Anda di halaman 1dari 20

Fakultas Hukum Universitas Bengkulu

Mata Kuliah : Hukum Waris Islam


Dosen : Subanrio

Nama : Andreas Rikardo


NPM : B1A118031
1. Jelaskan landasan atau dasar berlakunya berlakunya hukum waris islam di Indonesia
sebelum dan sesudah Indonesia Merdeka.
2. a. Jelaskan beberapa alasan Mengapa Hukum Waris Islam diatur secara rinci dalam Al-
Qur’an dan sunnah.
b. Sebutkan dan Jelaskan Surat-surat dan ayat-ayat Dalam Al-Qur’an yang menjelaskan
tentang hukum waris.
3. Jelaskan Azaz-azaz Hukum waris Islam.
4. Jelaskan Rukun dan Syarat Hukum Waris Islam.
5. Jelaskan apa yang harus dilakukan apabila terjadi peristiwa kematian menurut Hukum
Islam
6. Bagian laki-laki dan anak perempuan 2:1. Apakah ketentuan itu Adil menurut Hukum
Waris Islam, Jelaskan.
7. Jelaskan sebab waris mewarisi dalam hukum waris Islam.
8. Jelaskan dan sebutkan sebab-sebab terhalangnya ahli waris mendapat kan hakwarisnya.
9. Jelaskan perbedaan antara hibah dan wasiat.

Jawaban
1.Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan
harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat – akibatnya
bagi ahli waris

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris
Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.

Berdasarkan Surat Mahkamah Agung (“MA”) RI tanggal 8 Mei 1991 No.


MA/kumdil/171/V/K/1991 ditentukan mengenai ketentuan kewenangan hukum
berdasarkan masing-masing kelompok Penduduk di Indonesia yaitu::

1. Penduduk Asli Indonesia, berlaku Hukum Adat;


2. Orang Belanda, Eropa dan yang dipersamakan dengan itu berlaku Hukum
Perdata BW;
3. Keturunan Tiong Hoa sejak tahun 1919 berlaku Hukum Perdata Barat
4. Keturunan Timur Asing Lainnya (Arab, Hindu, Pakistan dan Lain-lain) dalam
Pewarisan Berlaku Hukum Negara Leluhurnya.
Namun setelah lahirnya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 atau yang disebut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), masalah
Pewarisan bagi Penduduk Indonesia yang beragama Islam diatur dalam Buku II Hukum
Kewarisan (Pasal 171-214) KHI tersebut, adapun lembaga pengawas atas pewarisan
tersebut adalah Peradilan Agama.

Pengadilan Agama berwenang mengeluarkan Fatwa atau penetapan mengenai


Pembagian Harta Peninggalan seorang pewaris yang beragama Islam. Kewenangan ini
berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 / 2006 tentang Perubahan atas UU No.
7 / 1989 tentang Peradilan Agama. Fatwa Waris dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas
dasar permohonan ahli waris. Fatwa Waris berlaku sebagai keterangan siapa saja yang
berhak untuk mewarisi harta peninggalan si Pewaris (ahli waris). Berdasarkan Fatwa
Waris tersebut, Notaris/PPAT dapat menentukan siapa saja yang berhak untuk menjual
tanah warisan dimaksud.

2. a.Warisan dalam islam diatur dalam Fiqh atau Hukum Waris islam atau Mawaris dalam Islam. Hal
pesoalan waris bukanlah hal yang sepele karena dampak yang ditimbulkan jika tidak diatur oleh Allah
SWT.

b. 1. Q.S. An-Nisa’ ayat 7:


“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak)
sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian
yang tidak sama.
Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta
warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat
berjuang (berperang)

2. Q.S. An-Nisa’ ayat 8:


“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah
mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan
agar memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang
miskin serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga
mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.
3. Q.S. An-Nisa’ ayat 9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat
memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan
pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga
kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.

4. Q.S. An-Nisa’ ayat 10:


“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka).”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang
ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak)
hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim
itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua
mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.

5. Q.S. An-Nisa’ ayat 13:


“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan janji balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris
(membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di
akhirat kelak.

6. Q.S. An-Nisa’ ayat 14:


“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-
Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai
dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka di akhirat kelak.

7. Q.S. An-Nisa’ ayat 19:


“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa…”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada
masa jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau
anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau
dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak
dibolehkan kawin lagi.
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan.
Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari
suaminya yang meninggal lebih dahulu.

8. Q.S. An-Nisa’ ayat 33:


“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami
jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia
dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan
segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi
antara dua orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi
kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini dinasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-
Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.

9. Q.S. An-Nisa’ ayat 127:


“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (yaitu Surat An-
Nisa’ ayat 2 dan 3), (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa-apa yang ditetapkan untuk mereka (yaitu harta warisan dan
mahar), sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang
lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
atas hal itu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit
atau banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sema seperti laki-laki.
Menurut adat Arab Jahiliyah seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya
dan berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika
wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat
menguasai hartanya. Kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.

10. Q.S. An-Anfal ayat 72:


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan
jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan
(kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi (menjadi wali).
Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib
memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan
mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Yang dimaksud lindung-melindungi ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan
yang amat teguh (disebut muakhkhah), untuk membentuk masyarakat yang baik. Demikian
keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka
waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.
Ayat ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan hijrah dan muakhkhah
(persaudaraan antara muhajirin dan anshar) sebagai sebab waris-mewarisi.

11. Q.S. An-Anfal ayat 75:


“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu,
maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar (sebab) waris-mewarisi dalam Islam
ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi
antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 sehingga
hijrah dan muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai
sebab waris-mewarisi.

12. Q.S. An-Ahzab ayat 4 - 5:


“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-
anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Ayat ini menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung,
seperti halnya status hukum isteri tidak sama dengan ibu. Dengan demikian, dalam hal
kewarisan, maka anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua
angkatnya. Jadi ayat ini melarang untuk menyamakan anak angkat dengan anak kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa jahiliyah
yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian
warisan.

13. Q.S. An-Ahzab ayat 40:


“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kesimpulan atau intisari ayat ini:
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang
sahabat. Dengan demikian, bekas isteri Zaid dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid
adalah anak angkat Rasulullah SAW. Seandainya Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW
disamakan statusnya dengan anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi
mantan isteri Zaid. Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung,
maka akan membawa pengaruh terhadap pembagian warisan.
Seperti juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan pembagian
warisan pada masa jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak
kandung dalam pembagian warisan.

3. Asas integrity (ketulusan)

Integrity artinya ketulusan hati, kejujuran, atau keutuhan. Asas ini


mengandung pengertian bahwa melaksanakan hukum kewarisan dalam
islam, di perlukan ketulsan hati menaatinya karena terikat dengan aturan
yang diyakini kebenaranya. ( taat pada syariat islam / kitab suci Al-Quran)
(Qs. Ali ‘Imran {3}: 85)

2. Asas ta’abbudi (penghambaan diri)

Maksud dari asas ta’abuddi adalah melaksanakan hukum waris sesuai


syariat islam adalah bagian dari ibadah kepada Allah Swt Sebagai
ibadah, dan tentunya mendapatkan berpahala

Bila ditaati seperti menaati hukum-hukum islam lainya. (Qs. An Nissa’ {4}:
13-14)

3. Asas Huququl Maliyah (Hak-Hak kebendaan)

Maksud dari huququl maliyah adalah hak-hak kebendaan. Artinya, hanya


hak dan kewajiban kebendaan (benda yang berbentuk) yang dapat di
wariskan kepada ahli waris. segala Hal-hal kewajiban yang bersifat
pribadi tidak dapat di wariskan. (kompilasi hukum islam pasal 175)

4. Asas Huququn thabi’iyah (Hal-Hak Dasar)

Pengertian Huququn thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris


sebagai manusia. Artinya, meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru
lahir atau seorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia
masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Begitu juga suami istri
belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, Maka
dipandang cakap mewarisi harta tersebut. Ada dua syarat seorang bisa
mendapat hak warisan.
1. Melalui hubungan perkawinan yang seagama
2. Keluaraga yang mempunyai hubungan darah/genetik (Baik anak cucu
atau saudara)

Dan ada pula beberapa penghalang kewarisan.

1. Keluar dari islam (Murtad)


2. Membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris
3. Di persalahkan telah memfitnah pewaris melakukan kejahatan.

5. Asas ijbari (keharusan, kewajiban)

Asas ini adalah yang mengatur tata cara peralihan secara otomatis harta
dari seorang, baik pewaris maupun ahli waris sesuai dengan ketetapan
Allah swt. Tanpa di gantung terhadap kehendak seseorang.baik pewaris
maupun ahli waris.

Asas ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain, yaitu:

1. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia


2. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
3. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah di tentukan
dengan pasti, yakni orang yang mempunyai hubungan darah dan
perkawinan.

6. Asas bilateral

Asas bilateral mengandung makna bahwa seseorang menerima hak


kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki
dan dari kerabat keturunan perempuan.

(Qs. An-Nisaa’{4}:7) (Qs. An-Nisaa’{4}:11-12) (Qs. An-Nisaa’{4}:176)

7. Asas individual

Asas ini menyatakan harta warisan dapat di bagi kepada masing-masing


ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaanya
seluruh harta di nyatakan dalam nilai tertentu. Yang kemudian dibagi-
bagikan kepada ahli waris yang dapat menerimanya menurut kadar
bagian masing-masing. (Qs. An-Nisaa’{4}:8) (Qs. An-Nisaa’{4}:33)

8. Asas keadilan yang berimbang

Asas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara


hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau
beban biaya kehidupan yang harus di tunaikanya Misalnya. Laki-laki dan
perempuan mendapatkan hak yang sebanding dengan kewajiban yang
di pikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan bermasyarakat
seorang laki laki menjadi penanggung jawab daalam kehidupan keluarga.
Mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya sesuai kemampuanya. (Qs.
Al-Baqarah {2}:233)

(Qs. Ath-Thalaaq{65}:7)

9. Asas kematian

Makna asas ini menandaka bahwa peralihan harta seseorang kepada


orang lain terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal
dunia. Harta seseorang tidak bisa beralih ke orang lain (melalui
pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu
masih hidup. (tidak mengenal kewariasan atas dasar wasiat)

10. Asas membagi habis harta warisan.

Membagi semua harta peningalan (warisan) hingga tak tersisa adalah


makna dari asas ini. Hal tersebut dari proses menghitung dan
menyelesaikan pembagian harta warisan. Caranya, dengan menentukan
ahli waris berserta bagianya masing-masing, membersihkan atau
memurnikan dari hutang dan wasiat, sampai melaksanakan pembagian
hingga tuntas.

Asas ini mengindarkan dari semua jumlah ahli waris lebih besar daripada
masalah yang ditetapkan. Ataupun yang sebaliknya. (kmpilasi hukum
islam 192 & 193)
4. Empat syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1. Matinya Orang yang Mewariskan Kematian orang yang mewariskan harus bisa
dibuktikan, baik dengan pemeriksaan teliti, terdapat saksi, hingga diberitakan sudah
meninggal dari pihak yang dapat dipercaya. Bagi orang yang sedang sakit parah atau koma
berkepanjangan, maka hartanya belum bisa diwariskan. Bagaimanapun juga harta warisan
menjadi sah jika pewaris sudah benar-benar meninggal. Untuk kasus orang hilang yang
kabarnya tidak bisa diketahui, kematian dapat dinyatakan melalui putusan hakim sehingga
harta warisan dapat dibagi kepada ahli warisnya.
2. Hidupnya Orang yang Mewarisi Jika pewaris sudah dipastikan meninggal, maka ahli waris
yang akan menerima hartanya harus dalam keadaan hidup, kendati dalam keadaan sekarat,
meskipun tak lama kemudian menyusul meninggal.
3. Terdapat Hubungan Ahli Waris dengan Si Mayit Syarat lain yang mesti dipenuhi adalah
adanya hubungan antara ahli waris dengan pewaris, baik melalui kekerabatan nasab,
hubungan pernikahan, atau pemerdekaan budak (wala'). Namun, kendati memiliki hubungan
tertentu yang menjadikan ahli waris dapat menerima pusaka, terdapat penghalang yang
membatalkan warisan. Misalnya jika ahli waris membunuh pewarisnya maka ia diharamkan
memperoleh warisan sebagaimana sabda Nabi Muhammad, "Pembunuh tidak berhak
mendapat apa-apa. Jika tidak ada pewaris yang lain, maka pewarisnya orang terdekat
darinya, dan pembunuh tidak dapat mewarisi apa pun." (HR. Abu Daud)

4. Satu Alasan yang Menetapkan Seseorang Bisa Mendapatkan Warisan Secara


Rinci Syarat terakhir ini ditetapkan oleh hakim untuk menunjukkan bahwa seseorang
adalah ahli waris yang berhak menerima warisan dari pewaris atau tidak.
Pernyataan saksi saja tidak cukup, kecuali terdapat alasan pewarisan yang masuk
akal. Sedangkan rukun waris terdapat tiga sebagaimana ditulis Muhammad Ajib
dalam Fiqh Hibah dan Waris (2019: 44-45) sebagai berikut: Orang yang mewariskan
(al-muwarrist), yaitu orang yang meninggal dunia Orang yang mewarisi (al-waarist),
yaitu orang yang berhak memperoleh warisan dengan syarat-syarat yang sudah
disebutkan di atas. Pusaka yang diwarisi (al-maurust), yaitu harta peninggalan si
mayit yang mungkin diwariskan. Jika salah satu dari rukun atau syarat yang sudah
dipaparkan di atas tidak terpenuhi maka pewarisan menjadi batal. Hal ini
dikarenakan warisan adalah hak seseorang terhadap harta orang lain. Orang yang
tidak memenuhi rukun dan syarat tidak berhak memperoleh kepemilikan pusaka
mayit yang sudah meninggal.

5. 1.) Memejamkan Mata, Mendoakan, Menyebutkan yang Baik Baik dan


Berdoa untuk Meminta Ampunan Dosa
Jika berdasarkan Syaddad bin Aus, Rasulullah SAW pernah mengatakan :

“Jika kamu melihat ada orang mati di sekitar mu, maka hal pertama yang
harus kamu lakukan adalah dengan segera menutup matanya. Karena
mata itu akan mengikuti roh.”

Apabila kita sudah menerima kabar dan telah memastikan jika kerabat atau
orang yang ada di dekat kita dinyatakan telah meninggal dunia. Maka hal
pertama yang harus kita lakukan adalah dengan segera menutup matanya.
Ummu Salamah Radhiyallahu anha, pernah berujar jika :

Pada saat itu Rasulullah mendekati Abu Salamah yang sudah dalam keadaan
meninggal dan matanya masih terbuka. Rasulullah pun menutup mata Abu
Salamah sembari berkata :

“Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka ia diikuti oleh pandangan


mata,” sembari menutup mata Abu Salamah.

Ketika keluarga dari Abu Salamah membuat kegaduhan, Rasulullah pun


bersabda :

“Hindari untuk berdoa yang buruk buruk dan sebaiknya kita hanya
berdoa untuk mendapatkan kebaikan. Karena sesungguhnya Malaikat
akan mengamini setiap doa yang kalian ucapkan.”

2.) Menutup Tubuh Jenazah dengan Kain


“Dari Aisyah rdh istri Nabi saw menyampaikan bahwa Rasulullah
Solallohu Alaihi Wasallam. Ketika wafat ditutup dengan selimut dari
Yaman”. – Riwayat Buhari dan Muslim.

3.) Mengikat Dagu Agar Tidak Terbuka


Berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan mengikat dagu dengan
menggunakan kain putih. Hal ini dilakukan untuk membuat mulut jenazah
tertutup dan tidak terbuka atau menganga.

4.) Menyegerakan Penyelenggaraannya


Begitu seseorang dinyatakan meninggal dunia maka diwajibkan untuk
menyegerakan penyelenggaraannya yang meliputi proses memandikan
jenazah. Lalu mengafaninya, dan menyolatkan jenazah.

Hingga pada akhirnya dilakukan proses pemakanan sebagai mana


seharusnya, dan dalam penyelenggaraan ini diwajibkan untuk dilakukan
sesegera mungkin. Tanpa harus menunda-nunda waktu, sesuai dengan
hadist di bawah ini HR Bukhari & Muslim di bawah ini :

“Segerakanlah penyelenggaraan jenazah! Jika dia merupakan seorang


yang salih maka kamu telah membantu menyegerakan untuk menuju
kebaikan. Namun jika dia adalah seorang yang jahat, kamu pun akan
mengusung sesuatu yang paling buruk pada pundakmu.”

Selain itu untuk memandikan jenazah hendaklah memiliki keluarga terdekat,


karena apabila jenazah memiliki aib maka aib tersebut akan terjaga. Sebab
keluarga atau kerabat dekat yang memandikan tidak akan menyebarkan ke
orang lain.

5.) Sembunyikan Rahasia atau Aibnya


Sebaiknya memilih orang orang terdekat atau keluarga untuk mengurus
jenazah agar dapat menjaga semua amanah dengan baik. Karena kita tidak
pernah tahu apa yang terjadi pada mendiang.

Apakah itu aib atau rahasianya yang akan membuat dirinya malu jika
diketahui oleh orang lain. Karena menyembunyikan aib dan rahasia dari si
mendiang menjadi salah satu anjuran yang harus diutamakan oleh Allah dan
Rasulullah.

Menurut HR AL-Hakim, Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa :

“Siapa pun yang memiliki tugas untuk memandikan seorang jenazah,


kemudian kamu melihat atau mengetahui suatu rahasia. Atau pun aib
yang tertutupi selama ini oleh mendiang dan dirahasiakannya. Maka
Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya sebanyak empat puluh kali
lipat.”

6.) Tidak Ada Larangan untuk Keluarga dan Sahabat Terdekat Mencium
Jenazah
Aisyah rdh pernah mengatakan jika : “Rasulullah SAW pernah mencium
mendiang Usman bin Ma’zum pada saat beliau meningal. Saat itu,
keluarlah air mata dari Rasulullah SAW.”

Riwayat dari Ahmad dan Tarmizi.

6.) Segera Membayar dan Melunasi Utang Utang Mendiang


Abu Hurairah mengungkapkan jika Rasulullah SAW pernah mengatakan jika :

“Mereka yang menanggung utang selama masih hidup akan digantung


roh roh nya. Hingga akhirnya hutang-hutangnya terbayar lunas”. –
Riwayat dari Ahmad dan Tarmizi.

Maka dari itu segeralah lunasi semua utang utang yang dimiliki oleh beliau,
atau bisa meminta kemurahan hati dari si pemilik utang. Agar mereka bisa
mengikhlaskan utang piutangnya dengan mendiang.
Namun jika keluarga mendiang bukanlah orang mampu, maka berserahlah
pada Allah SWT yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Semua sudah
dijelaskan pada hadis di berikut ini :

Berdasarkan Umar, Rasulullan SAW pernah mengatakan jika utang memiliki


dua macam. Dan barang siapa yang meninggalkan utang sementara dia tidak
memiliki niat untuk membayarkan utangnya. Maka saya yang akan mengurus
semuanya.

Dan siapa saja yang telah meninggal sementara dia tidak memiliki niat untuk
membayarnya, maka pembayaran utangnya akan diambil dari kebaikan-
kebaikannya.

Sebab pada waktu itu tidak ada perak dan juga emas untuk digunakan
sebagai pembayaran. – Riwayat Tabrani.

7.) Mewujudkan Wasiat Mendiang


Setelah membayarkan seluruh utang yang dimiliki oleh mendiang, hal terakhir
yang harus dilakukan adalah dengan mewujudkan wasiat atau keinginan
mendiang.

Ada beberapa orang yang memiliki kesempatan untuk melihat jika waktunya
sudah dekat dan akan segera dipanggil oleh Allah SWT. Terutama jika
mereka sedang dilanda sakit keras sehingga mereka biasanya akan memiliki
permintaan terakhir.

Permintaan atau wasiat pada keluarga, kerabat atau orang terdekat untuk
segera dilakukan. Permintaan atau wasiat ini menjadi hal penting yang harus
dilakukan oleh yang mendengarkan permintaan dan wasiat dari si mendiang.

Maka apabila sebelum kematian mendiang pernah memberikan wasiat atau


permintaan terakhir pada kerabat, keluarga dan orang terdekatnya. Maka
mereka atau ahli warisnya memiliki kewajiban untuk menyegerakan untuk
melakukan permintaan terakhir atau wasiatnya.

Dengan ketentuan bahwa wasiat atau permintaan terakhir mendiang tidak


melanggar syariatatau ajaran Agama Islam. Namun jika tidak memenuhi
syariat Islam maka sebaiknya tidak dilakukan karena dapat menimbulkan
dosa.
6. Pertama:

Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:

1. Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak


laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi
untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak
perempuan satu bagian.
2. Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak
perempuan.
3. Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti
suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu
adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada
dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak
perempuan satu bagian.
4. Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak
tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak
secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini
dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang
dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah
dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan
kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik
kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki,
maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
5. Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian
mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal
terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup
keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.

Kedua:

Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-
hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:

1. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang


meninggal mempunyai keturunan.
2. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian
sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per
tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang
hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah
tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
3. Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau
lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah
mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah
mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan
hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika
misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris
terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau
lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung
pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah
adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam
pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu
tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih
banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk
membiayai kehidupan mereka.

Ketiga:

Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah
(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang
orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu
ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah
melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang
diamalkan Rasulullah saw..

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca
firman Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan
utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."

Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat


adalah karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang
utang, baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut
akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang
meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.

Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak
ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak
melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli
waris)
7, Sebab-sebab Waris-mewarisi
Sebab-sebab mewarisi dalam ketentuan syari’at Islam adalah karena empat sebab, yaitu:
a. Karena hubungan keluarga (nashab)
Hubungan keluarga dalam hal ini biasa disebut dengan nasab hakiki,yakni hubungan darah
atau keturunan atau kerabat, baik leluhur si mayit (ushul), keturuna (furu’) atau kerabat
menyamping (hawasyi), yang tidak memandang laki-laki maupun perempuan, orang tua
maupun anak-anak, lemah maupun kuat. Semuanya menerima warisan sesuai ketentuan yang
berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa/4:7. Waris-mewarisi karena hubungan
ini baik ke bawah, ke atas maupun ke samping.
Dilihat dari penerimanya, hubungan kekerabatan ini dapat dibagi kepada tiga kelompok:
1) Ashabul furudh nasabiyah
Yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak mendapat bagian tertentu.
2) Ashabul nasabiyah
Yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak menerima bagian sisa dari ashabul
furudh. Jika ashabul furudh tidak ada, maka mereka dapat menerima seluruh harta warisan,
tetapi jika harta warisan habis dibagi, maka tidak mendapat apa-apa.
3) Dzawil arham
Yaitu kerabat yang agak jauh nasabnya. Golongan ini tidak termasuk ahli waris yang
mendapat bagian tertentu, tapi mereka mendapat warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.
b. Karena hubungan perkawinan yang sah (mushaharah)
Perkawinan yang sah menurut syari’at, Islam menyebabkan adanya saling mewarisi antara
suami istri, selama hubunga perkawinan tersebut masih utuh. Jika statusnya sudah cerai,
maka gugurlah saling mewarisi di antara keduanya, kecuali masa iddah pada talaq raj’i.
c. Karena hubungan wala’
Wala’ adalah hubungan kekeluargaan yang timbul karena memerdakakan hamba
sahaya. Rasulullah saw. bersabda:
َ َ‫ِإنَّ َما ْال َواَل ُء لِ َم ْن َأ ْعت‬
)‫ق (متفق عليه‬
Artinya:
“Sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan budak.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadist lain, Rasulullah saw. bersabda:
)‫ع َواَل يُوْ هَبُ (رواه ابن حزيمة و ابن حبان و الحاكم‬ ِ ‫ْال َواَل ُء لُحْ َمةٌ َكلُحْ َم ِة النَّ َس‬
ُ ‫ب اَل يُبَا‬
Artinya:
“Hubungan wala’ itu adalah hubungan kerabat seperti hubungan turunan, tidak dijual dan
tidak diberikan.” (HR. Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Dengan hak wala’ ini, maka orang yang memerdekakan hamba, jika orang yang
dimerdekakan tersebut meninggal dunia, maka ia memperoleh warisan. Akan tetapi, tidak
sebaliknya, jika orang yang memerdekakan meninggal dunia, maka orang yang dimerdekakan
tidak mendapat warisan.
d. Karena hubungan agama
Jika orang Islam meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan
kerabat, pernikahan maupun wala’, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal
untuk kepentingan kaum muslimin. Itulah yang disebut hubungan agama dalam waris-
mewarisi.
Rasulullah saw. bersabda:
ٌ ‫ار‬
)‫ث (رواه ابو داود و احمد‬ ِ ‫َأنَا َو‬
ٌ ‫ار‬
ِ ‫ث َم ْن اَل َو‬
Artinya:
“Saya menjadi ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad)
Yang dimaksud Rasulullah menjadi ahli waris adalah bahwa Rasulullah itu menerima dan
menyalurkannya kepada kaum muslimin, atau digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
2. Halangan Waris-mewarisi dan Dasar Hukumnya
Ahli waris gugur haknya untuk mendapatkan warisan karena sebab-sebab di bawah ini:
a. Hamba sahaya
Hamba sahaya tidak mendapatkan warisan, baik dari tuannya maupun dari orang tua
kandungnya. Kecuali hamba sahaya tersebut sudah merdeka, ia mendapat warisan
sebagaimana orang merdeka lainnya. Tapi ia tidak mendapat warisan dari orang yang
memerdekakannya.
Allah swt. berfirman:
) ٧٥ : ‫َع ْبدًا َّم ْملُوْ ًكا اَّل يَ ْق ِد ُر ع َٰلى َش ْي ٍء (النحل‬
“Hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu.” (QS.
An-Nahl/16:75)
b. Pembunuh
Orang yang membunuh keluarganya tidak mempunyai hak menerima warisan dari orang
yang dibunuh. Artinya hak menerima warisan menjadi gugur karena membunuh. Misalnya,
anak yang membunuh orang tuanya, maka ia tidak berhak mendapat warisan dari ayahnya.
Rasulullah saw. bersabda:
ِ ‫ْس لِ ْلقَاتِ ِل ِمنَ ْال ِمي َْرا‬
)‫ث َش ْي ٌء (رواه النسائى‬ َ ‫لَي‬
Artinya:
“Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya.” (HR. An-Nasa’i)
Dalam hadist lain ditegaskan:
ٌ ‫ْس لِقاتِ ِل ِم ْي َر‬
)‫ث (رواه احمد‬ ِ ‫َم ْن قَت ََل قَتِ ْياًل فَاِنَّهُ اَل يَ ِرثُهُ َواِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َو‬
ٌ ‫ار‬
َ ‫ث َغ ْي ُرهُ َواِ ْن َكانَ لَهُ َوالِ ُدهُ اَوْ َولَ ُدهُ فَلَي‬
“Barang siapa yang membunuh seorang, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun orang
yang dibunuh tidak mempunyai ahli waris selain dirinya, dan jika yang terbunuh itu ayah
atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak ada hak untuk mewarisi.” (HR. Ahmad)
c. Murtad
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang yang murtad gugur hak mewarisinya, baik
itu dari atas, bawah maupun dari samping. Demikian pula sebaliknya, ia tidak dapat
mewariskan hartanya kepada keluarganya yang muslim.
d. Berlainan agama
Antar orang Islam dengan orang non Islam (kafir) tidak ada hak saling mewarisi, meskipun
ada hubungan kerabat yang sangat dekat. Kedudukannya sama dengan orang murtad.
Rasulullah saw. bersabda:
‫هّٰللا‬
‫ث ْال ُم ْس‹لِ ُم ْال َك‹‹افِ َ‹ر َواَل ْال َك‹‹افِ ُر ْال ُم ْس‹لِ َم (رواه‬ ِ ‹َ‫ص‹لَّى ُ َعلَ ْي‹ ِه َو َس‹لَّ َم قَ‹‹ا َل اَل ي‬
ُ ‫‹ر‬ َ ‫ع َْن ُأ َسا َمةَ ب ِْن زَ ْي ٍد َع ِن النَّبِ ِّي‬
)‫الجمعة‬
“Dari Uzamah bin Zaid, dari Nabi saw. bersabda, ‘Tidak mewarisi orang Islam dari orang
kafir. Demikian pula orang kafir tidak pula mewarisi dari orang Islam’.” (HR. Jamaah)

8, Dalam pembagian waris yang sesuai islam ada beberapa aturan yang
salah satunya adalah tentang hijab - mahjub.

Prinsip hijab mahjub adalah mengutamakan atau mendahulukan kerabat


yang mempunyai jarak lebih dekat daripada orang lain dengan si mati.
Keutamaan itu dapat pula disebabkan oleh kuatnya hubungan kekerabatan
seperti saudara kandung lebih kuat hubungannya dibandingkan saudara se-
ayah atau se-ibu saja, karena hubungan saudara kandung melalui dua jalur
(ayah dan ibu) sedangkan yang se-ayah atau se-ibu hanya melalui satu jalur
(ayah saja atau ibu saja).
Di dalam Ilmu Faraidh dikenal istilah hajib dan mahjub. Arti
kata hajib asalnya bermakna "Penjaga Pintu"' secara istilah definisnya
adalah keluarga si mati yang meghalangi atau mendinding keluarga lain yang
sekerabat untuk beroleh pusaka. Sementara arti Mahjub adalah seseorang
yang terhalangi menerima warisan karena adanya ahli waris yang hubungan
kekerabatan yang lebih dekat dan lebih kuat kedudukannya.
Dalil yang membenarkan masalah hajib dan mahjub sebagai aturan
kewarisan dalam islam adalah surat An-nisa’ : 176: ‫َوه َُو َي ِر ُث َها ِإنْ لَ ْم َي ُكنْ لَ َها َولَد‬
.......
Artinya : Dan dia (saudara lelaki kandung atau seayah) menjadi ahli waris
yang dapat warisan apabila yang meninggal itu tidak mempunyai anak.
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa kedudukan saudara adalah
mahjub sedang kedudukan anak adalah hajib.

9, Hibah adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain


dan diserahkan kepemilikannya secara langsung ketika dia masih hidup
dengan niat sadaqah. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy:

"Hibah secara istilah syar’i adalah akad kepemilikan suatu benda


dengan tanpa imbalan dan diserahkan semasa masih hidup sebagai
bentuk sadaqah tathawwum."

Jadi pada intinya hibah adalah pemberian sesuatu yang dilakukan oleh
si pemilik harta sebelum meninggal dunia. Maka ketika orang tua
sebelum wafat mengumpulkan semua anak-anaknya dan ingin
memberi harta atau bagi-bagi harta kepada mereka maka akad yang
seperti ini disebut dengan hibah.

"Bukan bagi-bagi waris," katanya.

Dari contoh di atas bisa disimpulkan bahwa poin dasar terkait hibah
adalah pemberian orang tua kepada anak-anaknya pada saat masih
hidup dan kepemilikannya langsung berpindah saat itu juga. Nah, Harta
yang sudah dihibahkan itu secara otomatis kepemilikan hartanya
langsung berpindah ke tangan si penerima.
Sebagai contoh ketika orang tua berkata kepada anak bungsunya ”Nak,
ini rumah pokoknya sekarang juga untuk kamu” maka secara otomatis
kepemilikan rumah tersebut sudah berpindah ke tangan anak bungsu
tersebut.

Walaupun surat-suratnya barangkali masih atas nama orang tua. Kata


dia, perlu diperhatikan juga apabila orang tua hendak menghibahkan
sesuatu kepada anaknya sebaiknya menghadirkan beberapa saksi dari
anak-anaknya yang lain atau orang lain.

"Bila perlu dibuatkan surat resmi hibah juga. Agar kedudukan hibah ini
dianggap kuat nantinya secara hukum negara," katanya.

Pengertian Wasiat

Wasiat adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain


ketika dia masih hidup dengan niat sadaqah. Akan tetapi penyerahan
kepemilikannya dilakukan ketika setelah meninggal dunia. Hal ini
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala
Madzhabi al-Imam asy-Syafi’iy:

"Wasiat secara istilah syar’i adalah akad tabarru’ atas hak kepemilikan
harta yang diserahkan setelah meninggal dunia."

Jadi pada intinya wasiat adalah pemberian yang dilakukan oleh si


pemilik harta dengan syarat penyerahan kepemilikan harta tersebut
dilakukan setelah si pemilik harta meninggal dunia. Sebagai contoh
ketika orang tua sebelum wafat mengumpulkan semua anak-anaknya
dan mengatakan.

"Nak, nanti jika bapak meninggal dunia tolong berikan sebagian harta
bapak untuk masjid samping rumah ya?”.

Nah, yang seperti ini namanya adalah wasiat. Sebagai anak yang
diwasiati orang tuanya seperti itu maka hukumnya wajib untuk
menjalankan wasiat orang tuanya. Dan apabila orang tua hendak
berwasiat sesuatu kepada anaknya sebaiknya menghadirkan beberapa
saksi dari anak-anaknya atau orang lain juga.

"Bila perlu dibuatkan juga surat resmi wasiatnya. Agar kedudukan


wasiat ini juga dianggap kuat nantinya secara hukum negara kita,"
katanya.

Pengertian Waris

Waris adalah berpindahnya kepemilikan harta dari seseorang yang


meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam kitab al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi al-Imam asy-
Syafi’iy:

Waris secara istilah syar’i adalah hak kepemilikan harta untuk kerabat
keluarga atau yang semisalnya seperti karena pernikahan (suami-istri)
setelah meninggalnya si pemilik harta. Jadi pada intinya ketika ada
orang yang meninggal dunia maka secara otomatis harta yang dimiliki
almarhum tersebut langsung berpindah kepemilikannya kepada ahli
warisnya.

Dan juga tidak perlu ada izin atau wasiat dari almarhum sang pemilik
harta. Sebab yang namanya hukum waris ini berlaku secara otomatis
terkait kepemilikan hartanya.

Anda mungkin juga menyukai