Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Tiap-tiap hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia, yaitu

manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, manusia dalam suatu

pergaulan hidupnya. Adanya pergaulan hidup tergantung kepada adanya

manusia yang hidup bersama dan dengan adanya pergaulan hidup itu maka

terdapatlah hukum.

Manusia sebagai mahluk hidup pasti akan mengalami kematian

(meninggal), dan dengan meninggalnya manusia tersebut, maka dibutuhkan

suatu peraturan yang mengatur mengenai harta kekayaan yang

ditinggalkannya.

Dalam Hukum Islam mengenai harta peninggalan diatur dalam Hukum

Waris yang dinamakan Faraid yang artinya pembagian tertentu. Hukum

waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat Alquran

mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti

sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum

waris langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan

ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris.

Sedemikian penting kedudukan hukum waris dalam hukum Islam


sehingga hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni mengajarkan :
“Pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang banyak karena faraid
adalah setengah ilmu dan mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang
pertama kali hilang dari umatku.”

Hadist Nabi riwayat Ahmad bin Hambal memerintahkan :


“Pelajarilah Alquran dan ajarkanlah kepada orang banyak; pelajari
pula faraid dan ajarkanlah kepada orang banyak karena aku adalah
manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang;
hampir-hampir dua orang bersengketa dalam faraid dan masalahnya,
dan mereka tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaimana
penyelesaiannya.”

Dengan demikian, hukum kewarisan Islam merupakan bagian

terpenting dalam agama Islam. Oleh karenanya, tunduk pada hukum

kewarisan Islam merupakan tuntutan keimanannya kepada Allah swt.

Berkesengajaan menyimpang dari ketentuan hukum kewarisan Islam

bertentangan dengan keimanan kepada Allah swt.

Dalam hubungan ini QS An Nisaa’ (4):65 mengajarkan :


“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.”

QS An Nur (24): 51 mengajarkan juga :


“Sesungguhnya jawaban orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah
ucapan,’Kami mendengar, dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang
yang beruntung.”

Khusus mengenai wajib mentaati ketentuan hukum kewarisan Islam,


Alquran dalam menyebutkan rentetan ayat hukum kewarisan mengakhiri
dengan penegasan pada QS An Nisaa’ (4): 13-14,
“(Hukum) itu adalah ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir padanya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa
yang menghinakan.”
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kewarisan

Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta

peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda

yang berwujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada

keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum.

Dari batasan tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa menurut

hukum Islam kewarisan baru terjadi setelah pewaris meninggal dunia.

Dengan demikian, pengoperan harta kekayaan kepada yang termasuk

ahli waris pada waktu pewaris masih hidup tidak dipandang sebagai

kewarisan.

Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum Islam,

yang tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan

dengan pewaris dengan jalan perkawinan (suami isteri) atau dengan

adanya hubungan darah (anak, cucu, orang tua, saudara, kakek, nenek,

dan sebagainya).

2. Sumber Hukum Waris Islam

Sebagaimana sumber hukum Islam pada umumnya, hukum waris

Islam bersumber kepada Alquran, Sunnah Rasul, dan Ijtihad.


A. Alquran

Beberapa ayat Alquran yang mengatur pembagian harta warisan

terdapat dalam QS An Nisaa (4) dan dapat ditambahkan satu ayat

dalam QS Al Anfal (8).

1. QS An Nisaa’ (4): 1 menegaskan tentang kuatnya hubungan


kerabat karena pertalian darah.
2. QS Al Anfaal (8): 75 menegaskan bahwa hak kerabat karena
pertalian darah, sebagian lebih diutamakan dari sebagian yang
lain.
3. QS An Nisaa’ (4): 7 memberi ketentuan bahwa laki-laki dan
perempuan sama-sama berhak atas warisan orang tua dan
kerabatnya.
4. QS An Nisaa’ (4): 8 memerintahkan agar sanak kerabat, anak
yatim, dan orang miskin yang hadir menyaksikan pembagian
harta warisan diberi sejumlah harta sekedar untuk dapat ikut
menikmati harta warisan yang baru saja dibagi.
5. QS An Nisaa’ (4): 9 memperingatkan agar orang senantiasa
memperhatikan anak cucu yang akan ditinggalkan agar jangan
sampai mereka mengalami kesempitan hidup sebagai akibat
kesalahan orang tua membelanjakan hartanya.
6. QS An Nisaa’ (4): 10 memperingatkan agar orang berhati-hati
dalam memelihara harta warisan yang menjadi hak anak
yatim; jangan sampai termakan dengan cara tidak sah.
7. QS An Nisaa’ (4): 11 menentukan bagian anak laki-laki sama
dengan bagian dua anak perempuan, dua atau lebih anak
perempuan (apabila tidak ada anak laki-laki) menerima 2/3
harta warisan dan apabila hanya seorang (tidak ada anak laki-
laki) menerima ½ harta warisan; apabila ada anak ayah dan
ibu masing-masing menerima 1/6, apabila tidak ada anak
bagian ibu 1/3 (ayah mendapat sisanya), apabila ada saudara
lebih dari seorang, bagian ibu 1/6.
8. QS An Nisaa’ (4): 12 menentukan bagian suami adalah ½ harta
warisan apabila pewaris tidak meninggalkan anak, apabila
meninggalkan anak bagian suami ¼ harta warisan, bagian istri
¼ harta warisan apabila tidak ada anak, dan 1/8 bagian
apabila ada anak.
B. Sunah Rasul

Selain Alquran, sunah Rasul merupakan sumber hukum

waris, antara lain terdapat dalam :

1. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli

waris laki-laki yang dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa

harta warisan.

2. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa wala’

menjadi hak orang yang memerdekakannya.

3. Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud mengajarkan bahwa harta

warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris menjadi

milik baitul mal.

4. Hadis riwayat Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasai, mengajarkan

bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir

begitu pula sebaliknya.

5. Hadis riwayat Ahmad, Malik dan Ibnu Majah mengajarkan

bahwa pembunuh tidak berhak waris atas harta orang yang

dibunuhnya.

6. Hadis riwayat Bukhari menyebutkan bahwa dalam suatu kasus

warisan yang ahli warisnya terdiri dari 1 anak perempuan, 1


cucu perempuan (dari anak laki-laki) dan satu saudara

perempuan, Nabi memberikan bagian warisan kepada anak

perempuan ½, kepada cucu perempuan 1/6 dan untuk saudara

perempuan sisanya.

7. Hadis riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan

bagian warisan kepada dua nenek perempuan 1/6 harta warisan

dibagi dua.

8. Hadis riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam

kandungan berhak waris setelah dilahirkan dalam keadaan hidup

yang ditandai dengan tangisan kelahiran.

C. Ijtihad

Meskipun Alquran dan sunah Rasul telah memberikan

ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam

beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal

yang tiidak ditentukan dalam Alquran atau sunah Rasul. Misalnya,

mengenai bagian warisan banci, kepada siapa sisa harta warisan

yang tidak habis terbagi diberikan, bagian ibu apabila hanya

bersama-sama dengan ayah dan suami atau isteri dan sebagainya.

3. Prinsip Hukum Waris Islam


Hukum waris Islam mempunyai prinsip yang dapat disimpulkan

sebagai berikut :

a. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi

kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta

peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang

dikehendakinya, dan melarang sama sekali pembagian harta

peninggalan yang tidak mengakui hak milik perorangan.

b. Warisan adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat

menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli

waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan

menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.

c. Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya

hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang

sah.

d. Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagi harta warisan

kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian

tertentu kepada beberapa ahli waris.

e. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak atas harta warisan.

f. Hukum waris Islam membedakan besar kecilnya bagian tertentu ahli

waris diselaraskan dengan kebutuhannya dan memandang jauh

dekatnya hubungannya dengan pewaris.


4. Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan

Hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu secara tertib

adalah sebagai berikut :

a. Hak yang menyangkut kepentingan pewaris, yaitu biaya

penyelenggara-an jenazahnya, sejak dimandikan sampai

dimakamkan.

b. Hak yang menyangkut kepentingan para kreditur.

c. Hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat.

d. Hak ahli waris.

5. Sebab Terjadinya Warisan

Yang menyebabkan terjadinya warisan adalah :

a. Hubungan kerabat atau nasab, seperti ayah, ibu, anak, cucu,

saudara-saudara kandung, seayah seibu dan sebagainya.

b. Hubungan perkawinan, yaitu suami atau istri, meskipun belum

pernah berkumpul atau telah bercerai, tetapi masih dalam masa

‘iddah talak raj’i.

c. Hubungan walak, yaitu hubungan antara bekas budak dan orang

yang memerdekakannya apabila bekas budak itu tidak mempunyai

ahli waris yang berhak menghabiskan seluruh harta warisan.


d. Tujuan Islam (jihatul Islam), yaitu baitul mal yang menampung

harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali

dengan sebab tersebut di atas.

6. Syarat Warisan

Ada 3 syarat warisan, yaitu :

a. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim

dinyatakan telah meninggal.

b. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewris meninggal atau

dinyatakan masih hidup pada saat pewaris meninggal.

c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris,

atau dengan kata lain benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris

bersangkutan berhak waris.

7. Penghalang Warisan

Ada 3 macam penghalang warisan, yaitu :

a. Berbeda agama antara pewaris dengan ahli waris.

b. Membunuh. Hadis Nabi mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak

waris atas harta peninggalan orang yang dibunuh.

c. Menjadi budak orang lain. Budak tidak berhak memiliki sesuatu,

oleh karenanya, ia tidak berhak waris.


8. Ahli Waris

Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan ditinjau

dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Dari segi

jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yaitu ahli

waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Dari segi haknya atas harta

warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu dzawil furudl,

‘ashabah, dan dzawil arhaam.

A. Ahli Waris Laki-laki

Ahli waris laki-laki terdiri dari :

Ayah, Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki, Anak laki-

laki, Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki,

Saudara laki-laki kandung, Saudara laki-laki seayah, Saudara laki-

laki seibu, Kemenakan laki-laki kandung, Kemenakan laki-laki

seayah, Paman seayah, Saudara sepupu, Saudara sepupu laki-laki

seayah, Suami, Laki-laki yang memerdekakan budak (mu’tiq).

B. Ahli Waris Perempuan

Ahli waris perempuan terdiri dari :

Ibu, Nenek dan seterusnya ke atas dari garis perempuan, Nenek dan

seterusnya dari garis perempuan, Anak perempuan, Cucu

perempuan (anak dari anak laki-laki), Saudara perempuan kandung,


Saudara perempuan seayah, Saudara perempuan seibu, Istri,

Perempuan yang memerdekakan budak (mu’tiqah).

C. Ahli Waris Dzawil Furudl

Ahli Waris Dzawil Furudl ialah ahli waris yang mempunyai

bagian tertentu sebagaimana disebutkan dalam Alquran atau sunah

Rasul. Bagian tertentu itu ialah : 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6 dan 1/8.

D. Ahli Waris Ashabah

Ahli Waris Ashabah ialah ahli waris yang tidak ditentukan

bagiannya, tetapi akan menerima seluruh harta warisan jika tidak

ada ahli waris dzawil furudl sama sekali. Jika ada ahli waris dzawil

furudl, ia berhak atas sisanya dan apabila tidak ada sisa sama sekali,

ia tidak mendapat bagian apapun.

E. Ahli Waris Dzawil Arham

Ahli Waris Dzawil Arham ialah ahli waris yang mempunyai

hubungan famili dengan pewaris, tetapi tidak termasuk golongan

ahli waris dzawil furudl dan ashabah.


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Pelajarilah Alquran dan ajarkanlah kepada orang banyak; pelajari


pula faraid dan ajarkanlah kepada orang banyak karena aku adalah
manusia yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang; (Hadis
Nabi riwayat Ahmad bin Hambal).

Karena ada perintah khusus sebagaimana Hadis Nabi tersebut,

maka dalam mempelajari dan mengajarkan faraid itulah, para ulama,

kaum cerdik pandai menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu yang

berdiri sendiri, yang disebut ilmu faraid, ilmu tentang pembagian harta

warisan.

2. Saran
a. Ijtihad terhadap ketentuan hukum kewarisan Islam perlu

dikembangkan di kalangan para ahlinya dengan berbagai jalan agar

keselarasan “nilai keadilan” dalam hukum adat dan hukum Islam

benar-benar dapat dirasakan.

b. Sejalan dengan kewajiban umat Islam untuk tunduk kepada hukum

kewarisan Islam yang merupakan bagian dari keimanan, pada

tempatnyalah persengketaan perkara hukum kewarisan di kalangan

umat Islam ditangani oleh Pengadilan Agama, bukan Pengadilan

Negeri, dalam rangka keseragaman wewenang Pengadilan Agama di

seluruh Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

1. KH Ahmad Azhar Basyir, MA, Hukum Waris Islam, Yogyakarta,

UII Press, 2001.

2. Tamakiran S, SH, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistim

Hukum, Bandung, Pionir Jaya, 2000.

3. Mohd Idris Ramulyo, SH., MH, Hukum Perkawinan, Hukum

Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut

Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafiika, 2000.

Anda mungkin juga menyukai