Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM ISLAM

FATWA MUI SEBAGAI SALAH SATU SUMBER HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh:
Martina Christabelle Rodriquez (010002000352)
Jenn Permatasari Butar Butar (010002000293)
Lingga Ayu Winusratu (010002000268)
Karin Marcheni (010002000295)
Geraldus Thenys Kurnia Manik Raja (010002000289)

UNIVERSITAS TRISAKTI
FAKULTAS HUKUM
Jakarta
2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah
kami dapat menyelesaikan tugas wajib mata kuliah Hukum Islam dengan baik dan tepat waktu.
Makalah yang berjudul “FATWA MUI SEBAGAI SALAH SATU SUMBER HUKUM
ISLAM DI INDONESIA” ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Hukum Islam di semester
dua ini.

Dalam kesempatan kali ini, kami hendak menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil sehingga penulisan makalah ini
terselesaikan. Ucapan terima kasih ini ditujukan pada :

1. Ibu Khairani Bakti, S.H., M.H selaku dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan
selama masa kuliah sehingga penyusunan makalah ini telah selesai.

2. Kedua orang tua kami yang telah membantu dan memberi dukungan kepada kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

3. Semua anggota kelompok yang sudah mencurahkan tenaga dan waktunya untuk bisa
menyelesaikan makalah ini tepat waktu.

Akhir kata, semoga dari tugas makalah ini dapat memberikan manfaat yang baik bagi kami
untuk berlatih menulis secara sistematis dan saintifik, dan khususnya bermanfaat bagi para
pembaca. Saya memohon maaf apabila ada kekurangan dalam penulisan tugas makalah ini,
untuk itu, saya mohon dukungan, kritik, dan saran yang dapat membantu agar saya menjadi lebih
baik dalam penulisan makalah selanjutnya. Terima kasih,

Jakarta, 29 Juni 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG..............................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................4
C. TUJUAN PENELITIAN...........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN MATERI....................................................................................5

A. PENGERTIAN HUKUM ISLAM............................................................................5


B. SEJARAH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)..............................................5
C. VISI DAN MISI MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)....................................8
D. PENGERTIAN FATMA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI).......................8
E. HUBUNGAN FATMA MUI DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA.................9

BAB III PENUTUP.............................................................................................................14

A. KESIMPULAN ........................................................................................................14
B. SARAN.....................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semakin hari persoalan – persoalan mengenai urusan keagamaan maupun keduniaan
bermunculan dengan pesat. Maka dengan demikian perlu adanya suatu pemikiran yang sistematis
komprehensif dan integral, agar ajaran Islam mampu menjawab tantangan zaman. Sebab
permasalahan – permasalahan yang bermunculan dalam kehidupan ini kadang – kadang tidak
ditemui jawabannya secara harafiah, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam as- Sunnah. Islam
sebagai sebuah agama paripurna merupakan sebuah ajaran yang tidak hanya mengedepankan
aspek hubungan vertikal (hablumminallah), namun Islam juga mengatur nilai-nilai dan model
perilaku kehidupan manusia baik hubungan dengan sesama manusia (hablumminannas) maupun
hubungan manusia dengan alam. Atas alasan ini pula, Islam diakui sebagai agama yang
komprehensif. Sebuah ajaran yang tidak hanya mengatur masalah ibadah sebagai bekal
kehidupan akhirat, tapi juga mengatur kehidupan manusia di dunia untuk meraih kebahagiaan
dan kesejahteraan.

Islam merupakan agama fitrah yang tidak menentang akal sebagai bagian dari potensi
manusia. Islam bahkan mengklaim sebagai satu - satunya ajaran agama yang tidak bertentangan
dengan akal. Dalam mekanisme pengambilan hukum Islam, akal mendapatkan kedudukan mulia
sebagai salah satu alat untuk menetapkan hukum. Hal ini menjadikan Islam sangat dinamis dan
berkembang sesuai dengan dimensi kehidupan. Selain itu, Islam sebagai agama yang sempurna,
juga merupakan agama yang penuh dengan nilai kemanusiaan yang memuliakan manusia itu
sendiri. Kesempurnaan Islam ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah [5] ayat 3:

ُ‫ ة‬G‫ةُ َوالنَّ ِط ْي َح‬Gَ‫وْ َذةُ َو ْال ُمت ََر ِّدي‬GGُ‫ةُ َو ْال َموْ ق‬Gَ‫ْر َو َمٓا اُ ِه َّل لِ َغي ِْر هّٰللا ِ بِ ٖه َو ْال ُم ْن َخنِق‬Gِ ‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي‬
ْ ‫ُح ِّر َم‬
‫رُوْ ا ِم ْن‬Gَ‫س الَّ ِذ ْينَ َكف‬ ٌ ۗ ‫ بِااْل َ ْزاَل ۗ ِم ٰذلِ ُك ْم فِ ْس‬G‫ب َواَ ْن تَ ْستَ ْق ِس ُموْ ا‬
َ ‫ق اَ ْليَوْ َم يَ ِٕى‬ ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫َو َمٓا اَ َك َل ال َّسبُ ُع اِاَّل َما َذ َّك ْيتُ ۗ ْم َو َما ُذبِ َح َعلَى الن‬
ۗ ً‫اَل َم ِد ْين‬GG‫ْت لَ ُك ُم ااْل ِ ْس‬
‫ا فَ َم ِن‬GG Gُ ‫ي‬GG‫ض‬ ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِ ْي َو َر‬ ُ ‫وْ َم اَ ْك َم ْل‬GGَ‫ ِن اَ ْلي‬Gۗ ْ‫و‬GG‫اخ َش‬
ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َواَ ْت َم ْم‬ ْ ‫وْ هُ ْم َو‬GG‫ِد ْينِ ُك ْم فَاَل ت َْخ َش‬
‫هّٰللا‬
ِ ‫ف اِّل ِ ْث ۙ ٍم فَاِ َّن َ َغفُوْ ٌر ر‬
‫َّح ْي ٌم‬ ٍ ِ‫ص ٍة َغي َْر ُمت ََجان‬ َ ‫اضْ طُ َّر فِ ْي َم ْخ َم‬

iv
Yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging)
hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan
(diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib
dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir
telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah
Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi
barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang”.

Ajaran Islam telah memberikan konsep nilai dan moralitas kepada manusia, salah satunya
dalam melaksanakan aktifitas perekonomian yang syar’i, dengan mengedepankan aspek
keseimbangan, kejujuran, moralitas, dan kebahagiaan. Namun hal tersebut masih berupa konsep
nilai dan moralitas yang bersifat universal, dimana terdapat ayat-ayat yang qath’i dan zhanny,
sehingga tidak semua dapat diambil secara langsung oleh manusia. Disinilah tugas para ulama
sebagai pewaris para Nabi untuk memberikan penjelasan dan menyederhanakan konsep nilai dan
moralitas yang kemudian melahirkan Fatwa.

Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian. Definisi Fatwa secara
terminologis adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang
atau kelompok. Fatwa dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’
yang tidak mengikat untuk diikuti. Menurut Yusuf Qardawi , fatwa adalah menerangkan hukum
syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa
(mustafti) baik secara perorangan maupun kolektif.

Maka, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pernyataan tentang fatwa keagamaan, baik fatwa yang
bersifat lisan maupun tulisan memberikan arahan dan jawaban yang konkret kepada masyarakat,
terutama dalam menghadapi segala persoalan yang timbul. Namun, inti dari sasarannya adalah
agar umat Islam mampu menciptakan pola pikir yang sistematis dalam mengkaji ajaran Islam
secara utuh dan murni. Sehingga tercipta suatu pola piker dan hasil ijtihad para ahli/ulama untuk
menemukan dalil – dalil yang konkret dalam mengambil keputusan hukum – hukum syariat
Islam.

v
Di Indonesia sendiri, para ulama sudah memiliki wadah, tempat, sarana yang diberi nama
Majelis Ulama Indonesia. Tugas MUI adalah memberikan sebuah kepastian, penentuan,
penetapan suatu hukum yang berhubungan dengan Agama Islam yang mana hal ini kita kenal
dengan fatwa. Dan fatwa MUI inilah yang nantinya akan menjadi tolak ukur, pola pikir dan
ijtima’ ulama Islam Indonesia. MUI memiliki kewenangan memberi fatwa tentang masalah
keagamaan yang bersifat umum yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional dan
masalah agama Islam di daerah yang diduga dapat meluas kedaerah lain.

Kedudukan fatwa MUI dalam perspektif hukum positif apabila menempatkan fiqh atau
hukum Islam dalam jajaran sumber ilmu hukum secara umum, maka dalam takaran operasional
atau hukum materiil, fiqh dapat dijadikan sumber melalui beberapa jalur yaitu, pertama, dalam
peraturan perundangundangan, kedua, fiqh berperan sebagai hukum materiil, ketiga, dalam
konteks etika (moralitas hukum), keempat, dalam sumber kebijakan pelaksanaan pemerintah
yang tidak secara langsung dalam pengertian legislasi sebagaimana PP, kelima, sebagai sumber
bagi penegak hukum, polisi, jaksa, dan pengacara dan keenam, sebagai sumber hukum nilai-nilai
budaya masyarakat dan sekaligus sebagai sumber kebiasaan (living law)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak didirikan hingga kini telah banyak mengeluarkan fatwa
dalam berbagai jenis. Keberbagaian tersebut dilator belakangi oleh beragamnya permasalahan
yang muncul dan pernyataan dari masyarakat. Dari hasil kajian yang dilakukan ini, dapat
dikatakan bahwa MUI dalam menyelesaikan permasalahan – permasalahan yang muncul telah
melakukan kegiatan ijtihad, yang diantaranya ialah ijtihad tarjihi atau intiqa’i dan ijtihad insya’I
atau ijtihad ibtida’i. namun, kekuatan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidaklah bersifat
mengikat, melainkan hanya bersifat nasehat bagi para mustafi secara khusus dan bagi masyarakat
muslim Indonesia secara umum. Dan tidak jarang fatwa – fatwa yang dikeluarkan oleh MUI
tersebut membuat resah Negara Indonesia sebagai negara hukum, seperti fatwa haramnya
pluralism, liberalism, dan secularism. Atas fakta tersebut, maka MUI mendapat respon positif
dan negartif. Namun terlepas dari kedua respon tersebut, fatwa MUI telah lama diakui adanya di
Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya muslim memiliki
lembaga Komisi Fatwa Hukum MUI (KFHMUI). Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami
bahwa kedudukan fatwa MUI di Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting. Fatwa MUI

vi
merupakan salah satu dari bahan pertimbangan hukum bagi para legislator dalam membuat atau
menetapkan suatu undang-undang atau peraturan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat menjadi acuan dalam makalah ini adalah

1. Apa pengertian Hukum Islam?


2. Bagaimana Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
3. Apa saja visi dan misi Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
4. Apa pengertian Fatwa MUI?
5. Bagaimana hubungan Fatwa MUI dan Hukum Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian Hukum Islam.
2. Mengetahui sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
3. Mengetahui visi dan misi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
4. Mengetahui pengertian Fatwa MUI.
5. Mengetahui hubungan Fatwa MUI dan Hukum Islam di Indonesia.

vii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Islam
Definisi dari Hukum adalah kumpulan norma-norma yang mengatur hubungan antara satu
manusia dengan manusia lain di dalam kehidupan bermasyarakat untuk menciptakan tertib
masyarakat.
Hukm/hukum dalam Hukum Islam adalah Kumpulan norma-norma yang ditentukan oleh
Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan manusia dalam hidupnya secara pribadi dalam
hubungannya dengn orang lain dalam bermasyarakat, makhluk lain dengan Allah.
Hukum Islam/Syari’ah adalah:
a. Kumpulan norma-norma bagi manusia yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya yang
menyelamatkan kehidupannya
b. Kumpulan norma-norma hukum yang dipakai oleh manusia agar ia hidup damai dengan
Allah, sesama manusia, sesama makhluk Allah yang dikuasainya dan dirinya.
Jadi, Syari’ah memuat ketetapan Allah dan ketentuan-ketentuan Rasul baik yang berupa
larangan, maupun perintah yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
Sedangkan, Fiqh adalah ilmu yang berusaha untuk memahami hukum-hukum yang terdapat di
dalam Al-Quran, Sunnah Rasul untuk ditetapkan mpada perbuatan manusia yang telah dewasa
dan sehat akalnya (akil balig: mereka yang berkewajiban melaksanakan rukun islam).
Perbedaan antara Syari’ah dan Fiqh adalah, Syariah terdapat dalam Al-Qura’an dan kitab-
kitab hadits, bersifat fundamental (mempunyai ruang lingkup yang luas yaitu termasuk akidah
dan akhlak), ketetapan Allah dan rasul maka berlaku abadi, hanya ada satu, dan menunjukkan
kesatuan dalam islam. Sedangkan, Fiqh terdapat dalam kitab-kitab fiqh, bersifat instrumental
(hukum yang mengatur secara rinci perbuatan manusia), karya manusia maka tidak berlaku
abadi, kemungkinan terdiri lebih dari satu, menunjukkan keragaman dan kekayaan pendapat
dalam islam.

B. Sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI)

viii
Kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh seluruh
aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, menimbulkan
sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu
lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.
Kaum muslim meyakini bahwa Islam merupakan agama yang mampu mengatur kehidupan
umat manusia secara sempurna dalam semua segi kehidupan. Walaupun agama ini sudah melalui
sejarah yang panjang, sejak mulai diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad lebih 14 abad yang
lalu, hal ini tidaklah menjadikan Islam kaku dalam menghadapi sejarah yang di laluinya,
melainkan sebaliknya, mengakibatkan Islam semakin dewasa untuk beraplikasi di tengah-tengah
kehidupan umat manusia.
Dalam kegiatan kenegaraan, khususnya sesudah kemerdekaan, pemerintah melihat bahwa
umat Islam sebagai kelompok mayoritas di negara ini, memiliki potensi yang tidak bisa
diabaikan. Pemerintah menilai bahwa suatu program, apalagi yang berkaitan dengan agama,
hanya bisa sukses disokong oleh agama, atau sekurang-kurang ulama tidak menghalanginya. Ini
berarti bahwa kerja sama dengan ulama sangat perlu dijalin oleh pemerintah. Untuk maksud
tersebut, di zaman Soekarno telah didirikan Majelis Ulama yang kemudian disusul dengan
lahirnya berbagai Majelis Ulama Daerah. Namun, wujud dari Majelis Ulama yang ada di
berbagai daerah itu belum mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam, sampai akhirnya
atas prakarsa pemerintah Orde Baru diadakanlah suatu Musyawarah Nasional Ulama yang terdiri
atas utusan wakil- wakil ulama propinsi se-Indonesia di Jakarta dari tanggal 21 sampai 28 Juli
1975. Musyawarah inilah yang berhasil secara bulat menyepakati berdirinya Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Selama rentang waktu 40 tahun sejak lahirnay MUI pada tahun 1975, MUI sebagai lembaga
penghimpun para ulama merupakan penerus tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) dan
concern terhadap kesejahteraan rohani umat, tentunya telah banyak menghasilkan produk
berwujud fatwa-fatwa yang membahas berbagai dimensi kehidupan masyarakat. MUI telah
menerbitkan berbagai macam fatwa dalam masalah ibadah, hukum, sosial, politik, politik, etika
dan bahkan juga ekonomi.
Fatwa-fatwa yang dihasilkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu adakalanya menimbulkan
kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ada pula yang memandangnya sebagai corong
penguasa, dan ada pula masyarakat yang menilainya sebagai tidak konsisten. Munculnya respon

ix
seperti itu dari masyarakat sangat erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat
terhadap konsep ijtihad Majelis Ulama Indonesia (MUI) serat ciri-ciri hukum Islam yang
dijadikan acuan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menghasilkan suatu fatwa. Oleh
sebab itu, studi dalam bidang ini dirasa amat perlu dilakukan.
Sudut pandang sorotan akan peranan MUI sangat beragam mulai dari aspek hukum, politik,
sosial budaya, maupun soal ekonomi. Keberagaman cara pandang dan sudut dan sudut pandang
terhadap MUI semakin meneguhkan posisi strategis MUI dalam kehidupan beragama, berbangsa
dan bernegara. Respon positif atas fatwa tersebut muncul dari masyarakat yang memiliki
perhatian terhadap dinamika keberagamaan di Indonesia. MUI sebagai wadah silaturahmi ulama,
zu’ama dan cendikiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah umat Islam
dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan umat dalam rangka menyukseskan pembangunan
serta ketahanan nasional Republik Indonesia.
Kegairahan dan kerinduan akan perlunya Majelis Ulama ini mulai menunjukan titik-titik
kelahirannya melalui usaha mengintensifkan kegiatan, di antaranya, di antaranya berupa daerah
upaya menggairahkan kegiatan Majelis Ulama yang sudah ada di berbagai daerah. Menteri
Dalam Negeri menginstruksikan supaya di daerah-daerah yang belum terbentuk Majelis Ulama
supaya membentuknya secepat mungkin. Pada bulan Mei 1975, di seluruh Daerah tingkat I dan
sebagian Daerah Tingkat II Majelis Ulama sudah terbentuk, sedangkan di pusat dibentuk pula
suatu Panitia Persiapan Musyawarah Nasional yang diketuai oleh H. Kafrawi, MA yang
bertujuan menyiapkan materi kegiatan serta tema musyawarah.
Untuk realisai selanjutnya, Menteri Agama membentuk suatu Panitia Musyawarah Nasional
Majelis Ulama seluruh Indonesia dengan surat keputusan Nomor 28 tanggal 1 Juli 1975 yang
diketuai oleh H. Soedirman, dengan team Penasehat yang terdiri atas Prof. Dr. Hamka, KH.
Syukri Ghazali, dan KH. Abdullah Syafi’i. Dalam keputusan tersebut ditetapkan pula bahwa
musyawarah itu akan berlangsung pada tanggal 21 sampai 27 Juli 1975 di Convention Hall
Senayan Jakarta.
Realisasi Musyawarah Nasional Majelis Ulama se-Indonesia, sesuai dengan jadwal yang
direncanakan, dibuka oleh Pesiden Soeharto pada hari Senin tanggal 21 Juli 1975 bertepatan
dengan 13 Rajab 1395 H, di Istana Negara Jakarta. Musyawarah Nasional ini dalam sejarah MUI
dikenal dengan (Munas) I, yang diikuti oleh 200 orang peserta.37 Pada tanggal 17 Rajab 1395
beretepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 disetujui dan ditandatangani Piagam berdirinya Majelis

x
Ulama oleh 53 orang ulama terkemuka serat disusun pula pengurusnya untuk peiode 1975-1980
dengan Ketua Umumnya Prof. Dr. Hamka. Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah yang
penting bagi umat Islam Indonesia.

C. Visi dan Misi Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Adapun visi yang diemban oleh Majelis Ulama Indonesia adalah “Terciptanya kondisi kehidupan
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan
partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama, zu’ama, aghniya dan cendikiawan
muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam (izzu al-Islam Wa al-Muslimin) guna
perwujudannya. Dengan demikian posisi Majelis Ulama Indonesia adalah berfungsi sebagai
Dewan Pertimbangan Syari’at Nasional, guna mewujudkan Islam yang penuh rahmat (rahmat li
al-‘alamin) di tengah kehidupan umat manusia dan masyarakat Indonesia. Sementara misi yang
diemban oleh Majelis Ulama Indonesia adalah “Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan
Islam sevara efektif, sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam
menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, dan menjadikan ulama sebagai panutan dalam
mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat yang khair al- ummah.”

D. Pengertian Fatwa
Fatwa (‫وى‬GG‫ )الفت‬menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa), yang
merupakan bentukan sebagaimana dikatakan Zamakhsyarin dalam al-kasysyaf dari kata ‫( الفتي‬al-
fataa/pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah). Sedangkan
pengertian fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan
sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik
perseorangan maupun kolektif.
Definisi fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: (1) jawaban berupa keputusan
atau pendapat yang diberikan oleh mufti/ahli tentang suatu masalah; dan (2) nasihat orang alim;
pelajaran baik; dan petuah.
Fatwa adalah jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan yang menyangkut masalah
hukum. Fatwa berasal dari kata bahasa arab al- ifta’, al-fatwa yang secara sederhana berarti

xi
pemberian keputusan. Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan gampang,
atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar.
Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam lisan al-arab menyatakan Aftaahu Fi Al-Amr
Abaanahu Lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara, maksudnya adalah
menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa Aftaa Al-Rajulu Fi Al-Mas’alah (seorang laki-laki
menyampaikan fatwa pada suatu masalah). Wa Astaftainuhu Fiiha Fa Aftaaniy Iftaa’an Wa
Futaa (aku meminta fatwa kepadanya dalam masalah tersebut, dan dia memberikan kepadaku
sebuah fatwa)”.
Perkataan Wafataay adalah asal dari kata futya atau fatway. Futya dan fatwa adalah dua isim
(kata benda) yang digunakan dengan makna. Iftaa’ berasal dari kata Iftaay, yang artinya
memberikan al-iftaa’. penjelasan. Secara definitif memang sulit merumuskan tentang arti ifta’
atau berfatwa itu. Namun dari uraian tersebut dapat di rumuskan, yaitu: usaha memberikan
penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahui.
Di dalam kitab mafaahim Islamiyyah diterangkan sebagai berikut, secara literal, kata “al
fatwa” bermakna “jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang sulit.
Bentuk jamaknya adalah fataawin atau fataaway. Jika dinyatakan Aftay Fi Al-Mas’alah
menerangkan hukum dalam masalah tersebut. Sedangkan Al Iftaa’ adalah penjelasan hukum-
hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang- undang, dan semua hal yang berkaitan
dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang bertanya (Ibaanat Al Ahkaam Fi Al-Mas’alah Al
Syar’iyyah, Au Qanuuniyyah, Au Ghairihaa Mimmaa Yata’allaqu Bisu’aal Al-Saail). Muftiy
adalah orang yang menyampaikan penjelasan hukum atau menyampaikan fatwa ditengah-tengah
masyarakat. Menurut pengertian syariat, tidak ada perselisihan pendapat mengenai makna syariat
dari kata al-fatwa dan al-iftaa’ berdasarkan makna bahasa.
Menurut Prof Amir Syarifuddin, fatwa atau ifta’ berasal dari kata afta, yang berarti memberi
penjelasan. Secara definitif fatwa yaitu usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh
ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa adalah hasil ijtihad seorang mufti
sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus dari
pada fikih atau ijtihad secara umum. Karena boleh jadi fatwa yang dikeluarkan seorang mufti,
sudah dirumuskan dalam fikih, hanya belum dipahami oleh peminta fatwa.

xii
E. Hubungan Fatwa MUI dengan Hukum Positif di Indonesia
Secara hirarki dalam pengaturan perundangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah (1)
Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang/ Perpu; (3) Peraturan Pemerintah; (4)
Peraturan Presiden; (5) Peraturan Daerah. Jika dilihat secara hirarki, maka posisi Fatwa tidak
ada. Akan tetapi dalam sumber hukum kita dengan Pancasila sebagai groundnorm bangsa secara
falsafah demi kepastian hukum dengan mewujudkan negara hukum yang tidak menyampingkan
kepentingan beragama.
Kedudukan Fatwa MUI dalam Perspektif Hukum Positif; apabila menempatkan fiqh atau
hukum Islam dalam jajaran sumber ilmu hukum secara umum, maka dalam takaran oprasional/
hukum materil, fiqh dapat dijadikan sumber melalui beberapa jalur yaitu:
a. Dalam peraturan perundang-undangan, fiqh berperan sebagai hukum materil, atau dalam
konteks etika / moralitas hukum.
b. Sumber kebijakan pelaksanaan pemerintahan yang tidak secara langsung dalam
pengertian legislasi sebagaimana PP.
c. Sumber bagi penegak hukum, polisi, jaksa, dan pengacara.
d. Sumber hukum nilai-nilai budaya masyarakat dan sekaligus sebagai sumber kebiasaan
(living law).
Tugas utama MUI adalah membina dan memberikan bimbingan kepada umat untuk
meningkatkan keimanan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, dalam usaha untuk
mewujudkan masyarakat yang aman, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan
Pancasila, UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara, sedangkan peran MUI sebagaimana
dirumuskan oleh Munas I dalam Pedoman Dasar Pasal 4, yaitu berperan untuk mengeluarkan
fatwa dan nasihat kepada pemerintah dan umat Islam dalam masalah yang berhubungan dengan
masalah keagamaan dan kemaslahatan bangsa, menjaga kesatuan umat, institusi representasi
umat Islam dan sebagai perantara yang mengharmonisasikan hubungan antar umat beragama.
Pada dasarnya, fungsi MUI adalah memberikan fatwa dan nasihat mengenai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan umat Islam sebagai amar ma‟ruf nahi
munkar. Dalam pengertian luas, fatwa MUI juga dapat mencakup nasihat, anjuran, dan seruan.
Fatwa dikeluarkan oleh MUI disebabkan adanya permintaan atau pertanyaan baik dari
perorangan, Pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan maupun MUI sendiri yang dipandang

xiii
perlu untuk difatwakan. Nasihat adalah suatu keputusan MUI yang berkaitan dengan suatu
masalah kemasyarakatan yang sebaiknya dilaksanakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
Peran MUI sebagai wadah masyarakat dalam menyalurkan masalahmasalah keagamaan yang
masih samar adalah sebagai berikut:
a. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (warasat al-Ambiya)
b. Sebagai pemberi fatwa
c. Sebagai pembimbing dan pelayanan umat (Ri-ayat khadim al-ummah)
d. Sebagai gerakan Islah wa at-Tajdid
e. Sebagai penegak Amar Makruf Nahi Mungkar.
Sedangkan, wadah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah:
1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendikiawan muslim dalam
mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang islami, demokratis, akomodatif,
dan aspiratif.
2. Sebagai wadah silaturahim para ulama, zu‟ama dan cendikiawan muslim untuk
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhwah islamiyah.
3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dan hubungan serta konsultasi antar umat
beragama.
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak
diminta.
Orientasi MUI dalam melaksanakan tugasnya adalah sebagai berikut:
1. Diniyah.
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhitmatan yang mendasari semua langkah
dan kegiatanya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam adalah Agama yang
berdasarkan pada prinsip tauhid dan mempunyai ajaran yang meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.
2. Irsyadiyah
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan dakwa wa alirsyad, yaitu upaya
untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta melaksanakan amar makruf dan
nahi mungkar dalam arti yang seluas-luasnya. Setiap kegiatan Majelis Ulama
Indonesia dimaksudkan untuk dakwah dan dirancang untuk selalu berdimensi
dakwah.

xiv
3. Ijabiyah.
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan ijabiyah yang senantiasa
memberikan jawaban positif terhadap setiap permasalahanyang dihadapi masyarakat
melalui prakarsa-prakarsa kebijakan (amal saleh) dan berlomba-lomba dalam berbuat
baik (fastabiq al-khairat).

4. Hururiyah
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhitmatan independent yang bebas dan
merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh pihak-pihak lain dalam
mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan pendapat.
5. Ta’awuniyah
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mendasari diri pada
semangat tolong menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam membela kaum
dhu‟afah untuk meningkatkan harkat dan martabat serta derajat kehidupan
masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas dasar persaudaraan dikalangan seluruh
lapisan masyarakat golongan umat Islam. Ukhwah islamiyah ini merupakan landasan
bagi Majelis Ulama Indonesia dan memperkukuh persaudaraan kemanusiaan (ukhwah
basyariyah) sebagai anggota masyarakat dunia.
6. Syuriyah
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhitmatan yang menekankan prinsip
musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui pengembangan sikap demokratis,
akomodatif dan aspiratif terhadap berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang
didalam masyarakat.
7. Tasamuh
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mengembangkan sikap
toleransi dan moderat dalam melaksanakan kegiatanya dengan senantiasa
menciptakan keseimbangan diantara berbagai arus pemikiran dikalangan masyarakat
sesuai dengan syariat Islam
8. Qudwah

xv
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang mengedepankan
kepeloporan dan keteladanan melelui prakarsaprakarsa kebijakan yang bersifat
perintisan untuk kebutuhan kemaslahatan umat. MUI dapat berkegiatan secara
oprasional sepanjang tidak terjadi tumpang tindih dengan kegiatan ormas-ormas.
9. Addualiyah
 Majelis Ulama Indonesia adalah wadah perkhidmatan yang menyadari dirinya sebagai
anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan perdamaian dan tatanan
dunia yang sesuai dengan ajaran Islam. Sesuai dengan hal itu, Majelis Ulama
Indonesia menjalin hubungan dan kerjasama dengan lembaga/ organisasi Islam
Internasional diberbagai Negara.

Di satu sisi, fatwa MUI merupakan sebuah aturan kehidupan masyarakat yang bersifat tidak
mengikat dan tidak ada paksaan secara hukum bagi masyarakat untuk mematuhi ketentuan fatwa
tersebut. Namun di sisi lain, melalui pola-pola tertentu, materi muatan yang terkandung dalam
fatwa MUI dapat diserap dan ditransformasikan menjadi materi muatan peraturan perundang-
undangan yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat umum.

xvi
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kesimpulan
1. Fatwa MUI dapat dikaji dari berbagai perspektif dan pendekatan. Sebagaimana diketahui
bahwa ajaran dan syariat Islam memiliki tujuan (maqasid al-syari'ah) untuk memberikan
kemaslahatan (almaslahah) bagi seluruh manusia. Kemudian bermuamalah melalui media
sosial ini harus selalu berada pada koridor amar ma'ruf dan nahi munkar.
2. Metode yang digunakan MUI dalam mengistinbathkan hukum yakni:
a. Pengkajian masalah. Dalam hal ini anggota komisi harus terlebih dahulu
mengetahui dengan jelas hakikat dan masalahnya.
b. Setelah jelas permasalahannya, ditentukan apakah ia termasuk kategori hukum
qath’iat atau bukan. Jika termasuk qath’iat, demikian juga jika ada ijma’ mu’tabar,
MUI menetapkan fatwa sebagaimana adanya. Jika tidak termasuk kategori qath’iat,
MUI selanjutnya melakukan ijtihad.
c. Dalam melakukan ijtihad, MUI dapat menempuh ijtihad insya`i dan dapat pula
menempuh ijtihad intiqa‟i. Dalam hal ijtihad terakhir ini, MUI menggunakan
pendekatan muqaranah al-mazahib. Baik ijtihad insya`i maupun ijtihad intiqa‟i
MUI melakukannya secara jama’i (ijtihad jama‟i).
3. Fatwa ini hadir diharapkan mampu mengawal nilai-nilai kemaslahatan dan kebaikan yang
melekat pada media digital berbasis media sosial. Dengan kata lain, fatwa ini memberikan
rambu bagaimana menggunakan media digital berbasis media sosial dengan baik dan
benar, sehingga tidak disalah gunakan oleh umat manusia.

xvii
Indonesia sebagai negara yang mayoritas masyarakatnya muslim memiliki lembaga Komisi
Fatwa Hukum MUI (KFHMUI). Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
kedudukan fatwa MUI di Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting. Fatwa MUI
merupakan salah satu dari bahan pertimbangan hukum bagi para legislator dalam membuat atau
menetapkan suatu undang-undang atau peraturan. Dengan begitu kita dapat mengetahui apa saja
hukum islam yang berlaku di Indonesia serta mengetahui apa itu Fatwa MUI juga bagaimana
hubungan Fatwa MUI dan Hukum Islam yang ada di Indonesia.

Dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami perkembangan yang signifikan. Masih banyak
peluang hukum Islam masuk dalam perundang - undangan di Indonesia. Saat ini telah nampak
adanya fenomena perkembangan yang positif dalam penerimaan masyarakat, elit penguasa, dan
legislatif terhadap kehendak legislasi hukum Islam.

B. Saran

Sebagai penulis yang masih banyak kekurangan, kami memberikan saran sebagai berikut:

1. Bahwasanya doktrin maqasid al-syariah menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah
satu, yaitu al-mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
2. Dalam penggunaan media sosial hendaklah kita menggunakan dengan sebaik-baiknya agar
tidak merugikan orang lain serta menimbulkan mafsadah pada apa yang telah kita lakukan.

xviii
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.iain-palangkaraya.ac.id/10/2/BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf diakses pada


Minggu, 27 Juni 2021, 10.15 WIB

http://etheses.uin-malang.ac.id/377/5/10210060%20BAB%20I.pdf diakses pada Minggu, 27 Juni


2021, 10.25 WIB

http://repository.radenintan.ac.id/11728/1/Penelitian%202017%20Kedudukan%20Fatwa
%20MUI.pdf diakses pada Minggu, 27 Juni 2021, 10.38 WIB

Retnowulandari, Wahyuni. 2009. Hukum Islam: Dalam Tata Hukum di Indonesia. Jakarta:
Universitas Trisakti.

Anisa, Lina Nur. Kedudukan Fatwa Majelis Ulama Indonesia terhadap Hukum Positif
Indonesia. IAI Ngawi: Jawa Timur.

http://eprints.walisongo.ac.id/5740/3/BAB%20II.pdf diakses pada Minggu, 27 Juni 2021, 10:43


WIB.

http://repository.uin-suska.ac.id/20453/7/7.%20BAB%20II%20%281%29.pdf diakses pada


Minggu, 27 Juni 2021, 12:15 WIB.

http://repository.uin-suska.ac.id/7343/3/BAB%20II.pdf diakses pada Minggu, 27 Juni 2021,


12.40 WIB

Atho, Mudzhar Muhammad. 1975-1988, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi
Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: INIS, 1993

xix
http://repository.uin-suska.ac.id/18524/10/10.%20BAB%20V__2018564MUA.pdf diakses pada
Senin, 28 Juni 2021, 11.10 WIB

xx

Anda mungkin juga menyukai