Anda di halaman 1dari 15

NAJIS DAN ISTINJA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Praktikum


Qira’ah dan Ibadah
Dosen pengampu: Ahmad Nadirin., S.Pd., M.H

Disusun Oleh :
Isma Sabrina Nazia Elhansa (2108205148)
Nita Sapitri (2108205152)
Syah Ryano (2108205156)

JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON
Alamat : Jln. Perjuangan, Karyamulya, Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat
(4131)

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mengenai
najis dan istinja dengan tepat waktu sehingga dapat memenuhin tugas pada
mata kuliah Praktik Qira'ah dan Ibadah. Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan konstribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat menambah wawasan
dan pengetahuan bagi pembaca. Bahkan penulis berharap lebih jauh agar
makalah ini dapat di praktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna dalam penulisan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman. Untuk itu penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Cirebon, 21 April 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i


DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3
A. Pengertian thaharah ....................................................................... 3
B. Pengertian najis ............................................................................... 4
C. Jenis-jenis najis ............................................................................... 4
D. Cara mensucikan najis..................................................................... 5
E. Pengertian istinja ............................................................................. 7
F. Etika dan tata cara membersihkan istinja ........................................ 8
BAB III PENUTUP ................................................................................... 10
A. Kesimpulan ..................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu aspek terpenting bagi manusia guna menjalin hubungan
yang terbaik kepada Allah Swt dan manusia serta alam sekitarnya adalah
kebersihan. Dalam kehidupan makhluk bernyawa, kebersihan merupakan
salah pokok dalam memelihara kelangsungan eksistensinya, sehingga
tidak ada satupun makhluk kecuali berusaha untuk membersihkan dirinya,
walaupun makhluk tersebut dinilai kotor.
Dalam ajaran Islam, bersuci memainkan peranan yang sangat penting
dalam ibadah. Tidak hanya dalam kasus shalat, kesucian diri, tubuh,
pakaian dan tempat juga sangat mempengaruhi kesahihan ibadah haji.
Bersuci sangat mampengaruhi kesahihan ibadah orang tersebut. Dengan
begitu, tujuan dari ibadah terpenuhi dengan sempurna. Kesalahan sedikit
dalam bersuci akan berakibat fatal terhadap ibadah. Alih-alih mendapatkan
pahala justru dosa yang diperoleh. Akan tetapi banyak sekali orang yang
kurang memperhatikan masalah bersuci tersebut. Hal ini terjadi bisa saja
karena ketidakpahaman mereka tentang bersuci atau memang mereka
paham tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau
lebih parahnya lagi mereka menganggap enteng masalah bersuci tersebut.
Seperti hal yang telah tertulis di atas, maka jika bersuci dilakukan dengan
benar, maka ibadah kita akan sempurna. Namun, jika salah melakukan
bersuci, maka ibadah kita rusak. Jadi, perkara yang pertama yang dapat
kita pahami tentang bersuci ini adalah bahwa Allah sama sekali tidak
bertujuan untuk menyusahkan kita, tetapi semata-mata hendak
membersihkan kita baik dari hadas, najis dan kotoran yang lainnya ataupun
membersihkan kita dari segala dosa. Adapun alat yang digunakan untuk
bersuci tersebut ada yang menggunakan air dan tanah.
Akibat teknologi yang lebih maju maka bagi manusia, cara
membersihkan diri tersebut dapat dilakukan dengan tanah dan air, dan
ditambah dengan menggunakan sabun mandi. Bahkan untuk pembersih
wajah ada sabun khusus dan lain sebagainya. Banyak masyarakat muslim
pada umumnya belum bisa membedakan antara najis dan hadas. Najis
adalah materi dari suatu kotoran, dan istinja merupakan salah satu contoh
dari najis.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan thaharah?
2. Apakah yang dimaksud dengan najis?
3. Apa saja jenis-jenis najis?
4. Bagaimana cara mensucikan najis?
5. Apa yang dimaksud dengan istinja?

1
2

6. Bagaimana etika dan tata cara membersihkan istinja?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari thaharah
2. Untuk mengetahui maksud dari najis
3. Untuk mengetahui jenis-jenis najis
4. Untuk dapat memahami cara bersuci dari najis
5. Untuk mengetahui maksud dari istinja
6. Untuk memahaminya bagaimana etika dan tata cara membersihkan
istinja dengan baik dan benar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah

Kata taharah (‫ )الطهارة‬menurut bahasa artinya bersih, kebersihan atau


bersuci. Taharah menurut istilah adalah suatu kegiatan bersuci baik dari
najis dan hadas sehingga seseorang diperbolehkan untuk mengerjakan
suatu ibadah yang dituntut dalam keadaan suci seperti salat dan tawaf.
Kegiatan bersuci dari najis meliputi menyucikan badan, pakaian dan
tempat, sedangkan bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudu,
tayamum dan mandi.

Selain itu thaharah dapat juga diartikan mengerjakan pekerjaan yang


membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan
najis.

Cara yang harus dipakai dalam membersihkan kotoran hadas dan


najis tergantung kepada kuat dan lemahnya najis atau hadas pada tubuh
seseorang. Bila najis atau hadas itu tergolong ringan atau kecil maka cukup
dengan membersihkan dirinya dengan berwudhu. Kebersihan dan
kesucian merupakan kunci penting untuk beribadah, karena kesucian atau
kebersihan lahiriah merupakan wasilah (sarana) untuk meraih kesucian
batin. Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada kita untuk bersuci dari
hadats dan najis, serta mencintai kebersihan. Adapun bersih dari hadats
dapat dilihat perintahnya, antara lain pada ayat berikut:

َُ ‫وهك ُُ ْم‬
َ ‫لوا ُو ُج‬ ِ ِ َّ ‫ايَ أيهَُّا الَّ ِذينُ آمنوا إِذاَ قمُ ْمتُُ ِإلُى‬
ُ ‫الص َل َُة َُ فاَ ْغس‬ َ َُ ُْ ُ َ ََ ُ َ
‫وس ُك ْم َُ َو ْأر َُ ُجلَ ُك ْم َُ ِإل َُى‬ ِ ‫يكُ ْمُ ِإلُى امل ُْرافِ ِقُ وامسحوا بِرء‬ ِ ‫و‬
ُ ُ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َ ُ َ ‫أي َُد‬ ْ َ
ِ َۚ ِ َۚ
‫ى‬
َ ‫ض‬ َ ‫تم َُ ُُ َم ْر‬ ْ ‫تم َُ ُُ ُجنُباً فاَطهَُّ َُ ُرواَ َُ َوإن َُ ُْ ُك ْن‬ ِ َ‫الك ُْ ْعب‬
ْ ‫ني ُْ َُ َُُ َُ َوإن َُ ُْ ُك ْن‬ َ
َُ َُ ‫نك ُُ ْم َُ ِم َن َُ الغْاَئِ ِط َُ ْأو‬ ْ ‫أح َُ َد ِم‬ َ َُ َ‫ف َر ْأو َُ َُ َجاء‬ َ ‫ى َس‬ َ ‫ْأو َُ َُ َع َل‬
ً‫صعِيداً طَ ِي با‬ َ ‫دوا َماءً َُ فَتيَ َّم َُ ُموا‬ ُ َُ ‫تج‬ ِ َُ ‫فل َُ ْم‬ َ َُ َ‫س َُاء‬ ِ ‫تم َُ ُُ الن‬ُ ‫َل َُ َم ْس‬
ِ‫وه ُكمُ وأيُ ِدي ُكمُ ِم ْنهُ َُُۚ ما ي ِري َدُ اللُُُُ ل‬ ِ
َُ َُ ‫عل‬
َ ُْ ‫يج‬
َ َ َ ُ ُ ُ َ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ ‫س ُحوا ب ِو ُُ ُج‬ َ ‫فَ ْام‬
َُ ُ‫ط ِه َرُك ْم َُ َولِيُتِ َّم َُ نعِ َم ُْته‬َ ُ‫لك َُ َن ُْ يُ ِري َد ُُ لِي‬ِ ‫يك ُُ ْم َُ ِمن ُْ حر ج و‬
َ َ ََ َ ْ َ‫َعل‬
َُ ‫تش ُْ ُك ُرو َن‬ ُّ َ‫يك ُُ ْم َُ َلعل‬
َ َُ ‫ك َُ ْم‬ ْ َ‫َعل‬

3
4

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,


maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu
kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya, bagimu supaya kamu bersyukur” Q.S (Al-
Maidah : 6).

B. Pengertian Najis
Kata Najis berasal dari bahasa arab( ‫) جاسةّالن‬yang artinya kotoran.
Najis menurut istilah adalah suatu benda yang kotor yang mencegah
sahnya mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci
seperti salat dan tawaf. Macam-macam najis banyak dibicarakan dalam
Islam, mulai dari pembagian najis dan bagaimana tata cara
menghilangkannya. Najis menurut bahasa artinya sesuatu yang dianggap
kotor.
Sedang menurut istilah adalah sesuatu yang dianggap kotor yang
menghalangi kesahihan sholat. Dengan demikian, najis adalah sesuatu
yang kotor yang harus dihindarkan atau disucikan ketika hendak
mengerjakan ibadah terhadap pakaian, badan dan tempat agar ibadah
tersebut menjadi sah dan diterima oleh Allah Swt.

C. Jenis jenis najis

1. Najis mukhaffafah ialah najis yang ringan, seperti air kencing bayi
laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-
apa kecuali air susu ibunya.
2. Najis mughalladzah yaitu najis yang berat yakni najis anjing dan babi
serta keturunan dari keduanya. Najis berat sering diistilahkan sebagai
najis mugallaẓah. Disebut najis yang berat karena tidak bisa suci
begitu saja dengan mencuci dan menghilangkan najis secara fisik,
tetapi harus dilakukan praktek ritual (tuntunan) tertentu. Adapun
darah hewan yang masih mengalir pada daging dan urat nadi maka
darah tersebut hukumnya suci. Sebagaimana Allah berfirman dalam
QS al-An'ām/6:145.
5

ِ ِ َ‫َل ُُمارما ع ٰلى ط‬ ِ ِ ِ


ً‫اع ٍم ياطْ َع ُمهٗ ٓٓ ااَّلٓ اَ ْن يا ُك ْو َن َمْي تَة‬ َ ً َ ‫قُ ْل اَّلٓ اَج ُد ِ ِْف َمآ اُْوح َي ا َا‬
ٓٗ‫اللِ بِه‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ّٰ ‫اَْو َد ًما ام ْس ُف ْو ًحا اَْو ََلْ َم خْن ِزيْ ٍر فَاناهٗ ِر ْجس اَْو ف ْس ًقا اُه ال لغَ ِْي‬
‫ك َغ ُف ْور ارِحْيم‬ ِ ٍ
َ ‫اضطُار َغ ْ َي ََب ٍغ اوََّل َعاد فَا ان َربا‬ ْ ‫فَ َم ِن‬
Terjemahnya:
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi karena Sesungguhnya semua itu kotor atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.

3. Najis mutawassithah (sedang), yaitu kotoran seperti kotoran manusia


atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai (selain bangkai ikan,
belalang, mayat manusia) dan najis-najis yang lain selain yang
tersebut dalam najis ringan dan berat. Najis mutawassithah dapat
dibagi menjadi dua bagian:

a. Najis 'ainiyah : yaitu najis yang bendanya berwujud.


b. Najis hukmiyah : yaitu najis yang tidak berwujud.

D. Cara mensucikan najis

Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung jenis najisnya.


Cara yang lebih banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya
dengan air, meskipun telah bersuci menggunakan tiga batu setelah istinja
misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air setelah menggunakan tiga batu
tersebut, maka menjadi lebih baik (afdlal). Bila ingin meringkas dengan
salah satu dari air atau batu, maka bersuci dengan menggunakan air lebih
utama. Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan bekasnya Cara
melakukan thaharah (membersihkan najis) tergantung pada jenis najis
yang mengenai suatu benda, antara lain sebagai berikut:

1) Najāsat Mukhaffafah (Najis Ringan atau Kecil)


Najis ringan sering juga diistilahkan dengan mukhaffafah yaitu disebut
ringan, karena cara mensucikan najis mukhaffafah sangat ringan, yaitu
tidak perlu najis itu sampai hilang. Cukup dilakukan tuntunan
sederhana, yaitu dengan memercikan air pada daerah yang terkena
najis, sampai benda najis tersebut berubah menjadi suci. Demikian pula
6

air kencing bayi laki-laki, apabila sudah mengkonsumsi makanan yang


selain susu ibu, seperti susu kaleng buatan pabrik, maka air kencing
tersebut sudah tidak bisa dikatakan najis ringan. Sebagaimana Allah
berfirman dalam QS al-Mā'idah/5:6.
ۤ ۤ
....‫اَْو َجاءَ اَ َحد ِّمْن ُك ْم ِّم َن الْغَا ِٕى ِط‬
Terjemahnya:
“...atau kembali dari tempat buang air (kakus)...”

Ayat tersebut menjelaskan dari tempat buang air adalah hadas dan hal
tersebut membuktikan bahwa segala sesuatu yang keluar dari qubul dan
dubur merupakan suatu hal yang dapat membatalkan wudu dan
menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah shalat.

2) Najāsat Mutawassiṭah (Najis Pertengahan)


Najis yang pertengahan sering disebut dengan mutawassiṭah.
Disebut pertengahan, lantaran posisinya yang ditengah-tengah antara
najis ringan atau kecil dan najis berat atau besar. Untuk mensucikan
jenis najis mutawassiṭah, maka cukup dihilangkan secara fisik 'ain najis,
hingga 3 indikatornya sudah tidak ada lagi. Ketiga indikator tersebut
adalah warna , rasa dan aroma najis. Semua najis yang tidak termasuk
ke dalam najis yang berat dan ringan, berarti secara otomatis termasuk
ke dalam najis mutawassiṭah.Najis pertengahan ini ada terbagi atas dua
bagian :
a. Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak terlihat (tidak nampak). Cara
mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang
terkena najis tersebut. Apabila rupa najis ini tidak mau hilang setelah
digosok-gosok, maka dimaafkan.
b. Najis 'ainiyah, yaitu yang terlihat (masih ada zat, warna, dan baunya),
maka Cara mencuci najis ini hendaklah dengan dihilangkan zat, rasa,
warna, dan baunya. Adanya bau dan warna pada benda menunjukkan
adanya najis di benda tersebut, kecuali bila setelah dihilangkan dengan
cara digosok dan dikucek, maka dimaafkan.
3) Najis mughalazah yaitu najis yang berat, yakni najis yang timbul dari
anjing dan babi atau dari keturunan keduanya. Cara mensucikannya,
lebih dahulu dihilangkan wujud najisnya, kemudian dibasuh dengan air
bersih sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dicampur dengan tanah
yang suci.
Dengan demikian cara menghilangkan dan membersihkan najis
adalah bisa dengan mencuci, membasuh, menyiram, menyiprati, dan
mengusap dengan air. Cara-cara tersebut berdasarkan ketetapan syarat
yang dirinci dalam beberapa hadis shahih.Cara mencuci dan menyiram

9
7

dapat dilakukan bagi semua jenis dan macam najis bagi semua tempat,
sedang mengusap dengan menggunakan dengan beberapa batu
diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur (istinja).
D. Pengertian istinja
Istinja secara bahasa berarti terlepas atau selamat, sedangkan
menurut pengertian syariat adalah bersuci setelah buang air besar atau
buang air kecil. Secara legkapnya, istinja adalah menghilangkan sesuatu
yang keluar dari kubul atau dubur dengan menggunakan air suci lagi
mensucikan atau batu yang suci atau benda-benda lain yang memiliki
fungsi sama dengan air dan batu. Selain istinja, ada lagi istilah istijmar,
yaitu menghilangkan najis dengan batu atau sejenisnya. Istinja dan
istijmar, adalah cara bersuci yang diajarkan syariat Islam kepada orang
yang telah buang hajat. Dan hukum istinja adalah wajib bagi setiap orang
yang baru buang air besar ataupun buang air kecil, dengan air atau media
lainnya. Istinja yang baik adalah dengan air, bilas pula dengan batu
istijmar). Untuk ber istijmar, batu dapat diganti dengan benda keras
apapun asal tidak haram dan punya sifat bisa menghilangkan najis. Pada
zaman sekarang, kamar-kamar kecil biasanya menyediakan fasilitas tisu
khusus untuk menghilangkan najis. Dengan menggunakannya, kita dapat
menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan tangan. Sebab, tisu
memiliki kesamaan fungsi dengan batu dalam konteks sebagai alat istinja.
Dalam pendapat lain sebagaimana dijelaskan oleh Rosidin dalam buku
Pendidikan Agama Islam, kata istinja berasal dari akar kata naja' yang
artinya bebas dari penyakit (kotoran). Jadi, disebut istinja karena orang
yang beristinja berusaha bebas dari penyakit dan menghilangkan penyakit
tersebut. Hukum Istinja Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi mengatakan
istinja hukumnya fardhu. Ulama Hanafiyah berkata bahwa hukum istinja
atau aktivitas lain yang menggantikan kedudukannya seperti istijmar
adalah sunnah muakkadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Sementara itu, Hasan ibn Salim al-Kaf dalam al-Taqrirat al-Sadidah
sebagaimana dijelaskan Rosidin membagi hukum istinja menjadi 6 jenis.
Antara lain sebagai berikut:
1. Wajib: Istinja hukumnya wajib jika yang keluar adalah najis yang
kotor lagi basah. Seperti air seni, madzi, dan kotoran manusia.
2. Sunnah: Istinja hukumnya sunnah jika yang keluar adalah najis yang
tidak kotor. Contohnya cacing.
3. Mubah: Jika beristinja dari keringat.
4. Makruh: Istinja hukumnya makruh jika yang keluar adalah kentut.
5. Haram: Haram namun sah jika beristinja dengan benda hasil ghashab.
Istinja hukumnya haram dan tidak sah jika beristinja dengan benda
yang dimuliakan seperti buah-buahan.
8

6. Khilaf al-aula yakni antara mubah dan makruh: Jika beristinja dengan
air zam-zam.
E. Etika dan tata cara membersihkan istinja dengan baik dan benar
1. Tata Cara Istinja
Secara umum, tata cara beristinja ada tiga. Pertama, menggunakan air
dan batu. Cara ini merupakan cara yang paling utama. Batu dapat
menghilangkan bentuk fisik najis. Sementara itu, air yang digunakan
harus suci dan menyucikan. Air tersebut dapat menghilangkan bekas
najis. Kedua, menggunakan air saja. Ketiga, menggunakan batu saja.
Adapun, batu yang diperbolehkan untuk beristinja haruslah suci, bukan
najis atau terkena najis, merupakan benda padat, kesat, dan bukan benda
yang dihormati.
2. Adab Buang Hajat
Dalam Islam, ada beberapa adab yang perlu diperhatikan saat buang
hajat. Antara lain sebagai berikut :
a. Istibra, yaitu mengeluarkan kotoran yang tersisa di dalam makhraj,
baik itu air kencing maupun kotoran, sampai dirasa tidak ada lagi
kotoran yang tersisa.
b. Diharamkan buang hajat di atas kuburan. Alasan mengenai pendapat
ini karena kuburan adalah tempat di mana orang bisa mengambil
nasihat dan pelajaran. Maka, termasuk adab sangat buruk jika
seseorang justru membuka aurat di atas kuburan dan mengotorinya.
c. Tidak boleh membuang hajat pada air yang tergenang. Diriwayatkan
dari Jabir, Rasulullah SAW melarang kencing pada air yang
tergenang (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan yang lainnya).
d. Dilarang buang hajat di tempat-tempat sumber air, tempat lalu lalang
manusia, dan tempat bernaung mereka. Pendapat ini merujuk pada
sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits.
Rasulullah SAW bersabda: "Berhati-hatilah kalian dari dua hal yang
dilaknat (oleh manusia." Para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud
dengan dua penyebab orang dilaknat?" Beliau menjawab, "Orang
yang buang hajat di jalan yang biasa dilalui manusia atau di tempat
yang biasa mereka bernaung." (HR. Muslim dan Abu Dawud).
e. Dilarang buang hajat dengan menghadap atau membelakangi kiblat.
f. Dimakruhkan bagi orang yang membuang hajat untuk melawan arah
angin. Sebab, dikhawatirkan adanya percikan air kencing yang
membuatnya terkena najis.
g. Dimakruhkan bagi orang yang sedang buang hajat untuk berbicara.
Namun, apabila memang ada kebutuhan maka diperbolehkan untuk
berbicara, seperti meminta gayung untuk membersihkan najis
9

h. Dimakruhkan menghadap matahari dan bulan secara langsung.


Sebab, keduanya merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan
nikmat-Nya bermanfaat bagi seluruh alam semesta.
i. Dianjurkan untuk istinja dengan tangan kiri. Sebab, tangan kanan
digunakan untuk makan dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata taharah (‫ )الطهارة‬menurut bahasa artinya bersih, kebersihan atau
bersuci. Taharah menurut istilah adalah suatu kegiatan bersuci baik dari
najis dan hadas sehingga seseorang diperbolehkan untuk mengerjakan
suatu ibadah yang dituntut dalam keadaan suci seperti salat dan tawaf.
Kegiatan bersuci dari najis meliputi menyucikan badan, pakaian dan
tempat, sedangkan bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudu,
tayamum dan mandi.
Kata Najis berasal dari bahasa arab( ‫) جاسةّالن‬yang artinya kotoran.
Najis menurut istilah adalah suatu benda yang kotor yang mencegah
sahnya mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci
seperti salat dan tawafnajis adalah sesuatu yang kotor yang harus
dihindarkan atau disucikan ketika hendak mengerjakan ibadah terhadap
pakaian, badan dan tempat agar ibadah tersebut menjadi sah dan diterima
oleh Allah Swt.Adapun jenis najis dapat dibedakan berdasarkan tingkat
kesulitan dalam mensucikan dan menghilangkan zat najis, yaitu sebagai
berikut:
a. Najāsat Mugallaẓah (Najis Berat atau Besar)
b. Najāsat Mutawassiṭah (Najis Pertengahan)
c. Najāsat Mukhaffafah (Najis Ringan atau Kecil)

Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung jenis najisnya.


Cara yang lebih banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya
dengan air, meskipun telah bersuci menggunakan tiga batu setelah istinja
misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air setelah menggunakan tiga batu
tersebut, maka menjadi lebih baik (afdlal). Bila ingin meringkas dengan
salah satu dari air atau batu, maka bersuci dengan menggunakan air lebih
utama. Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan bekasnyaIstinja
secara bahasa berarti terlepas atau selamat, sedangkan menurut
pengertian syariat adalah bersuci setelah buang air besar atau buang air
kecil.

Istinja adalah menghilangkan sesuatu yang keluar dari kubul atau


dubur dengan menggunakan air suci lagi mensucikan atau batu yang suci
atau benda-benda lain yang memiliki fungsi sama dengan air dan batu.
Selain istinja, ada lagi istilah istijmar, yaitu menghilangkan najis dengan
batu atau sejenisnya.Secara umum, tata cara beristinja ada tiga. Pertama,
menggunakan air dan batu. Cara ini merupakan cara yang paling utama.
Batu dapat menghilangkan bentuk fisik najis. Sementara itu, air yang

10
11

digunakan harus suci dan menyucikan. Air tersebut dapat menghilangkan


bekas najis. Kedua, menggunakan air saja. Ketiga, menggunakan batu
saja. Adapun, batu yang diperbolehkan untuk beristinja haruslah suci,
bukan najis atau terkena najis, merupakan benda padat, kesat, dan bukan
benda yang dihormati.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqih, Penerjemah Saefullah Ma’sum,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. Ke-4.

Ba’Alawi, Abdurrahman bin Muhammad, Bughyah al-Mustarysidin fi


Talhish Fatawa ba’dh al-Aimmah min ‘Ulama al-Mutaakhirin,
Bandung: Syirkah Ma’arif lithab’ wa al-Nashr, t.th

Dahlan, Abdul Aziz, Ed. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996, cet. ke 3

Friedman, Lawrence M., Sitem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah


M. Khozim, Bandung: Nusa Media, 2009, cet. Ke-2

Ridwan & Suriyanti, Jurnal Wajid Macam Najasat dalam perspektif teologi
dalam al qur'an Vol. 1 No. 2 Desember 2020| Hal 158-170| ISSN:
2746-04444
Harisuddin, M. Noor, Pengantar Ilmu Fiqih, Cet: VII; Surabaya: CV.
Salsabila Putra Pratama, 2019.

Suhendar,Dede, “Fiqh Air dan Tanah Dalam Ṭahārah Menurut Perspektif


Ilmu Kimia”, Vol: 10, No. 1, Mei 2007

12

Anda mungkin juga menyukai