Jawaban
1.Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan
harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan kata lain, mengatur peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat – akibatnya
bagi ahli waris
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris
Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
2. a.Warisan dalam islam diatur dalam Fiqh atau Hukum Waris islam atau Mawaris dalam Islam. Hal
pesoalan waris bukanlah hal yang sepele karena dampak yang ditimbulkan jika tidak diatur oleh Allah
SWT.
Bila ditaati seperti menaati hukum-hukum islam lainya. (Qs. An Nissa’ {4}:
13-14)
Asas ini adalah yang mengatur tata cara peralihan secara otomatis harta
dari seorang, baik pewaris maupun ahli waris sesuai dengan ketetapan
Allah swt. Tanpa di gantung terhadap kehendak seseorang.baik pewaris
maupun ahli waris.
Asas ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain, yaitu:
6. Asas bilateral
7. Asas individual
(Qs. Ath-Thalaaq{65}:7)
9. Asas kematian
Asas ini mengindarkan dari semua jumlah ahli waris lebih besar daripada
masalah yang ditetapkan. Ataupun yang sebaliknya. (kmpilasi hukum
islam 192 & 193)
4. Empat syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1. Matinya Orang yang Mewariskan Kematian orang yang mewariskan harus bisa
dibuktikan, baik dengan pemeriksaan teliti, terdapat saksi, hingga diberitakan sudah
meninggal dari pihak yang dapat dipercaya. Bagi orang yang sedang sakit parah atau koma
berkepanjangan, maka hartanya belum bisa diwariskan. Bagaimanapun juga harta warisan
menjadi sah jika pewaris sudah benar-benar meninggal. Untuk kasus orang hilang yang
kabarnya tidak bisa diketahui, kematian dapat dinyatakan melalui putusan hakim sehingga
harta warisan dapat dibagi kepada ahli warisnya.
2. Hidupnya Orang yang Mewarisi Jika pewaris sudah dipastikan meninggal, maka ahli waris
yang akan menerima hartanya harus dalam keadaan hidup, kendati dalam keadaan sekarat,
meskipun tak lama kemudian menyusul meninggal.
3. Terdapat Hubungan Ahli Waris dengan Si Mayit Syarat lain yang mesti dipenuhi adalah
adanya hubungan antara ahli waris dengan pewaris, baik melalui kekerabatan nasab,
hubungan pernikahan, atau pemerdekaan budak (wala'). Namun, kendati memiliki hubungan
tertentu yang menjadikan ahli waris dapat menerima pusaka, terdapat penghalang yang
membatalkan warisan. Misalnya jika ahli waris membunuh pewarisnya maka ia diharamkan
memperoleh warisan sebagaimana sabda Nabi Muhammad, "Pembunuh tidak berhak
mendapat apa-apa. Jika tidak ada pewaris yang lain, maka pewarisnya orang terdekat
darinya, dan pembunuh tidak dapat mewarisi apa pun." (HR. Abu Daud)
“Jika kamu melihat ada orang mati di sekitar mu, maka hal pertama yang
harus kamu lakukan adalah dengan segera menutup matanya. Karena
mata itu akan mengikuti roh.”
Apabila kita sudah menerima kabar dan telah memastikan jika kerabat atau
orang yang ada di dekat kita dinyatakan telah meninggal dunia. Maka hal
pertama yang harus kita lakukan adalah dengan segera menutup matanya.
Ummu Salamah Radhiyallahu anha, pernah berujar jika :
Pada saat itu Rasulullah mendekati Abu Salamah yang sudah dalam keadaan
meninggal dan matanya masih terbuka. Rasulullah pun menutup mata Abu
Salamah sembari berkata :
“Hindari untuk berdoa yang buruk buruk dan sebaiknya kita hanya
berdoa untuk mendapatkan kebaikan. Karena sesungguhnya Malaikat
akan mengamini setiap doa yang kalian ucapkan.”
Apakah itu aib atau rahasianya yang akan membuat dirinya malu jika
diketahui oleh orang lain. Karena menyembunyikan aib dan rahasia dari si
mendiang menjadi salah satu anjuran yang harus diutamakan oleh Allah dan
Rasulullah.
6.) Tidak Ada Larangan untuk Keluarga dan Sahabat Terdekat Mencium
Jenazah
Aisyah rdh pernah mengatakan jika : “Rasulullah SAW pernah mencium
mendiang Usman bin Ma’zum pada saat beliau meningal. Saat itu,
keluarlah air mata dari Rasulullah SAW.”
Maka dari itu segeralah lunasi semua utang utang yang dimiliki oleh beliau,
atau bisa meminta kemurahan hati dari si pemilik utang. Agar mereka bisa
mengikhlaskan utang piutangnya dengan mendiang.
Namun jika keluarga mendiang bukanlah orang mampu, maka berserahlah
pada Allah SWT yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Semua sudah
dijelaskan pada hadis di berikut ini :
Dan siapa saja yang telah meninggal sementara dia tidak memiliki niat untuk
membayarnya, maka pembayaran utangnya akan diambil dari kebaikan-
kebaikannya.
Sebab pada waktu itu tidak ada perak dan juga emas untuk digunakan
sebagai pembayaran. – Riwayat Tabrani.
Ada beberapa orang yang memiliki kesempatan untuk melihat jika waktunya
sudah dekat dan akan segera dipanggil oleh Allah SWT. Terutama jika
mereka sedang dilanda sakit keras sehingga mereka biasanya akan memiliki
permintaan terakhir.
Permintaan atau wasiat pada keluarga, kerabat atau orang terdekat untuk
segera dilakukan. Permintaan atau wasiat ini menjadi hal penting yang harus
dilakukan oleh yang mendengarkan permintaan dan wasiat dari si mendiang.
Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
Kedua:
Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-
hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
Ketiga:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah
(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang
orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu
ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah
melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang
diamalkan Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca
firman Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan
utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak
ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak
melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli
waris)
7, Sebab-sebab Waris-mewarisi
Sebab-sebab mewarisi dalam ketentuan syari’at Islam adalah karena empat sebab, yaitu:
a. Karena hubungan keluarga (nashab)
Hubungan keluarga dalam hal ini biasa disebut dengan nasab hakiki,yakni hubungan darah
atau keturunan atau kerabat, baik leluhur si mayit (ushul), keturuna (furu’) atau kerabat
menyamping (hawasyi), yang tidak memandang laki-laki maupun perempuan, orang tua
maupun anak-anak, lemah maupun kuat. Semuanya menerima warisan sesuai ketentuan yang
berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa/4:7. Waris-mewarisi karena hubungan
ini baik ke bawah, ke atas maupun ke samping.
Dilihat dari penerimanya, hubungan kekerabatan ini dapat dibagi kepada tiga kelompok:
1) Ashabul furudh nasabiyah
Yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak mendapat bagian tertentu.
2) Ashabul nasabiyah
Yaitu orang-orang yang karena hubungan darah berhak menerima bagian sisa dari ashabul
furudh. Jika ashabul furudh tidak ada, maka mereka dapat menerima seluruh harta warisan,
tetapi jika harta warisan habis dibagi, maka tidak mendapat apa-apa.
3) Dzawil arham
Yaitu kerabat yang agak jauh nasabnya. Golongan ini tidak termasuk ahli waris yang
mendapat bagian tertentu, tapi mereka mendapat warisan jika ahli waris yang dekat tidak ada.
b. Karena hubungan perkawinan yang sah (mushaharah)
Perkawinan yang sah menurut syari’at, Islam menyebabkan adanya saling mewarisi antara
suami istri, selama hubunga perkawinan tersebut masih utuh. Jika statusnya sudah cerai,
maka gugurlah saling mewarisi di antara keduanya, kecuali masa iddah pada talaq raj’i.
c. Karena hubungan wala’
Wala’ adalah hubungan kekeluargaan yang timbul karena memerdakakan hamba
sahaya. Rasulullah saw. bersabda:
َ َِإنَّ َما ْال َواَل ُء لِ َم ْن َأ ْعت
)ق (متفق عليه
Artinya:
“Sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan budak.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadist lain, Rasulullah saw. bersabda:
)ع َواَل يُوْ هَبُ (رواه ابن حزيمة و ابن حبان و الحاكم ِ ْال َواَل ُء لُحْ َمةٌ َكلُحْ َم ِة النَّ َس
ُ ب اَل يُبَا
Artinya:
“Hubungan wala’ itu adalah hubungan kerabat seperti hubungan turunan, tidak dijual dan
tidak diberikan.” (HR. Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Dengan hak wala’ ini, maka orang yang memerdekakan hamba, jika orang yang
dimerdekakan tersebut meninggal dunia, maka ia memperoleh warisan. Akan tetapi, tidak
sebaliknya, jika orang yang memerdekakan meninggal dunia, maka orang yang dimerdekakan
tidak mendapat warisan.
d. Karena hubungan agama
Jika orang Islam meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan
kerabat, pernikahan maupun wala’, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal
untuk kepentingan kaum muslimin. Itulah yang disebut hubungan agama dalam waris-
mewarisi.
Rasulullah saw. bersabda:
ٌ ار
)ث (رواه ابو داود و احمد ِ َأنَا َو
ٌ ار
ِ ث َم ْن اَل َو
Artinya:
“Saya menjadi ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad)
Yang dimaksud Rasulullah menjadi ahli waris adalah bahwa Rasulullah itu menerima dan
menyalurkannya kepada kaum muslimin, atau digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
2. Halangan Waris-mewarisi dan Dasar Hukumnya
Ahli waris gugur haknya untuk mendapatkan warisan karena sebab-sebab di bawah ini:
a. Hamba sahaya
Hamba sahaya tidak mendapatkan warisan, baik dari tuannya maupun dari orang tua
kandungnya. Kecuali hamba sahaya tersebut sudah merdeka, ia mendapat warisan
sebagaimana orang merdeka lainnya. Tapi ia tidak mendapat warisan dari orang yang
memerdekakannya.
Allah swt. berfirman:
) ٧٥ : َع ْبدًا َّم ْملُوْ ًكا اَّل يَ ْق ِد ُر ع َٰلى َش ْي ٍء (النحل
“Hamba sahaya di bawah kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu.” (QS.
An-Nahl/16:75)
b. Pembunuh
Orang yang membunuh keluarganya tidak mempunyai hak menerima warisan dari orang
yang dibunuh. Artinya hak menerima warisan menjadi gugur karena membunuh. Misalnya,
anak yang membunuh orang tuanya, maka ia tidak berhak mendapat warisan dari ayahnya.
Rasulullah saw. bersabda:
ِ ْس لِ ْلقَاتِ ِل ِمنَ ْال ِمي َْرا
)ث َش ْي ٌء (رواه النسائى َ لَي
Artinya:
“Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya.” (HR. An-Nasa’i)
Dalam hadist lain ditegaskan:
ٌ ْس لِقاتِ ِل ِم ْي َر
)ث (رواه احمد ِ َم ْن قَت ََل قَتِ ْياًل فَاِنَّهُ اَل يَ ِرثُهُ َواِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َو
ٌ ار
َ ث َغ ْي ُرهُ َواِ ْن َكانَ لَهُ َوالِ ُدهُ اَوْ َولَ ُدهُ فَلَي
“Barang siapa yang membunuh seorang, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun orang
yang dibunuh tidak mempunyai ahli waris selain dirinya, dan jika yang terbunuh itu ayah
atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak ada hak untuk mewarisi.” (HR. Ahmad)
c. Murtad
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang yang murtad gugur hak mewarisinya, baik
itu dari atas, bawah maupun dari samping. Demikian pula sebaliknya, ia tidak dapat
mewariskan hartanya kepada keluarganya yang muslim.
d. Berlainan agama
Antar orang Islam dengan orang non Islam (kafir) tidak ada hak saling mewarisi, meskipun
ada hubungan kerabat yang sangat dekat. Kedudukannya sama dengan orang murtad.
Rasulullah saw. bersabda:
هّٰللا
ث ْال ُم ْس‹لِ ُم ْال َك‹‹افِ َ‹ر َواَل ْال َك‹‹افِ ُر ْال ُم ْس‹لِ َم (رواه ِ ‹َص‹لَّى ُ َعلَ ْي‹ ِه َو َس‹لَّ َم قَ‹‹ا َل اَل ي
ُ ‹ر َ ع َْن ُأ َسا َمةَ ب ِْن زَ ْي ٍد َع ِن النَّبِ ِّي
)الجمعة
“Dari Uzamah bin Zaid, dari Nabi saw. bersabda, ‘Tidak mewarisi orang Islam dari orang
kafir. Demikian pula orang kafir tidak pula mewarisi dari orang Islam’.” (HR. Jamaah)
8, Dalam pembagian waris yang sesuai islam ada beberapa aturan yang
salah satunya adalah tentang hijab - mahjub.
Jadi pada intinya hibah adalah pemberian sesuatu yang dilakukan oleh
si pemilik harta sebelum meninggal dunia. Maka ketika orang tua
sebelum wafat mengumpulkan semua anak-anaknya dan ingin
memberi harta atau bagi-bagi harta kepada mereka maka akad yang
seperti ini disebut dengan hibah.
Dari contoh di atas bisa disimpulkan bahwa poin dasar terkait hibah
adalah pemberian orang tua kepada anak-anaknya pada saat masih
hidup dan kepemilikannya langsung berpindah saat itu juga. Nah, Harta
yang sudah dihibahkan itu secara otomatis kepemilikan hartanya
langsung berpindah ke tangan si penerima.
Sebagai contoh ketika orang tua berkata kepada anak bungsunya ”Nak,
ini rumah pokoknya sekarang juga untuk kamu” maka secara otomatis
kepemilikan rumah tersebut sudah berpindah ke tangan anak bungsu
tersebut.
"Bila perlu dibuatkan surat resmi hibah juga. Agar kedudukan hibah ini
dianggap kuat nantinya secara hukum negara," katanya.
Pengertian Wasiat
"Wasiat secara istilah syar’i adalah akad tabarru’ atas hak kepemilikan
harta yang diserahkan setelah meninggal dunia."
"Nak, nanti jika bapak meninggal dunia tolong berikan sebagian harta
bapak untuk masjid samping rumah ya?”.
Nah, yang seperti ini namanya adalah wasiat. Sebagai anak yang
diwasiati orang tuanya seperti itu maka hukumnya wajib untuk
menjalankan wasiat orang tuanya. Dan apabila orang tua hendak
berwasiat sesuatu kepada anaknya sebaiknya menghadirkan beberapa
saksi dari anak-anaknya atau orang lain juga.
Pengertian Waris
Waris secara istilah syar’i adalah hak kepemilikan harta untuk kerabat
keluarga atau yang semisalnya seperti karena pernikahan (suami-istri)
setelah meninggalnya si pemilik harta. Jadi pada intinya ketika ada
orang yang meninggal dunia maka secara otomatis harta yang dimiliki
almarhum tersebut langsung berpindah kepemilikannya kepada ahli
warisnya.
Dan juga tidak perlu ada izin atau wasiat dari almarhum sang pemilik
harta. Sebab yang namanya hukum waris ini berlaku secara otomatis
terkait kepemilikan hartanya.