nisbatnya ke
mayit. Dalam istilah ulama fiqih, ashabah berarti ahli waris yang tidak mempunyai
bagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati para ulama (seperti ash-
habul furudh). Mewariskan secara tashib yaitu memberikan harta waris kepada ahli waris,
yang besar bagiannya tidak ditentukan. Dalam suatu kasus, ahli waris ashabah bisa
mewarisi seluruh harta si mayit, jika ia sendirian dan dalam kasus lain ia bisa mewarisi
sisa, setelah bagian ash-habul furuudh diberikan.

B. Macam-macam ashabah

Ashabah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Ashabah bin nafsi

2. Ashabah bil ghoir

3. Ashabah maal ghoir

Ashabah Bin Nafsi

Ashabah bin nafsi atau menjadi ashabah dengan dirinya sendiri adalah setiap laki-
laki yang sangat dekat hubungan kekerabatannya dengan si mayit. Mereka adalah mutiq
dan mutiqah serta seluruh ahli waris laki-laki kecuali suami dan saudara lk se-ibu.

Ashabah Bil Ghoir

Ashabah bil ghoir adalah setiap perempuan yang mempunyai bagian tertentu, yang
ada bersama laki-laki yang sederajat dengannya, dalam keadaan seperti ini ia menjadi
ashabah dengan laki-laki itu. Laki-laki tersebut disebut dengan istilah muashib bagi
perempuan yang sederajat dan bersama-sama mewarisi dengan jalur ashabah yang mana
bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan atau bagian perempuan setengah dari
bagian laki-laki/muashibnya. Mereka yang termasuk ashabah bil ghoir ada empat
kelompok sebagaimana berikut:

1. Anak perempuan menjadi ashabah dikarenakan keberadaan saudaranya yaitu anak


laki-laki dari si mayit.

2. Cucu pr dari anak lk menjadi ashabah dikarenakan keberadaan saudaranya yaitu


cucu lk dari anak lk dari si mayit.

3. Saudara pr sekandung menjadi ashabah dikarenakan keberadaan saudaranya yaitu


saudara lk sekandung dari si mayit.

19
4. Saudara pr se-ayah menjadi ashabah dikarenakan keberadaan saudaranya yaitu
saudara lk se-ayah dari si mayit.

Ashabah Maal Ghoir

Ashabah maal ghoir adalah setiap perempuan yang berhak mendapatkan bagian
tetap bisa menjadi ashabah jika mewarisi bersama perempuan yang lain, dan ini khusus
untuk saudara pr kandung atau saudara pr se-ayah yang mewarisi bersama furu
perempuan sebagaimana berikut:

1. Saudara perempuan kandung yang mewarisi bersama anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak lk atau ada bersama mereka berdua.

2. Saudara perempuan se-ayah yang mewarisi bersama anak perempuan atau cucu
perempuan dari anak lk atau ada bersama mereka berdua.

20
Pelajaran 7
Asal Masalah

Asal masalah(ashlul Mas'alah) dalam hukum waris adalah bilangan yang paling
sedikit atau kecil yang bisa diambil darinya, bagian para ahli waris secara benar tanpa ada
bilangan pecahan, dan besarnya bagian itu berbeda sesuai dengan perbedaan para ahli
waris yang ada. Jika ahli waris hanya satu orang dari keiompok mana pun, tidak perlu lagi
mengeluarkan asal masaalah, karena tidak ada orang lain yang bersamanya untuk
mengambil harta waris.

Apabila ahli waris tersebut lebih dari satu dan semuanya menjadi ashabah, asal
masalahnya adalah jumlah dari para ahli waris-jika semuanya taki-taki. Dengan ungkapan
lain, jika semuanya menjadi 'ashabah bin-nafsi. Contohnya, jika seseorang meninggal
dunia, meninggalkan ahli waris: 4 orang anak taki-taki atau 4 orang saudara, maka asal
masalahnya sudah jelas, yaitu 4, sesuai jumlahnya.

Apabila para ahli waris itu laki-laki dan perempuan, seperti anak laki-taki dan
perempuan atau seperti saudara laki-laki dan perempuan, asal masalahnya adalah jumlah
perempuan ditambah dua kali jumlah laki-laki. Contoh, jika seseorang wafat
meninggalkan seorang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan, maka asal masalahnya
adalah 5, di mana anak laki-laki mendapatkan dua bagian dan setiap anak perempuan
mendapatkan satu bagian.

Apabila seoarang wafat dan meninggalkan ahli waris 3 orang saudara laki-laki dan 3
orang saudara perempuan sebapak, asal masalahny a adalah 9. Setiap saudara laki-laki
mendapatkan dua bagian dan setiap sauara perempuan mendapatkan satu bagian.

Apabila dalam masalah itu ada satu orang ash-habul furudh dan ada satu orang
ashabah, asal masalahnya adalah bilangan penyebut dari pecahan-pecahan yang ada.
Contohnya, apabila seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: seorang istri, 3 orang anak
taki-lak dan 1 orang anak perempuan; asal masalahnya adalah 8, dimana istri mendapatkan
satu bagian tetap (1/8) dan 3 anak laki-laki serta 1 anak perempuan mendapatkan sisa
('ashabah), dengan ketentuan laki-laki mendapatkan dua kali bagian anak perempuan.

Jika ash-habul furudh lebih dari satu, baik ada 'ashabah mau-pun tidak, asal
masalahnya adalah bilangan yang sama dan mudah, di antara bilangan-bilangan yang ada,
baik bilangan tersebut mutamatsilah, mutadakhilah, mutawafiqah, dan mutabayinah.

Misalnya, apabila seseorang wafat, meninggalkan ahli waris: suami, kakek, dan ibu,
maka bagian untuk setiap ahli waris tersebut adalah: suami (1/2), kakek (1/6) dan ibu
(1/3). Asal masalah unmk kasus ini adalah 6 karena itu merupakan bilangan yang bisa
dibagi dengan pecahan lainnya (1/2,1/6/dan1/3), dan dapat dikalikan dengan bagian setiap
ahli waris untuk mendapatkan bilangan yang benar. Dengan demikian, bagian suami (1/2
6=3, bagian kakek (1/6 6=1), dan bagian ibu (1/3 6=2).

Asal masalah dalam ahli waris jika tidak ada aul atau radd, tidak lepas dari bilangan
berikut, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24.
21
Asal Masalah 4 Asal Masalah 5
4 Anak Lk 4 1 Anak Lk 2

3 Anak Pr 3

Asal Masalah 8
1 Isteri 1/8 1 Asal Masalah 9
3 Anak Lk 6 3 saudara lk se-ayah 6

1 Anak Pr 1 3 saudara pr se-ayah 3

Asal Masalah 6 Asal Masalah 2


1 Suami 1/2 3 1 Suami 1/2 1
1 Kakek 1/6 1 1 Saudara Pr Kandung 1/2 1
1 Ibu 1/3 2

Asal Masalah 8
Asal Masalah 3 1 Isteri 1/8 1
2 saudara pr kandung 2/3 2 1 Anak Pr 1/2 4
2 saudara se-ibu 1/3 1 1 Saudara Lk Kandung 3

Asal Masalah Asal Masalah


1 Isteri 2 Saudara pr Kandung
1 Anak Pr 1 saudara pr se-ayah
1 Saudara pr Kandung 1 saudara lk se-ayah

Asal Masalah Asal Masalah


1 Suami 1 Suami
1 Cucu Pr 1 Ayah
1 Saudara pr Kandung 1 Cucu Pr
1 Saudara lk Kandung 1 Cucu Lk

Asal Masalah Asal Masalah


1 Isteri 1 Anak Pr
1 Ibu 1 Cucu Pr
1 Saudara pr Kandung 1 Ibu
1 Cucu Pr 1 Saudara pr Kandung

22
Rangkuman Bagian Tiap-tiap Ahli Waris

1. Anak Laki-laki

Ashabah Bin Nafsi


Dalam keadaan apapun

2. Anak Perempuan

1/2 (Seperdua)
Hanya satu orang anak perempuan
Tidak bersama muashibnya (anak laki-laki)

2/3 (duapertiga)
Berjumlah 2 atau lebih anak perempuan
Tidak bersama muashibnya (anak laki-laki)

Ashabah Bil Ghoir


Mewarisi bersama muashibnya (Anak laki-laki)

3. Cucu Laki-laki

Ashabah Bin Nafsi


Tidak mewarisi bersama anak laki-laki

Mahjub
Adanya ahli waris anak laki-laki

4. Cucu Perempuan

1/2 (Seperdua)
Hanya satu orang cucu perempuan
Tidak bersama muashibnya (Cucu laki-laki)
Tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan

2/3 (duapertiga)
Berjumlah 2 atau lebih cucu perempuan
Tidak bersama muashibnya (Cucu laki-laki)
Tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan

1/6 (seperenam)
Tidak bersama muashibnya (Cucu laki-laki)
Tidak ada anak laki-laki
ada 1 orang anak perempuan

Ashabah Bil Ghoir


Mewarisi bersama muashibnya (cucu laki-laki)

23
Mahjub
Terdapat anak laki-laki atau ada dua orang anak perempuan

5. Suami

1/2 (Seperdua)
Apabila si Mayyit (Isteri) tidak memiliki keturunan (anak/cucu) yang masih hidup.

1/4 (Seperempat)
Apabila ada keturunan (anak/cucu) dari si Mayyit (Isteri).

6. Isteri

1/4 (Seperempat)
Apabila si Mayyit (Suami) tidak memiliki keturunan (anak/cucu) yang masih
hidup.

1/8 (Seperdelapan)
Apabila ada keturunan (anak/cucu) dari si Mayyit (Suami).

7. Ayah

1/6 (Seperenam)
Adanya farun waris laki-laki (Anak Lk/Cucu Lk)

1/6 (Seperenam) + Sisa


Tidak Ada farun waris laki-laki (Anak Lk/Cucu Lk)
Adanya farun waris Perempuan (Anak Pr/Cucu Pr)

Ashabah Bin Nafsi


Mayyit tidak meninggalkan Farun waris baik laki-laki maupun perempuan

8. Ibu

1/3 (Sepertiga)
Tidak adanya farun waris baik laki-laki maupun perempuan.
Tidak adanya 2 orang saudara laki-laki/perempuan atau lebih dari si mayyit, baik
saudara kandung, se-bapak maupun se-ibu.
Tidak dalam kondisi/kasus Umriyataini (kondisi dimana si mayyit hanya
meninggalkan suami/isteri, ayah dan ibu)

1/6 (Seperenam)
Adanya farun waris, baik laki-laki maupun perempuan.
Adanya 2 orang saudara laki-laki/perempuan atau lebih dari si mayyit, baik saudara
sekandung, se-bapak maupun se-ibu.

1/3 (sepertiga) dari Sisa


24
Apabila dalam kondisi/kasus Umariyataini (kondisi dimana si mayyit hanya
meninggalkan suami/isteri, ayah dan ibu)
9. Kakek
1/6 (Seperenam)
Adanya farun waris laki-laki (Anak Lk, Cucu Lk, dst).
Tidak terhalang (Majhub) dengan Ayah dari si mayit.

1/6 (Seperenam) + Sisa


Adanya farun waris Perempuan (Anak Lk, Cucu Lk, dst).
Tidak terhalang (Majhub) dengan Ayah dari si mayit.

Ashabah Bin Nafsi


Tidak ada farun waris baik laki-laki/perempuan.
Tidak terhalang (Majhub) dengan Ayah atau Kakek yang lebih dekat.
Tidak ada saudara (Lk/Pr) baik saudara sekandung maupun saudara se-ayah.

1/3 (Sepertiga)
Hanya ada saudara sekandung atau saudara se-ayah, dan tidak ada ash-habul
furuudh lainnya.
Tidak ada farun waris baik laki-laki/perempuan.
Tidak terhalang (Majhub) dengan Ayah dari si mayit.

1/3 (Sepertiga) dari sisa atau 1/6 (Seperenam)


Ada saudara sekandung atau se-ayah, dan ada ashhabul furuudh lainnya.
Tidak ada farun waris baik laki-laki/perempuan.
Tidak terhalang (Majhub) dengan Ayah dari si mayit.

Mahjuub
Terhalang dengan adanya Ayah dari si mayit

10. Nenek

1/6 (Seperenam)
Tidak terhalang (Majhub) dengan Ibu dari si mayit.

Mahjuub
Terhalang (Majhub) dengan Ibu dari si mayit.

11. Saudara Laki-laki Kandung

Ashabah Bin Nafsi


Tidak terhalang oleh Ayah atau Farun Waris Laki-laki (Anak laki, Cucu laki).

Mahjub
Terhalang oleh Ayah atau Farun Waris Laki-laki (Anak laki, Cucu laki).

25
12. Saudara Perempuan Kandung

1/2 (Seperdua)
Hanya satu saudara kandung perempuan.
Tidak bersama muashibnya (saudara kandung laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris baik laki-laki maupun perempuan.

2/3 (duapertiga)
Berjumlah 2 atau lebih saudara kandung perempuan.
Tidak bersama muashibnya (saudara kandung laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris baik laki-laki maupun perempuan.

Ashabah Bil Ghoir


Mewarisi bersama muashibnya (saudara kandung laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris laki-laki (anak laki-laki, cucu laki-laki).

Ashabah Maal Ghoir


Mewarisi bersama farun waris perempuan (Anak perempuan atau cucu
perempuan)
Tidak mewarisi bersama muashibnya (saudara kandung laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris laki-laki (anak laki-laki, cucu laki-laki).

Mahjuub
Terhalang oleh Ayah atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau cucu laki-
laki).

13. Saudara Laki-laki Se-ayah

Ashabah Bin Nafsi


Tidak terhalang oleh Ayah, atau Farun Waris Laki-laki (Anak laki, Cucu laki),
atau saudara kandung Lk, saudara kandung Pr ketika dalam kondisi ashabah maal
ghoir.

Mahjub
Terhalang oleh Ayah, atau Farun Waris Laki-laki (Anak laki, Cucu laki), atau
saudara kandung Lk, saudara kandung Pr ketika dalam kondisi ashabah maal
ghoir.

26
14. Saudara Perempuan Se-ayah

1/2 (Seperdua)
Hanya satu saudara se-Ayah perempuan.
Tidak bersama muashibnya (saudara se-Ayah laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris baik laki-laki maupun perempuan.
Tidak mewarisi bersama saudara kandung laki-laki atau saudara kandung
perempuan.

2/3 (duapertiga)
Berjumlah 2 atau lebih saudara se-Ayah perempuan.
Tidak bersama muashibnya (saudara se-ayah laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris baik laki-laki maupun perempuan.
Tidak mewarisi bersama saudara kandung laki-laki atau saudara kandung
perempuan.

1/6 (seperenam)
Mewarisi bersama 1 saudara kandung perempuan.
Tidak bersama muashibnya (saudara se-ayah laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris baik laki-laki maupun perempuan.
Tidak mewarisi bersama saudara kandung laki-laki.

Ashabah Bil Ghoir


Mewarisi bersama muashibnya (saudara se-Ayah laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris laki-laki (anak laki-laki, cucu laki-laki).
Tidak mewarisi bersama saudara kandung laki=laki

Ashabah Maal Ghoir


Mewarisi bersama farun waris perempuan (Anak perempuan atau cucu
perempuan)
Tidak mewarisi bersama muashibnya (saudara se-Ayah laki-laki).
Tidak mewarisi bersama ayah.
Tidak mewarisi bersama farun waris laki-laki (anak laki-laki, cucu laki-laki).
Tidak mewarisi bersama saudara kandung laki-laki atau saudara kandung
perempuan.

Mahjuub
27
Terhalang oleh Ayah atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau cucu laki-
laki), atau saudara kandung laki-laki, atau saudara kandung perempuan ketika
dalam kondisi ashabah maal ghoir.
Terhalang oleh 2 saudara kandung perempuan, kecuali saudara se-ayah perempuan
dalam keadaan/kondisi ashabah bil ghoir.

15. Saudara Se-Ibu Lk/Pr

1/6 (Sepertiga)
Hanya 1 orang saudara se-Ibu Lk/Pr
Tidak terhalang oleh ayah, atau kakek, atau farun waris, baik laki-laki maupun
perempuan.

1/3 (seperenam)
2 orang atau lebih saudara se-Ibu Lk dan Pr
Tidak terhalang oleh ayah, atau kakek, atau farun waris, baik laki-laki maupun
perempuan.

Mahjuub
Terhalang oleh ayah, atau kakek, atau farun waris, baik laki-laki maupun
perempuan.

16. Anak Lk dari Saudara Lk Kandung

Ashabah bin Nafsi


Tidak terhalang dengan ahli waris yang menghalanginya.

Mahjuub
Terhalang oleh Ayah, atau Kakek, atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau
cucu laki-laki), atau saudara kandung laki-laki, atau saudara se-Ayah laki-laki, atau
saudara kandung perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir, atau
saudara se-Ayah perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir.

17. Anak Lk dari Saudara Lk Se-ayah

Ashabah bin Nafsi


Tidak terhalang dengan ahli waris yang menghalanginya.

Mahjuub
Terhalang oleh Ayah, atau Kakek, atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau
cucu laki-laki), atau saudara kandung laki-laki, atau saudara se-Ayah laki-laki, atau
anak lk dari saudara kandung Laki-laki, atau saudara kandung perempuan ketika
dalam kondisi ashabah maal ghoir, atau saudara se-Ayah perempuan ketika dalam
kondisi ashabah maal ghoir.

18. Paman Kandung

28
Ashabah bin Nafsi
Tidak terhalang dengan ahli waris yang menghalanginya.

Mahjuub
Terhalang oleh Ayah, atau Kakek, atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau
cucu laki-laki), atau saudara kandung laki-laki, atau saudara se-Ayah laki-laki, atau
anak lk dari saudara kandung Laki-laki, atau anak lk dari saudara se-ayah Laki-
laki, atau saudara kandung perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir,
atau saudara se-Ayah perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir.

19. Paman Se-ayah

Ashabah bin Nafsi


Tidak terhalang dengan ahli waris yang menghalanginya.

Mahjuub
Terhalang oleh Ayah, atau Kakek, atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau
cucu laki-laki), atau saudara kandung laki-laki, atau saudara se-Ayah laki-laki, atau
anak lk dari saudara kandung Laki-laki, atau anak lk dari saudara se-Ayah Laki-
laki, atau saudara kandung perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir,
atau saudara se-Ayah perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir, atau
Paman dari saudara Lk ayah(kandung).

20. Anak Lk dari Paman Kandung

Ashabah bin Nafsi


Tidak terhalang dengan ahli waris yang menghalanginya.

Mahjuub
Terhalang oleh Ayah, atau Kakek, atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau
cucu laki-laki), atau saudara kandung laki-laki, atau saudara se-Ayah laki-laki, atau
anak lk dari saudara kandung Laki-laki, atau anak lk dari saudara se-Ayah Laki-
laki, atau saudara kandung perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir,
atau saudara se-Ayah perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir, atau
Paman dari saudara Lk ayah(kandung), atau Paman dari saudara Lk ayah(se-Ayah).

21. Anak Lk dari Paman Se-ayah

Ashabah bin Nafsi


Tidak terhalang dengan ahli waris yang menghalanginya.

Mahjuub
Terhalang oleh Ayah, atau Kakek, atau farun waris laki-laki (Anak Laki-laki atau
cucu laki-laki), atau saudara kandung laki-laki, atau saudara se-Ayah laki-laki, atau
anak dari saudara kandung Laki-laki, atau anak dari saudara se-Ayah Laki-laki,
atau saudara kandung perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir, atau
saudara se-Ayah perempuan ketika dalam kondisi ashabah maal ghoir, atau Paman
29
dari saudara Lk ayah(kandung), atau Paman dari saudara Lk ayah(se-Ayah), atau
Anak Lk dari Paman dari saudara Lk ayah (kandung).

30

Anda mungkin juga menyukai