Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FURUDUL MUQADDARAH, ASHABUL FURUD, AHLI WARIS SABABIYAH DAN


NASABIYAH, DZAWIL ARHAM DAN ASHABAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Fiqh Mawaris
Pengampu : Kholid Masyhari S.Ag., M.S.I

Disusun Oleh :
Muh Aenur Rokhim (176020045)
Fahmi Wildasani( 19106023036 )

PROGAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2020

                   I.   PENDAHULUAN
Kata “ahli waris” – yang secara bahasa berarti keluarga- tidak secara otomatis ia dapat
mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia. Karena kedekatan hubungan
kekeluargaan juga mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan.
Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak
dikategorikan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan, karena jalur yang dilaluinya
perempuan.

Apabila dicermati, ahli waris ada dua macam, yaitu ahli waris nasabiyah (ahli waris
yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan  darah) dan ahli
waris sababiyah (hubungan kewarisan yang timbul kerana sebab tetentu, yaitu perkawinan
yang sah dan memerdekakan hamba sahaya).1

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai siapa saja yang termasuk dalam ahli
waris nasabiyah dan ahli waris sababiyah, dan yang berhubungan denganya serta bagian-
bagiannya yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an.

                  II.   RUMUSAN MASALAH 
               A.    Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris Nasabiyah? 
               B.    Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris Sababiyah? 
               C.    Apa yang Dimaksud dengan Furudh al-Muqaddarah? 
               D.    Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris Ashab al-Furud? 
               E.    Apa yang Dimaksud dengan Ahli Waris ‘Ashabah?
F. Apa yang di maksud dengan Dzawil Arham?

                III.   PEMBAHASAN 
               A.  AHLI WARIS NASABIYAH

1 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 59.
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-
muwarris didasarkan pada hubungan darah.2 Secara umum dapat dikatakan bahwasanya ahli
waris nasabiyah itu seluruhnya ada 21 yang terdiri dari 13 kelompok laki- laki dan 8
kelompok perempuan.

Ahli waris laki-laki didasarkan urutan kelompoknya sebagai berikut:

1.    Anak laki-laki

2.    Cucu laki-laki dari anak laki-laki sampai seterusnya kebawah yaitu cicit laki- laki buyut
laki- laki dan seterusnya.

3.    Bapak.

4.    Kakek dari garis bapak.

5.    Saudara laki-laki sekandung.

6.    Saudara laki-laki seayah saja.

7.    Saudara laki-laki seibu saja.

8.    Anak laki-laki dari saudara laki- laki kandung.

9.    Anak laki-laki dari saudara seayah.

10.     Saudara laki-laki bapak  yang seibu sebapak (kandung).

11.     Saudara laki-laki bapak (dari bapak) yang sebapak saja.

12.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak (paman) yang seibu sebapak

( kandung).

13.     Anak laki-laki paman yang seayah.3

Adapun Ahli waris perempuan didasarkan kelompoknya ada 8 orang yaitu:

1.    Anak perempuan.          

2.    Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah, yaitu cicit perempuan dari cucu
laki- lak, puit perempuan dari cicit laki-laki dan sererusnya.

3.    Ibu.
2 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 61.
3 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,2008)hlm 82.
4.    Nenek dari ibu.

5.    Nenek dari bapak.

6.    Saudara perempuan sekandung.

7.    Saudara perempuan sebapak saja.

8.    Saudara perempuan seibu saja.4

Dilihat dari arah hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan orang
yang berhak memperoleh bagian harta peninggalan atau antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi, maka ahli waris nasabiyah mennjadi tiga macam yaitu: Furu’ul
Mayit, Ushulul Mayit dan Al-Hawasyiy.

a)      Furu’ul Mayit

Yang dimaksud yaitu anak keturunan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab antara
orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab menurut garis
keturunan lurus ke bawah (ahli waris terdekat) 5.  Ahli waris yang termasuk dalam kelompok
ini adalah:

1)   Anak Laki-laki

2)   Anak Perempuan

3)   Cucu Laki-Laki

4)   Cucu Perempuan dari garis laki-laki

b)   Ushulul Mayit

Yang dimaksud dengan ushulul mayit yaitu orang-orang yang menyebabkan adanya lahirnya


orang-orang yang meninggal dunia. Atau dapat dikatakan pula yaitu orang-orang yang
menurunkan orang yang meninggal dunia. Hubungan nasab orang yang meninggal dunia
dengan mereka itu (ahli waris) hubungan nasab menurut garis keturunan lurus ke atas.
Adapun yang termasuk dalam Ushulul Mayit:

1)   Ayah

2)   Ibu

4. Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, hlm 83.
5 Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu fiqih, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), hlm. 54.
3)   Kakek dari garis ayah

4)   Nenek dari garis ibu

c)    Al-Hawasyiy

Al-Hawasyiy ialah saudara, paman beserta anak mereka masing-masing. Hubungan nasab


antara orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab ke arah
menyamping. Adapun yang termasuk dalam ahli waris Al-Hawasyiy adalah:

1)   Saudara Laki-Laki yang sekandung

2)   Saudara Perempuan yang sekandung

3)   Saudara Laki-Laki seayah

4)   Saudara Perempuan yang seayah

5)   Saudara Laki-Laki seibu

6)   Saudara Perempuan seibu

7)   Anak Laki-Laki dari saudara laki-laki sekandung

8)   Anak Laki-Laki  dari saudara laki-laki yang seayah

9)   Paman sekandung

10)    Paman sebapak

11)    Anak laki-laki dari paman sekandung

12)    Anak laki-laki dari paman seayah

B.  AHLI WARIS SABABIYAH

            Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena
sebab-sebab tetentu, yaitu:

1.      Sebab perkawinan.

2.      Sebab memerdekakan hamba sahaya.


            Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan apabila
perkawinan suami isteri tersebut sah, baik menurut ketentuan hukum agama dan memiliki
bukti-bukti yuridis artinya perkawinan mereka dicatat menurut hukum yang berlaku.
Demikian juga memerdekakan hamba sahaya hendaknya dapat dibuktikan menurut
hukum6. Jadi, dalam pembagian ahli waris sababiyah yang menerima warisan adalah suami,
istri, laki-laki yang memerdekakan si mayit dari perbudakan  dan perempuan yang
memerdekakan si mayit dari perbudakan7. Kedudukan mereka sebagai ahli waris ditetapkan
oleh firman Allah QS. An-nisa’ ayat 12 :

 “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”

C. FURUDL AL- MUQADARAH

Kata al-furudl adalah jamak dari kata al-fardl, artinya bagian atau ketentuan. Al-


Muqaddarah artinya ditentukan besar kecilnya. Jadi, al-furudl al-muqaddarah maksudnya
adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam Al-Qur’an. Bagian-
bagian tersebut itulah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan
kekerabatan.

6 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris , hlm 64-65


7 Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, hlm 84.
Adapun macam-macam al-furudl al-muqaddarah yang diatur secara rinci
dalam Al-Qur’an ada enam, yaitu:

1.    Setengah / separoh              (1/2 = al-nisf)

2.    Sepertiga                             (1/3 = al-tsuluts)

3.    Seperempat                         (1/4 = al-rubu’)

4.    Seperenam                          (1/6 = al-sudus)

5.    Seperdelapan                      (1/8 = al-tsumun)

6.    Dua pertiga                         (2/3 = al-tsulutsain)

Dasar hukum dari al-furudl al-muqaddarah tersebut adalah QS Al-Nisa’ ayat 11-12.


Ketentuan tersebut pada dasarnya wajib dilaksanakan, kecuali pada kasus-kasus tertentu,
karena ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan secara konsisten. Misalnya apabila di
dalam pembagian warisan terjadi kekurangan harta, maka cara penyelesaiannya adalah
masing-masing bagian warisan yang diterima dikurangi secara proporsional, yang secara
teknis ditempuh dengan menaikkan angka asal masalah. Masalah ini disebut dengan masalah
‘aul. Demikian juga apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihanharta tersebut pada
prinsipnya dikembalikan kepada ahli waris  secara proporsional. Masalah ini disebut dengan
masalah radd, yang secara teknis diselesaikan dengan menurunkan angka asal masalah
dengan jumlah yang diteriman ahli waris. 8

       D. AHLI WARIS ASHAB AL- FURUD

Yang dimaksud dengan ahli waris Ashab al-Furud yaitu ahli waris yang


ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari al-furudl al-
muqaddarah dalam pembagian harta peninggalan.9

Adapun bagian-bagian yang diterima oleh ashab al-furudl adalah sebagai berikut:

1.    Anak perempuan, berhak menerima bagian:


8 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 65-66
9 Asymuni A. Rahman dkk, Ilmu fiqih, hlm. 70.
a.    1/2 jika seorang, tidak bersama anak laki-laki.

b.    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama dengan anak laki-laki.

2.    Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima bagian:

a.    1/2 jika seorang, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak terhalang (mahjub).

b.    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan mahjub

c.    1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-tsulutsain), jika bersama seorang anak
perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau
lebih maka ia tidak mendapat bagian.

3.    Ibu, berhak menerima bagian:

a.    1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u warits) atau saudara dua orang atau lebih.

b.    1/6 jika ada far’u warits atau bersama dua orang saudara atau lebih.

c.    1/3 sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu apabila ahli waris yang ada tediri dari:
suami/istri, ibu, dan bapak.

4.    Bapak, berhak menerima bagian:

a.    1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki.

b.    1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.

Jika bersama ibu, maka:

a.    Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.

b.    1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang
atau lebih.

c.    1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris suami atau istri.

5.    Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:

a.    1/6 jika seorang.

b.    1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.

6.    Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:


a.    1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki garis laki-laki.

b.    1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki tanpa ada anaka laki-laki.

c.    1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil
untuk ahli waris lain.

d.   1/3 atau bagi rata bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.

7.    Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:

a.    1/2 jika seorang, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

b.    2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

8.    Sudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:

a.    1/2 jika seorang dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.

b.    2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah.

c.    1/6 jika besama dengan saudara perempuan sekandung seorang.

9.    Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama. Apabila tidak mahjub,
berhak menerima bagian:

a.    1/6 jika seorang.

b.    1/3 jika dua orang atau lebih.

c.    Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung.

10. Suami berhak menerima bagian:

a.    1/2 jika istri yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu.

b.    1/4 jika istri yang meninggal mempunyai anak atau cucu.

11. Istri, berhak menerima bagian:

a.    1/4 jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu.

b.    1/8 jika suami yang meninggal mempunyai anak atau cucu.10

10 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 67-70.


Jika seluruh ahli waris tersebut di atas ada semua, maka tidak semuanya menerima
bagian. Karena ahli waris yang dekat hubungan kekerabatan, menghijab ahli waris yang jauh.
Maka, ahli waris yang dapat menerima bagian adalah:

a.    Anak perempuan                                                1/2

b.    Cucu perempuan garis laki-laki                          1/6

c.    Ibu                                                                     1/6

d.   Bapak                                                                 1/6 + sisa

e.    Istri atau suami                                                  1/8 atau 1/4

Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul, maka ahli waris
yang mendapat bagian adalah: 11

a.    Anak perempuan           

Bersama-sama menerima sisa

b.    Anak laki-laki

c.    Ibu                                 1/6

d.   Bapak                             1/6

e.    Suami                             1/4 atau istri 1/8

         E.  AHLI WARIS ‘ASHABAH

‘Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata “aashib” yakni ahli waris yang mendapat
harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan karena mendapatkan bagian sisa setelah
diberikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris  penerima  bagian sisa, ahli
waris ‘ashabah terkadang manerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang
menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak manerima sama sekali, karena telah habis
diberikan kepada ahil waris.

Di dalam pembagian sisa harta warisan yang memiliki hubungankekerabatan yang


berdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pembagian warisan ini, maka

11 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 70.


ahli  ‘ashabah yang  peringkat kekerabatannya berada di bawahnya, tidak mendapatkan
bagian. Dasar pembagiannya ini adalah perintah Rasulullah, sebagai berikut:

‫ئض بِا َ ْهلِهَا فَ َما بَقِ َي فَه َُو ألَوْ ل َى َرج ٍُل َذ َك ٍر‬
َ ِ‫اَ ْل ِحقُوْ ا ْالفَ َرا‬

“Berikanlah warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan jika tersisa, maka
diberikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih berhak menerimanya.” (HR. al-Bukhori dan
Muslim)”12

Adapun macam-macam ahli waris ‘ashabah ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

                       1.     ‘ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sediri berhak
menerima bagian ‘ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki,
kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekan hamba sahaya) yaitu:

a)    Bapak

b)    Kakek

c)    Anak Laki-Laki Bapak

d)   Cucu Laki-Laki dari garis laki-laki

e)    Saudara laki-laki sekandung

f)    Saudara laki-laki seayah

g)   anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

h)   Anak laki-laki saudara laki-laki seayah

i)     paman sekandung

j)     paman seayah

k)   Anak laki-laki paman sekandung

l)     Anak laki-laki paman seayah

m)   Mu’tiq  dan atau  Mu’tiqah (orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan hamba
sahaya)

12 Muhammad bin Shalih al-Ustmani, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor: Pustaka Ibnu Kasir, 2006), hlm.
96.
                       2.     ‘ashabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-
sama dengan ahli waris lain yang telah menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima
sisa tidak ada, maka ia tetap menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris
penerima ‘ashabah bi al-ghair adalah:

a)    Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki

b)   Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki

c)    saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung

d)   Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.13

                       3.     ‘ashabah ma’a al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena
bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris
lain tidak ada, maka ia menerima bagian tetentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang
menerima bagian ‘ashabah ma’a al-ghair:

a)    Saudara perempuan kandung yang keberadaannya bersama dengan anak perempuan atau


cucu perempuan dari anak lak-laki. Misalnya seseorang meninggal ahli warisnya terdiri dari
seorang anak perempuan, saudara permpuan sekandung dan ibu. Maka begian masing-masing
adalah:

1)    Anak perempuan                                                         1/2

2)    Saudara perempuan sekandung                                  ‘ashabah

3)    Ibu                                                                               1/6

b)   Saudara perempuan seayah yang keberadaannya bersama dengan anak perempuan atau cucu


perempuan dari anak laki-laki. Misalnya, seseorang meninggal ahliwarisnya terdiri dari:
seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara
perempuan seayah. Maka bagian masing-masing:

1)    Anak perempuan                                             1/2

2)    Cucu perempuan garis laki-laki                       1/6

3)    Dua saudara perempuan seayah                      ‘ashabah

F. Pengertian Kewarisan Saudara (Dzawil Arham)

13 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hlm. 73-74.


Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti
“tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu.” Kemudian dikembangkan menjadi
'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja
disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh
rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun
dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman:

"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu."  (Qs. An-Nisa ayat 1)

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Qs. Muhammad ayat 22)

Rasulullah saw. bersabda:

"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya,


maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris
yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun
Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah
mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham
adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak
mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara
perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara
perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.

B.     Para Dzawil Arham

1.      Saudara ibu laki-laki dan perempuan (paman/bibi);

2.      Saudara ayah yang perempuan (bibi);

3.      Anak perempuan saudara ayah yang laki-laki (putrinya paman/ sepupu);

4.      Anak laki-laki dan anak perempuannya saudara perempuan (Ponakan);

5.      Cucu laki-laki dari anak perempuan;

6.      dan semua kerabat yang tidak mendapat harta waris.


C.    Pembagian Harta Waris

1.      Saudara Kandung dan Seayah,

a.      Setengah (1/2) jika sendirian,

b.     Dua pertiga (2/3) jika berdua atau lebih,

c.      Asabah bi l-ghair jika ada saudara laki-laki seayah,

d.      Asabah ma’a l-gair jika ada anak atau cucu perempuan,

e.   Seperenam (1/6) sebagai pelengkap dua pertiga. Dasar ini diqiaskan dengan bagian cucu
perempuan yang mewarisi bersama seorang anak perempuan.

2.      Saudara Seibu

a.       Seperenam (1/6) jika sendirian.

b.      Sepertiga (1/3) jika berdua atau lebih.

          IV.   KESIMPULAN

Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada
al-muarris didasarkan pada hubungan darah.[15] Secara umum dapat dikatakan
bahwasanya ahli waris nasabiyah itu seluruhnya ada 21 yang terdiri dari 13 kelompok
laki- laki dan 8 kelompok perempuan. Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang
hubungan kewarisannya timbul karena sebab-sebab tetentu, yaitu: sebab perkawinan
dan sebab memerdekakan hamba sahaya.

al-furudl al-muqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah


ditentukan besar kecilnya di dalam Al-Qur’an. Bagian-bagian tersebut itulah yang
akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.

Adapun macam-macam al-furudl al-muqaddarah yang diatur secara rinci dalam


Al-Qur’an ada enam, yaitu:

a.    Setengah / separoh              (1/2 = al-nisf)

b.    Sepertiga                             (1/3 = al-tsuluts)

c.    Seperempat                         (1/4 = al-rubu’)


d.   Seperenam                          (1/6 = al-sudus)

e.    Seperdelapan                      (1/8 = al-tsumun)

f.     Dua pertiga                         (2/3 = al-tsulutsain)

Sementara itu yang dimaksud dengan ahli waris Ashab al-Furud yaitu ahli


waris yang ditetapkan oleh syara’ memperoleh bagian tertentu dari al-furudl al-
muqaddarah dalam pembagian harta peninggalan.

‘ashabah adalah ahli waris yang mendapat harta warisan dengan bagian yang
tidak ditentukan karena mendapatkan bagian sisa setelah diberikan kepada ahli
waris ashab al-furudl. Sebagai ahli waris  penerima  bagian sisa, ahli
waris ‘ashabah terkadang manerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang
menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak manerima sama sekali, karena telah
habis diberikan kepada ahil waris

      V.  PENUTUP

Demikianlah pemaparan dari kami selaku pemakalah, kami sangat


menyadari bahwa baik penulisan maupun penyampaian makalah ini sangat
banyak kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif agar supaya kami dan pemakalah lain bisa
lebih baik lagi. Dan semoga makalah ini bisa menjadi pelajaran yang baik bagi
kita semua. Amin.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, 2001, Fiqh Mawaris (edisi revisi), Jakarta: Raja Grafindo, 1995.

Asymuni A. Rahman, dkk, Ilmu Fiqih, Cet. Ke- 2, (Jakarta : 1986)

Suhrawardi K.Lubis,Komis Simanjuntak,2007, “Hukum Waris Islam”, Sinar. Grafika,


Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai