Anda di halaman 1dari 12

PERADILAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Umum Sejarah Peradilan Islam

Dosen Pengampu :
Dr. Hj. ERFANIAH ZUHRIAH,M.H.

Disusun Oleh :
Kelompok 1

Fahmi Choiri Abdillah (230201110166)


Muhammad Rizal Fahmi (230201110169)
Chasanatul Chulud (230201110194)
Silvi Putri (230201110200)
Akhmad Yusuf (230201110160)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2024
Abstrak
Semua negara, terlepas dari tingkat kemajuannya, terus memperjuangkan keadilan, karena menegakkan
keadilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan. bahaya kezaliman, serta upaya untuk
menciptakan perdamaian antara manusia dan mencegah sebagian orang dari perilaku kesewenang-wenangan satu
sama lain. Dalam hukum Islam, Rasulullah berfungsi sebagai sumber hukum untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi oleh umat pada saat itu. Karena itu, sistem peradilan yang digunakan oleh Rasulullah masih sangat
sederhana, karena sumber hukumnya berasal dari wahyu dan keputusan ijtihaddarinya sendiri.Penelitian
kualitatif-deskriptif digunakan dalam artikel ini. Akibatnya, semua masalah umatsecara langsung dapat
diselesaikan segera. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Rasulullah, selain berfungsi sebagai hakim, adalah
sumber hukum Islam, sehingga setiap masalah yang dihadapi umat manusia dapat diselesaikan dengan cepat dan
tanpa perdebatan. Dalam hukum Islam, Rasulullah berfungsi sebagai sumber hukum untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh umat pada saat itu. Karena itu, sistem peradilan yang digunakan oleh Rasulullah
masih sangat sederhana, karena sumber hukumnya berasal dari wahyu dan keputusan ijtihad darinya
sendiri.Penelitian kualitatif-deskriptif digunakan dalam artikel ini. Akibatnya, semua masalah umatsecara
langsung dapat diselesaikan segera. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Rasulullah, selain berfungsi sebagai
hakim, adalah sumber hukum Islam, sehingga setiap masalah yang dihadapi umat manusia dapat diselesaikan
dengan cepat dan tanpa perdebatan.

Kata Kunci : Peradilan Islam, Rasulallah,

Pendahuluan
A. Peran Rasulullah sebagai Musyari,Munaffidz,dan Qodhi
Karena manusia adalah makhluk sosial, mereka tidak dapat hidup tanpa hubungan
dengan orang lain. aturan untuk menjamin hak-hak dan kewajiban setiap orang sehingga ada
rasa keadilan. Untuk menjamin keadilan di masyarakat, diperlukan sebuah sistem peradilan
yang terdiri dari pemimpin yang bertindak sebagai penegak hukum dan sebagai hasil dari
hukum itu sendiri.
Jika keadilan ada di masyarakat, akan ada ketenangan dan kepercayaan diri. Hal-hal
seperti ini tidak banyak muncul di masa lalu, seperti di bangsa Arab sebelum kedatangan Nabi
Muhammad SAW. Dalam menjalani kehidupan mereka, orang Arab, yang lebih dikenal
sebagai "jahiliyah", memiliki sikap dan watak yang keras, dan mereka memperlakukan wanita
dengan sebelah mata. Wanita tidak dapat menjadi pewaris atau barang warisan karena mereka
dianggap sama dengan barang. Hal ini sangat berbeda dengan laki-laki yang biasanya
menjalani kehidupan yang bebas dan bersenang-senang hingga mereka diizinkan menikah
dengan wanita mana saja. 1 Dalam situasi seperti itu, perlu segera membuat hukum atau aturan
untuk mengatasi praktik kehidupan masyarakat yang terjadi saat itu.
Serangkaian langkah-langkah yang membawa aturan atau perintah Allah SWT kepada
umat-Nya melalui Rasulullah dan turun dalam bentuk al-Qur'an dan hadits membentuk
perkembangan awal hukum Islam selama masa Rasulullah. Saat itu, masyarakat Arab Karena

1
Nurhamim, “Sejarah Sosial Politik Bangsa Arab Jahiliyah,” Tsaqofah: Jurnal Agama dan Budaya 14, no. 2
(2016): 93–117.
jahiliyah sangat jauh dari ajaran Islam, pembentukan syariat Islam pada masa Rasulullah sangat
penting untuk membentuk masyarakat Arab pada masa jahiliyah menjadi lebih baik.
Rasulullah menerima wahyu pertamanya di Gua Hira pada awal Islam. Dalam wahyu
tersebut, Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada
orang lain dan memberi mereka petunjuk tentang cara hidup yang benar. 2 Sejak saat itu,
Rasulullah mulai mengajarkan ajaran Islam kepada orang Arab di sekitarnya yang masih jahil.
Di sini, jahiliyah berkaitan dengan moral dan akhlak mayoritas orang Arab yang sangat tidak
sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai Islam. Pada awalnya, masyarakat Arab
menolak ajakan Rasulullah ini, karena mereka menganggap ajaran Islam sebagai ancaman
terhadap kebiasaan dan tradisi mereka. Namun, Rasulullah dan para sahabatnya tidak kenal
lelah dan putus asa dalam perjuangan mereka.
Rasulullah sering menggunakan berbagai pendekatan untuk menyampaikan ajaran
Islam. Berdakwah secara sembunyi-sembunyi adalah salah satu caranya. Rasulullah pertama
kali berdakwah kepada orang-orang terdekatnya dengan cara ini. Metode ini digunakan untuk
menghindari penolakan dari kaum kafir Quraisy dan untuk mencegah konflik dalam
masyarakat.3 Dakwah baru dilakukan secara terbuka setelah jumlah pemeluk Islam meningkat
dan kuat.
Hukum Islam yang dibentuk selama masa Rasulullah dibagi menjadi dua bagian:
hukum yang diturunkan melalui wahyu (al-Qur'an) dan hukum yang diturunkan melalui ucapan
dan tindakan Rasulullah sendiri, atau hadits. Hukum yang diturunkan melalui al-Qur'an adalah
hukum yang langsung berasal dari Allah SWT, sedangkan hukum yang diturunkan melalui
hadits adalah hukum yang diturunkan langsung dari Rasulullah atas izin Allah SWT.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Rasulullah sering menghadapi kesulitan dan
hambatan dari orang-orang yang hidup di sekitarnya. Namun, karena iman dan keyakinan
mereka yang teguh, Rasulullah dan para sahabatnya terus berjuang untuk menyebarkan ajaran
Islam dan memperbaiki cara hidup orang Arab jahiliyah.
Pembahasan.
Pada masa Rasulullah saw, proses peradilan sangat sederhana. Meskipun proses
peradilan ini sangat sederhana, dalam konteks ini terutama proses peradilan yang dilakukan
Nabi Muhammad saw menyaratkan bahwa ketika terjadi perselisihan antara dua pihak yang

2
Ahmad Lahmi, “Sejarah Pendidikan Dalam Islam: Menilisik Pendidikan Muhammad SAW Pra-Nubuah,”
Ruhama: Islamic Education Journal 1, no. 1 (2018): 1–12.
3
Muhammad Choirin, “Pendekatan Dakwah Rasulullah SAW Di Era Mekkah Dan Relevansinya Di Era Modern,”
Misykat Al-Anwar 4, no. 2 (2021): 97–114
saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan, seseorang dapat segera datang kepada
Rasululla Di depan Nabi Muhammad, masing-masing kelompok memiliki kebebasan untuk
mengungkapkan isi hatinya, sehingga masing-masing dapat mendengarkan.Rasulullah untuk
meminta putusan tanpa harus menunggu waktu atau tempat tertentu. pembicaraan dari lawan
mereka.Namun, pengakuan, saksi, sumpah, firasat, dan lain-lain adalah alat bukti
baginya.Dalam hal waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses mulai dari putusan
hingga eksekusi, tidak ada penundaan, tetapi dilakukan secara langsung. Beberapa hadits dapat
membantu kita memahami kesimpulan ini, seperti saat Nabi memutuskan perselisihan Ka'ab
ibn Malik dengan Ibn Abi Hadrad tentang piutangnya: Nabi memutuskan bahwa Ka'ab harus
mengambil separuh piutangnya dan merelakan separuhnya. Selain itu, Nabi memerintahkan
Ka'ab untuk segera melakukan keputusan tersebut.Pada masa Rasulullah saw, proses peradilan
biasanya dilakukan di masjid, di lapangan, dalam perjalanan, dan di teras rumah. Selain itu,
sangat mudah dalam hal acara peradilan. 4
Menurut wahyu Allah SWT, Rasulullah saw memutuskan dan menetapkan hukum.
Rasulullah saw membuat berbagai aturan untuk digunakan oleh para hakim saat mereka
bertindak sebagai hakim untuk menegakkan keadilan dan kejujuran dan berpegang kepada al-
Quran. Dalam memberikan hak kepada orang yang berhak atasnya, qadhi menggunakan empat
perangkat hukum:
A. Ikrar (Pengakuan), yang berarti bahwa seorang terdakwa mengakui semua tuduhan
yang diajukan terhadapnya dengan jujur.
B. Bukti, yang berarti kesaksian para saksi, sebagaimana disebutkan dalam kaidah majalah
Alhakam Aldhiyah, bahwa jika tidak ada dua saksi, cukup satu saksi dengan sumpah.
Dalam al-Quran, Allah telah menjelaskan bahwa saksi adalah dua orang.9
C. Sumpah, yang merupakan pernyataan atau janji atas nama Allah swt yang diucapkan
dengan menggunakan salah satu huruf Qasamd.Penolakan adalah ketika terdakwa
menolak untuk bersumpah, sehingga ia tidak melakukannya. Menurut imam Malik,
apabila tertuduh menolak untuk bersumpah, sumpah harus dikembalikan kepada orang
yang menuduh.
D. Penolakan: Terdakwa menolak untuk bersumpah, sehingga ia tidak mengucapkannya.
Menurut imam Malik, jika terdakwa menolak untuk bersumpah, sumpah harus
dikembalikan kepada orang yang menuduh jika ia bersedia bersumpah. Hakim
memutuskan kasus ini. Dalam hal ini, Rasulullah mengembalikan sumpah orang yang

4
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2010), h. 78
dituduh kepada orang yang menuduh.
Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman Rasulullah saw. terkesan tidak formal,
tetapi rukun-rukun al-Qada telah dipenuhi, yaitu hakim, hukum, al-mahkum bih (tergugat), al-
mahkum "alaih, dan al-mahkum lah (penggugat). Meskipun pelaksanaan peradilan pada zaman
Rasulullah saw. terkesan tidak formal, tetapi putusan-putusan yang dibuat oleh Rasulullah saw
tetap formal. mengandung nilai kebenaran, sehingga keputusan itu sangat dihormati oleh semua
pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Peradilan pada masa Rasulullah saw. sangat
sederhana karena tidak ada gedung peradilan tersendiri, administrasi yang memadai, dan
banyak kasus yang harus diselesaikan. 5
Rasulullah saw juga menjadi hakim setelah bangkit dan menyampaikan risalah. Oleh
karena itu, rasulullah sendiri adalah hakim Islam pertama. Perhatikan sumpah Nabi
Muhammad antara golongan muhajirin dan penduduk Madinah. Ini menunjukkan bahwa dia
berbuat demikian untuk memenuhi tuntutan wahyu.
Menurut konsep ketatanegaraan modern, keberadaan "Nabi SAW sendiri" di
masyarakat-negara Madinah saat itu menggabungkan ketiga institusi trias politik: kekuasaan
legislatif (Sultah Tashriyah), kekuasaan eksekutif (Sultah Tahfidziyah), dan kekuasaan
judikatif (Sultah Qadlaiyah). Dengan statusnya sebagai penerima dan penyampai wahyu Allah,
Nabi Muhammad SAW. adalah satu-satunya sumber dari semua hukum dan tata aturan. Selain
itu, segala tindakan dan pernyataannya dianggap sebagai sumber hukum yang harus dipatuhi.
Namun, unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan dan
pengejawantahan hukum Islam dalam berbagai aspek masyarakat, ekonomi, dan politik.
Sementara itu, Piagam Madinahh (al-mistaq al-madani) sebagai undang-undang tertulis
yang disusun tidak lama setelah sampainya Rasulullah di madinah memiliki muatan-muatan
yang mengatur hubungan soisla-politik Masyarakat baru di Madinah dimana dalam salah satu
pasalnya menegaskan kewajiban unsur-unsur anggota masyarakat tersebut. Khususnya dari
kalangan orang-orang muslim, untuk saling bertanggung jawab secra bersama-sama terhadap
keamanan dalam negeri Madinah. Dalam teks piagam tersebut disebutkan bahwa masing-
masing orang mukmin bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi disekitarnya meskipun
hal itu dilakukan oleh anaknya sendiri. Adapun jika terjadi perselisihan dan persengketaan
maka otoritas legislasi dan jurisdikasi berada di tangan Allah dan Rasul Nya. Sebgaiaman juga
dikatakan oleh teks piagam tersebut

5
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 78-79.
Otoritas jurisdikasi yang hanya dimiliki Rasulullah ini dengan sangat tegas juga
ditekankan olehh Al-Qur’an sebagaimana da;am QS. Al-Nisa’: 65.
‫ش َج َر بَ ْينَ ُه ْم ث ُ َّم ل‬ َ َ‫ى أَنفُ ِّس ِّه ْم َح َر ًجا ِّم َّما ق‬ ۟
َ ‫س ِّل ُموا ََفَ ََل َو َر ِّبكَ ََل يُؤْ ِّمنُونَ َحت َّ ٰى يُ َح ِّك ُموكَ فِّي َما‬
َ ُ‫ضيْتَ َوي‬ ٓ ِّ‫َ۟ا يَ ِّجد ُوا ف‬
‫ت َ ْس ِّلي ًما‬
Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yag mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.
Terkadang urusan peradukan di daerah-daerah diserahkan kepada penguasa yang
dikirim ke daerah-daerah itu dan sekali-sekkali pula Nabi SAW. Menyuruh seseorang sahabat
bertindak sebagai hakim dihadapan beliau sendiri, Beliau juga bertindak selaku mufti memberi
fatwa kepada orang-orang yang memerlukannya. Maka pada diri beliau berpadulajh tiga
kedudukan yaitu selaku. Hakim selaku muballigh dan selaku musysyarri’.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Rasulullah melakukan eksekusi hukum setelah
orang terbukti bersalah dan bersalah, seperti memaksa seorang Yahudi yang melakukan.
penganiayaan dengan benda keras terhadap seorang wanita yang telah membunuh sesamanya.6
Persyaratan pembuktian perdata adalah penggugat harus menunjukkan bukti yang mendukung
gugatannya, sementara tergugat dapat menunjukkan keberatan mereka dengan memperkuat
sumpah.
B. Pendelegasian wewenang dalam peradilan
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem7 yang selain
mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga
lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang
berkembang kemudian, selain istilah qadlā’ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal pula
istilah Hisbah dan al-Madzalim. Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal yang
baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang kemungkaran ketika
dikerjakan”. 8 Dalam perkembangan sistem peradilan Islam yang terjadi kemudian hisbah
menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang bertugas
menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa untuk

6
Dikutip dalam Muhammad Ibn Isma’il al-San’ani, Subul al-Salam. Juz IV. (Bandung: Dahlan, t.th). 236-238
7
Dr. Ahmad Shalabi, Al-Tashrī` wa Al-Qadlā’ fi al-Fikr al-Islāmi, Kairo, Maktabah al-Naldlah al-Mişriyah, Cet.
4, 1989, h. 229
8
Hasan Ibrāhīm Hasan, Tārikh al-Islām, vol. I, h. 394; `Ali Husni al-Kharbuţli, Al-Hadlarah al-`Arabiyah al-
Islāmiyah, h. 45; `Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām, h. 21-22
menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan. Dan
ternyata, konsep lembaga ini jika dirunut memiliki akar historis pada zaman Rasulullah.
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Rasulullah senantiasa memeriksa keadaan dan kondisi
berbagai sisi hidup umatnya. Suatu ketika, saat berjalan-jalan (melakukan inspeksi) di pasar
Nabi menjumpai kecurangan yang dilakukan oleh seorang pedagang makanan dan kemudian
menegurnya. 9

Sama halnya dengan hisbah, peradilan madzālim juga telah memiliki dasar sejarah di
zaman Nabi. Madzālim merupakan institusi pembelaan terhadap hak-hak rakyat kecil dari
seseorang yang berpengaruh, sehingga sulit bagi pengadilan biasa untuk menyelesaikannya.
Nabi pernah mencontohkan pembelaan madzālim ini untuk umatnya atas dirinya sendiri
dengan mengatakan “barangsiapa yang hartanya telah terambil oleh ku maka inilah hartaku
aku silakan dirinya mengambilnya.” 10 Adapun lembaga sistem peradilan yang lain seperti
kepolisian dan penjara, dari catatan sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua
institusi tersebut belum pernah ada di zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan”
terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi
pengawasan itu dilakukan oleh wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan
pengawasan serta evaluasi terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan
peradilan sebagaimana diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang
usai menyelesaikan putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian
membenarkannya. Jika putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera
mengoreksinya. 11

Karekteristik kehakiman yang dijalankan Nabi Muhammad SAW tentu berbeda dengan
kehakiman pada umumnya, hal ini disebabkan bahwa putusan yang diberikannya ada kaitannya
dengan kenabian dan ajaran agama. Pada dirinya tergabung dua kekuasaan yaitu kekuasaan
sebagai kepala negara dan kekuasaan keagamaan. Keputusan Muhammad saw. yang terkait
kenabiannya (ajaran agama) menjadi landasan dan sumber hukum dalam Islam atau yang
disebut dengan sunnah. Dalam hal ini, ia seorang hakim sekaligus hukum itu sendiri. Perkara-
perkara tersebut wajib untuk ditaati oleh seluruh umat Islam. Adapun hal-hal yang terkait

9
Disebutkan oleh beberapa ulama sirah. Maknanya terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dan Ahmad. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al- Qadlā’, h. 52
10
Disebutkan oleh beberapa ulama sirah. Maknanya terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
dan Ahmad. Lihat: Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al- Qadlā’, h. 52
11
Muhamad al-Zuhayli, Tārikh al-Qadlā’, h. 56
dengan tatacara, tekhnik pengambil keputusan, pengangkatan hakim maka hal tersebut menjadi
sesuatu yang dapat berkembang sesuai dengan kondisi dan tempat.

Sejalan dengan berkembangnya wilayah Islam, peran kehakiman juga semakin


meningkat. Wilayah kekuasan Muhammad saw. tidak lagi seputar Madinah tapi juga mencakup
wilayah wilayah lainnya. Kondisi ini tentu menyulitkan untuk menampung persoalan-persolan
masyarakat yang tersebar di beberapa negeri. Dalam hal ini, Rasulullah saw. mengangkat
hakim-hakim untuk wilayah-wilayah tersebut. Tercatat Rasulullah saw. pernah mengangkat
Ali bin Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Muaz bin Jabal, Mu’qal bin Yasar sebagai hakim (qadhi)
untuk wilayah Yaman, Atab bin Usaid untuk Mekah, Abu Ubaidah untuk Nejran, Utsman bin
al-‘Ash untuk Thaif, Muhajir bin Umayyah untuk Sana’a, Ya’ala bin Umayyah untuk Khaulan,
Ziyad bin Labid untuk Hadramaut, ‘Ala’ bin al-Hadrami untuk Bahrain.

Para hakim yang diangkat Rasullulah ini juga sekaligus gubernur yang diangkat untuk
wilayah tersebut.12 Namun terdapat pula hakim yang diangkat Rasulullah tanpa memegang
jabatan eksekutif seperti Umar bin Khattab, Zaid bin Haritsah, Amru bin al-Ash, Uqbah bin
Amir, Huzaifah bin Yaman.13 Peran kehakiman yang dijalankan oleh Rasulullah saw. telah
memberikan aspek-aspek penting dalam sistem peradilan Islam. Melalui hadits baik itu hadits
fi’liyah (perbuatan nabi) ataupun hadits qauliyah (ucapan), Muhammad saw. telah meletakan
pondasi dan prinsip-prinsip peradilan serta sikap-sikap yang harus dimiliki dan dijauhi seorang
hakim. Terdapat banyak hadits mengenai pujian terhadap hakim yang adil, ancaman
kecurangan, larangan marah ketika sidang, kemampuan memutuskan masalah dan lain
sebagainya. 14 Mengingat pentingnya tugas peradilan, Nabi menguji para hakim yang diutus ke
berbagai daerah tentang pengetahuan mereka dalam bidang peradilan. Hal ini terlihat sewaktu
Nabi mengutus Muaz bin Jabal. Nabi menyuruh Muaz merinci secara kronologis dasar hukum
yang akan dipedomaninya dalam memutuskan suatu perkara. Pada era ini, kekuasaan yudikatif
masih menyatu dengan kekuasaan eksekutif. para penguasa sekaligus menjadi hakim. Sebab-
sebab tidak adanya pemisahan kekuasaan pada masa ini dikarenakan oleh beberapa hal: 15

12
Nasir bin Muhammad, al-Ikhtishāsh al-Qadhāi fi al-Fiqh al-Islāmi, Tesis, Universitas Ummul Quro Mekah 1418
H, 59-60. 43-46.
13
Muhammad az-Zuhaili, Tārȋkh al-Qadhā’…, 44,46-47.
14
Salamah Muhammad al-Harafi, al-Qadhā fi ad-Daulah al-Islāmiyah Tārȋkhuhu wa Nuzhumuhu (Riyadh:
Markaz Arabi, 1415 H), 69-72.
15
Nasir bin Muhammad, al-Ikhtishāsh al-Qadhāi.., 78
1. Islam baru berkembang. Nabi saw. dan para sahabat disibukan oleh urusan dakwah dan
pengajaran.
2. Wilayah Islam belum begitu luas, sehingga persoala-persoalan di masyarakat masih
sederhana dan dapat diatangani sekaligus oleh eksekutif.
3. Tingginya kesadaran hukum masyarakat waktu itu terhadap perintah Allah dan
Rasulullah, sehingga pemisahan kekuasaan kehakiman belum mendesak.

Meski demikian, bibit-bibit pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif mulai
tersemai. Itu terlihat dalam penunjukan Umar menjadi hakim di Madinah dan Rasulullah
memberikan upah terhadap pekerjaan tersebut.16

C. Pegangan Rosul dalam memutuskan perkara


Rasulullah SAW memiliki posisi penting sebagai pemimpin, hakim, dan mediator
dalam agama Islam, termasuk membuat keputusan dalam berbagai masalah. Wahyu dari Allah
SWT, sunnah (praktek), dan ijtihad (penggunaan akal untuk memutuskan hukum dalam situasi
yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran atau Hadis) adalah dasar kerjanya dalam
memutuskan perkara hukum.

Dasar Hukum Peradilan Rasul SAW didasarkan pada beberapa sumber hukum Islam:
A. Al-Qur'an, yang merupakan Firman Allah SWT, adalah sumber hukum utama.
B. Hadis mencakup tindakan, perkataan, dan persetujuan Rasulullah SAW.
C. Ijma' (konsensus ulama): digunakan ketika tidak ada nas yang jelas dalam Al-Qur'an
dan Hadis.
D. Qiyas (analogi): kesimpulan hukum dari kasus yang memiliki hukum yang jelas untuk
diterapkan pada kasus serupa yang tidak memiliki hukum yang jelas.

Menurut keadilan Islam, Rasulullah SAW tidak hanya berfungsi sebagai pembawa
risalah tetapi juga sebagai hakim yang memutuskan perkara berdasarkan wahyu dan hikmah
yang dia terima dari Allah SWT. Prinsip keadilan, kebijaksanaan, dan prinsip keadilan
digunakan dalam penyelesaian perselisihan dan kasus hukum di masanya.17

16
Salamah Muhammad al-Harafi, al-Qadhā.., 140
17
Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām
Nabi Muhammad SAW diakui dalam sejarah Islam sebagai pembawa risalah Ilahi dan
sebagai hakim yang adil dalam memutuskan berbagai masalah hukum. Keputusan-keputusan
yang diambil oleh Rasulullah SAW dalam berbagai situasi menunjukkan kebijaksanaan,
keadilan, dan kasih sayang yang luar biasa, selain keahliannya dalam hukum Islam. Selain
prinsip-prinsip etika dan moralitas yang universal, pendekatan Rasulullah dalam peradilan
memberikan pemahaman penting tentang bagaimana hukum syariah dapat diterapkan, yang
berasal dari Al-Quran dan Hadis.
D. Tempat mengadili,cara pembuktian, alat-alat bukti dan pengadilan banding
Tempat Mengadili: Istilah "tempat mengadili" mengacu pada yurisdiksi atau wilayah
hukum di mana suatu kasus dapat diajukan dan diadili. Dalam hukum perdata, tempat
mengadili biasanya didasarkan pada domisili tergugat atau lokasi di mana peristiwa hukum
terjadi, sementara dalam hukum pidana, kasus biasanya diadili di yurisdiksi di mana kejahatan
terjadi. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk memastikan bahwa peradilan dilaksanakan secara
adil dan efektif dengan memungkinkan semua pihak yang terlibat memiliki akses mudah ke
peradilan.
Cara Pembuktian: Dalam hukum, proses di mana pihak-pihak dalam suatu perkara
mengajukan bukti untuk mendukung klaim atau membela diri mereka disebut sebagai cara
pembuktian. Proses pembuktian mungkin berbeda di setiap negara, tetapi dua sistem
pembuktian utama adalah adversarial dan inquisitorial.
Sistem Adversarial: Di banyak negara berbahasa Inggris, hakim bertindak sebagai
pengamat netral sementara pihak-pihak yang berperkara bertanggung jawab untuk
mengajukan bukti dan membangun kasus mereka. Sistem Inquisitorial: Lebih banyak
digunakan di negara-negara Eropa daratan, di mana hakim aktif terlibat dalam penyelidikan
kasus, termasuk mengumpulkan dan memeriksa bukti. 18
Alat Bukti: Semua hal yang dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran fakta
dalam suatu kasus, baik pidana maupun perdata, disebut alat bukti. Beberapa jenis alat bukti
yang diakui oleh hukum antara lain: Keterangan Saksi adalah laporan dari seseorang yang
melihat atau mengalami kejadian yang terkait dengan kasus. Keterangan Ahli adalah pendapat
dari seseorang dengan keahlian khusus yang berkaitan dengan kasus. Surat adalah dokumen
tertulis yang dapat membuktikan kebenaran suatu fakta Petunjuk adalah barang atau rekaman
yang dapat memberikan informasi tentang kasus.

18
Abdul Wahhāb Khallāf, Al-Sultāt al-Tsalāts fī al-Islām
Keterangan Terdakwa: Keterangan yang diberikan terdakwa dalam sistem pidana.
Pengadilan Banding: Pengadilan banding adalah tahapan setelah pengadilan tingkat pertama
yang memberikan kesempatan kepada pihak yang tidak puas dengan keputusan untuk meminta
peninjauan ulang. Tujuan pengadilan banding adalah untuk memastikan bahwa pengadilan
tingkat pertama telah menerapkan hukum secara adil dan adil, dan biasanya mereka tidak
memeriksa fakta kasus lagi, tetapi mereka memeriksa apakah ada kesalahan hukum atau
prosedur.

Kesimpulan

Sebelum kedatangan Nabi Muhammad orang Arab menjalani kehidupan mereka


terkenal sebagai Jahiliyah. Wanita tdk dpt menjadi pewaris atau barang warisan karna dianggap
sama dengan barang. Berbeda dengan laki-laki yang menjalani kehidupan yang bebas dan
bersenang-senang. Sampai aturan atau perintah dari allah SWT yang dibawa oleh nabi
muhammad dalam bentuk Al-Qur'an. Awal Nabi Muhammad mengajarkan ajaran islam
masyarakat Arab menolak karna menganggap ajaran islam sebagai ancaman. Nabi juga sering
menghadapi kesulitan dan hambatan dari orang- orang disekitarnya dlm menyampaikan ajaran
islam. namun, hal itu tidak membuat Nabi dan sahabat menyerah. Pada jaman Nabi peradilan
sangat sederhana. Nabi menerapkan peradilan yg sangat adil dlm berbagai aspek. Nabi dlm
memberikan hak kepada orang yang berhak atasnya menggunakan 4 perangkat hukum : ikrar,
bukti, sumpah, dan penolakan.

Pada masa Nabi lembaga sistem peradilan seperti kepolisian dan penjara dari catatan
sejarah belum pernah ada dijaman nabi, namun lembaga pengawasan terhadap peradilan bisa
ditemukan dalam sejarah peradilan dijaman nabi. Karakteristik kehakiman yg dijalankan nabi
tentu ada kaitannya dengan kenabian dan ajaran islam. Dasar hukum pada peradilan nabi itu
didasarkan kepada alqur'an, hadist, ijma' dan qiyas. Dan tempat untuk mengadili biasanya
didasrkan pada domisili tergugat atau lokasi peristiwa hukum terjadi, sedangkan dalam hukum
pidana biasanya diadili diyurisdiksi, dimana kejahatan terjdi. Tujuannya untuk memastikan
peradilan dilaksanakan secara adil dan efektif. Cara pembuktian disetiap negara mungkin
berbeda-beda. tetapi, ada 2 pembuktian utama, yaitu: adversarial dan inquisitorial.
DAFTAR PUSTAKA
al-Harafi, S. M. (1994). Al-Qadha fi Ad-Daulah Al-Islamiyah wa Nuzhumuhu . Riyadh:
Markaz Arabi.
Al-San'ani, M. i. (n.d.). Subul Al-Salam Juz IV. Bandung : Dahlan.
Al-Zuhayli, M. (n.d.). Tarikh Al-Qadla.
Choirin, M. (2021). Pendekatan Dakwah Rasulullah SAW di Era Mekkah dan Relevansinya
Di Era Modern. Miksyat Al-Anwar 4, 97-114.
Khallaf, A. w. (n.d.). Al-sultat al-tsalas fi al-islam.
Lahmi, A. (2018). Sejarah Pendidikan Dalam Islam: Menelisik Pendidikan Muhammad SAW
Pra-Nubuah,. Ruhama: Islamic Education Journal 1, 1-12.
Mannan, A. (2010). Etika Hakim dalam Penyelenggaraaan Peradilan. Jakarta: Kencana.
Muhammad, N. b. (1997). Alikhtishas al-Qadha . Tesis Universitas Ummul Quro Mekkah ,
59-60,43-46.
Nurhaimin. (2016). Sejarah Soisal Politik Bangsa Arab Jahiliyah. Tsaqofah: Jurnal Afama
dan Budaya , 93-117.
Shalabi, A. (Maktabah Al-Naldlah Al-Misriyah). Al-Tashri wa Al Qadha fi Al-Fikr al islami,.
Kairo: 1989.

Anda mungkin juga menyukai