Anda di halaman 1dari 13

ANTROPOLOGI DALAM LINGKUP AGAMA

DISUSUN OLEH :
 Alwi(Pemateri)
 Atiqah Lestary(Pemateri)
 Dwi Resky Rafiqah
 Fitrah Ramadhani( Mencari Materi)
 Hamzah(Print Makalah)
 Imelda.H(Mengetik Makalah)
 Nur Putri Sakti(MencariMateri)
 Putri Ramadani(Pemateri)
 Resky Afriyanti(Buat PPT)

AKADEMI KEPERAWATAN MAPPAOUDANG MAKASSAR


TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih
jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-
hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak


kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Makassar,29 September 2022

Kelompok 1

2|Halaman
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI ………………………………………………….. 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 4
C. Tujuan …………………………………………………. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Antropologi Agama ……………………………….. 5
B. Objek Kajian Antropologi Agama ……………………………….. 5
C. Pendekatan Antropologi Agama ……………………………….. 6
D. Pentingnya Kajia Antropologi Agama ………………………. 7
E. Istilah Agama ……………………………….. 8
G. Teori Asal Mula Agama ……………………………….. 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………… 12
B. Saran ………………………………………………… 12
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 13

3|Halaman
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antropologi secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, dari kata
antropos yang berarti manusia dan logos yang berarti ilmu. Antropologi
adalah ilmu yang membahas tentang manusia. Antropologi berusaha
untuk mengkaji sistem-sistem yang berkaitan dengan kehidupan
manusia, masyarakat, serta budayanya.
Mengkaji agama dengan menggunakan pendekatan antropologi
membuahkan ilmu yang dikenal dengan istilah antropologi agama. Kajian
agama melalui tinjauan antropologi dapat diartikan sebagai salah satu
upaya untuk memahami agama dengan melihat wujud praktik
keagamaan (tindakan, perilaku) yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat.
Kajian ini diperlukan sebab elemen-elemen agama bisa dijelaskan
dengan tuntas melalui pendekatan antropologi dan juga ilmu sosial
lainnya. Artinya, dalam memahami ajaran agama
manusia dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi, dengan
menggunakan (bantuan) teori-teori di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bahwa agama mempunyai fungsi, melalui simbolsimbol
atau nilai-nilai yang dikandungnya dan “hadir di mana-mana”. Oleh
karenanya, agama ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur
sosial, budaya, ekonomi, politik dan kebijakan umum.
Dengan pendekatan ini, kajian studi agama dapat dikaji secara
komprehensif melalui pemahaman atas makna terdalam dalam
kehidupan beragama di masyarakat. Kemudian dapat terlihat bahwa ada
korelasi antara agama dengan berbagai elemen kehidupan
manusia/masyarakat. Meski demikian, tulisan ini hanya memberi
gambaran pentingnya kajian studi agama dari sudut pandang antropologi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Antropologi dalam lingkup Agama?
2. Apa saja yang menjadi objek dari Antropologi Agama?
3. Bagaimana pendekatan dalam Antropologi Agama?
4. Mengapa kita harus mempelajari Antropologi Agama?
5. Apa itu Agama?
6. Bagaimana Teori-Teori Agama itu?

4|Halaman
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Antropologi Agama


Untuk mengetahui rukun dan syarat dalam wakaf Antropologi Agama
atau yang bisa di sebut juga Antropologi Religi merupakan ilmu yang
berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut agama dengan
pendekatan budaya.Walaupun ada yang berpendapat ada perbedaan
antara pengertian agama dan religi menurut pengertian Antropologi
Budaya, namun kedua istilah tersebut mengandung arti adanya hubungan
antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib.
Dengan demikian Antropologi Agama tidaklah mendekati agama itu
sebagaimana dalam “Teologi” (ilmu ketuhanan), yaitu ilmu yang
menyelidiki wahyu tuhan. Misalnya dalam teologi kristen dimana teologi itu
di bedakan dalam “Theologica systematica” yang menguraikan tentang
dogmatik, etika, dan filsafat agama, Theologica Historica yang
menguraikan tentang kitab suci, sejarah gereja, sejarah dogma, dan
sejarah agama dan Thelogica Practica yang menguraikan tentang
Homeletik, ketechetik dan liturgik.

B. Objek Kajian Antropologi Agama


Objek yang dikaji oleh berbagai cabang dan ranting ilmu di bedakan
oleh Poedjawijatna kepada objek materia dan objek forma (1983). Objek
materia ialah apa yang di pelajari oleh suatu ilmu. Ilmu sosial misalnya
mempelajari masyarakat. Sosio;ogi dan antropologi sama-sama mengkaji
masyarakat, tetapi sudut tinjauan atau formanya berbeda. Jadi kalau
sosiologi misalnya dari sudut struktur sosialnya, sedangkan antrpologi dari
sudut budaya tersebut. Agama yang di pelajari oleh antropologi adalah
agama sebagai fenomena budaya, tidak aa ajaran agama yang datang
dari tuhan. Maka yang menajdi perhatian adalah beragamanya manusia
dan masyarakat. Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah
benarmya suatu agama dan segenap perangkatnya, ritual, dan
kepercayaan kepada yang sakral.

5|Halaman
Harsojo mengungkap bahwa kajian antropologi agama dari dahulu
sampai sekarang meliputi empat masalah pokok, yaitu : (1) dsar-dasar
Fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia, (2)
bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan
religius mereka (3) dari mana asal usul agama, dan (4) bagaimana
manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusia.

C. Pendekatan Antropologi Agama


Sebagaimana telah di kemukaan bahwa yang menjadi objek studi
dalam Antropologi agama adalah manusia dalam kaitannya dengan
agama, yaitu bagaimana pikiran sikap dan pelaku manusia dalam
hubungannya dengan yang ghaib.
Dalam hal ini ada beberapa cara yang dapat di gunakan untuk studi
antropologi agama, yaitu mempelajarinnya dari sudut ajarannya yang
bersifat Historis, normatif, deskriptif, empiris. Keempat cara tersebut dapat
saling bertautan dan saling mengisi yang satu dan yang lain.
1. Metode Historis
Dengan metode yang bersifat sejarah yang di maksud ialah
menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang agamanya yang
berlatar belakang sejarah, yaitu sejarah perkembangan ‘budaya agama’
sejak masyarakat manusia masih sederhana budayanya sampai budaya
agamanya yang sudah maju. Dan dari sini kita bisa lihat mengapa
banyaknya timbul perbedaan paham dan penafsiran terhadap ajaran-
ajaran agama, sehingga dari berbagai agama lahir aliran paham
(madzhab) yang berbeda-beda. Begitu pula tentang waktu, tempat dan
latar belakang sejarah terjadinya bangunan (rumah) ibadah, dan
tempat-tempat suci, tempat-tempat pemujaan, yang bentuk dan
bercorak ragam mulai dari yang sederhana hingga bentuknya yang
modern.
2. Metode Normatif
Dengan metode normatif dalam studi Antropologi Agama di
maksudkan mempelajari norma-norma (kaidah-kaidah, patokan-
patokan, atau sastra-sastra suci agama, maupun yang merupakan
perilaku adat kebiasaan yang tradisional yang berlaku, baik dalam
hubungan manusia dengan alam ghaib maupun dalam hubungan antara

6|Halaman
manusia yang bersumber dan berdasarkan ajaran agama masing-
masing.
3. Metode Diskriptif
Dengan metode deskriptif di dalam studi Antropologi Agama di
maksudkan ialah berusaha mencatat, melukiskan, menguraikan,
melaporkan tentang buah fikiran sikap tindak dan perilaku manusia yang
menyangkut agama dalam kenyataan yang implisit. Dalam penggunaan
metode ini tentang kaidah0kaidah ajaran agama yang eksplisit
tercantum dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab ajaran agama yang di
kesampingkan. Jadi titik perhatian bukan di tunjukan terhadap ketentuan
aturan keagamaan yang ideologis, yang di kehendaki dan harus
berlaku, namun titik perhatian terutama di tujukan terhadap fakta-fakta
dari berbagai peristiwa yang namqpak sesungguhnya yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat.
4. Metode Empiris
Dengan metode ini Antropologi Agama mempelajari pikiran dan
perilaku agama manusia yang di ketemukan dari pengalaman dan
kenyataan di lapangan. Artinya yang berlaku sesungguhnya dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, dengan mentikberatkan perhatian
terhadap kasus-kasus kejadian tertentu (metode kasus). Dan dalam hal
ini si peneliti di tuntut langsung atau tidak langsung melibatkan diri
dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi.

D. Pentingnya Kajian Antropologi Agama


Kegunaan pengetahuan ilmiah, selain untuk mengetahui sesuatu yang
belum di ketahui, juga untuk dapat menentukan sikap yang tepat dalam
berhadapan dengan sesuatu yang telah di teliti itu sehingga apa yang di
inginkan dapat di capai dengan efisien.
Sebagai hasil ilmiah, sebagai kajian kenapa suatu fenomena terjadi
antropologi agama dapat di manfaatkan oleh siapa saja, baik oleh yang
tidak senang terhadap berkem      bangnya agama tersebut, maupun oleh
pemuka agama yang bersangkutan. Sama seperti penemuan energi atom .
teori energi atom dapat di pakai untuk kebaikan, seperti pembangkit
tenaga listrik, maupun untuk kejahatan, seperti untuk bom atom yang akan
memusanahkan uma manusia dan makhluk hidup lainnya. Menjajah
indonesia suatu bangsa yang tinggal di negara kecil menjajah negara yang

7|Halaman
demikian besar di antaranya adalah karena penjelasan yang demikian
terperinci tentang masyarakat indonesia yang di hasilkan oleh penelitian
antropologi.
Pendidikan agama, selain memerlukan pengetahuan antropologis dari
kelompok yang akan di didik atau peserta didik juga di perlukan
pengetahuan yang memadai tentang psikologi peserta didik. Jadi kalau
antropologi menempatkan suatu kelompok masyarakat dengan budaya
yang sama ataupun yang berbeda dengan kelompok budaya lain, psikologi
memandang seseorang atau individu berbeda dari individu yang lain
karena berbagai faktor fisik dan non-fisik, bawaan, dan binaan, individu
dan lingkungan. Antropologi pun memerhatikan pula faktor psikologis ini
yang khusus di pelajari dalam antropologi psikologi.
Kalau dakwah dan pendidikan agama saja ternayta memerlukan hasil
kajian antropologis, apalagi usaha pembangunan masyarakat dan negara
yang mencakup berbagai aspek kehidupan dan di tunjukan kepada rakyat
yang multisuku bangsa dengan multibudaya dan agama sangat
memerlukan informasi dari hasil penelitian antropologi termasuk
antropologi agama. Sebab, pandangan dan perilaku masyarakat banyak di
pengaruhi oleh ajaran dan komunitas agamanya yang membutuhkan hasil
studi tentang agama secara antropologis, bukan saja negara agana atau
negara yang  mementingkan pembinaan kehidupan beragama, tetapi juga
negara sekular pun memerlukannya untuk dapat menentukan cara
mengahadapi masyarakat dengan efektif, efisien, dan halus.

E. Istilah Agama
Pada umumnya di indonesia di gunakan istilah ‘agama’ yang sama
artinya dengan istilah asing ‘religie’ atau ‘ godsdienst’ (belanda) atau
‘religion’ (inggris). Istilah ‘agama’ berasal dari bahasa sansekerta yang
pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan
wahyu dari tuhan. Dalam arti linguistik kata agama berasal dari suku kata
A-GAM-A, kata ‘A’ berarti tidak, kata ‘GAM’ berarti ‘pergi’ atau ‘berjalan’,
sedangkan kata akhiran ‘A’ merupakan kata sifat yang menguatkan yang
kekal. Jadi istilah ‘Agam’ atau ‘agama’ berarti ;tidak pergi’ atau ‘tidak
berjalan’ alias ‘tetap’ (kekal, eternal), sehingga pada umunya kata A-GAM
atau AGAMA mengandung arti pedoman hidup yang kekal.

8|Halaman
F. Teori Asal Mula Agama
Banyak pendapat para ahli tentang asal mula agama itu sebagaimana
di kemukakan koentjaraningrat adalah ahli sejarah C. De Brosses (1769),
ahli Filsafat August Comte (1850), ahli filologi  F.Max Muller (1880), dan
lainnya. Kemudian barulah muncul teori-teori dari para ahli Antropologi
seperti E.B. Taylor (1880), R.R. Marett (1909), J.G. Frazer (1890),E.
Durkheim (1912), dan W.Schmidt (1921) (Koetjaraningrat 1966: 207-208).
Dari teori-teori mereka ini orang berpendapat bahwa perkembangan
agama it mulai dari Animisme, Dinamisme, Politeisme dan baru kemudian
Monoteisme.
1. Teori Tylor
Sarjana yang di anggap pertama kali mengemukakan pendapat bahwa
asal mula dari agama adalah ‘Animisme’ (paham tentang roh atau jiwa)
ialah sarjana antropologi inggris E.B. Tylor dalam bukunya “Primitive
Culture’ Researches into the Development of Mythology, Philosophy,
Religion, Langguage, Art and Custom’ (1873). Ia berpendapat bahwa
asal mula agama adalah kepercayaan manusia tentang adanya ‘jiwa’ .
mengapa manusia sederhana itu menyadari tentang adanya jiwa atau
roh, dikarenakan yang nampak dan di alaminya sebagai berikut:
a. Peristiwa Hidup dan Mati
Bahwa adanya hidup karena adanya gerak, dan gerak itu terjadi
karena adanya ‘jiwa’. Selama jiwa itu ada dalam tubuh maka nampak
tubuh itu bergerak, apabila jiwa utu lepas dari tubuh berarti mati dan
tubuh tidak bergerak lagi.
b. Peristiwa Mimpi
Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi
dimana tubuh itu diam dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak
sadar karena sebagian dari jiwanya lepas dan gentayangan ke
tempat lain sehingga jiwa yang terlepas itu bertemu dengan jiwa yang
lain, baik jiwa manusia yang masih hidup atau yang sudah mati,
mungkin juga dengan jiwa makhluk jiwa yang lain. Kemudia setelah
jiwa itu kembali dalam tubuh maka ia menjai sadar, ingat dan gerak
kembali.

Jadi, oleh karena itu tidak semua manusia mempunyai kemampuan


untuk berhubungan, bergaul, dan berbicara dengan roh-roh halus. Maka

9|Halaman
muncullah manusia yang mampu untuk itu, yang disebutkan dukun-
dukun, orang-orang keramat, orang-orang suci, para ahli sihir dan
lainnya.
2. Teori Marett
R.R. Marett seorang sarjana antropologi inggris di dalam bukunya ‘The
Thereshold Of Religion’ (1909), berarti setelah 36 tahun teori Animisme
berkembang, berpendapat bahwa bagi masyarakat yang budayanya
masih sangat sederhana belum mungkin dapat berfikir dan
menyadarinya tentang adanya ‘jiwa’. Menurut Marett kepercayaan
terhadap adanya yang supernatural itu sudah ada sejak sebelum
manusia menyadari adanya roh-roh halus (anismisme). Oleh karenanya
teori Marett ini sering di katakan pula Prae-animisme.
3. Teori Frazer
Sarjana Antropologi Inggris yang lain yang juga mengemukakan
pendapatnya tentang asal mula agama adalah J.G. Frazer dalam
bukunya ‘The Golden Bough a Study in Magic and Religion’ (1890). Ia
berpendapat bahwa manusia itu dalam memecahkan berbagai masalah
dalam kehidupannya dengan menggunakan sistem pengetahuan.
Menurut Frazer pada mulanya manusia itu hanya menggunakan magic
untuk mengatasi masalah yang berbeda di luar batas kemampuan
akalnya, kemudian di karenakan ternyata usahanya dengan magic tidak
berhasil maka mulailah ia percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh
para makhluk halus, roh-roh halus yang lebih berkuasa dari padanya.
Dalam mempelajari Magi itu dari segi Antropologi perlu di perhatikan
antara lain sebagai berikut:
a. Siapa  orang yang melaksanakan atau memimpin pelaksanaan
secara
acara dan upacara magic itu.
b. Bagaimana cara dan upacara magic itu di lakukan dan di tempat yang
bagaimana.
c. Alat-alat apa saja yang digunakannya melakukan upacara itu, dan
bagaimana caranya menggunakannya.
d. Ucapan atau kata-kata apa yang di gunakannya dalam membaca
mentera, atau do’a dan sebagaimana.
e. Jika diramu bahan obat, dari bahan apa dan dan bagaimana cara
meramunya, dan untuk pengobatan apa.

10 | H a l a m a n
4. Teori Schmidt
Sarjana antropologi Austria W.Schmidt juga mengemukakan teori
tentang asal mula agama, antara lain dalam bukunya ‘Die
Uroffenbarung ais Anfang der Offenbarungen Gottes’ (1921) yang
berbeda dari Tylor. Schmidt mengemukakan bahwa ‘monotheisme’,
kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan, sesungguhnya bukan
penemuan baru tetapi juga sudah tua.
Jadi, hanya karena tangan-tangan manusialah yang menyebabkan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu menjadi rusak, di
pengaruh oleh berbagai bentuk pemujaan kepada makhluk-makhluk
halus, kepada roh-roh dan dewa-dewa, yang di ciptakan oleh akal
pikiran manusia sendiri.
5. Teori Durkheim
Salah satu di antaranya ialah E.Durkheim seorang sarjana filsafat dan
sosiologi bangsa prancis, yang juga mengemukakan teorinya tentang
asal mula agama dalam bukunya ‘Les Formes Elementarires de la Vie
Religieuse’ (1912).
Menurut Durkheim bahwa dasar-dasar dari adanya agama itu adalah
sebagai berikut:
a. Bahwa yang menjadi sebab adanya dan berkembangnya kegiatan
keagamaan pada manusia sejak ia berada di muka bumi adalah di
karenakan adanya suatu ‘getaran jiwa’ yang menimbulkan ‘emosi
keagamaan’. Timbulnya getaran jiwa itu di karenakan rasa sentimen
kemasyarakatan berupa rasa cinta, rasa bakti, dan lainnya di dalam
kehidupan masyarakatnya.
b. Rasa sentimen kemasyarakatan itulah yang menyebabkan timbulnya
emosi keagamaan, sebagai pangkal tolak dari sikap tindak dan
perilaku keagamaan. Jadi salah satu cara mengobarkan sentimen
kemasyarkatan itu ialah dengan mengadakan pertemuan-pertemuan
yang besar.
c. Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentimen
kemasyarakatan itu membutuhkan adanya maksud dan tujuan.
Misalnya karena adanya peristiwa kebetulan yang di alami dalam
sejarah kehidupan masyarakat di masa lampau menarik perhatian
banyak orang dalam masyarakat itu.

11 | H a l a m a n
d. Objek yang sakral biasanya merupakan lambang dari masyarakat.
Misalnya pada suku-suku pribumi di Australia yang menjadi objek
yang sakral berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda
tertentu yang di sebut ‘Totem’.

Menurut Durkheim pengertian tentang ‘emosi’ keagamaan dan


‘sentimen kemasyarakatan’ sebagaimana di kemukakan di atas adalah
pengertian dasar yang merupakan inti dari setiap agama sedangkan
kegiatan berhimpunnya masyarakat, kesadaran terhadap tujuan atau
objek yang sakral yang bertentangan dengan sifat duniawi (profane)
serta totem sebagai perlambang masyarakat, adalah bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan emosi keagamaan dan sentimen
kemasyarakatan. Untuk memenuhi tujuan tersebut maka di laksanakan
bentuk upacara, kepercayaan dan mythologi (ilmu tentang cerita-cerita
kuno). Ketiga unsur ini menentukan bentuk lahir dari suatu agama
didalam masyarakat tertentu, yang menunjukkan ciri-ciri perbedaan
yang nyata dari berbagai agama di dunia.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Antropologi Agama atau yang bisa di sebut juga Antropologi Religi
merupakan ilmu yang berusaha mempelajari tentang manusia yang
menyangkut agama dengan pendekatan budaya. Walaupun ada yang
berpendapat ada perbedaan antara pengertian agama dan religi menurut
pengertian Antropologi Budaya, namun kedua istilah tersebut
mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan
yang ghaib.
Dengan demikian Antropologi Agama tidaklah mendekati agama itu
sebagaimana dalam “Teologi” (ilmu ketuhanan), yaitu ilmu yang
menyelidiki wahyu tuhan. Misalnya dalam teologi kristen dimana teologi
itu di bedakan dalam “Theologica systematica” yang menguraikan
tentang dogmatik, etika, dan filsafat agama, Theologica Historica yang
menguraikan tentang kitab suci, sejarah gereja, sejarah dogma, dan

12 | H a l a m a n
sejarah agama dan Thelogica Practica yang menguraikan tentang
Homeletik, ketechetik dan liturgik.

B.  Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulisan senantiasa dengan lapang
dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993),


hal.9
Harsojo, Pengantar Antropologi, ( Bandung: Penerbit Binacipta, 2000), hal. 247
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), hal. 17-20
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal.
12

13 | H a l a m a n

Anda mungkin juga menyukai