Disusun Oleh :
Isma Sabrina Nazia Elhansa (2108205148)
Nita Sapitri (2108205152)
Syah Ryano (2108205156)
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai
najis dan istinja dengan tepat waktu sehingga dapat memenuhin tugas pada
mata kuliah Praktik Qira'ah dan Ibadah. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan konstribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat menambah wawasan
dan pengetahuan bagi pembaca. Bahkan penulis berharap lebih jauh agar
makalah ini dapat di praktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna dalam penulisan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman. Untuk itu penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu aspek terpenting bagi manusia guna menjalin hubungan
yang terbaik kepada Allah Swt dan manusia serta alam sekitarnya adalah
kebersihan. Dalam kehidupan makhluk bernyawa, kebersihan merupakan
salah pokok dalam memelihara kelangsungan eksistensinya, sehingga
tidak ada satupun makhluk kecuali berusaha untuk membersihkan dirinya,
walaupun makhluk tersebut dinilai kotor.
Dalam ajaran Islam, bersuci memainkan peranan yang sangat penting
dalam ibadah. Tidak hanya dalam kasus shalat, kesucian diri, tubuh,
pakaian dan tempat juga sangat mempengaruhi kesahihan ibadah haji.
Bersuci sangat mampengaruhi kesahihan ibadah orang tersebut. Dengan
begitu, tujuan dari ibadah terpenuhi dengan sempurna. Kesalahan sedikit
dalam bersuci akan berakibat fatal terhadap ibadah. Alih-alih mendapatkan
pahala justru dosa yang diperoleh. Akan tetapi banyak sekali orang yang
kurang memperhatikan masalah bersuci tersebut. Hal ini terjadi bisa saja
karena ketidakpahaman mereka tentang bersuci atau memang mereka
paham tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau
lebih parahnya lagi mereka menganggap enteng masalah bersuci tersebut.
Seperti hal yang telah tertulis di atas, maka jika bersuci dilakukan dengan
benar, maka ibadah kita akan sempurna. Namun, jika salah melakukan
bersuci, maka ibadah kita rusak. Jadi, perkara yang pertama yang dapat
kita pahami tentang bersuci ini adalah bahwa Allah sama sekali tidak
bertujuan untuk menyusahkan kita, tetapi semata-mata hendak
membersihkan kita baik dari hadas, najis dan kotoran yang lainnya ataupun
membersihkan kita dari segala dosa. Adapun alat yang digunakan untuk
bersuci tersebut ada yang menggunakan air dan tanah.
Akibat teknologi yang lebih maju maka bagi manusia, cara
membersihkan diri tersebut dapat dilakukan dengan tanah dan air, dan
ditambah dengan menggunakan sabun mandi. Bahkan untuk pembersih
wajah ada sabun khusus dan lain sebagainya. Banyak masyarakat muslim
pada umumnya belum bisa membedakan antara najis dan hadas. Najis
adalah materi dari suatu kotoran, dan istinja merupakan salah satu contoh
dari najis.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan thaharah?
2. Apakah yang dimaksud dengan najis?
3. Apa saja jenis-jenis najis?
4. Bagaimana cara mensucikan najis?
5. Apa yang dimaksud dengan istinja?
1
2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari thaharah
2. Untuk mengetahui maksud dari najis
3. Untuk mengetahui jenis-jenis najis
4. Untuk dapat memahami cara bersuci dari najis
5. Untuk mengetahui maksud dari istinja
6. Untuk memahaminya bagaimana etika dan tata cara membersihkan
istinja dengan baik dan benar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
َُ وهك ُُ ْم
َ لوا ُو ُج ِ ِ َّ ايَ أيهَُّا الَّ ِذينُ آمنوا إِذاَ قمُ ْمتُُ ِإلُى
ُ الص َل َُة َُ فاَ ْغس َ َُ ُْ ُ َ ََ ُ َ
وس ُك ْم َُ َو ْأر َُ ُجلَ ُك ْم َُ ِإل َُى ِ يكُ ْمُ ِإلُى امل ُْرافِ ِقُ وامسحوا بِرء ِ و
ُ ُ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ ُ َ أي َُد ْ َ
ِ َۚ ِ َۚ
ى
َ ض َ تم َُ ُُ َم ْر ْ تم َُ ُُ ُجنُباً فاَطهَُّ َُ ُرواَ َُ َوإن َُ ُْ ُك ْن ِ َالك ُْ ْعب
ْ ني ُْ َُ َُُ َُ َوإن َُ ُْ ُك ْن َ
َُ َُ نك ُُ ْم َُ ِم َن َُ الغْاَئِ ِط َُ ْأو ْ أح َُ َد ِم َ َُ َف َر ْأو َُ َُ َجاء َ ى َس َ ْأو َُ َُ َع َل
ًصعِيداً طَ ِي با َ دوا َماءً َُ فَتيَ َّم َُ ُموا ُ َُ تج ِ َُ فل َُ ْم َ َُ َس َُاء ِ تم َُ ُُ النُ َل َُ َم ْس
ِوه ُكمُ وأيُ ِدي ُكمُ ِم ْنهُ َُُۚ ما ي ِري َدُ اللُُُُ ل ِ
َُ َُ عل
َ ُْ يج
َ َ َ ُ ُ ُ َ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ س ُحوا ب ِو ُُ ُج َ فَ ْام
َُ ُط ِه َرُك ْم َُ َولِيُتِ َّم َُ نعِ َم ُْتهَ ُلك َُ َن ُْ يُ ِري َد ُُ لِيِ يك ُُ ْم َُ ِمن ُْ حر ج و
َ َ ََ َ ْ ََعل
َُ تش ُْ ُك ُرو َن ُّ َيك ُُ ْم َُ َلعل
َ َُ ك َُ ْم ْ ََعل
3
4
B. Pengertian Najis
Kata Najis berasal dari bahasa arab( ) جاسةّالنyang artinya kotoran.
Najis menurut istilah adalah suatu benda yang kotor yang mencegah
sahnya mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci
seperti salat dan tawaf. Macam-macam najis banyak dibicarakan dalam
Islam, mulai dari pembagian najis dan bagaimana tata cara
menghilangkannya. Najis menurut bahasa artinya sesuatu yang dianggap
kotor.
Sedang menurut istilah adalah sesuatu yang dianggap kotor yang
menghalangi kesahihan sholat. Dengan demikian, najis adalah sesuatu
yang kotor yang harus dihindarkan atau disucikan ketika hendak
mengerjakan ibadah terhadap pakaian, badan dan tempat agar ibadah
tersebut menjadi sah dan diterima oleh Allah Swt.
1. Najis mukhaffafah ialah najis yang ringan, seperti air kencing bayi
laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-
apa kecuali air susu ibunya.
2. Najis mughalladzah yaitu najis yang berat yakni najis anjing dan babi
serta keturunan dari keduanya. Najis berat sering diistilahkan sebagai
najis mugallaẓah. Disebut najis yang berat karena tidak bisa suci
begitu saja dengan mencuci dan menghilangkan najis secara fisik,
tetapi harus dilakukan praktek ritual (tuntunan) tertentu. Adapun
darah hewan yang masih mengalir pada daging dan urat nadi maka
darah tersebut hukumnya suci. Sebagaimana Allah berfirman dalam
QS al-An'ām/6:145.
5
Ayat tersebut menjelaskan dari tempat buang air adalah hadas dan hal
tersebut membuktikan bahwa segala sesuatu yang keluar dari qubul dan
dubur merupakan suatu hal yang dapat membatalkan wudu dan
menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah shalat.
9
7
dapat dilakukan bagi semua jenis dan macam najis bagi semua tempat,
sedang mengusap dengan menggunakan dengan beberapa batu
diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur (istinja).
D. Pengertian istinja
Istinja secara bahasa berarti terlepas atau selamat, sedangkan
menurut pengertian syariat adalah bersuci setelah buang air besar atau
buang air kecil. Secara legkapnya, istinja adalah menghilangkan sesuatu
yang keluar dari kubul atau dubur dengan menggunakan air suci lagi
mensucikan atau batu yang suci atau benda-benda lain yang memiliki
fungsi sama dengan air dan batu. Selain istinja, ada lagi istilah istijmar,
yaitu menghilangkan najis dengan batu atau sejenisnya. Istinja dan
istijmar, adalah cara bersuci yang diajarkan syariat Islam kepada orang
yang telah buang hajat. Dan hukum istinja adalah wajib bagi setiap orang
yang baru buang air besar ataupun buang air kecil, dengan air atau media
lainnya. Istinja yang baik adalah dengan air, bilas pula dengan batu
istijmar). Untuk ber istijmar, batu dapat diganti dengan benda keras
apapun asal tidak haram dan punya sifat bisa menghilangkan najis. Pada
zaman sekarang, kamar-kamar kecil biasanya menyediakan fasilitas tisu
khusus untuk menghilangkan najis. Dengan menggunakannya, kita dapat
menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan tangan. Sebab, tisu
memiliki kesamaan fungsi dengan batu dalam konteks sebagai alat istinja.
Dalam pendapat lain sebagaimana dijelaskan oleh Rosidin dalam buku
Pendidikan Agama Islam, kata istinja berasal dari akar kata naja' yang
artinya bebas dari penyakit (kotoran). Jadi, disebut istinja karena orang
yang beristinja berusaha bebas dari penyakit dan menghilangkan penyakit
tersebut. Hukum Istinja Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi mengatakan
istinja hukumnya fardhu. Ulama Hanafiyah berkata bahwa hukum istinja
atau aktivitas lain yang menggantikan kedudukannya seperti istijmar
adalah sunnah muakkadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Sementara itu, Hasan ibn Salim al-Kaf dalam al-Taqrirat al-Sadidah
sebagaimana dijelaskan Rosidin membagi hukum istinja menjadi 6 jenis.
Antara lain sebagai berikut:
1. Wajib: Istinja hukumnya wajib jika yang keluar adalah najis yang
kotor lagi basah. Seperti air seni, madzi, dan kotoran manusia.
2. Sunnah: Istinja hukumnya sunnah jika yang keluar adalah najis yang
tidak kotor. Contohnya cacing.
3. Mubah: Jika beristinja dari keringat.
4. Makruh: Istinja hukumnya makruh jika yang keluar adalah kentut.
5. Haram: Haram namun sah jika beristinja dengan benda hasil ghashab.
Istinja hukumnya haram dan tidak sah jika beristinja dengan benda
yang dimuliakan seperti buah-buahan.
8
6. Khilaf al-aula yakni antara mubah dan makruh: Jika beristinja dengan
air zam-zam.
E. Etika dan tata cara membersihkan istinja dengan baik dan benar
1. Tata Cara Istinja
Secara umum, tata cara beristinja ada tiga. Pertama, menggunakan air
dan batu. Cara ini merupakan cara yang paling utama. Batu dapat
menghilangkan bentuk fisik najis. Sementara itu, air yang digunakan
harus suci dan menyucikan. Air tersebut dapat menghilangkan bekas
najis. Kedua, menggunakan air saja. Ketiga, menggunakan batu saja.
Adapun, batu yang diperbolehkan untuk beristinja haruslah suci, bukan
najis atau terkena najis, merupakan benda padat, kesat, dan bukan benda
yang dihormati.
2. Adab Buang Hajat
Dalam Islam, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan saat buang
hajat. Antara lain sebagai berikut :
a. Istibra, yaitu mengeluarkan kotoran yang tersisa di dalam makhraj,
baik itu air kencing maupun kotoran, sampai dirasa tidak ada lagi
kotoran yang tersisa.
b. Diharamkan buang hajat di atas kuburan. Alasan mengenai pendapat
ini karena kuburan adalah tempat di mana orang bisa mengambil
nasihat dan pelajaran. Maka, termasuk adab sangat buruk jika
seseorang justru membuka aurat di atas kuburan dan mengotorinya.
c. Tidak boleh membuang hajat pada air yang tergenang. Diriwayatkan
dari Jabir, Rasulullah SAW melarang kencing pada air yang
tergenang (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan yang lainnya).
d. Dilarang buang hajat di tempat-tempat sumber air, tempat lalu lalang
manusia, dan tempat bernaung mereka. Pendapat ini merujuk pada
sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits.
Rasulullah SAW bersabda: "Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang
dilaknat (oleh manusia." Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud
dengan dua penyebab orang dilaknat?" Beliau menjawab, "Orang
yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia atau di tempat
yang biasa mereka bernaung." (HR. Muslim dan Abu Dawud).
e. Dilarang buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat.
f. Dimakruhkan bagi orang yang membuang hajat untuk melawan arah
angin. Sebab, dikhawatirkan adanya percikan air kencing yang
membuatnya terkena najis.
g. Dimakruhkan bagi orang yang sedang buang hajat untuk berbicara.
Namun, apabila memang ada kebutuhan maka diperbolehkan untuk
berbicara, seperti meminta gayung untuk membersihkan najis
9
A. Kesimpulan
Kata taharah ( )الطهارةmenurut bahasa artinya bersih, kebersihan atau
bersuci. Taharah menurut istilah adalah suatu kegiatan bersuci baik dari
najis dan hadas sehingga seseorang diperbolehkan untuk mengerjakan
suatu ibadah yang dituntut dalam keadaan suci seperti salat dan tawaf.
Kegiatan bersuci dari najis meliputi menyucikan badan, pakaian dan
tempat, sedangkan bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudu,
tayamum dan mandi.
Kata Najis berasal dari bahasa arab( ) جاسةّالنyang artinya kotoran.
Najis menurut istilah adalah suatu benda yang kotor yang mencegah
sahnya mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci
seperti salat dan tawafnajis adalah sesuatu yang kotor yang harus
dihindarkan atau disucikan ketika hendak mengerjakan ibadah terhadap
pakaian, badan dan tempat agar ibadah tersebut menjadi sah dan diterima
oleh Allah Swt.Adapun jenis najis dapat dibedakan berdasarkan tingkat
kesulitan dalam mensucikan dan menghilangkan zat najis, yaitu sebagai
berikut:
a. Najāsat Mugallaẓah (Najis Berat atau Besar)
b. Najāsat Mutawassiṭah (Najis Pertengahan)
c. Najāsat Mukhaffafah (Najis Ringan atau Kecil)
10
11
Dahlan, Abdul Aziz, Ed. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996, cet. ke 3
Ridwan & Suriyanti, Jurnal Wajid Macam Najasat dalam perspektif teologi
dalam al qur'an Vol. 1 No. 2 Desember 2020| Hal 158-170| ISSN:
2746-04444
Harisuddin, M. Noor, Pengantar Ilmu Fiqih, Cet: VII; Surabaya: CV.
Salsabila Putra Pratama, 2019.
12