Anda di halaman 1dari 30

ANTROPOLOGI AGAMA DAN TEORI-TEORI

MENGENAI AZAS RELIGI

Mata Kuliah Teori Antropologi


Dosen Pengampu Dr. Syaripulloh, M.Si.

Disusun oleh :

Sarah Athifah (11220150000015)

Kamilah Jannah (11220150000049)

KELAS 3B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya,
Shalawat serta salam tak lupa kita panjatkan kepada junjungan baginda Nabi
Muhammad SAW. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada teman
kelompok, yang telah berkontribusi dengan memberikan ide baik pikiran maupun
materinya. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Dengan mengucap rasa syukur kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Antropologi Agama dan Teori-Teori Mengenai Azas Religi”. Makalah
ini disusun atas dukungan beberapa pihak. Maka dari itu kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan kesehatan sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik.
2. Bapak Dr. Syaripulloh, M.Si. selaku dosen pengampu pada mata kuliah Teori
Antropologi yang telah membimbing dan memberikan masukan hingga
terselesaikannya tugas ini.
3. Orang tua yang telah mendoakan dan mendukung kami untuk menjalankan dan
menyelesaikan penulisan makalah ini.
4. Dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam menulis
makalah ini.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Dengan ini
kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dengan baik.

Depok, 7 Oktober 2023

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3
A. Pengertian Antropologi Agama ..................................................................3
B. Objek Kajian Antropologi Agama ..............................................................6
C. Pendekatan Antropologi Agama .................................................................6
D. Pentingnya Kajian Antropologi Agama ......................................................7
E. Pengertian Religi.......................................................................................10
F. Tiga Pendekatan Gejala Religi .................................................................13
G. Unsur-Unsur Dasar Religi ........................................................................13
H. Teori Berorientasi Kepada Sikap Manusia Terhadap Hal Gaib ...............15
I. Teori Berorientasi Kepada Upacara Religi ...............................................15
J. Teori Asal-Usul Agama ............................................................................16
K. Komponen-Komponen Religi ...................................................................22
BAB III PENUTUP .............................................................................................25
A. Kesimpulan ...............................................................................................25
B. Saran .........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak zaman kuno hingga zaman modern, agama telah menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari perjalanan manusia. Ia mencerminkan keinginan manusia
untuk menjelajahi dimensi spiritual dan mencari makna dalam kehidupan.
Dalam banyak masyarakat, agama bukan sekadar serangkaian kepercayaan,
tetapi juga kerangka kerja yang membentuk budaya, norma sosial, dan interaksi
sehari-hari. Untuk memahami agama dalam konteks manusiawi yang lebih
dalam, antropologi agama hadir sebagai sebuah disiplin ilmu yang berperan
penting.
Antropologi agama adalah cabang dari antropologi sosial dan budaya yang
memfokuskan diri pada pemahaman tentang bagaimana manusia berinteraksi
dengan keyakinan, sistem kepercayaan, dan praktik keagamaan dalam konteks
budaya mereka. Dalam kerangka ini, azas religi, atau prinsip-prinsip dasar yang
membentuk inti dari keyakinan agama, menjadi sorotan utama. Azas religi
adalah jantung dari sistem kepercayaan, dan memahaminya adalah kunci untuk
memahami makna mendalam di balik setiap praktik keagamaan.
Makalah ini bertujuan untuk membawa kita lebih dekat ke dalam dunia
antropologi agama dan mengulas berbagai teori yang digunakan untuk
menjelaskan azas religi. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang azas
religi, kita dapat memahami lebih baik cara berpikir dan bertindak dari individu-
individu dan masyarakat yang memiliki keyakinan keagamaan yang kuat.
Di era globalisasi ini, ketika budaya dan agama bertemu dalam berbagai
konteks, pemahaman tentang agama dan azas religi menjadi lebih penting
daripada sebelumnya. Agama tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadi
seseorang, tetapi juga memainkan peran dalam politik, ekonomi, konflik sosial,
dan pemahaman lintas budaya. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih dalam
melalui lensa antropologi membantu kita meresapi esensi budaya dan
keragaman keagamaan di seluruh dunia.
Melalui makalah ini, kita akan menjelajahi teori-teori utama dalam
antropologi agama. Namun, kita akan melakukannya dengan pendekatan yang
lebih manusiawi, menjauh dari bahasa teknis yang kompleks, sehingga teori-
teori ini dapat dipahami dengan mudah oleh berbagai kalangan pembaca.
Dengan cara ini, kita akan dapat melihat bagaimana agama telah menjadi bagian
penting dalam perjalanan manusia dan bagaimana ia memengaruhi pandangan
dunia, interaksi sosial, dan budaya yang semakin kompleks di dunia yang terus
berubah. Dengan demikian, kita dapat meraih pemahaman yang lebih dalam
tentang peran agama dalam kehidupan manusia dan menghargai keragaman
keyakinan dan praktik keagamaan yang melintasi peradaban manusia yang
penuh warna.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Antropologi Agama baik definisikal dan harfiah, dan
definisi agama menurut tokoh ahli antropologi?
2. Apa saja objek kajian Antropologi Agama?
3. Bagaimana pendekatan Antropologi Agama?
4. Apa pentingnya kajian akan Antropologi Agama (perhatian Antropologi
pada sistem religi)?
5. Apa pengertian religi?
6. Apa tiga pendekatan terhadap gejala religi?
7. Apa saja unsur-unsur dasar religi?
8. Apa saja bentuk-bentuk religi berorientasi kepada sikap manusia terhadap
hal gaib?
9. Apa saja teori yang berorientasi kepada upacara religi?
10. Apa saja teori tentang asal-usul agama?
11. Apa saja komponen-komponen religi?

C. Tujuan Penulisan
1. Dapat memberikan pemahaman mengenai konsep Antropologi Agama baik
definisikal dan harfiah, dan definisi agama menurut tokoh ahli antropologi
objek kajian Antropologi Agama.
2. Dapat memberikan pemahaman mengenai pendekatan Antropologi Agama.
3. Dapat memberikan pemahaman mengenai pendekatan Antropologi Agama.
4. Dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya kajian akan
Antropologi Agama (perhatian Antropologi pada sistem religi)
5. Dapat memberikan pemahaman mengenai pengertian religi.
6. Dapat memberikan pemahaman mengenai pengertian religi.
7. Dapat memberikan pemahaman mengenai pengertian religi.
8. Dapat memberikan pemahaman mengenai bentuk-bentuk religi berorientasi
kepada sikap manusia terhadap hal gaib.
9. Dapat memberikan pemahaman mengenai bentuk-bentuk religi berorientasi
kepada sikap manusia terhadap hal gaib.
10. Dapat memberikan pemahaman mengenai teori tentang asal-usul agama.
11. Dapat memberikan pemahaman mengenai komponen-komponen religi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Antropologi Agama


Istilah antropologi sendiri berasal dari bahasa Yunani dari asal kata anthropos
berarti manusia, dan logos berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah
antropologi berarti ilmu tentang manusia. Para ahli antropologi (antropolog)
sering mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat
manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang
manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun
pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Dalam kamus
besar bahasa indonesia, antropologi disebut sebagai ilmu tentang manusia,
khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat dan
kepercayaan pada masa lampau.
Pendekatan antropologis dan studi agama membuahkan antropologi agama
yang dapat dikatakan sebagian dari antropologi budaya, bukan antropologi
sosial. Metode antropologi pada umumnya adalah objek sekelompok manusia
sederhana dalam kebudayaan hidupnya. Jadi, studi antropologis terhadap agama
saat ini tidak didasarkan pada data penentuan laporan, melainkan hanya
berdasarkan dari tulisan dan laporan kisah perjalanan ahli antropolog. Dalam
berbagai penelitian antropologi, agama dapat ditemukan adanya hubungan
positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik golongan
masyarakat yang kurang mampu. Pada umumnya mereka lebih tertarik kepada
gerakan-gerakan keagamaan yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
masyarakat. Sedangkan golongan orang yang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi
lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.1
Adapun Bernard mendefinisikan antropologi sebagai ilmu yang mempelajari
tentang manusia, khususnya asal-usul, ragam bentuk fisik, adat istiadat dan
keyakinan pada masa lalu. Sementara Peacock melihat bahwa antropologi
sebagai ilmu yang memokuskan perhatiannya pada aspek pemahaman
kemanusiaan dalam bentuk keanekaragaman secara menyeluruh. Lebih lanjut,
Koentjaraningrat memaparkan bahwa sebagai bidang ilmu, antropologi
memiliki lima bidang riset, yaitu pertama, Sejarah kejadian dan perkembangan
manusia (evolusi dipandang dari segi biologis; kedua, Sejarah terjadinya
berbagai ragam manusia dilihat dari ciri-ciri tubuhnya; ketiga, Sejarah asal,

1
Imamul Hak, “Prosesi Ritual Dan Komunitas ‘Haji Bawakaraeng’ Studi: Atas
Kepercayaan Lokal Dalam Tinjauan Antropologi Agama,” Jurnal EMPOWER; Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam 6, no. 1 (2019): 225–240.

3
perkembangan dan penyebaran berbagai macam bahasa di seluruh dunia;
keempat, Perkembangan, penyebaran, dan terjadinya beragam kebudayaan di
seluruh dunia; dan yang kelima, Asas-asas kebudayaan manusia. Dari uraian
diatas bisa disimpulkan bahwa objek ilmu antropologi adalah manusia dan
perilaku yang ditampilkannya dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kajiannya, antropologi kemudian terbagi menjadi dua yang pertama,
antropologi fisik (paleontologi) yang mengkaji asal-usul manusia, evolusi dan
sejarahnya. Kedua, antropologi budaya yag menjadi arkeologi, etnologi dan
etnografi. Arkeologi memfokuskan kajiannya pada kebudayaan masa lalu
melalui penelitian yang sistematis atas data-data peninggalan benda-benda.
Etnologi fokus pada asas kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat
suatu bangsa yang ada diseluruh dunia, baik cara berfikir maupun perilakunya.
Sedangakan etnografi mengkaji tentang adat istiadat dan kebiasaa masyarakat.
Salah satu fenomena manusia yang menarik perhatian antropologi adalah
kehidupan manusia dalam bidang keagamaan. Dalam hal ini Walance
mendefinisikan agama sebagai perangkat upacara yang kemudian diberi
rasionalisasi mitos, dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supranatural
dengan maksud untuk mencapai dan menghindarkan suatu perubahan keadaan
pada manusia atau alam. Definisi ini menunjukkan bahwa agama merupakan
sarana manusia untuk mengatasi persoalan serius yang dihadapinya. Hal itu
dilakukan dengan melaksanakan upacara keagamaan yang dianggapnya sebagai
gejala utama agama atau disebut agama sebagai bentuk praktik. Di sini agama
dipahami sebagai kepercayaan dan pola perilaku. Manusia menggunakan
kepercayaan tersebut untuk mengendalikan alam yang tidak mampu
dikendalikannya sendiri, oleh karena itu agama menjadi bagian dari semua
kebudayaan yang ada di dunia.2
Agama mengandung dua ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan
tuhan melalui para rosul-nya kepada masyarakat manusia, di mana ajaran dasar
agama terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan serta arti dan
cara pelaksanaannya. Ajaran dasar agama ini juga merupakan wahyu dari Tuhan
yang bersifat absolut, benar, kekal, tidak berubah maupun tidak bisa diubah.
Sedangkan penjelasan ahli agama terhadap ajaran dasar agama merupakan
penjelasan dan hasil pemikiran yang cenderung bersifat tidak absolut, tidak
mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran kedua ini bersifat relatif, nisbi,
berubah dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Agama yang
diturunkan dan terwujud dalam bentuk tindakan dan sikap manusia merupakan
produk interaksi sosial. Oleh karena itu dia merupakan bagian dari ilmu sosial

2
Imamul Hak, “Prosesi Ritual Dan Komunitas ‘Haji Bawakaraeng’ Studi: Atas Kepercayaan
Lokal Dalam Tinjauan Antropologi Agama,” Jurnal EMPOWER; Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam 6, no. 1 (2019): 225–240

4
dan ilmu sejarah.
Agama mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, akan
tetapi juga menentukan falsafah hidup suatu masyarakat. Agama bukan hanya
menjadi bagian penting dari kecenderungan manusia dalam melakukan
eksternalisasi dan membangun makna serta dunia sosial, namun juga sebagai
sarana untuk memperoleh legitimasi sosial atau pemeliharaan dunia (world
maintenance). Agama juga bisa melegitimasi institusi dan keteraturan sosial
dengan status ontologisnya, sehingga memberi legitimasi yang kuat dan objektif
pada keteraturan sosial dan moral. Penjelasan antropologi tentang agama
dianggap memiliki keterkaitan dengan sistem nilai atau sistem evaluatif, dan
pola dari tindakan yang terkait dengan sistem kognitif atau sistem pengetahuan
manusia.
Sementara Suparlan mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur relasi manusia dengan hal-hal ghaib (terutama dengan
Tuhan), dengan manusia lainnya, dan dengan lingkungan. Sehingga agama
menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya dalam kehidupan suatu
masyarakat. Oleh karena itu, agama kemudian memiliki peran dalam merubah
perilaku masyarakat dan diarahkan sesuai cita-cita sosial sebagaimana yang
dikehendaki secara doktrinal. Pengertian ini pun menegaskan kembali bahwa
agama merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat.3
Pendekatan antropologi dalam agama berangkat dari preposisi bahwa agama
tidak hanya berdiri sendiri, melainkan agama akan selalu berhubungan erat
dengan pemeluknya. Setiap pemeluk agama memiliki sistem budaya dan kultur
masing-masing. Antropologi, sebagai ilmu yang mempelajari manusia,
menjadikan antropologi memiliki peran sangat penting dalam memahami
agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka
untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan
pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi terhadap pemahaman
tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang
penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai
budaya.4
Dalam konteks agama, antropologi mengamati keyakinan akan adanya
kekuatan yang mempengaruhi kehidupan manusia yang berasal dari luar diri
dan alam semesta yang tidak nampak oleh panca indera (supra-natural).

3
Imamul Hak, “Prosesi Ritual Dan Komunitas ‘Haji Bawakaraeng’ Studi: Atas Kepercayaan
Lokal Dalam Tinjauan Antropologi Agama,” Jurnal EMPOWER; Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam 6, no. 1 (2019): 225–240
4
Imamul Hak, “Prosesi Ritual Dan Komunitas ‘Haji Bawakaraeng’ Studi: Atas Kepercayaan
Lokal Dalam Tinjauan Antropologi Agama,” Jurnal EMPOWER; Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam 6, no. 1 (2019): 225–240

5
Ketertarikan antropologi terhadap kehidupan beragama manusia inilah yang
kemudian memunculkan disiplin antropologi agama. Dalam hal ini antropologi
memandang bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan manusia.
Selanjutnya antropologi berusaha mengkaji hubungan antara agama dengan
berbagai pranata sosial yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, sebagai ilmu
yang membahas tentang manusia, antropologi memiliki nilai penting untuk
membantu memahami agama yang dianut oleh manusia. Terutama memahami
bagaimana manusia memahami, menginterpretasi, dan mengaplikasikan
agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pemahaman
Walance yang memandang agama sebagai perbuatan. Dia memandang agama
sebagai kepercayaan dan pola prilaku, maka agama menjadi bagian dari
kebudayaan manusia.5

B. Objek Kajian Antropologi Agama


Objek kajian dari antropologi agama adalah manusia dalam kaitannya dengan
agama yaitu bagaimana pikiran, sikap, perilaku manusia dalam hubungannya
dengan yang ghaib. Jadi bukan kebenaran yang ideologis berdasarkan
keyakinan dan kepercayaan menurut ajaran agama masing-masing yang
menjadi titik perhatian studi, melainkan kenyataan yang nampak berlaku, yang
empiris.6

C. Pendekatan Antropologi Agama


Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropolog dalam meneliti wacana
keagamaan adalah adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat agama sebagai
inti kebudayaan. Kajian antropolog yang bernama Geertz mengenai agama
abangan, santri, dan priyai adalah kajian mengenai variasi-variasi keyakinan
agama dalam kehidupan (kebudayaan) masyarakat Jawa sesuai dengan konteks
lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing bukannya kajian mengenai
teologi agama. Berbeda dengan pendekatan antropolog, sebagai ilmu sosial
pendekatan yang dipakai antropologi agama untuk menjawab masalah yang
menjadi perhatiannya adalah pendekatan ilmiah.
Pendekatan ilmiah yang dikembangkan dari pendekatan ilmu alam bertolak
dari kenyataan yang mengandung masalah. Masalah itu diantaranya apa sebab

5
Imamul Hak, “Prosesi Ritual Dan Komunitas ‘Haji Bawakaraeng’ Studi: Atas Kepercayaan
Lokal Dalam Tinjauan Antropologi Agama,” Jurnal EMPOWER; Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam 6, no. 1 (2019): 225–240
6
Sri Rejeki, “Nilai-Nilai Agama Dalam Kajian Renungan Senja RRI Mataram” (Universitas Islam
Negeri Mataram, 2023)

6
suatu kenyataan jadi demikian, apa faktor-faktor yang menjadikannya
demikian. Sadar bahwa manusia adalah mahluk budaya, punya kehendak,
keinginan, imajinasi, perasaan, gagasan, kajian yang dikembangkan antropologi
tidak seperti pendekatan ilmu alam. Pendekatan yang digunkan lebih humanitik,
berusaha memahami gejala dari prilaku tersebut punya gagasan, inisiatif,
keyakinan, bisa terpengaruh oleh lingkungan dan mempengaruhi lingkungan.
Oleh karena itu, pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana beragama
menurut kitab suci, tetapi bagaimana seharusnya beragama menurut
penganutnya.7

D. Pentingnya Kajian Antropologi Agama


Ilmu agama atau ilmu fikih yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dapat
mengguncang dan menurunkan kedudukan, martabat dan jabatan seseorang.
Ilmu Kalam/Aqidah yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dan antropologi
menjadikan keimanan seseorang penuli dengan rasa tidak nyaman, jika hidup
berdampingan dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama.
Begitupun sebaliknya, keahlian dalam bidang antropologi, sosiologi,
kedokteran yang tidak memahami persoalan fikih dalam berhubungan sosial
dengan wanita juga dapat mendatangkan madarat atau resiko yang tidak
terduga. Kesalehan individual yang tercermin dalam ketaatan beribadah secara
ritual, belum tentu menjamin terbentuknya kesalehan sosial,apalagi kesalehan
publik. Kesalehan publik yang antara lain menghargai orang atau kelompok lain
yang berbeda, kesetaraan di depan hukum, menghormati hak asasi manusia
belum tentu dapat berdialog dan terintegrasi dalam way of thinking, budaya pikir
sosial- keagamaan secara utuh. 8
Tentu bukan hal yang mudah melakukan kegiatan ilmiah dan di sisi lain tetap
berusaha “membela” pemahaman keagamaan pemeluknya secara bersamaan.
Pengalaman penulis selama memberikan kuliah antropologi agama kepada
mahasiswa (khususnya mahasiswa baru) menegaskan kenyataan dimaksud.
Artinya, dialog integrasi keilmuan agama dan ilmu sosial (seperti sosiologi dan
antropologi) bukan hal yang mudah diterima oleh kalangan masyarakat yang
masih berfikir dikhotomis secara keilmuan. Karena itu pembahasan ini menjadi
pengantar awal yang penting diletakkan secara kokoh sebelum pembahasan
berikutnya diulas.9
Catatan utama yang penting dikaji di awal adalah bahawasanya agama dalam
lintasan sejarahnya lahir dalam ragam bentuk yang luas dan unik. Secara

7
Yodi Fitradi Potabuga. 2020. “Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam.” Jurnal
Transformatif 4(1): 19–30.
8
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019). Antropologi Agama. (Jakarta:
UIN Press), hal. 2-7.
9
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).

7
sederhana ada agama yang lahir akibat konstruk suatu masyarakat, kehadiran
tokoh suci, keyakinan adanya roh, ketidakmampuan manusia mengendalikan
alam semesta, penyucian diri, dan karena firman Tuhan. Kehadiran ragam
agama di muka bumi dimaksud merupakan fakta sosial yang penting ditelaah
oleh para mahasiswa dan akademisi sebagai bagian dari konteks kehidupan
sosial bermasyarakat yang dinamis yang sekaligus kekayaan intelektual yang
patut dicermati. Dengan demikian memahami definisi agama sebagai
"seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya, dan manusia dengan lingkungannya" adalah konsepsi yang
lahir dari doktrin atau teks suci. Sementara pemahaman agama dalam konteks
bagaimana manusia dan masyarakat meyakini dan mempraktikan dalam
kehidupan kesehariannya kurang terwakili dalam definisi agama dalam
prespektif teologis di atas. Para ilmuwan sosial, khususnya sosiologi dan
antropologi memberikan pendekatan baru dalam memaknai hakikat kehidupan
beragama dalam sudut yang "aktual" dialami manusia dan masyarakat itu
sendiri.10
Pada awalnya banyak kalangan akademisi (khususnya di Eropa) juga menolak
anggapan adanya kemungkinan untuk meneliti agama dikarenakan kepercayaan
mereka bahwa antara ilmu dan nilai serta antara ilmu dan agama tidaklah bisa
disinkronkan. Pendekatan ilmu dan agama berdiri sendiri secara mandiri, yakni
akibat ketegangan yang rumit dan berkelanjutan antara kalangan ilmuwan dan
agamawan pada era ilmu pengetahuan dan teknologi informasi belum
berkembang seperti saat ini. Hal ini dapat dipahami karena pada era awal ilmu
pengetahuan berkembang semangat keilmuan yang terlahir adalah menolak
adanya tradisi dan otoritas mutlak atas kehidupan manusia.
Meskipun tak sedikit pula pemikiran para ilmuwan sosial dan para filosof
sosial yang masih memandang penting adanya pengkajian penyatuan agama dan
ilmu. David Hume misalnya menyatakan bahwa argumen empirik atau ilmiah
tak mungkin terlahir di luar “moral sciences” yang berkembang saat itu.
Sebagaimana halnya ketika Kant menyampaikan gagasan ilmu pengetahuan
pastilah dibangun atas “cara pandang dunianya” sendiri atau konteks sosial yang
lahir pada masa itu. Artinya, keyakinan seseorang terhadap agamanya dapat
dikaji dalam bingkai fakta theologis, juga dalam bingkai fakta sosiologis,
termasuk relasi antara fakta sosiologis dan teologis secara bersamaan sebagai
kenyataan sosial baru. Yang kemudian dikenal sebagai pendekatan
fenomenologi, yakni upaya membandingkan antara keyakinan dan ragam cara
ibadah menuju ketaatan atas keyakinannya, seperti melalui upacara ritual
pemujaan terhadap Tuhan yang beragam meski pada keyakinan pemeluk agama

10
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).

8
yang sama, membuktikan adanya keterbatasan keyakinan seseorang dalam
memaknai kehidupan sosialnya.11
Dengan begitu mengkaji agama dapat didekati selain dengan pendekatan
teologis, juga dengan dengan kajian keagamaan (agama sebagai objek studi),
pendekatan sejarah agama, termasuk memahami agama dan keberagamaan
melalui pendekatan budaya dalam bingkai stuktur masyarakatnya.12 Namun
pendekatan agama melalui kultur masyarakatnya ini tentu tidak dimaksudkan
untuk meletakkan kebenaran- kesesatan suatu keimanan tertentu, tetapi lebih
berupaya meletakan bagaimana manusia melakukan inkulturasi agama dalam
kehidupan kesehariannya. Yakni bagaimana suatu keyakinan terhadap sesuatu
yang irrasional, tak dapat diverifikasi, difalsifikasi dan mungkin pula tidak
dapat dibuktikan, namun secara rasional mampu membentuk identitas,
kesadaran dan perilaku yang sama dalam sebuah konstruk masyarakat secara
lebih luas.13
Konteks memahami agama dalam keilmuan antropologi membuahkan ilmu
yang dikenal dengan antropologi agama. Artinya, Agama dalam prespektif
antropologis dipahami sebagai wujud praktik keagamaan (tindakan, perilaku)
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Studi ini dimaksudkan untuk
menjelaskan secara tuntas kehadiran agama terkait ide, gagasan, nilai yang
tumbuh di masyarakat sehingga menjadi perilaku bersama yang terus
dipertahankan dan menghasilkan wujud kebudayaan baru yang melekat pada
masyarakat bersangkutan. Yakni dalam bentuk fungsi, simbol-simbol atau nilai-
nilai yang dipahami secara sama oleh masyarat secara luas sehingga mampu
melahirkan dan atau mempengaruhi struktur sosial, ekonomi, politik, kesenian,
teknologi dan kebijakan umum yang ada.14
Dengan demikian agama dalam pendekatan ini dipahami dan diletakkan
sebagai bagian dari upaya manusia memahami dirinya dan lingkungannya.
Karena hanya dengan meletakkan agama, maka agama dapat diperlakukan
sebagai kebudayaan. Sebaliknya, jika agama dipahami sebagai sesuatu yang
luhur dari luar diri manusia, maka akan sulit mengkaji agama dalam bingkai
kehadiran agama itu sendiri. Artinya, dalam prespektif ini memperlakukan
agama sebagai keyakinan yang hidup dalam masyarakat, bukan sebagai sesuatu
yang ada dalam kitab suci seperti Al-Qur'an atau Hadist.15
Tentu sangat berbeda saat seseorang mengkaji agama dalam konsepsi doktrin
agama itu sendiri, sebagaimana dimuat dalam kitab suci masing-masing agama,
dengan seseorang yang berusaha mengkaji agama atas pijakan pencarian

11
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).
12
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).
13
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).
14
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).
15
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).

9
manusia dalam mengenal dan meyakini sesuatu di luar dirinya secara mandiri.
Pemahaman ini perlu secara tuntas disampaikan kepada para pengkaji
antropologi agama, terutama mahasiswa sarjana strata satu di lingkungan
Perguruan Tinggi Islam (PTAIS). Karena umumnya pemahaman yang
berkembang masih dipengaruhi oleh pemahaman tentang kehadiran agama
murni melalui tuntunan Ilahi secara parsial, tanpa adanya pemahaman tentang
konteks ikhtiar manusia sebagai "pencari" tuhan. Akibatnya tidak jarang
kemudian diskusi prespektif antropologi dalam kajian agama terjatuh pada
pemahaman pengarus-utamaan "pemurtadan" atau "sekulerisasi" pemahaman
keagamaan. Dan akhirnya kajian agama dalam prespetif antropologi menjadi
ajang "penegasan" identitas agama masing-masing secara membabi-buta atau
tidak produktif dan saling koreksi pemahaman keyakinan beragama.16

E. Pengertian Religi
Religi berasal dari kata religare dan relegare (Latin). Religare memiliki
makna 'suatu perbuatan yang memperhatikan kesungguh sungguhan dalam
melakukannya'. Relegare memiliki arti perbuatan bersama dalam ikatan saling
mengasihi'. Kedua istilah ini memiliki corak individual dan sosial dalam suatu
perbuatan religius. White berpendapat bahwa religi atau salah satu unsur yang
membentuk religi tersebut, yakni keyakinan (belief) adalah salah satu bagian
dari sistem ideologi. Sistem tersebut merupakan salah satu wujud kebu-dayaan.
Dengan demikian, religi merupakan bagian dari dan ter-bentuk dalam ruang
lingkup kebudayaan manusia. Bagi Firth, keyakinan belumlah dapat dikatakan
sebagai religi apabila tidak diikuti upacara yang terkait dengan keyakinan
tersebut. Keyakinan dan upacara adalah dua unsur penting dalam religi yang
saling mem-perkuat. Keyakinan menggelorakan upacara dan upacara
merupakan upaya membenarkan keyakinan. Menurut Goldschmidt, upacara
mengkomunikasikan keyakinan kepada sekalian orang. Keduanya tidak dapat
dipisahkan, yang satu tidak dapat terlepas dari yang lainnya. Namun demikian,
untuk memudahkan pengkajian secara antropologis, religi dapat dideskripsikan
baik melalui aspek keyakinan maupun aspek upacara dengan mengindahkan
kesaling-tergantungan.
Konsep religi yang berkaitan dengan keyakinan dikemukakan Tylor yang
melihat religi sebagai keyakinan akan adanya makhluk halus (belief in spiritual
being). Konsep umum religi seringkali berkaitan dengan konsep makhluk halus
(spiritual being) dan konsep kekuatan tak nyata (impersonal power). Makhluk
halus diyakini berada di sekitar kehidupan manusia, sedangkan kekuatan tidak
nyata diyakini memberikan manfaat selain juga menimbulkan kerugian dan
bencana.

16
Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA dan Kholis Ridho, M.Si. (2019).

10
Koentjaraningrat (bapak Antropologi Indonesia) mendefinisikan religi yang
memuat hal-hal tentang keyakinan, upacara dan per- alatannya, sikap dan
perilaku, alam pikiran dan perasaan disamping hal-hal yang menyangkut para
penganutnya sendiri. Definisi semacam ini dipengaruhi oleh konsepsi unsur
dasar sistem religi yang terdiri dari lima, sebagaimana dijelaskan pada bahasan
berikutnya.
Dalam mengidentifikasi keyakinan masyarakat, dapat dikumpulkan data
tentang pandangan tentang hidup sesudah mati, konsep tentang sesuatu yang
dianggap Maha dahsyat, obyek keramat dan dihormati. Data berupa upacara
dapat dikumpulkan melalui pengamatan terhadap berbagai bentuk upacara
seperti, berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan
menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa, bersemedi dan
intoksi- nasi.17 Pendapat senada dikemukakan oleh Wallace, seperti
berdoa/sembahyang yang ditujukan kepada yang adikodrati (supernatural);
memainkan alat dan memperdengarkan musik yang diiringi oleh tarian dan
nyanyian tertentu; melakukan perbuatan kinetik tertentu yang menggambarkan
keadaan psikis tertentu; memberikan khotbah yang ditujukan kepada orang lain;
mengucapkan mantra yang menyangkut mite, moral serta aspek tertentu dari
sistem keyakinan; melakukan simulasi, menggunakan atau memakai benda
tertentu yang diyakini memiliki mana; berpantang tabu /tidak menggunakan
atau menyentuh sesuatu, berpesta atau selamatan, berkorban dan menyerahkan
sesaji; berkumpul bersama, berprosesi, berbaiat, bersemedi dan bersimboli- sasi
dengan memakai obyek-obyek atau peralatan simbolis tertentu.
Tokoh lain, seperti Baal melihat religi sebagai sebuah sistem simbol. 'Religi
diartikan sebagai suatu sistem simbol yang dengan sarana tersebut manusia
berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang
serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang
saling bertentangan untuk pernyataan diri dengan penguasaan diri. Bila tujuan
(yakni obyek yang dikomunikasikan itu) menyerupai sesuatu yang tidak dapat
dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol berfungsi sebagai
perisai yang melindungi (menghalangi) seseorang dari kecenderungannya yang
amat sangat untuk memperagakannya secara langsung. Emile Durkheim
mengartikan religi sebagai keterkaitan sekalian orang pada sesuatu yang
dipandang sakral, yang berfungsi sebagai simbol kekuatan masyarakat dan
saling ketergantungan orang-orang dalam masyarakat yang bersangkutan.
Religi menurut Bromley, berbeda dengan agama. Religi menekankan bentuk
hubungan dengan obyek di luar diri manusia Obyek bersifat polytheis, lokal dan
tidak berdasarkan wahyu tertulis Sebaliknya agama lebih ditekankan pada
bentuk hubungan dengan obyek yang bersifat monotheisme, universal dan

17
Koentjaraningrat, 2020: 262-269

11
berdasarkan wahyu tertulis serta teruji dalam sejarah yang panjang. Bellah
mendefinisikan religi sebagai perangkat bentuk dan tindakan simbolik yang
menghubungkan manusia dengan Yang Suci yang menjadi azas dasariah hidup
manusia.18
Bagi orang Baliem (Papua), religi adalah ketergantungan dengan obyek di
luar dirinya (Yang Kuasa) dan juga relasi dengan masya rakat atau
lingkungannya. Dalam kehidupan sosio-religi, orang Baliem memiliki hasrat
dasariah untuk mencapai keutuhan, kebulatan serta kesempurnaan dengan
realitas yang mutlak (walhowak). Walhowak bersifat abstrak, sedangkan hasrat
religiusnya sedemikian tinggi, sehingga mereka mencari bentuk-bentuk nyata
sebagai lambang penyatuan itu. Wujud konkret tersebut dapat berupa benda-
benda religi, seperti pusaka warisan leluhur yang menjadi simbol-simbol
penting dan dianggap memiliki kekuatan. Kekuatannya mampu menjembatani
komunikasi jiwa manusia dengan kekuatan reaksi mutlak (supranatural) kepada
realitas nan mutlak (walhowak) dan masyarakat sekelilingnya.19
Berdasarkan definisi religi di atas, dalam konteks ke-Indonesia-an, sebutan
religi tidak hanya dikenakan bagi agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha
dan Konghucu yang memiliki penganut terbesar dan kesemuanya berasal dari
luar Indonesia', tetapi juga terhadap semua keyakinan dan upacara yang dianut
oleh masyarakat suku/indigenous people/masyarakat bersahaja/masyarakat
terasing Untuk kepentingan administrasi pemerintahan, Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha dan Konghucu disebut sebagai 'agama', sedangkan bentuk-
bentuk religi yang bersifat lokalitas dan dianut oleh kelompok etnis tertentu
disebut dengan 'kepercayaan'.20
Selanjutnya, apakah yang dimaksud sistem itu? Terdapat beberapa pengertian
sistem, diantaranya dikemukakan oleh Parsons, sistem adalah suatu konsep
yang mengacu baik kepada suatu kompleks kesaling-ketergantungan antara
bagian-bagian, komponen-komponen dan proses-proses yang meliputi
keteraturan antara kompleks itu sendiri dengan lingkungannya. Dari sistem
sebagai suatu konsep itu disusun dan dibentuklah suatu teori yang menyeluruh
dan umum. Anatol Rapport mendefinisikan sistem sebagai sesuatu yang terdiri
dari sejumlah kesatuan (entity) yang memperlihatkan hubungan-hubungan
khusus yang olehnya suatu kesimpulan akhir (deduction) dimungkinkan terjadi.
Cohen mengartikan sistem sebagai seperangkat bagian (part) atau seperangkat
kesatuan (unit) yang saling berhubungan; bagian-bagian itu dapat dipisahkan
dari konteksnya dalam tingkat tertentu bila ingin dianalisis.21

18
Koentjaraningrat, 2020: 262-269
19
Koentjaraningrat, 2020: 262-269
20
Koentjaraningrat, 2020: 262-269
21
Narrol dan Cohen, 2019:43

12
Religi sebagai sebuah sistem memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar
lima unsur yang ada di dalamnya. Kelima unsur sistem religi diuraikan secara
lebih lanjut pada sub-pokok bahasan di bawah ini. Dari lima unsur sistem religi,
tidak ada satu unsur yang lebih utama dibanding dengan lainnya, semua unsur
saling mempengaruhi. Hubungan antar unsur adalah hubungan saling
ketergantungan dan saling mendukung satu sama lainnya.

F. Tiga Pendekatan Gejala Religi


Banyak ahli yang berusaha mencari azas-azas religi dan memecahkan
masalah awal mula religi yang banyak dilakukan oleh masyarakat yang
dianggap primitif pada masa itu. Teori Taylor dan Frazer yang mencoba
menganalis is asal mula religi menjadi landasan munculnya pandangan
tersebut. Secara umum, ada dua hal pokok yang digunakan para ahli untuk
menganalisis Asal mula religi, yaitu berdasarkan teori jiwa (Taylor) dan teori
ilmu gaib sebagai sikap terhadap adanya kekuatan-kekuatan gaib (Frazer).
Sedangkan menurut Koentjaraningrat ada tiga golongan teori yang digunakan
oleh para ahli dalam menganalisis religi, diantaranya yaitu:
1. Teori-teori dengan pendekatan yang orientasinya keyakinan religi
(seperti: a.l. A. Lang, R.R Marret dan A.C Kryut).
2. Teori-teori dengan pendekatan yang orientasinya sikap manusia terhadap
hal gaib (seperti: R. Otto).
3. Teori-teori dengan pendekatan yang orientasinya pada upacara religi
(seperti: W.R. Smith, K. Th Preusz, R. Herz dan A. Van Gennep).22

G. Unsur-Unsur Dasar Religi


1. Aqidah
Aqidah secara bahasa berarti ikatan, secara terminologi berarti landasan
yang mengikat, yaitu keimanan, itu sebabnya ilmu tauhid disebut ilmu aqoid
(jamak aqidah). Aqidah menurut Azra “ merupakan ajaran tentang apa saja
yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang islam. Oleh
karena itu Aqidah merupakan ikat dan simpul dasar islam yang pertama dan
utama” . Menurut Rejono “mengatakan aqidah adalah suatu yang
mengeraskan hati membenarkan yang membuat jiwa tenang dan menjadi
kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan”. Dari pendapat-
pendapat di atas disimpulkan bahwa aqidah adalah keyakinan dasar yang
menguatkan atau meneguhkan jiwa sehingga jiwa terbebas dari rasa
kebimbangan atau keraguan di dalam Islam disebut dengan iman.

22
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 57-58.

13
a. Ketauhidan
Kata ketauhidan adalah bentuk jadian dari kata dasar tauhid.Tauhid
adalah suatu kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Kepercayaan terhadap adanya Alam Gaib
Artinya setiap manusia yang beriman harus mempercayai adanya alam
lain dibalik alam semesta ini yakni alam gaib. Seperti alamnya para
Malaikat, Jin dan alam roh Manusia yang telah terlepas dari jasadnya
yang bisa disebut alam baka, dimana dalam alam tersebut manusia
terlepas dari segala urusan yang bersifat duniawi.
c. Iman Terhadap Takdir
Kepercayaan yang benar terhadap takdir Tuhan ini akan memberikan
sublime (nilai hidup yang tinggi) bagi seorang yang mempercayai takdir
Tuhan dengan sungguh-sungguh akan menerima keadaan dengan wajar
dan bijaksana.
2. Syariah
Syariah adalah tata cara atau peraturan-peraturan tentang perilaku hidup
manusia secara lahir dan bathin yang menyangkut bagaimana cara manusia
berhubungan dengan Allah dan dengan sesama makhluk lain untuk
mencapai keridhoan Allah SWT.
3. Akhlak
Secara Etimologi (arti Bahasa) akhlak berasal dari kata khalaqa, yang
kata asalnya berarti: perangkai, tabiat, adat, atau khalqun yang berarti
kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak berarti perangkai,
adat, tabiat, sistem prilaku yang baik. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia “akhlak adalah kelakuan, tabiat, tingkah laku, seorang muslim
hendaknya mempunyai akhlak mulia; misalnya anak itu akhlaknya buruk
sehingga tidak disukai oleh temantemannya”. Akhlak sering juga disebut
dengan moral, diartikan sebagai ajaran baik buruk perbuatan atau kelakuan.
Lebih jelasnya akhlak merupakan sistem nilai yang mengatur pola sikap dan
tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran
islam dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta
ijetihad (hukum islam).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah
tingkah laku, budi pekerti yang melekat pada jiwa seseorang untuk melakukan
suatu hal atau perbuatan.23

23
Ila Nafilah “unsur-unsur religius dalam cerpen “sejuta langkah mendaki mimpi” karya dian
rahayu, 2019, deiksis, hal: 104

14
H. Bentuk- Bentuk Religi
1. Fetishism, ialah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan akan adanya
jiwa dalam benda-benda tertentu.
2. Animism, ialah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan bahwa di alam
sekitar tempat tinggal manusia terdapat berbagai macam ruh.
3. Animatism bukan suatu bentuk religi, melainkan suatu sistem kepercayaan
bahwa benda-benda dan tumbuh tumbuhan sekeliling manusia itu berjiwa
dan bisa berpikir seperti manusia.
4. Prae-animism, ialah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada
kekuatan sakti yang ada dalam segala hal yang luar biasa, terkadang religi
ini juga disebut dynamism.
5. Totemism, ialah bentuk religi yang ada dalam masyarakat yang terdiri dari
kelompok kelompok kekerabatan yang unilineal; yang berasal dari dewa-
dewa nenek moyang.
6. Polytheism, yaitu bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu
sistem yang luas dari dewa-dewa.
7. Monotheism, yaitu bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu
dewa Tuhan.
8. Mystic adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan kepada satu
Tuhan yang dianggap meliputi segala hal dalam alam.24

I. Teori Berorientasi Kepada Manusia Terhadap Hal Ghaib


Diantaranya konsep RR Otto mengenai konsepsi mengenai azas religi yang
berorientasi kepada sikap manusia dalam menghadapi dunia gaib atau hal yang
gaib yang diuraikan dalam bukunya Das heilige. Menurutnya system religi,
kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang
gaib (mysterium) yang dianggap mahadahsyat (tremendum) dan keramat
(sacer). Hal-hal tersebut menciptakan kekaguman dan terpesona dan rasa
ketertarikan dan perhatian dalam diri manusia dan mendorong hasrat untuk
menghayati dan rasa ingin bersatu dengannya. Otto mengungkapkan bahwa hal
tersebut tidak dapat diterangkan dengan aka manusia sehingga dia menulis, uber
das irrationale in der idée des gottlichen. Teori tersebut menunjukkan adanya
suatu unsur penting dalam tiap sIstem religi, kepercayaan dan agama yaitu suatu
emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam yang disebabkan karena sikap
kagum, terpesona terhadap hal-hal gaib dan keramat.25

J. Teori Berorientasi Kepada Upacara Religi


Diantaranya menurut Smith tentang upacara bersaji. Teori tentang asas-asas
religi yang mendekati masalahnya dengan cara yang berbeda yaitu dengan

24
Sugeng Pujileksono, Pengantar Sosiologi, (Malang: Intrans Publishing, 2018), h. 99-107.
25
Sri Ilham Nasution, Antropologi Agama, (Jakarta: Harakindo Publishing, 2020), h. 81.

15
bersaji. Teorinya tidak berpangkal kepada analisa sistem keyakinan atau
pelajaran doktrin dari religi tetapi berpangkal kepada upacaranya. Teorinya itu
ditulisnya kedalam buku lectures on religion of the semites.
Dia mengungkapkan tiga gagasan penting mengenai religi. Pertama, bahwa
disamping sistem keyakinan dan dokrtin, sistem upacara juga merupakan suatu
perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang
khusus. Kedua, upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh
banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan
bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk menginfestasikan solidaritas
masyarakat. Ketiga, teori mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya,
upacara seperti itu dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang,
terutama darahnya kepada dewa kemudian memakan sendiri sisa daging dan
darahnya oleh Smith dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa
solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dewa dipandang sebagai suatu
komunitas walau sebagai warga yang istimewa. Maka dalam contoh etnografi
(terutama suku dan kebudayaan Arab) yang diajukan sebagai ilustrasi dari
gagasannya, Robertson menggambarkan upacara sesaji sebagai suatu upacara
yang gembira meriah tetapi tetap keramat dan tidak sebagai suatu upacara yang
khidmat dan keramat.26

K. Teori Asal-Usul Agama


Teori-teori terpenting tentang asal mula dan inti religi. Masalah asal mula
dan inti dari suatu unsur universal seperti religi atau agama itu, tegasnya
masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap
lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia melakukan
berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk mencari hubungan
dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi objek perhatian para ahli pikir
sejak lama. Adapun mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori yang
berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :
1. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
2. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena
manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan
dengan akalnya.
3. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan
maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup
manusia.
4. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-
kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.

26
Eka Mandala, “teori religi menurut para ahli 3 kelompok”, 2023

16
5. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu
getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari
pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
6. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia
mendapat suatu firman dari Tuhan.27

Berikut merupakan teori tentang asal mula dan inti religi menurut para ahli:

1. Teori Sosiologis Durkheim


Emile Durkheim menjelaskan bahwa agama itu ada kaitannya dengan yang
sakral dan profane, buktinya manusia mempercayai ada kekuatan dibalik
benda-benda atau makhluk yang dipercayai oleh manusia itu sendiri. Akan
tetapi, penjelasan yang disampaikan oleh Emile Durkeim ini ditolak dan
dianggap tidak masuk akal oleh beberapa tokoh sosiologi agama yang ada.
Ia juga menambahkan bahwa agama merupakan sebuah system yang
didalamnya ada kepercayaan dan peribadatan yang berhubungan dengan
yang sakral.28
Durkheim melakukan riset terakhirnya yang kemudian menerbitkan buku
“The Elementary Forms of the Religious Life”. Buku ini merupakan karya
risetnya tentang asal-usul agama dalam Masyarakat sederhana suku
Aborigin di Australia. Ia menemukan bahwa totem yang dilambangka n
dalam bentuk Binatang yang merupakan perwujudan dari dunia yang suci,
yang membedakannya dengan dunia profan. Dalam dunia suci, Masyarakat
mengikatkan dirinya secara moral dan batiniah kepada totem yang
diciptakan oleh Masyarakat itu sendiri. Totem dianggap sebagai bentuk
ikatan sosial yang bersifat kekerabatan dalam Masyarakat yang masih
bersifat kesukuan.
Untuk mempertahankan sistem kepercayaan yang sakral dilambangkan
kedalam totem, yang kemudian Masyarakat melakukan ritual dan pemujaan
terhadap totem tersebut. sehingga terjadilah ikatan sosial yang kuat yang
membentuk Masyarakat itu sendiri melalui asal-usul agama mereka sendiri
sebagai symbol sakral yanag terus dipercaya dan dipuja.29

27
Deni Miharja dan Muhtar Gojali., Tradisi Keagamaan pada Masyarakat Adat Kampung Kuta,
(Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati, 2021), h. 36-37.
28
Ahmad Putra, Konsep Agama dalam Perspektif Max Weber, Al Adyan: Journal of Religious
Studies, Vol. 1, 2020, h. 47
29
Djam’annuri, dkk., Bunga Rampai Sosiologi Agama: Teori, Metode dan Ranah Studi Ilmu
Sosiologi Agama,
(Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin & pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 129.

17
2. Teori Sosiologis Max Weber
Para pakar sosiologi agama menilai bahwa agama bersifat luas dan
universal, terutama dari sudut pandang sosial. Ini menandakan bahwa
sosiologi agama ikut aktif mempelajari dan membicarakan semua agama
yang di dunia ini tanpa adanya pilah pilih. Max Weber mengatakan bahwa
agama adalah kepercayaan kepada sesuatu yang gaib yang pada akhirnya
muncul dan memengaruhi kehidupan kelompok masyarakat yang ada.
Weber lebih menekan kajiannya pada tindakan sosial. Yang mana,
sesuatu yang dilakukan tersebut memberikan sebuah pengaruh terhadap
orang lain dan tidak lepas dari adanya keterkaitan dengan orang-orang
yang ada di sekitar. Secara tidak langsung juga akan mempengaruhi
pandangan- pandangannya tentang agama. Max Weber mengatakan bahwa
tindakan sosial berarti sebuah aksi yang dilakukan seseorang yang pada
akhirnya juga memberikan keterkaitan dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya tersebut.
Salah satu karya monomental Weber yang merupakan tindakan
keagamaan adalah The Protestant Ethic and The Spirite of Capitalism.
Karya ini mengungkapkan bahwa kapitalis me mempunyai landasan
etisnya dari agama. Secara moral, etika Protestanisme turut mendorong
lahirnya kapitalisme modern. Artinya, kaitannya dengan lahirnya
kapitalisme modern, sistem etika Protestan turut memberikan bentuk
kebudayaan dari tindakan yang manusia lakukan. Weber menyimpulkan
bahwa semangat kapitalisme modern menjelma karena adanya etika agama
yang lahir dari kandungan agama Kristen Protestan. Agama Protestan
dalam hal ini telah menempat i posisi terhormat dan menentukan. Weber
ingin memperlihatkan tuntutan peristiwa tersebut sebagai perpaduan yang
harmonis antara nilai- nilai yang rasional dan irrasional, dua unsur ini
saling menemukan dan saling memperkuat. keduanya menemukan
kesesuaian.30

3. Teori Lucien Levy Bruhl


Levy-Bruh ahli sejarah dan filsafat Prancis, terkenal karena karya-
karyanya mengenai mentalitas primitif. Ia membantah teori jiwa yang
dikemukankan oleh Tylor karena menurutnya tidak mungkin manusia
primitif berpikir abstrak. Proses jiwa masyarakat primitif menurutnya

30
Ahmad Putra, Konsep Agama dalam Perspektif Max Weber, Al Adyan: Journal of Religious
Studies, Vol. 1, 2020, h. 40-41.

18
berbeda sekali dengan proses jiwa modern yang didominasi oleh logika ilmu
pengeahuan yang positif. Cara berpikir primitif tunduk pada kaidah
partisipasi, mengandung unsur mistik, dan masih pralogis. Proses rohani
masyarakat primitif mudahmenghubungkan hal-hal yang tampak pada
lahirnya sama, sebutannya sama, bunyinya sama, tempat dan waktu yang
berdekatan. Menginjak bayangan seorang yang dianggap sama dengan
menginjak orangnya, menikam patung dipercayai sama dengan menikam
orangnya. Orang primitif bisa saja mempercayai satu pribadi dengan
tumbuh-tumbuhan atau binatang tertentu sehingga mereka mudah saja
percaya kepada hewan totem. Sifat mistik menurutnya adalah bahwa seluruh
alam diliputi oleh suatu kekuatan gaib. Kekuatan gaib itu bisa berada dalam
segala benda. Kekuatan itu diluar kemampuan manusia dan dapat
menumbulkan kebahagiaan atau kesengsaraan bagi kehidupan manusia.
Prose jiwa primitif yang pralogis, menurut Bruh dapat saja menganggap
sesuatu ada dan juga tidak ada pada suatu tempat atau suatu waktu. Jiwa
mereka dapat saja menganggap suatu berada pada suatu tempat dan dapat
berada pula pada tempat lain, seperti ruh dan Tuhan dipercayai dapat berada
pada bermacam tempat dan waktu.31
Ia juga mengakui bahwa masyarakat modern dapat saja punya pikiran
seperti masyarakat primitif tersebut, yaitu belum sempurna modern dan
positivistiknya karena tahap positif, sebagaimana diajarkan oleh Auguste
Comte, adalah tahap berfikir yang paling maju. Dengan demikian, ia
menempatkan agama dan magi di satu pihak, sains dan tekologi di pihak
lain. Agama katanya sangat cocok bagi masyarakat primitif yang masih
berpikir pralogis dan sangat kabur bagi masyarakat maju yang sudah
berpikir logis.32
Ini berarti bahwa agama adalah pandangan dan jalan hidup masyarakat
primitif. Agama, sebagaimana halnya magi, menurut Bruh tidak logis dan
tidak rasional, sehingga tidak akan pernah mampu mengantarkan kehidupan
kepada kemajuan. Pandangan ini jelas sangat dipengaruhi oleh paham
Renaisans, lebih khusus lagi paham positivism. Memang ini adalah
pengasuh dan penulis terkemuka dalam jurnal sosiologis bernama L‟Anee
Sociologique bersama Durkheim dan Marcell Mauss. Kelompok ini
berpandangan positivism dan diketuai oleh Comte yang anti agama wahyu.
Agama bangsa primitif dinilai primitif dan tidak logis oleh masyarakat
modern. Penganut agama yang bersangkutan tentu tidak mengakui penilaian
tersebut, sehingga banyak pula ahli antropologi mengkritik Bruhl dengan
tajam dan menilai ia terlalu mendikotomikan agama dengan sains dan

31
Koentjaraningrat 2020:106-108.
32
Evans-Pritchard, 2019 : 106

19
teknologi ini.33
Ini berarti bahwa agama adalah pandangan dan jalan hidup masyarakat
primitif. Agama, sebagaimana halnya magi, menurut Bruhl, tidak logis dan
tidak rasional sehingga tidak akan pernah mampu mengantarkan kehidupan
kepada kemajuan. Cara pandang ini tidak lagi fenomenologis atau
verstehen, yaitu memahami gejala menurut apa yang dimaknai oleh pemilik
atau pelaku gejala tersebut, tetapi suatu pandangan dari orang luar yang
menilai suatu budaya lain dengan memakai kacamatanya sendiri. Doktrin
Gereja Katolik Roma yang berkuasa di Abad Pertengahan dinilai oleh tokoh
gerakan Renaissans sebagai penyebab keterbelakangan. Agama bangsa
primitif dinilai negatif dan tidak logis oleh masyarakat modern. Penilaian
yang memukul rata semua agama tidak logis dan bertentangan dengan
kemajuan adalah penilaian kaum antiagama terhadap agama. Penganut
agama yang bersangkutantentu tidak mengakui penilaian tersebut. Penganut
Islam dan sejarawan yang jujur tentu akan mengungkap bahwa agama Islam
berkembang sampai ke Spanyol dan Italia Selatan merupakan pendorong
kemajuan yang telah dirasakan warga yang mendiami imperium Islamiah
ketika itu, baik yang berpusat di Cordova ataupun yang berpusat di
Baghdad. Kemudian selaku ahli antropologi yang banyak mengarahkan
perhatian dan penelitian terhadap masyarakat terbelakang, Bruhl jelas
dipengaruhi oleh demam Renaissans dan kemajuan Baratnya dalam
mengkaji agama masyarakat primitif.

4. Teori Adolf Bastian


Adolf Bastian adalah seorang etnolog Jerman (1826-1905) yang
filosofinya berpusat pada gagasan tentang tema-tema yang berulang di
seluruh umat manusia, yang ia sebut sebagai “ide-ide dasar.” Bastian juga
percaya pola-pola ini ditemukan dalam agama, mitos, dan ciri-ciri budaya
dan hanya sedikit bervariasi dari satu budaya ke budaya lain karena faktor
lingkungan dan bahasa. Banyak psikolog saat ini percaya bahwa teori
ketidaksadaran kolektif Carl Jung berasal dari teori “ide dasar” Bastian.
Karya Bastian berkembang di sekitar banyak topik yang saling terkait dan
memiliki banyak aspek. Penjelasan berikut berfokus pada program
etnologinya sebagai ilmu yang didasarkan pada metode induktif, konsepnya
tentang kesatuan psikis umat manusia dan gagasannya tentang ide-ide dasar
dan rakyat, perbandingan koleksi etnografi lintas budaya, dan konsepnya
tentang wilayah geografis dan provinsi.
Gagasan dasar (Elementargedanken) adalah hal yang umum pada semua
kebudayaan, sedangkan gagasan rakyat (Volkergedanken) adalah

33
Koentjaraningrat 2020:108-109

20
manifestasi dari gagasan dasar dalam budaya individu. Misalnya, menurut
Bastian, tabu inses merupakan gagasan dasar yang terdapat di semua
budaya. Namun, bentuk tertentu yang diambil, yang mungkin bergantung
pada aturan sosial tertentu, merupakan gagasan rakyat. Meskipun semua
masyarakat berupaya mengklasifikasikan hubungan sosial, yang merupakan
gagasan dasar, cara-cara pengklasifikasian usia, gender, dan peran-peran
lain bersifat khusus bagi budaya individu dan oleh karena itu merupakan
gagasan rakyat. Meskipun Bastian bertujuan untuk menetapkan gagasannya
tentang kesatuan psikis umat manusia berdasarkan gagasan dasar ini, ia
berpendapat bahwa gagasan rakyat muncul dari gagasan dasar karena faktor
geografis dan sejarah seperti iklim, bencana, kontak budaya, atau perang.34

5. Teori Psikologi
Sigmund Freud (1856-1939) mulanya seorang dokter medis. Ia
menyaksikan banyak penyakit fisik dilatarbelakangi oleh gangguan jiwa. Ia
juga menulis tentang agama dan agama masyarakat primitif. Gangguan jiwa
manusia, menurutnya, disebabkan keinginan hewani manusia yang
terkumpul dalam alam bawah sadar jiwa manusia banyak yang terhalang
untuk direalisasi oleh nilai-nilai ideal yang berada dalam jiwa manusia yang
dinamakan dengan superego (das uber Ich). Superego berasal dari tekanan
hukum, moral, agama, dan budaya. Keinginan hewani manusia demikian
mendasar, menurut Freud, sehingga tampil dalam bentuk Oedipus Complex.
Dari masih kecil, anak-anak sudah menaruh cemburu kepada orang tuanya
yang sejenis kelamin dengan dia karena orang tuanya itu juga mencintai
orang tuanya yang berlawanan jenis kelamin itu. Oleh karena itu, anak laki
menaruh cemburu kepada ayahnya dan anak perempuan menaruh cemburu
dari kecil kepada ibunya.
Dalam bukunya Totem and Taboo (1983) ia menjelaskan bahwa asal
mula agama, etik, masyarakat, dan seni adalah pada Oedipus Complex.
Terpengaruh oleh data suku Aborigin yang digunakan Durkheim. Freud
mendasarkan teorinya pada eksogami dari suku yang bersangkutan dan
binatang atau tumbuhan totem tidak boleh dimakan kecuali dengan ritual
tertentu. Dalam masyarakat yang hanya hidup dari berburu, bapak punya
peran besar dan menyingkirkan peran anak laki- laki yang lain. Bapak juga
memonopoli perempuan yang ada dalam sukunya. Syahdan, kata Freud,
pada suatu hari, anak laki- laki tersingkir nekad menyembelih ayahnya dan
memakan daging ayahnya itu. Kemudian timbul rasa bersalah dan berdosa
yang serius di kalangan mereka. Lalu mereka berbalik menghormati,

34
Kreinath, Jens. Teori Antropologi Sosial dan Budaya . Seribu Oaks: SAGE Publications, Inc.,
2013

21
memuja, menyembah, dan minta ampun kepada ayah tersebut. Dengan
demikian, bapak yang mati akhirnya juga menjadi sangat berkuasa. Dengan
kisah Oedipus Complex inilah dimulainya kepercayaan keagamaan menurut
Freud. Dari seni lahir kepercayaan kepada totem, taboo, incest, eksogami,
ritual totem dalam masyarakat. Binatang totem adalah ayah itu sendiri.
Lama kelamaan anggota suku biasa atau awam merasa tidak bisa
berhubungan dengan totem dan Tuhan itu. Lalu timbul pula lembaga
pemuka agama. Dalam agama kristen Tuhan Anak juga memuja dan
menyembah Tuhan Bapak karena Oedipus Complex.
Namun, di samping itu, Freud juga mengakui bahwa agama adalah
kebutuhan psikologis manusia. Karena ketidakmampuan manusia
menghadapi berbagai bencana alam, mereka buat patung atau lukisan yang
menempatkan bahaya alam itu sebagai tempat pelampiasan kemarahan.
Mereka juga memerlukan orang kuat untuk menghadapi semua bencana,
yaitu Tuhan. Tetapi Tuhan itu sebenarnya adalah orang yang paling mereka
cemburui dan takuti., yaitu ayah mereka sendiri. Dengan demikian, Freud
membuktikan kebenaran teori Oedipus Complex. Dengan demikian, agama
tidak lain dari an infantile obsession (obsesi kekanak-kanakan). Cerita ini
juga diterapkannya untuk agama Yahudi yang berasal dari agama Mesir
Kuno. Amenhotep IV adalah raja Mesir yang meresmikan satu Tuhan Yang
Mahakuasa. Salah seorang rakyatnya bernama Musa yang tidak mau
agamanya dikotori oleh politeisme. Mereka mengajak kaumnya bangsa
Yahudi untuk percaya kepada satu Tuhan, melakukan khitan bagi laki- laki,
memberikan hukum-hukum, dan memerintahkan menyembah Tuhan Aton
Yang Esa. Namun di antara bangsanya ada yang keras kepala, ingkar, dan
malah berusaha membunuh Nabi Musa dan mengembalikan agama
monoteisme Yahudi ke agama politeis suku-suku sebelumnya yang
dinamakan dengan agama Yahve. Oleh sebab itu, nabi adalah “bapak” orang
Yahudi, dibunuh oleh para pemberontak, “anak-anak”nya. Kemudian anak-
anaknya merasa berdosa dan berdamai serta menghormatibapaknya dan
hukumnya. Agama Jahve mereka integrasikan dengan agama Adonai yang
diajarkan Musa, si bapak terbunuh. Teori ini tentu mengundang banyak
kritik, suatu rekonstruksi yang didasarkan kepada khayalan, tidak kepada
fakta.35

L. Komponen-Komponen Religi
Gejala religi merupakan gejala yang begitu komplex, sehingga tak dapat
diterangkan dengan satu hipotesis atau teori saja. Para antropolog dan sosiolog

35
Sri Ilham Nasution, S. Sos., M. Pd. Antropologi Agama, hlm : 94-97

22
dengan sudut pandang mereka mencoba menjelaskannya dan tidak ditemukan
kesepakatan. Kemudian Koentjaraningrat mencoba memecah-mecahnya ke
dalam lima komponen yang mempunyai peranannya masing-masing untuk
keperluan analisa sosiologi antropologi. Lima komponen tersebut masing-
masing merupakan bagian dari sistem yang berkaitan erat satu dengan lain.
Kelima komponen itu adalah:
1. Emosi keagamaan
Emosi keagamaan adalah perasaan atau getaran yang menyebabkan
seorang penganut religi terikat secara fisik dan psikis yang terjadi ketika
seseorang dihinggapi emosi keagamaan. Selama ini menurut
Koentjaraningrat emosi keagamaan tersebut belum dianalisa oleh seorang
ahli. Menurut beliau komponen emosi keagamaan inilah yang merupakan
komponen utama dari gejal religi, yang membedakan suatu sistem religi dari
semua sistem sosial budaya yang lain dalam masyarakat manusia.
2. Sistem keyakinan
Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran atau gagasan
manusia mengenai keyakinan dan konsepsi manusia mengenai sifat-sifat
Tuhan, alam gaib, dewa-dewa, roh-roh, dan makhluk halus lainnya. Selain
itu, sistem keyakinan juga menyangkut nilai dan norma keagamaan yang
mengatur tingkah laku manusia. Sistem keyakinan biasanya tercantum
dalam kesusastraan suci, baik tertulis maupun lisan. Kesusastraan ini
biasanya berisi ajaran agama yang berupa doktrin, penafsiran, dongeng-
dongeng suci maupun mitologi.
3. Sistem ritus dan upacara
Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berupa aktivitas-aktivitas
manusia dalam melaksanakan kewajiban dan kebaktian pada Tuhan, dewa-
dewa, makhluk halus, roh-roh yang dimaksudkan untuk berkomunikasi
dengannya. Ritus atau upacara ini biasanya dilakukan setiap hari, setiap
minggu, setiap bulan, setiap tahun atau pada momen-momen tertentu. Ritus
ini bisa berupa bermacam-macam, seperti bersujud, berdoa, berkorban,
menyanyi, menari, berseni drama, berpuasa, bertapa dan bersemedi.
4. Peralatan ritus dan upacara
Dalam ritus dan upacara religi biasanya menggunakan suatu peralatan
dan sarana khusus dan suci, seperti sarana pemujaan (masjid, gereja, kuil
dll.), patung suci, alat bunyi-bunyian suci (orgel, bedug, lonceng, seruling,
dll.), serta para pelaku upacara seringkali mengenakan pakaian-pakaian
yang dianggap memiliki sifat suci seperti jubah dan lain-lain sebagainya.
5. Umat agama
Dan komponen dari sistem religi tersebut adalah umatnya atau kesatuan
golongan yang menganut sistem dan melaksanakannya. Secara sosiologi

23
antropologi kesatuan umat beragama dapat berwujud sebagai:
a. Kelompok keluarga atau kelompok kekerabatan yang berdekatan satu
sama lain.
b. Kelompok kekerabatan yang lebih besar, seperti klan, suku, marga dan
lain-lain.
c. Kesatuan komunitas, seperti desa, gabungan desa dll.
d. Organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama,
partai politik berideologi agama, gerakan agama dan lain-lain.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Makalah ini telah menguraikan peran yang sangat penting dari antropologi
agama dalam memahami agama dan azas religi. Dengan mengulas berbagai
teori yang mendalam, kami berusaha memberikan pemahaman yang lebih
dalam tentang bagaimana agama memengaruhi manusia dalam berbagai budaya
di seluruh dunia.
Dalam perjalanan ini, kami menyadari bahwa agama adalah sebuah
fenomena yang kompleks dan mendalam yang mencakup keyakinan, praktik,
norma sosial, dan interaksi manusia yang mendalam. Azas religi adalah jantung
dari semua ini, dan pemahaman yang mendalam tentang azas religi membantu
kita menggali makna di balik praktik keagamaan yang mungkin terlihat
sederhana.

B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah dalam melakukan penelitian,
pilihlah model penelitian yang sesuai dengan tujuan anda. Ini akan memastikan
bahwa penelitian dilakukan dengan baik dan hasilnya memuaskan. Sebagai
peneliti dalam bidang antropologi agama, pemilihan model penelitian yang
tepat akan membantu anda mencapai hasil yang relevan dan bermakna dalam
pemahaman tentang azas religi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Tajul. (2019). Pengantar Antropologi. Bandung: Cv. Pustaka Setia.


Hadikusuma, H. Hilman. (2019). Antropologi Agama. Bandung: Pt. Citra Aditya
Bakti.
Razak, Yusrond Dan Ervan Nurtawab. (2019). Antropologi Agama. (Jakarta:
Lembaga Penelitian Uin Jakarta Dan Uin Jakarta Press), Hal 1-20.
Tumanggor, Rusmin Dan Kholis Ridho. (2019). Antropologi Agama. (Jakarta: Uin
Press), Hal. 2-3.
Koentjaraningrat. (2020). Pengantar Ilmu Antropologi. (Bandung: Rineka Cipta).
Kreinath, Jens. (2013). Teori Antropologi Sosial Dan Budaya . (Seribu Oaks: Sage
Publications).
Rudyansjah, Tony. (2012). Antropologi Agama. (Jakarta: Ui Press).
Subchi, Imam. (2018). Pengantar Antropologi. (Depok: Rajagrafindo Persada).
Abidin, Kurnati. (2017). Pengantar Sosiologi Dan Antropologi. (Makassar: Badan
Penerbit Unm).
Ilham Nasution, Sri. Antropologi Agama, Hal. 94-97.
Hak, Imamul. 2019. “Prosesi Ritual Dan Komunitas ‘Haji Bawakaraeng’ Studi:
Atas Kepercayaan Lokal Dalam Tinjauan Antropologi Agama.” Jurnal
Empower; Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 6(1): 225–40.

Sri Rejeki. 2023. “Nilai-Nilai Agama Dalam Kajian Renungan Senja Rri Mataram.”
Universitas Islam Negeri Mataram.

Yodi Fitradi Potabuga. 2020. “Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam.” Jurnal
Transformatif 4(1): 19–30.

Miharja,Deni Dan Gojali,Muhtar, Tradisi Keagamaan Pada Masyarakat Adat


Kampung Kuta, (Bandung: Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Gunung Djati,
2021), H. 36-37.

Putra Ahmad, Konsep Agama Dalam Perspektif Max Weber, Al Adyan: Journal Of
Religious Studies, Vol. 1, 2020, H. 47

Djam’annuri, Dkk., Bunga Rampai Sosiologi Agama: Teori, Metode Dan Ranah

26
Studi Ilmu Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin &
Pemikiran Islam Uin Sunan Kalijaga, 2015), H. 129.

Pujileksono ,Sugeng, Pengantar Sosiologi, (Malang: Intrans Publishing, 2018), H.


99-107.
Nasution, Sri Ilham, Antropologi Agama, (Jakarta: Harakindo Publishing, 2020), H.
81.
Nafilah, Ila, “Unsur-Unsur Religius Dalam Cerpen “Sejuta Langkah Mendaki
Mimpi” Karya Dian Rahayu, 2019, Deiksis, Hal: 104

27

Anda mungkin juga menyukai