Anda di halaman 1dari 7

Ayat-Ayat Mawaris

oleh
Achmad Yani, S.T., M.Kom.

Ketentuan atau hukum atau aturan tentang pembagian harta warisan adalah satu-satunya
ketentuan hukum syariat yang dirinci secara langsung oleh Allah SWT dalam Al-Quran, tidak
seperti ketentuan tentang hukum syariat lainnya, misalnya ketentuan tentang shalat, zakat, puasa,
dan haji. Sebagai contoh, meskipun di dalam Al-Quran ada perintah tentang shalat, ketentuan
tentang cara-cara shalat tidak dijelaskan langsung di dalam ayat-ayat Al-Quran, tetapi dijelaskan
oleh Nabi SAW melalui hadits-hadits beliau.

Adapun ayat-ayat Al-Quran yang menjadi sumber bagi hukum waris Islam secara garis besarnya
dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu ayat-ayat mawaris utama, dan ayat-ayat mawaris
tambahan. Ayat-ayat mawaris utama menyebutkan secara rinci para ahli waris dan bagian
mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8,
2/3, 1/3, dan 1/6. Sementara itu, ayat-ayat mawaris tambahan hanya memberikan ketentuan
umum yang berkaitan dengan pembagian warisan, tetapi tidak memberikan rinciannya.

A. Ayat-ayat Mawaris Utama
Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al-Quran, yang ketiganya berada dalam
Surat An-Nisa, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Terjemahan ketiga ayat ini adalah sebagai berikut:

1. Q.S. An-Nisa ayat 11:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:

Bagian anak perempuan:
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama dengan anak laki-laki
Bagian anak laki-laki:
'ushubah (sisa)
Bagian ibu:
1/6 jika si mayit mempunyai anak atau dua orang saudara atau lebih
1/3 jika si mayit tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih
1/3 dari sisa (dalam masalah gharrawain yang ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan
bapak)
Bagian bapak:
1/6 jika si mayit mempunyai anak laki-laki
'ushubah (sisa) jika si mayit tidak mempunyai anak laki-laki

2. Q.S. An-Nisa ayat 12:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian suami:
1/2 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/4 jika si mayit mempunyai anak
Bagian isteri:
1/4 jika si mayit tidak mempunyai anak
1/8 jika si mayit mempunyai anak
Bagian saudara laki-laki/perempuan seibu (kasus kalalah):
1/6 jika seorang
1/3 dibagi rata jika dua orang atau lebih
(Catatan: kalalah adalah seseorang yang wafat tanpa meninggalkan bapak dan anak)

3. Q.S. An-Nisa ayat 176:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan) jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari gabungan) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kesimpulan atau intisari yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebagai berikut:
Bagian saudara perempuan kandung atau sebapak (kasus kalalah):
1/2 jika seorang
2/3 jika dua orang atau lebih
'ushubah (sisa) jika bersama saudara laki-laki kandung atau sebapak
Bagian saudara laki-laki kandung atau sebapak (kasus kalalah):
'ushubah (sisa)

B. Ayat-ayat Mawaris Tambahan
Beberapa ayat yang dapat dianggap sebagai ayat-ayat mawaris tambahan terdapat di beberapa
surat, antara lain An-Nisa, Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini terjemahan untuk masing-
masing ayat itu.

1. Q.S. An-Nisa ayat 7:
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak)
sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian
yang tidak sama.
Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta
warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat
berjuang (berperang)

2. Q.S. An-Nisa ayat 8:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan agar
memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin
serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka
tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.

3. Q.S. An-Nisa ayat 9:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat
memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan
pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga
kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.

4. Q.S. An-Nisa ayat 10:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka
itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang
ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak)
hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim
itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka,
bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.

5. Q.S. An-Nisa ayat 13:
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan janji balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris
(membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di
akhirat kelak.

6. Q.S. An-Nisa ayat 14:
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-
Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai
dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka di akhirat kelak.

7. Q.S. An-Nisa ayat 19:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada
masa jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau
anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau
dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak
dibolehkan kawin lagi.
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan.
Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari
suaminya yang meninggal lebih dahulu.

8. Q.S. An-Nisa ayat 33:
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia
dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi
antara dua orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi
kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini dinasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-
Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.

9. Q.S. An-Nisa ayat 127:
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (yaitu Surat An-
Nisa ayat 2 dan 3), (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa-apa yang ditetapkan untuk mereka (yaitu harta warisan dan
mahar), sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang
lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
atas hal itu.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit
atau banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sema seperti laki-laki.
Menurut adat Arab Jahiliyah seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan
berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita
itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat
menguasai hartanya. Kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.

10. Q.S. An-Anfal ayat 72:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya
pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (menjadi wali). Dan
(terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan
mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Yang dimaksud lindung-melindungi ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan
yang amat teguh (disebut muakhkhah), untuk membentuk masyarakat yang baik. Demikian
keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-
mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.
Ayat ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan hijrah dan muakhkhah
(persaudaraan antara muhajirin dan anshar) sebagai sebab waris-mewarisi.

11. Q.S. An-Anfal ayat 75:
Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka
orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat
itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar (sebab) waris-mewarisi dalam Islam
ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi
antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 sehingga
hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai
sebab waris-mewarisi.

12. Q.S. An-Ahzab ayat 4 - 5:
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia
tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu di mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan
jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-
bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-
maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti
halnya status hukum isteri tidak sama dengan ibu. Dengan demikian, dalam hal kewarisan, maka
anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua angkatnya. Jadi ayat ini
melarang untuk menyamakan anak angkat dengan anak kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah
yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian
warisan.

13. Q.S. An-Ahzab ayat 40:
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang
sahabat. Dengan demikian, bekas isteri Zaid dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid
adalah anak angkat Rasulullah SAW. Seandainya Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW
disamakan statusnya dengan anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan
isteri Zaid. Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka akan
membawa pengaruh terhadap pembagian warisan.
Seperti juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan pembagian
warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak
kandung dalam pembagian warisan.

Sumber: http://achmadyanimkom.blogspot.com/2010/11/ayat-ayat-mawaris.html

Anda mungkin juga menyukai