Anda di halaman 1dari 15

KEWARISAN DAN HUKUM WARIS DALAM SYARIAT ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Mawaris

Dosen Pengampu: Rina Susanti Abidin Bahren, M.A

Disusun Oleh :
Kelompok 1
1. Tristiawan Librlianto (20310216)
2. Miftahul Irsyad (20310175)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM

INSTITUT DAARUL QUR’AN JAKARTA

TAHUN AKADEMIK

2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalmualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan
keimanan, keislaman, kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyusun makalah ini
dengan baik. Makalah dengan judul “KEWARISAN DAN HUKUM WARIS DALAM SYARIAT
ISLAM ” ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Mawaris yang diampu oleh
Ibu. Rina Susanti Abidin Bahren, M.A.

Penyusunan makalah ini tak lepas dari campur tangan berbagai pihak yang telah
berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebener-
besarnya. Meski demikian, penulis meyakini masih banyak yang perlu diperbaiki dalam
penyusunan makalah ini, baik dari segi sumber, tata bahasa, dan bahkan tanda baca. Sehingga
sangat diharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian sebagai bahan evaluasi penulis. Demikian
apa yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk masyarakat umum,
dan untuk kami khususnya.

Wasslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tangerang, 23 September 2022

Tim penyusun

II | Institut Daarul Qur’an


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................II


DAFTAR ISI .................................................................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................................1
A. Latar Belakang ...................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................................................2
C. Tujuan ................................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................................................4
A. Pengetian Ilmu Mawaris.....................................................................................................................4
B. Pembagian Warisan Dalam Perspektif Ilmu Islam .............................................................................5
1. Golongan Ahli Waris Laki-Laki ....................................................................................................6
2. Golongan Ahli Waris Perempuan ..................................................................................................8
3. Golongan Yang Pasti Mendapatkan Warisan .................................................................................9
4. Golongan Yang Tidak Bisa Mewarisi ............................................................................................9
5. Golongan Ashobah .......................................................................................................................10
BAB III PENUTUP......................................................................................................................................11
A. Kesimpulan ......................................................................................................................................11
DAFTAR PUSAKA .....................................................................................................................................12

III | Institut Daarul Qur’an


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu mawaris merupakan salah satu ilmu yang sangat penting dalam Islam, karena
dengan ilmu mawaris harta peninggalan seseorang dapat diberikan kepada yang berhak,
sekaligus dapat mencegah kemungkinan adanya perselisihan karena memperebutkan
bagian dari harta peninggalan tersebut. Dengan ilmu mawaris ini, maka tidak ada pihak-
pihak yang merasa dirugikan. Karena pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik
dalam pandangan Allah dan manusia.
Allah SWT berfirman dalam surat an-nisa ayat 11:

‫س ۤ ًءثفهوقه ثُِنهت هي ن َّثفهثَله نُ َّثُنَلنَ ه ث هَ ثَ ههََه ث ه‬


‫ثَِنْث هَ َه ْث‬ ‫ثََلنث هح نظثَِلنََهيهي ن َّثثفه نْث نَ َّثَن ه‬
‫ثّٰللانثفن ْٓيثِهَ هَل ند نَمث نلَلذ هَ نَ ن‬
‫صي نك نم ه‬
‫ينو ن‬
‫ثَلهدٌث‬
‫ثَلهدٌثثفه نْثلمثيه نك َّثلهٗ ه‬ ‫ثَم ثَ ههََه ثِنْث هَ ْه ثلههٗ ه‬ ‫نس ن‬‫سد ن‬ ُّ ‫ٍثَن نُ هم ثِل‬ ‫ِحد ن‬
‫ثَ ن‬ ‫ۗثَ نَلهبه هوي نهثث نل نك نل ه‬
‫فث ه‬ ‫ِحدهةًثفهَله هُ ثِلننص ن‬ ‫هَ ن‬
‫ َّث بۗثِبه ۤ ُن نَمث‬
‫صثيث نب هُ ْٓثِهَثدهي ٍث‬ ‫صيةٍثيُّو ن‬ ‫نثَ ن‬ ْۢ ‫نس ن‬ ُّ ‫ثثثفه نْث هَ ْه ثلههٗ ْٓثِنخ هوةٌثفه نِلن نَ نهثِل‬ ‫َ هَ نرُههٗ ْٓثِهبه بوهنثفه نِلن نَ نهثِلََُّلن ن‬
‫ثَ َّثبهعد ه‬ ‫سد ن‬
‫ثّٰللاهث هَ ْه ث ه‬
‫ع نَلي ًم ث هح نكي ًم‬ ‫ثّٰللانثۗثِنْ ه‬
‫ثَ َّه ه‬ ‫ضة ً ن‬ ‫بث هل نكمثَهفعً ثۗث هف نَي ه‬ ‫هَِهبنه ۤ ُن نَم هثَلثَ هد نرَْه ثِهيُّ نُمثِهق هَ ن‬

Yang artinya :
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan).
Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-

1 | Institut Daarul Qur’an


anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”

Dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Pelajarilah Al-
Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada
orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal
sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih
dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang
yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)

Permasalahan yang ada saat ini adalah banyak orang yang tidak memahami ilmu
mawaris, sehingga sangat sulit mencari orang yang benar-benar menguasai ilmu ini. Di
sisi lain banyak anggota masyarakat yang tidak mau tahu dengan ilmu mawaris, sehingga
akibatnya mereka membagi harta warisan menurut kehendak mereka sendiri dan tidak
berpijak pada cara-cara yang benar menurut hukum Islam. Misalnya pembagian harta
warisan sama rata antara semua anak. Bahkan anak angkat memperoleh bagian, cucu
mendapat bagian walaupun ada anak almarhum (yang meninggal) dan lain-lain. Kenyataan
ini terutama akibat tidak memahaminya aturan yang digariskan dalam ilmu mawaris.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan untuk
dijadikan sebagai rumusan masalah, adaupun rumus masalahnya sebagai berikut:
Minimnya Jumlah umat Islam yang tidak dapat memutuskan pembagian harta Warisan
secara adil dan merata menurut hukum Islam, dan sulitnya menghitungnya Atau
menentukan warisan. karena hanya sedikit orang yang mengerti Pembagian warisan
menurut hukum Islam. Maka dibutuhkan suatu cara yang dapat mempermudah masyarakat
dalam menentukan pembagian harta waris terutama disesuaikan dengan hukum Islam.
Sehingga tidak terjadi lagi ketimpangan pembagian harta waris yang sering terjadi di
masyarakat pada umumnya.

2 | Institut Daarul Qur’an


C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan
dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu mawaris.
2. Untuk mengetahui bagaimana urgensi ilmu mawaris dalam pembagian warisan.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara pembagian warisan dalam persepektif islam.

3 | Institut Daarul Qur’an


BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengetian Ilmu Mawaris
Ilmu mawaris atau dalam istilah fiqh di sebut sebagai ilmu faraid adalah ilmu yang
berkaitan dengan pembagian warga warisan berdasarkan prinsip dan syariat Islam.
Umumnya disebut juga dengan ilmu faraidh. Ilmu inilah yang digunakan untuk melakukan
pembagian harta kepada para ahli waris. Memahami ilmu mawaris hukumnya adalah fardu
kifayah. Artinya jika ada yang sudah mempelajarinya maka gugurlah kewajiban bagi yang
lainnya. Akan tetapi, saat ini semakin sedikit orang yang memahami ilmu ini. Dijelaskan
dalam kitab fathul qorib karangan Ibnu Qosim Al-Ghazi dalam Bab Faraid,
‫ٍثَ َّه ثِلفهَ ن‬
‫ضثبن همعنهىثِلتقدني نَث‬ ‫ضة ن‬ ‫ضث هجم نعثفه نَي ه‬
‫ضةثٍبن همعنهىث هَف نََ ه‬ ‫هَِلفه هَِئن ن‬

‫بث نَقهد ٍرث نل نمست نهح نق نهث‬


ٍ ‫هصي‬ ً َ‫ضةنثشه‬
‫ع ثِس نمثَ ن‬ ‫هَِلفه نَي ه‬

‫صَلتنهنث نب نهث‬ ‫ئثبن لشي نئثإنذه ه‬


‫ِثَ ه‬ ‫ثَصي ْن ثِلشي ه‬
‫ٍثَ َّ ه‬
‫ص ية ن‬
‫ثَ ن‬
‫ص يه ث هجم نع ه‬
‫هَِل هو ه‬

‫تث‬
‫فث نل هم ث هبعدهثِل همو ن‬
ٌ ‫ض‬
‫قث نَ ه‬ ً َ‫صيةنثشه‬
ٍ ‫ع ثَ ه هب َُّعٌثبن هح‬ ‫هَِل هو ن‬

Yang artinya :
“Lafadz “al fara’id” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafardz “faridlah” dengan
menggunakan makna faladz “mafrudlah” yang diambil dari bentuk kalimat masdar “al
fardl” dengan menggunakan makna bagian pasti. Al faridlah secara syara’ adalah nama
bagian pasti bagi orang yang menghakinya. Lafadz “al washaya” adalah bentuk kalimat
jama’ lafadz “washiyyah” dari kata-kata “aku menyambung sesuatu dengan sesuatu yang
lain ketika aku menyambungnya dengan sesuatu yang lain tersebut”. Wasiat secara syara’
adalah bersedekah sunnah dengan suatu hak yang disandarkan pada masa setelah
meninggal dunia.”
Yang dimaksud dalam penjelasan diatas kata faraid merupakan pecahan dari kata
faridlah dengan mengguakan arti dari lafadz mafrudlah yang di ambil dari bentuk masdar
kata alfardl, secara etimologi kata faraid memiliki arti bagian pasti, secara terminologi atau
istilah kata alfaraid memiliki pengertian bagian pasti bagi orang yang menghakinya.
Sedangkan lafadz alwashaya merupakan bentuk kalimat jamak (kalimat yang memiliki
4 | Institut Daarul Qur’an
makna banyak) dari asal kata washiyyah, kata itu sendiri menurut etimologi memiliki
makna atau arti aku menyambung sesuatu dengan sesuatu yang lain ketika aku
menyambungnya dengan sesuatu yang lain tersebut, dalam hal ini sesuatu yang di sambung
merupaka harta warisan. Sedangkan menurut terminologi wasiyat adalah bersedekah
sunnah dengan suatu hak yang disandarkan pada masa setelah meninggal dunia, artinya
bersedekah yang dimaksud disini sudah di tentukan dan di tetapkan sesuai dengan hak-hak
yang harus diberikan, dan hanya boleh dilaksanakan ketikan orang tersebut sudah
meninggal dunia.
Membahas tentang ilmu faraidh tidak akan lepas dengan yang namanya ilmu
matematika, menurut Mubarokah (2014:2) mengatakan salah satu ilmu pengetahuan umum
yang memiliki keterkaitan dengan alqur’an adalah matematika. Mempelajari ilmu faraidh
dalam agama islam memiliki hukum tersendir yaitu fardl kifayah. Kewajiban mempelajari
dan mengajarkan ilmu faraidhakan gugur apabila ada satu orang yang melaksanakannya.
Jika tidak ada seorangpun yang melakukannya maka seluruh ummat yang akan
menanggung dosanya, karena melalaikan kewajiban. Tujuan mempelajari ilmu faraidh
adalah agar tidak terjadi perselisihan terhadap harta yang ditinggalkan oleh si mayit untuk
keluarganya. Serta ahli waris mendapatkan bagian seadil-adilnya. Dari sinilah kita dapat
mengetahui keterkaitan matematika dengan faraidh. Jika dilihat dari definisi faraidh sendiri,
faraidh merupakan ilmu yang mempelajari tentang tata cara danperhitunganpembagian
harta warisan, untuk setiap ahli waris berdasarkan syariat islam. Ini merupakan faktor
dikembangkannya matematika dalam dunia islam sejak tahun 800 masehi, menurut
Syarifuddin (2004).

B. Pembagian Warisan Dalam Perspektif Ilmu Islam


Pembagian warisan dalam perspektif ilmu islam tentunya diatur dalam al-qur’an
dan hadist. Pembagian warisan dibahas dalam al-qur’an surat an-nisa ayat 11yang artinya:
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-
anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
5 | Institut Daarul Qur’an
ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau
(dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kewarisan dalam Islam ada


empat yaitu;

a. Kerabat atau hubungan persaudaraandisebabkan adanya kelahiran, yang sebelumnya


sudah terikat hubungan pernikahan. Hubungan ini menyebabkan munculnya hak
mewarisi yaitu: ashab al-furudh, ashabah nasabiyah, dan dzawil arham(orang yang
tidak termasuk dalam golongan ahli waris dan menerima bagian dari harta warisan).
b. Pernikahan, di mana suami atau isteri yang masih berada dalam ikatan pernikahan
yang sah akan mendapat warisan dari pasangannya yang telah meninggal.
c. Pemerdekaan budak (wala’), di mana seseorang yang dibebaskan dari perbudakan
(laki-laki atau perempuan) berhak atas wala’nya, karena ikatan yang disebabkan oleh
memerdekakan budak ataupun hamba sahaya. Ikatan ini merupakan ikatan sepihak
di mana orang yang telahmemerdekakan budak berhak menjadi ahli waris
dari budak yang sudah di memerdekakannya. Namun budak yang telah
memerdekakan, tidak berhak menjadi ahli waris dari orang yang telah memerdekakannya.
d. Sesama Islam jika ketiga faktor di atas tidak ada sehingga harta waris akan diserahkan
untuk kemaslahatan umat Islam.

Syeikh Ibnu Qosim Al-Ghazi menjelaskan pembagian hak waris dalam kitab
karangannya yaitu fathul qorib, menurut nya pembagian hak waris dibagi menjadi
beberapa golongan :

1. Golongan Ahli Waris Laki-Laki


‫سةهث ه‬
‫عش ههَث‬ ‫ثَبن لبهس نطثخهم ه‬
‫ص نر ه‬ ‫عَلهىثإنرُن نُمث( ه‬
‫عش هَةٌ)ثبن نَلختن ه‬ ‫ثِلَ هج نل)ثِل نمج همعنث ه‬ ‫(َِل هو نِرُنوْه ن‬
‫ثَ َّه ن‬ ‫ه‬
6 | Institut Daarul Qur’an
‫نثَِب ن َّثِلألهخن ه‬
‫ثَ نإْث‬ ‫ثَِْلهخ ه‬
‫ع هِل ه‬ ‫هثَِْلهبُّ ه‬
‫ثَِل هجد هُّثَإنْث ه‬ ‫سفنل ه‬
‫ثَ نإْث ه‬ ‫ثَِب ن َّ ن‬
‫ثَِلب ن َّ ه‬ ‫فثِل هعش هَةهثث نبقهو نل نه ن‬
‫ث(َِلب ن َّ ه‬ ‫صنن ن‬
‫عدثِل نم ه‬
‫هَ ه‬
)‫ثَِل همولهىثِل نمعتن نق‬
‫ِثَِلزَ نج ه‬
‫عده ه‬ ‫ثَِب ن َّثِل هع نم ه‬
‫ثَ نإْثَهبه ه‬ ‫هىثَِلعه ُّم ه‬
‫َ ههَِخ ه‬
‫ثَِلزَ نجثفهقهطث‬
‫َِلب ن َّ ه‬
‫ثَ ن‬‫ثَن نُمثُ ه هِلُهةٌثِْلهبُّ ه‬
‫ث ن‬‫ثَ هر ه‬ ‫هَله نوثِجت ه هم هعثثث نَ ُّل ن‬
‫ثِلَ هج نل ه‬
ً ‫صثو هرةنث نإَلثَِ هَأ هثة‬
ُّ ‫هَ هَلث هي نكو نْثِل هم ني ْن ثفنيث هه نذهنثِل‬

“Golongan ahli waris dari pihak laki-laki yang disepati berhak menerima warisan
ada sepuluh orang secara ringkas, dan lima belas orang secara terperinci, Mushannif
menyebutkan sepuluh orang tersebut dengan perkataan beliau, “yaitu anak laki-laki, anak
laki-laki dari anak laki-laki terus hingga ke bawah, ayah, kakek hingga terus ke atas,
saudara laki-laki, putra dari saudara laki-laki walaupun agak jauh, paman dari ayah,
putra paman dari ayah walaupun jarak keduanya jauh, suami, dan majikan yang telah
memerdekakan. Seandainya semua golongan laki-laki ini berkumpul, maka yang
mendapatkan warisan dari mereka hanya tiga orang, yaitu ayah, anak laki-laki dan suami.
Mayat dalam kasus ini tidak lain adalah mayat perempuan”.

Yang di maksud dari pernyataan diatas adalah golongan ahli waris dari pihak laki
itu ada 10 orang secara ringkas dan 15 orang secara terperinci, 10 orang tersebut yaitu:

a. Anak laki-laki
b. Anak laki-laki dari anak laki-laki hingga terus kebawah
c. Ayah
d. Kakek hingga terus keatas
e. Saudara laki-laki
f. Putra dari saudara laki-laki walaupun agak jauh
g. Paman dari ayah
h. Putra paman dari ayah walaupun jarak keduanya jauh
i. Suami
j. Majikan yang telah memerdekakan

Akan tetapi jika dari 10 golongan ini berkumpul yang berhak mendapatkan hak
waris hanya 3 orang yaitu ayah, anak laki-laki dan suami, keadaan ini berlaku jika yang
meninggal adalah perempuan
7 | Institut Daarul Qur’an
2. Golongan Ahli Waris Perempuan
ٌ ‫عش هَثة‬
‫ثَبن لبهس نطث ه‬
‫ص نر ه‬ ‫عَلهىث نإرُن نُ َّث( ه‬
‫سب ٌع)ث نب نَلختن ه‬ ‫س نء)ثِل نمج همعنث ه‬ ‫(َِل هو نِرُ ه تن ن‬
‫ثَ َّه ثِلنن ه‬ ‫ه‬

‫عَله ْث‬
‫)ثَإنْث ه‬ ‫ث(َِْل ن ُّم ه‬
‫ثَِل هجدة ن ه‬ ‫سفنَله ْ ه‬
‫)ثَإنْث ه‬
‫ثَِلب ن َّ ه‬ ‫فثِلسب هعثفنيثقهو نل نهث(ِلبنن ْن ه‬
‫ثَبنن ْن ن‬ ‫صنن ن‬‫عدثِل نم ه‬
‫هَ ه‬
‫ثَِل همو هَلةنثِل نمعتنقهةن)ثِلخ‬ ‫(َِْلنخ ه‬
‫ ْنثثَِلزَ هجةن ه‬ ‫ه‬

‫ثَِْلنخ ْن ثِلش نقيقه ثةن‬ ‫ثَِْل ن ُّم ه‬


‫ثَِلزَ هجةن ه‬ ‫ثَبنن ْن ن‬
‫ثَِلب ن َّ ه‬ ‫ثسثِلبنن ْن ه‬
ٌ ‫ثَن نُ َّثخهم‬
‫ث ن‬‫ثَ هر ه‬ ‫هَله نوثِجت ه هم هعث نَ ُّلثِلنن ه‬
‫س نءثفهقهط ه‬

‫ثر نج ًِلث‬ ُّ ‫هَ هَلثيه نكو نْثِل همين ْن ثفنيث هه نذهنثِل‬


‫صو هرةنثإنَل ه‬

“Golongan ahli waris dari pihak perempuan yang disepakati berhak mendapat warisan
ada tujuh orang secara ringkas, dan sepuluh orang secara terperinci. Mushannif
menyebutkan ketujuh golongan tersebut di dalam perkataan beliau, “yaitu anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun hingga ke bawah, ibu, nenek
walaupun hingga ke atas, saudara perempuan, istri, dan majikan perempuan yang
memerdekan” hingga akhir penjelasan beliau. Seandainya seluruh golongan perempuan
saja yang berkumpul, maka yang mendapat warisan dari mereka hanya lima orang, yaitu
anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri dan saudara perempuan
seibu sebapak. Mayat dalam bentuk ini tidak lain kecuali berupa mayat laki-laki”.

Yang dimaksud dalam pernyataan diatas yaitu golongan ahli waris dari pihak
perempuan itu ada 7 orang secara ringkas dan 10 orang secara terperinci, 7 orang tersebut
yaitu:

a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki walaupun jauh kebawah
c. Ibu
d. Nenek walaupun hingga keatas
e. Istri
f. Saudara perempuan
g. Majikan perempuan yang memerdekakan

8 | Institut Daarul Qur’an


Akan tetapi jika dari 7 golongan ini berkumpul yang berhak mendapatkan hak waris
hanya 5 orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri dan
saudara perempuan seibu sebapak. Keadaan ini berlaku jika yang meninggal adaalah laki-
laki.

3. Golongan Yang Pasti Mendapatkan Warisan


Dijelaskan oleh pengarang dalam kitabnya fathul qorib, ada beberapa golongan yang tidak
akan pernah gugur haknya dalam pembagian warisan
‫ثَِْل ن ُّمث‬
‫ِْ)ثأهينثِْلهثبُّ ه‬
‫ث(َِْلهبه هو ن‬ ‫سةٌثِلزَ هج نْ)ثأهينثِلزَ نج ه‬
‫ثَِلزَ هجةن ه‬ ‫)ثَ َّه ثِل هو هرُ ه نةث(بن هح ٍلثخهم ه‬
‫ط ن‬ ‫(َ هَ َّ هثَلثيهسقن ن‬
‫ه‬
‫ب)ثذه هَ ًَِث هَ ْه ثأهَثأنََهى‬ ُّ ‫(َ هَلهدنثِل‬
‫صَل ن‬ ‫ه‬
“Golongan ahli waris yang tidak akan pernah gugur dalam berbagai keadaan ada lima
orang, yaitu zaujain maksudnya suami dan istri, abawain maksudnya ayah dan ibu, dan
putra kandung, baik laki-laki atau perempuan.”
Dari pernyataan yang diberikan pengarang kitab fathul qorib ada 5golongan yang haknya
tidaak akan pernah gugur dalam pembagian warisan, golongan ini yaitu :
a. Suami/ istri
b. Ayah
c. Ibu
d. Anak kandung laki-laki
e. Anak kandung perempuan

4. Golongan Yang Tidak Bisa Mewarisi


Berikut beberapa golongan yang tidak bisa mewarisi walaupun memiliki peningalan atau
warisan:

a. budak laki-laki dan perempuan.


b. orang yang membunuh.
c. orang murtad Seperti orang murtad adalah orang kafir zindiq. Kafir zindiq adalah orang
yang menyebunyikan kekafirannya dan memperlihatkan keislamannya.
d. penganut dua agama yang berbeda.
e. Orang kafir bisa mendapat warisan dari orang kafir yang lain walaupun agama keduanya
berbeda seperti orang yahudi dan orang nashrani.

9 | Institut Daarul Qur’an


f. Orang kafir harbi tidak bisa mewaris orang kafir dzimmi, dan tidak juga sebaliknya.
g. Orang murtad tidak bisa mewaris orang murtad yang lain, tidak dari orang muslim dan
tidak dari orang kafir.

5. Golongan Ashobah
Golongan ini adalah orang yang ketika dalam keadaan diashabahkan tidak memiliki
bagian pasti, yaitu dari orang-orang yang disepakati berhak mendapat warisan dan telah
dijelaskan di depan. Yang menjdi pertimbangan dalam pembagian hak ashobah ini agar
memasukan ayah dan kakek , karena ayah dan kakek memiliki bagian pasti di selain
bagian ashobah. Syeikh ibnu qosim al-ghazi menjelaskan urutan pembagian hak shobah
dalam kitabnya fathul qorib, berikut urutan yang dijelaskan: anak laki-laki, lalu cucu laki-
laki dari anak laki-laki, kemudian ayah, ayahnya ayah, saudara laki-laki kandung seayah
dan seibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu,
kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah, kemudian paman dari ayah sesuai
dengan urutan ini, lalu anak laki-lakinya, kemudian didahulukan paman dari ayah yang
seayah seibu, lalu paman dari ayah yang seayah, anak-anak laki-lakinya paman dari ayah
sesuai dengan urutan di atas, lalu didahulukan pamannya ayah dari jalurnya kakek yang
seayah seibu dengan ayah, kemudian yang seayah, lalu anak-anak laki-laki keduanya
sesuai dengan urutan di atas, kemudian didahulukan pamannya kakek dari jalur ayahnya
kakek yang seayah seibu, lalu yang seayah dan begitu seterusnya.

Ketika golongan ahli waris ashabah dari jalur nasab tidak ada, sedangkan mayatnya
adalah budak yang telah dimerdekakan, maka majikan yang telah memerdekakannya
mendapat warisan dari dia dengan waris ashabah, baik majikan yang memerdekakan
tersebut laki-laki atau perempuan. Dan jika tidak ditemukan ahli waris sebab nasab atau
wala’(jalur budak), maka harta warisan si mayat menjadi milik baitul mall.

10 | Institut Daarul Qur’an


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Faraidh (pewarisan) adalah segala yang berkaitan dengan pembagian harta
peninggalan. Faraidh bentuk jamak dari kata faridhah yang bermakna sesuatu yang
diwajibkan atau sesuatu yang dipastikan. Karena pewarisan terkait erat dengan pembagian
yang dipastikan atau di tentukan. Faridhah lumrahnya bermakna kewajiban, berubah
makna menjadi bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Dan, fardu secara bahasa
bermakna kepastian, perkraan. Allah SWT berfirman: “maka (bayarlah) seperdua dari apa
yang telah kalian tentukan” (QS. Al-Baqarah: 237)

Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa
uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli
warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang
meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada
bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak
kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan
dengan hak orang lain.

Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-


adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup.
Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa
ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.

11 | Institut Daarul Qur’an


DAFTAR PUSAKA

Aminah, S., & Yazidah, N. I. (2018). Kajian Aritmatika Sosial Dalam Perhitungan Ilmu
Faraidh (Ilmu Waris) Dalam QS. An-Nisa. Prismatika: Jurnal Pendidikan dan
Riset Matematika, 1(1), 50-56. DOI:
https://doi.org/10.33503/prismatika.v1i1.303
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Kencana, 2008), h.188.
Dahlan, A. A. Al-Dimyati, Muhammad Syatha, I’anat al-Thalibin, Semarang: Toha Putra,
tth Afandi, M. Yazid, Fiqih Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga
Keuangan Syariah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009 Al-Fauzan, Saleh, Fiqih
Sehari-hari, Jakarta: Gema Insane Press, 2005 Al-Jaziri, Abdurrahman, al Fiqh
ala Mazhabil ‘Arba’ah, Jilid 3, Lebanon: Daar al.
Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyidan Syari, (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006), h. 130
Syarifuddin, A. (2004). Hukum Kewarisan Islam, Cetakan Ke 4. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

12 | Institut Daarul Qur’an

Anda mungkin juga menyukai