Anda di halaman 1dari 18

Makalah Agama dan Kebudayaan

Anggota Kelompok (12) ;


1. Hilda Hanifah
2. Icha Permatasari
3. Iqbal Maulana Yahya
4. Kartika Candra Dewi

STIE BANK BPD JATENG


Tahun Ajaran 2019/2020
1
Kata Pengantar

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, karena telah
melimpahkan rahmatnya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bias selesai
pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan pada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bias disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bias menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas
dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami
sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi

2
Daftar Isi

Cover…………………………………………………….……………………………………..1
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………2
Daftar Isi……………………………………………………………………………………….3
BAB I…………………………………………………………….………………………….....4
Pendahuluan……………………………………………………………………………………4
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………4
B. Rumusan Masalah…………….………………………………………………………..5
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………….5
BAB II………………………………………………………………………………………….6
Konsepsi Teori…………………………………………………………………………………6
A. Pengertian Agama………………………………………………………………...........6
B. Agama dan Budaya……………………………………………………...……………..7
 Prinsip-prinsip kebudayaan dalam islam…………………………………………..8
 Budaya yang boleh dan tidak boleh dalam islam………………………………….9
 Masjid sebagai pusat peradaban dalam islam……………………………………..10
C. Agama dan Budaya Indonesia………………………………………………………...11
D. Bentuk² agama dan kebudayaan……..………………………………………………..12
E. Unsur² agama dan kebudayaan……………………………………….……………….13
F. Proses masuknya islam ke Indonesia……………………………………………....….14
G. Pertemuan islam dan budaya Nusantara……………………………………………....15
BAB III………………………………………………………………………………………..17
Kesimpulan…………………………………………………………………………………....17
Saran…………………………………………………………………………………………..17
Daftar Pustaka………………………………………………………….……………..…...….18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan
dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung
sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara. Bukti
tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh
sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran
(Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu
dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696
Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada institusi
kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa
kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik
dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung ke
arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya
dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang berupa sebuah cetakan tangkup
(mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena
Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan
dibandingkan dengan agama-agama lain.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa
yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan
pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru
yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi
lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar;
mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu; dan memilkiki
kemampuanmengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah
menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah
menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat,
tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam.

4
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana perbedaan konsep agama dan budaya?
b. Bagaimana implikasi masuknya Islam terhadap budaya di Indonesia?
c. Bagaimana proses asimilasi Islam dengan masyarakat Indonesia?
d. Bagaimana proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara?
e. Bagaimana Konsep Kebudayaan dalam Islam?
f. Prinsip – prinsip kebudayaan dalam islam?
g. Bagaimana Sejarah Intelektual dalam Islam?
h. Budaya yang boleh dan tidak boleh dalam islam ?
i. Bagaimana Masjid sebagai Pusat Peradaban dalam Islam?

C. Tujuan Penulisan.
a. Mengetahui perbedaan konsep agama dan budaya
b. Mengetahui implikasi masuknya Islam terhadap perubahan budaya di Indonesia
c. Mengetahui proses asimilasi Islam dengan masyarakat Indonesia
d. Mengetahui proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara.

5
BAB II
KONSEPSI TEORI

A. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau.
Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam
pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya
dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme,
agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang
agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak
kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan
yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata
religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian
religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya
dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.[1]
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam
disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai
Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu
hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi
kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47)
lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan
hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda
dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan
untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana. Allah SWT berfirman dalam
(QS.Al-Maidah: 3)
ْ ‫ُحر‬
‫ِّمت َعلَ ْي ُك ُم‬
‫ير َو َما أُ ِه َّل لِ َغي ِْر هَّللا ِ بِ ِه‬
ِ ‫ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِز‬
َ ‫َو ْال ُم ْن َخنِقَةُ َو ْال َموْ قُو َذةُ َو ْال ُمت ََر ِّديَةُ َوالنَّ ِط‬
‫يحةُ َو َما‬
‫ب َوأَ ْن‬ ُ ُّ‫أَ َك َل ال َّسبُ ُع إِال َما َذ َّك ْيتُ ْم َو َما ُذبِ َح َعلَى الن‬
ِ ‫ص‬
َ ِ‫ق ْاليَوْ َم يَئ‬
‫س الَّ ِذينَ َكفَرُوا‬ ٌ ‫الم َذلِ ُك ْم فِ ْس‬ ْ ِ‫تَ ْستَ ْق ِس ُموا ب‬
ِ ‫األز‬
ُ ‫اخ َشوْ ِن ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬
‫ت لَ ُك ْم‬ ْ ‫ِم ْن ِدينِ ُك ْم فَال ت َْخ َشوْ هُ ْم َو‬

6
‫يت لَ ُك ُم اإلسْال َم ِدينًا‬
ُ ‫ض‬ ُ ‫ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬
ْ ‫ف‬
‫إلث ٍم فَإ ِ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر‬ َ ‫فَ َم ِن اضْ طُ َّر فِي َم ْخ َم‬
ٍ ِ‫ص ٍة َغ ْي َر ُمتَ َجان‬
‫َر ِحي ٌم‬
Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Bahkan Allah SWT menguatkan firmannya dalam (QS.Al-Imran:19)


‫ت هَّللا ِ فَإ ِ َّن هَّللا َ َس ِري ُع‬ َ ‫اختَلَفَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ِ ‫َاب إِاَّل ِم ْن بَ ْع ِد َما َجا َءهُ ُم ْال ِع ْل ُم بَ ْغيًا بَ ْينَهُ ْم ۗ َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِآيَا‬ ْ ‫إِ َّن ال ِّدينَ ِع ْن َد هَّللا ِ اإْل ِ ْساَل ُم ۗ َو َما‬
ِ ‫ْال ِح َسا‬
‫ب‬
Artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
B. Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.[2]
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan,
minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya.
Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam
fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, etos kerja dan pandangan
hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang
immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan.
Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan,
menghayati dan membayangkan Tuhan.
Lebih tegas dikatakan Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak
manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok

7
individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan
budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.[3]
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi
manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi
dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi
yang objektif.
Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda
walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh
di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-
masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang
membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah
kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan
Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga
mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan
dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya
(Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai
alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya
dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat
istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi
karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi
dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi
agama. Hal ini pun termaktub dalam hadits

ِ ‫يل الر َّْأ‬


‫ى‬ ِ ِ‫ش ال ُّد ْنيَا َعلَى َسب‬
ِ ِ‫ب ا ْمتِثَا ِل َما قَالَهُ شَرْ عًا ُدونَ َما َذ َك َرهُ صلى هللا عليه وسلم ِم ْن َم َعاي‬
ِ ‫باب ُوجُو‬
Artinya, “Bab Kewajiban Mengikuti Sabda Nabi yang Berupa Syariat, Bukan Pernyataan Beliau
tentang Kehidupan Dunia Menurut Pendapatnya. (Lihat: Abû al-Hajjâj Muslim, Saḥiḥ Muslim,
[Beirut: Dâr al-Jîl, t.t], j. 7, h. 95)

 Prinsip-Prinsip Kebudayaan dalam Islam


Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan
yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan
budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan
Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang
tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu
meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju
kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara
Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-
perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha
kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak
menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau

8
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Ø Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. seperti ; kadar besar
kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga
wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.
Ø Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, Contoh
yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara
yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan
kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang.
Ø Ketiga : Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “
yang dilakukan oleh masyarakat Bali.

 Budaya yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Islam


Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila
dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi,
Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi
dengan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang
sedang terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas,
terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan
dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas
Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai
Islam yang berbau kebudayaan Indonesia. Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang
menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara”
atau “Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan
plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan
berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi
Indonesia yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu
dan Budha. Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang
khas Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan
kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara
Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam
kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak
simple, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia
bergelut dengan kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan likal, dan semua
wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut diatas dalam memandang event
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi
umat Islam dibanyak Negara Muslim seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman,

9
Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum
tentang boleh atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi
yang menimbulkan kontroversi itu Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan
lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut, maka
tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif hukum Islam,
akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita
untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak
bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu,
Rasulullah Saw tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang
ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang
mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-
budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan dengan Islam, silahkan melakukannya.
Namun jika bertengan dengan ajaran Islam, seperti memamerkan aurat pada sebagian pakaian
adat daerah, atau budaya itu berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik dan pemujaan atau
penyembahan kepada dewa-dewa atau Tuhan-Tuhan selain Allah, maka budaya seperti itu
hukumnya haram.

 Masjid sebagai Pusat Peradaban dalam Islam


Dalam sejarah perkembangan Islam, Masjid memiliki fungsi yang sangat vital dan dominan
bagi kaum Muslimin, di antaranya:
1. Mesjid pada umumnya dipahami masyarakat sebagai tempat ibadah khusus, seperti
sholat.
2. Sebagai “prasasti” atas berdirinya masyarakat Muslim. Jika dewasa ini bendera
sebagai simbol sebuah Negara yang telah merdeka, maka kaum Muslimin pada tempo
dulu jika berhasil “menaklukkan” sebuah Negara, mereka menandainya dengan
membangun sebuah masjid sebagai pertanda bahwa wilayah tersebut menjadi bagian
dari “Negara Islam” (Shini,T.T:158)
3. Masjid merupakan sumber komunikasi dan informasi antar warga masyarakat Islam.
4. Di zaman Nabi SAW masjid sebagai pusat peradaban
5. Sebagai simbol persatuan umat Islam.
6. Sebagai pusat gerakan.
7. Di Masjid kaum tua-muda Muslim mengabdikan hidup untuk belajar ilmu-ilmu Islam,
mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadist , kritisme, tafsir, cabang-cabang syariat, sejarah,
astronomi, geografi, tata bahasa, dan sastra arab.

10
C. Agama dan budaya Indonesia
Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu terdiri dari 5 lapisan. Lapisan
itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen.[4]
Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya
agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil
mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai
peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah mempelopori pendidikan, seni
bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di
Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda
dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman,
Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan
keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk
perpaduan antara Islam dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan
berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat
dengan motif rumah Minangkabau.[5]
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah
memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman
lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-
agama perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Tetapi yang
sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagii pengembangan
budaya Indonesia.
Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama membicarakan
masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.

 Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Indonesia


Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya. Karena Islam berasal dari jazirah
Arab, maka Islam masuk ke Indonesia tidak terlepas dari budaya Arabnya.Kedatangan Islam
dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian
besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang tengah terjadi saat
itu.Dalam pandangan Nurcholis Majid (1988:70) bahwa daya tarik Islam yang pertama dan
utama adalah besifat psikologis, Islam yang secara radikal bersifat egaliter dan mempunyai
semangat keilmuan merupakan konsep revolusioner yang sangat memikat dalam membebaskan
orang-orang lemah (mustadh’afin) dari belenggu hidupnya.Dalam perkembangan dakwah Islam
di Indonesia, para da’i mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana
dilakukan oleh Wali Songo di tanah Jawa. Karena kehebatan para wali Allah SWT itu dalam
mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat sehingga masyarakat tidak sadar bahwa
nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.

11
D. Bentuk – Bentuk Agama Dan Kebudayaan
1. Bentuk Agama
Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah
meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah
Dinamisme, Animisme, Monoteisme dll, adapun pengertiannya adalah sebagai berikut:

· Pengertian Agama Dinamisme ialan : Agama yang mengandung kepercayaan pada


kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang mempunyai
kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada
yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu
disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.

· Pengertian Agama Animisme ialah : Agama yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda,
baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh
masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari
benda-benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan
manusia, Misalnya : Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua yang gelap dll.

· Pengertian Agama Monoteisme ialah : Adanya pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu,
Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak.
2. Bentuk Kebudayaan
· Kebudayaan Persia
Dalam sejarah kebudayaan Persia, masyarakatnya banyak yang menyembah berbagai alam nyata,
seperti langit, cahaya, udara, air dan api. Api dilambangkan sebagai Tuhan baik, sehingga
mereka menyembah api yang selalu dinyalakan didalam rumah – rumah.
· Kebudayaan Romawi Timur
Kerajaan Romawi didirikan pada tahun 753 M. Budaya Romawi pada umumnya beragama
Nasrani. Dalam Kebudayaannya dikenal 3 muhzab yang termasyur yaitu :
1. Mazhab Yaaqibah, yang bertebaran di Mesir, Habsyah Mazhab ini berkeyakinan bahwa Isa
Almasih adalah Allah.
2. Mazhab Nasathirah yang betebaran di Mesir, Irak, Persia
3. Mazhab Mulkaniyah, Kedua Mazhab ini berkeyakinan bahwa dalam diri Al-Masih terdapat 2
tabiat yaitu :

12
a. Tabiat ketuhanan.
b. Tabiat kemanusiaan.
· Kebudayaan Islam
Sejalan dengan perkembangan dunia dan perubahan zaman, Ajaran – ajaran Islam pun kian
marak dijadikan sebuah Budaya, yang akhirnya masyarakat sendiri sulit membandingkan antara
Agama dengan Budaya.
Contohnya : Masalah busana muslim “Jilbab”, di zaman dahulu busana muslim atau jilbab
adalah pakaian yang menutup aurat, pakaian longgar dan panjang, sedangkan zaman sekarang
jilbab menjadi sebuah model atau gaya yang mana tidak lagi melihat pada tuntunan Islam.

E. Unsur-Unsur Agama Dan Kebudayaan


1. Unsur-Unsur Agama
Unsur-unsur penting yang terdapat dalam Agama ialah :
· Unsur Kekuatan Gaib : Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu
sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik
dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik ini dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah
dan larangan kekuatan gaib itu sendiri.
· Keyakinan Manusia : bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat
tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya
hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula.
· Respons yang bersifat Emosionil dari manusia : Respons itu bisa mengambil bentuk
perasaan takut, seperti yang terdapat dalam agama – agama primitif, atau perasaan cinta, seperti
yang terdapat dalam agama – agama monoteisme. Selanjutnya respons mengambil bentuk
penyembahan yang terdapat dalam agama primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama –
agama monoteisme. Lebih lanjut lagi respons itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi
masyarakat yang besangkutan.
· Paham adanya yang kudus (saered) dan suci : dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk
kitab yang mengandung ajaran – ajaran agama bersangkutan dan dalam bentuk tempat – tempat
tertentu.

2. Unsur-Unsur Budaya
Adapun Unsur Kebudayaan yang bersifat universal yang dapat kita sebut sebagai isi pokok tiap
kebudayaan di dunia ini, adalah sebagai berikut :

13
· Peralatan dan perlengkapan hidup manusia sehari – hari misalnya : pakaian, perubahan,
alat rumah tangga, senjata dan sebagainya.
· Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi. Misalnya : Pertanian, peternakan, sitem
produksi.
· Sistem kemasyarakatan, misalnya : kekerabatan, sistem perkawinan, sistem warisan.
· Bahasa sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tertulis.
· Ilmu Pengetahuan
· Kesenian, misalnya : seni suara, seni rupa, seni gerak.
F. Proses masuknya Islam Ke Indonesia
Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara, pertanyaan kita adalah bilamana Islam masuk ke
Nusantara dan siapa yang membawa atau menyebarkannya. Pertanyaan kemudian, Islam seperti
apa yang masuk dan bagaimana bentuknya yang sekarang? Pertanyaan pertama dan kedua dapat
dijawab secara teoritis melalui bukti-bukti arkeologi mutakhir yang sampai kepada kita,
sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab melalui kacamata budaya yang masih dapat
disaksikan di beberapa tempat di Nusantara.
Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara tersurat menyatakan bahwa Islam
masuk di Nusantara pada tahun atau abad sekian dan yang membawa masuk adalah si Nasruddin
(misalnya). Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara hingga saat ini baru
didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur serta beberapa naskah yang menuliskan para
pedagang Islam. yang ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Aceh, Barus (pantai
barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).
Islamisasi di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah Islam yang hingga kini penulisannya
belum “lengkap” dan sifatnya masih parsial. Keadaan seperti ini jauh-jauh hari sudah disinyalir
oleh Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa sikap ulama Indonesia kurang atau bahkan
tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Di samping sikap ulama Indonesia
tersebut, masih ada kendala lain untuk menuliskan sejarah. Kendala itu antara lain kurangnya
data atau sumber-sumber tertulis, serta luasnya geografis Indonesia sehingga untuk
mengintegrasikan data dari berbagai daerah juga sulit.
Mengenai dari mana Islam masuk Nusantara, ada beberapa pendapat dengan argumennya
masing-masing. Ada yang berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India, bahkan ada yang
menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya Islam berbeda-beda, namun
ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui “perantaraan” kaum saudagar. Mereka
berniaga sambil menyebarkan syi‘ar Islam. Hal ini sesuai dengan Hadist: “Sampaikanlah dari
saya ini walau hanya satu ayat”. Kemudian sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh
ulama-ulama lokal atau para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Songo.

14
G. Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena
Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan
dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak
ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai
realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great
tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition
(tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang
“Islamik”, yang dipengaruhi Islam.[6]
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya
merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang lebih kecil
doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi
pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center
(pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada
di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur yang
terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta
tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa
yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan
pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru
yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi
lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar;
mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan
mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.[7]
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah
menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah
menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local yang ada di masyarakat,
tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus
dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya local dan Islam.
Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan
(3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni,
juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan
kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak
menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-
nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain
di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf
tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.

15
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya: bentuk
masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-
benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi
masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk
masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di
kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan
arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar
dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban Cut.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten
kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan struktur-
struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di
Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan
sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana
penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-
perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa
seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan
yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah
memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya dengan
mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan Eropa. Bahkan adanya
resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten. Penghargaan atau perlakuan yang
baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten
terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di
nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara
telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di
antara mereka berbeda keyakinan.
Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah
dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita
(wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali
wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan
dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki
kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau
tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan
syukuran lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai
panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa
didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar,
Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah Sumatera Utara,
proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar,
dan Marpangir.

16
BAB III

 Kesimpulan
1. Kebudayaan yang Islami adalah hasil olah akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya
manusia yang tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Hasil olah yang universal
berkembang menjadi sebuah peradaban. Dalam perkembangannya, perlu dibimbing
oleh wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada ambisi
yang bersumber dari nafsu hewani sehingga akan merugikan diri manusia sendiri. Di
sinilah, agama berfungsi untuk membimbing manusia dalam mengembangkan akal
budinya sehingga menghasilkan kebudayaan yang beradab.
2. Pada masa klasik hidup ulama mahzab dan filosuf-filosuf besar dan agung.
3. Masjid selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai salah satu simbol bagi
Islam, tempat pusat komunikasi dan informasi, tempat belajar tentang ajaran Islam.
4. Nilai Islam yang beraroma Negara Arab secara tidak langsung masuk meresap ke
dalam budaya Indonesia, seperti ejaan, kebiasaan, dsb.

 Saran
1. Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat lebih
mengembangkan Sistem Kebudayaan Islam di Indonesia dan dapat pula mengerti dan
paham tentang konsep kebudayaan islam di indonesia.
2. Penulisan makalah ini tidak lepas dari yang namanya konsep dan sebuah rujukan
yang dijadikan bahan penulisan makalah. Untuk itu kami mohon kepada Bapak
pembimbing mata kuliyah pendidikan agama islam (PAI) agar mengajarkan kepada
para pelajar khususnya bagi mahasiswa agar tidak melanggar dari norma-norma
agama yang sudah ditetapkan, karena selain merugikan diri sendiri juga akan
merugikan orang lain.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Andito, 1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Pustaka
Hidayah: Bandung
2. Azyumardi Azra, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Paramadina:
Jakarta
3. Badri Yatim, 2006, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta
4. Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Kanisius: Yogyakarta
5. Hamka, 1975, Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang: Jakarta
6. Hasan Muarif Ambary, 1998, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam di Indonesia:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta
7. Koentjaraningrat, 1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Penerbitan Universitas: Jakarta
8. Mulyono Sumardi, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Pustaka Sinar Harapan:
Jakarta
9. Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan Pembangunan: Jakarta
10. Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius dan Relevansinya Dalam
Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya: Jakarta
11. Tim Dosen PAI UNM.2006.Reorientasi Pendidikan Islam: Menuju Pengembangan Kepribadian
Insan Kamil.Malang:Hilal Pustaka
12. Tim Dosen PAI UB.2006.Buku Daras Pendidikan Agama Islam.Malang:PPA UB
13. Gazalba,Sidi.1975.Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam.Jakarta:Pustaka Antara
14. http://sahrul-media.blogspot.com

18

Anda mungkin juga menyukai