Anda di halaman 1dari 34

FILSAFAT HUKUM ISLAM

Penyelesaian Hukum Islam


Dengan Corak Pendekatan Bayani, Ta’lili Dan Istislahi
Bayu Teja Sukmana,Kurniati, Lomba Sultan,

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR


e.mail: h.bayutejasukmana@gmail.com ;
kurniati@uin-alauddin.ac.id ;
lombasultan@uin-alauddin.ac.id ;

ABSTRAK
Dalam Metode Ijtihad terbagi menjadi Tiga Bagian Yaitu : (1) Ijtihad Al-Bayani, yang
digunakan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam nash
namun sifatnya masih zhonni (sesuatu yang bersifat dugaan, relatif, sangkaan dan tidak
pasti), baik dari segi penetapannya maupun penunjukannya dan (2) Ijtihad Ta’lili, yaitu
ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan metode qiyas, Sedangkan
(3) Ijtihad Istislahi, adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum
syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum, mengenai
masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak
ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap suatu masalah, serta Tidak
diterapkannya metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Pada dasarnya
Ijtihad ini merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’al-mafsadah (menarik
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
untuk kaidah-kaidah syara.
Bayani, ta’lili dan istislahi juga merupakan model epistimologi yang selalu dan sudah
sejak lama digunakan ulama ushul fiqh dalam menyingkapi, menemukan dan
merumuskan hukum yang bertumpu pada kemaslahatan, dan sangat relevan dalam
menyelesaikan, menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang semakin komplit dan
rumit. Dalam hal, teori bayani dan ta’lili tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus yang
hukumnya tidak tidak terdapat pada nash, maka teori istislahi dapat menjadi alternatif.
Melalui teori maslahah al-mursalah dan dzari’ah persoalan-persoalan kontemporer
akan dapat diselesaikan dengan baik dan dinamis.
Kata kunci: Penyelesaian Hukum Islam Bayani, Ta’lili, Istislahi

ABSTRACT
In the Ijtihad Method, it is divided into three parts, namely: (1) Ijtihad Al-Bayani,
which is used to explain the syara' laws contained in the texts but is still zhonni
(something that is conjecture, relative, conjecture and uncertain), both from in terms of
its determination and appointment and (2) Ijtihad Ta'lili, namely ijtihad to explore and
determine the law there are problems that are not contained in the Qur'an and sunnah
using the qiyas method, While (3) Ijtihad Istislahi, is the sacrifice of ability to arrive at
2

syara law ' (Islam) by using a general rules approach, regarding problems that may be
used the general rules approach, and there is no specific text or ijma' support for a
problem, and the qiyas method or istihsan method is not applied to the problem.
Basically, this Ijtihad refers to the rules of jalb al-mashlahah wa daf'al-mafsadah
(attracting benefit and rejecting harm), in accordance with the rules that have been set
for the rules of syara.

Bayani, ta'lili and istislahi are also epistemological models that have always been and
have long been used by ushul fiqh scholars in uncovering, discovering and formulating
laws that are based on benefit, and are very relevant in solving, answering
contemporary problems that are increasingly complete and complicated. In the event
that the bayani and ta'lili theories cannot be applied to cases where the law is not
contained in the texts, then the istislahi theory can be an alternative. Through the
theory of maslahah al-mursalah and dzari'ah contemporary problems will be resolved
properly and dynamically.
Keywords: Bayani Islamic Law Settlement, Ta'lili, Istislahi

PENDAHULUAN
Pembahasan tentang Bayani, Ta’lili, Istislahi di sini jelas fokus kritiknya
adalah nalar arab, bukan nalar Islam. Didalam kita memahami nalar arab, memahami
tradisi Arab dan memahami struktur nalar yang membangunnya. Dikarenakan Islam
tidak terlepas dari kehidupan tradisi Arab, dan dalam perkembangannya keduanya
saling mempengaruhi, maka membicarakan tentang Islam jelas merupakan sebuah
keniscayaan. Kritik nalar Arab tersebut diproyeksikan sebagai upaya membangun
rasionalitas kritikal guna mengatasi problem ketertinggalan peradaban Arab-Islam
dari kemajuan Barat modern (Eropa pasca Renaisance). Kritik nalar Arab
dipandangnya mampu mendialogkan antara tradisi dan modernitas. Membicarakan
struktur epistemologi Islam, sebagai dasar bagi ilmu-ilmu keislaman, bagaimana
mencoba merekonstruksi tipologi "epistemologi Arab-Islam", yaitu bayani, Ta’lili,
dan Istislahi yang di dalam kajian kali ini akan dibahas Dan juga apa temuan terkait
nalar dari peradaban umat Islam.
Para mufassir berusaha memahami dan mengartikulasikan nilai-nilai qur’ani
dan makna pesan Ilahi dalam kehidupan Dalam perkembangannya. Kecenderungan
Inilah yang menyebabkan timbulnya berbagai macam penafsiran dalam memahami
al-Qur’an, yaitu melakukan penafsiran dengan bantuan hadits dan perkataan para
sahabat, melakukan penafsiran dogmatis, melakukan penafsiran mistik (ta’wil),
melakukan penafsiran sektarian, dan melakukan penafsiran modern.1
1
M.Husein Az-Zahabi, Tafsir wal Mufassirun, (Mesir: Darl Kutb Juz.2) h. 357
3

Teori pengetahuan atau Epistimologi yang secara etimologis, berasal dari kata
Yunani, yaitu epistemologi berarti pengetahuan (knowledge), dan logos berarti tentang
suatu teori tentang atau tentang suatu studi. Secara terminologis, epistemologi adalah
merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode, dan validitas (keabsahan) suatu pengetahuan. Dari unsur ini pengetahuan dapat
dikuatkan validitasnya sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Adapun Lawan
katanya adalah doxma yang berarti percaya, yaitu percaya pada begitu saja tanpa
menggunakan suatu bukti (taken for granted) (Wiliam James Earle, 1992: 21).
Adapun Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam epistemologi antara
lain hakekat (esensi), eksistensi dan ruang lingkup pengetahuan, sumber-sumber
pengetahuan, metodologi ilmu tentang bagaimana cara mengetahui suatu pengetahuan,
sarana yang digunakan dalam usaha kerja metodologis tersebut dan uji validitas
pengetahuan (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,2002:2). Mengenai hal
ini, bayani, ta’lili dan istislahi adalah suatu model yang selalu dan sudah sejak lama
digunakan oleh Para ahli hukum Islam (mujtahid) dalam menyingkapi, menemukan dan
merumuskan hukum.
Epistimologi ini berfokus pada sisi kemanfaatan untuk menghindari
kemafsadatan atau kerusakan dalam memutuskan dan mempertimbangkan agenda
kemanusiaan dalam bidang hukum, yaitu; bagaimana cara kita memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, harta dan kehormatan. Megenai Hal ini juga dipopulerkan oleh pakar
hukum Islam dalam bentuk maslahah. Akan tetapi di dalam meng-implementasikan
penemuan (istinbath) hukum, secara teoritis dari ketiga unsur ini sering dipahami secara
berbeda oleh ulama ushul fiqh. Bahkan Pengaruhnya tampak secara nyata ketika
ditelusuri pada waktu melakukan penerapannya pada kasus-kasus hukum baik bagi
ulama klasik maupun Ulama kontemporer. Namun, sering terjadi perbedaan pendapat
dalam menetapkan ketentuan hukum baru. Inilah yang paling banyak ditemukan dalam
khazanah hukum yang tersebar dalam kitab-kitab fiqh. Akan tetapi perbedaan tersebut
malah dapat menjadi kekayaan intelektual yang sangat berharga dalam khazanah
keilmuan hukum. Ketiga unsur ini mengambil peran penting yang sangat mendasar
dalam pengembangan dan pembaharuan hukum Islam. Apalagi dari kehadiran hukum
Islam tidak pada ruang yang hampa melainkan muncul di tengah perkembangan dan
perubahan sosial masyarakat. Dari adanya perkembangan dan perubahan sosial itu,
4

dapat dipastikan bahwa masyarakat akan selalu dihadapkan oleh persoalan-persoalan


yang sangat komplit dan pelik yang tidak terbatas, sedangkan nash jumlahnya sangat
terbatas berbanding terbalik dengan persoalan yang akan dihadapi oleh masyarakat.
Belum lagi nash yang terbatas tersebut turun pada beberapa abad yang lalu sebagai
respon langsung terhadap perkembangan sosio-kultural masyarakat pada saat itu.
Epistimologi Atau Teori Pengetahuan yang begitu penting dalam hukum Islam
dan dapat menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan kontemporer yang
semakin rummit. Untuk itu, penulisan ini dimaksudkan untuk menyatukan teori dari
berbagai mazhab hukum baik klasik maupun kontemporer, kemudian bagaimana
metode pakar hukum menerapkannya dalam menyelesaikan suatu persoalan-persoalan
yang dihadapi sehingga dapat ditemukan hukum yang responsif.

LITERATUR REVIEW
Dalam melakukan Penelitian mengenai pembahasan ini adalah bukan merupakan
penelitian yang pertama, adapun penelitian ini dimaksud untuk melakukan
pengembangan dari penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh:

1. Ahmad Komarudin, Jurnal Madaniyah, Volume 12 Nomor 1 Edisi Januari 2022


Judul “Penalaran Ta’lili Sebagai Metode Istinbat” dalam penelitiannya berfokus pada
penalaran ta’lili saja, dan yang termasuk masuk dalam kategori penalaran ta’lili
adalah qiyas dan istihsan. Kesimpulan dari Penalaran talili ini merupakan metode
dalam menentukan hukum yang berupaya menggunakan illat sebagai bagian alat
yang paling utama. Yang masuk dalam kategori penalaran talili adalaah qiyas dan
istihsan. Keduanyamerupakan metode istinbat hukum yang sudah lama digunakan
oleh paramujtahid dalam untuk memecahkan persoalan-persoalan hukum diluar
nashal-Qur’an dan hadis. Walaupun masih ada beberapa ulama yang
berselisihpendapat akan kehujahannya. Namun banyak juga yang sudah
menggunakansebagai landasan bersitinbat hukum. Kebutuhan metode qiyas dan
istihsansebagai metode istinbat hukum yang sudah diakui kehujahannya,
pertama,Qiyas dan Kehujahannya, yang merupakan salah satu metode istinbat
yangdapat dipertanggungjawabkan karena ia melalui penalaran yang
disandarkankepada nash. Kedua, Istihsan dan Kehujahannya, yang merupakan salah
5

satumetode istinbat yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Meskipundalam


realitanaya semua ulama menggunakan istihsan secara praktis.
2. Iqbal,Muhazir,Multazam, makalah, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah, Petial-Hilal,Sigli
2016, judul “Penalaran Al-Bayani, Ta'lili, Dan Istislahi” Fokus penelitian nya pada
bagaimana bentuk penemuan hukum metode penemuan hukum Bayani, Ta'lili, Dan
istishab Istishab.Kesimpulan dari penelitian ini penemuan hukum dengan bayani
berarti mengerti sesuatu pada intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi
sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam
keberadaan hukum dalam menjawab permasalahan yang mungkin timbul dengan
pemahaman aspek teks hukum itu sendiri, baik berwujud tulisan, lukisan, perilaku,
peristiwa. Pemahaman itu tidak saja terbatas hanya pada tindakan intensitas,
melainkan jugamencakup hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi mencakup
tujuan manifest dan tujuan laten. Penemuan dengan metode ta’lili yang merupakan
sifat yang menjadi dasar hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan
cabang dengan asal pada hukumnya mendasarkan kepada “Ilahi diharapkan
melahirkan kemaslahatan, karena memang Al-Qur’an dan sunnah memberikan
petunjuk bahwa Illah hukum adalah sifat tertentu maka sifat itu merupakan Illah
berdasarkan Nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui bahwa ketentuan hukum
itu dapat dipecahkan berdasarkan ‘Illah hukum. Penemuan hukum Istislahi
dimaksudkan untuk mengetahui tujuan syariat dan merealisasikannya sehingga
mampu menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang dihadapi.dan dalam
keadan demikian penemuan hukum dengan Istislahi merupakan suatu jalan keluar
dari kekakuan hukum agar hukum bermuara kepada keadilan dan tercapainya
kemaslahatan.

Adapun penelitian ini mencoba menguraikan,mebandingkan dan menemukan


bahwa Ijtihad adalah : pengarahan daya pikir yang sekuat-kuatnya, yang dilakukan oleh
ahli fiqih, yang mempunyai kemampuan mengggali hukum-hukum syara’ yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an hadis. Hukum melaksanakan ijtihad ada 5 yaitu wajib ain’,
Fardu kifayah, sunat, mubah dan haram. Hukum ini tergantung kepada pelaku ijtihad
tersebut dan hukum yang di ijtihadkan. Bentuk-bentuk Ijtihad tersebut antara lain dalam
bentuk ijtihad intiqa’i, yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memilih pendapat
6

para ahli terdahulu mengenai masalah tertentu kemudian diseleksi mana dalil yang kuat
yang relevan dengan perkembangan zaman. Bentuk lain dalam berijtihad adalah melalui
ijtihad insya’i yaitu usaha menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa
yang baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqih terdahulu, sedangkan bentuk lain
adalah melalui ijtihad komperatif yaitu penggabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad
insya’i. Metode-metode ijtihad yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi (ta’lili) dan ijtihad
istislahi. Sedangkan langkah-langkah berijtihad adalah pertama mereka merujuk
kepada al-Qur’an, jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an mujtahid merujuk kepada
sunnah, jika tidak ditemukan dalam sunnah mujtahid merujuk kepada sahabat, bila tidak
ada kesepakatan dari para sahabat maka seorang mujtahid harus menggunakan daya
dan ilmunya untuk melakukan ijtihad untuk merumuskan sebuah hukum.
Melakukan Perbaikan dan penyempurnaan masalah hukum operasi ganti kelamin dalam
Islam, sangat dibutuhkan untuk kejelasan dan ketegasan status hukumnya di mata
syariat Islam, dimana Dunia Menurut Islam bukan tujuan kebahagiaan yang hakiki,
Untuk itu Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam adalah suatu hal yang harus dicapai.
Semoga bermanfaat.

METODE PENELITIAN
Metode Penelitian Penyelesaian Hukum Islam Dengan Corak Pendekatan Bayani,
Ta’lili Dan Istislahi Yang Digunakan Adalah Kualitatif, Metode Penyajian Datanya
Adalah Deskriptif Analisis, Serta Dirancang Dengan Pendekatan Kepustakaan Yang
Menelusuri Beberapa Literatur Yang Berkaitan Dengan Pembahasan Tentang
Keberpihakan Pada Bayani, Ta’lili Dan Istislahi (Sebuah Pendekatan Baru Dalam
Memaknai Teks Al-Qur’an).

PEMBAHASAN
Al-Qur’an adalah merupakan landasan normatif dan sebagai rangkaian petunjuk
bagi ummat manusia dalam menuju kehidupan yang bahagia dan sejahtera di dunia
maupun di akhirat, Dimana Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan tentang ibadah, baik
hubungan seorang manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan manusia lainnya,
tapi juga mengajarkan nilai-nilai kebenaran yang universal. Petunjuk-petunjuk yang
terkandung di dalammya dan kemudian dikembangkan serta diikuti oleh kaum
7

muslimin dalam menuju kesempurnaan. Adalah salah satu nilai universal yang tercakup
dalam al-Qur’an adalah nilai-nilai keadilan.
Sebagai upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip
kemaslahatan yang bersumber pada Al-Quran dan hadis merupakan upaya untuk
terciptanya suatu keadilan sebagaimana didalam Perkembangan hukum yang harus ada,
didalam prosesnya dapat dibagi menjadi empat periode yaitu pada periode Nabi
Muhammad S.A.W, Pada periode Para Sahabat, pada periode ijtihad serta kemajuan dan
Pada periode taklid serta kemundurannya. Juga Seperti Kita ketahui bahwa dimasa Nabi
Muhammad S.A.W umumnya penyelesaian kasus-kasus hukum pada waktu itu
diselesaikan oleh nabi melalui wahyu Ilahi.  Akan tetapi dalam kasus yang lain ketika
nabi menghadapi berbagai persoalan ummat yang saat itu muncul, Namun Nabi
Muhammad S.A.W tidak mendapatkan wahyu sedangkan persoalan tersebut segera dan
harus diselesaikan, maka saat itu Nabi Muhammad S.A.W menyelesaikannya dengan
cara berijtihad. Ijtihad ini lah yang diturunkan Nabi Muhammad S.A.W, kepada
generasi-generasi selanjutnya melalui sunah atau tradisi Nabi Muhammad S.A.W.  
Dengan semakin berkembangnya keberadaban dan Ilmu Pengetahuan Manusia,
para Ulama Usul Fiqh dalam menyikapi, menemukan dan merumuskan suatu Hukum
yang dapat digunakan untuk Kemaslahatan Manusia menerapkan suatu Teori
Pengetahuan (epistimologi) yang sangat relevan untuk menyelesaikan dan menjawab
berbagai persoalan- persoalan kontemporer yang semakin komplit dan rumit.
Bayani, ta’lili dan Istislahi adalah merupakan model Teori Pengetahuan
(epistimologi) yang selalu dan sudah sejak lama digunakan oleh para ulama ushul fiqh
dalam menyingkapi, menemukan dan merumuskan hukum yang bertumpu pada
kemaslahatan tersebut diatas. Adapun Teori bayani dilakukan dengan pendekatan teks
nash melalui kaidah-kaidah kebahasaan. Sedangkan ta’lili menggunakan penggalian
terhadap suatu sifat yang dapat dijadikan sebagai tambatan untuk dihubungkan antara
dua peristiwa hukum sehingga hukum yang sudah ada dapat diterapkan pada kasus baru.
Begitu pula pada saat qiyas biasa tidak diterapkan karena faktor lain yang lebih kuat,
dapat beralih kepada qiyas yang pengaruhnya lebih kuat. Dalam hal, teori bayani dan
ta’lili tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus yang hukumnya tidak terdapat pada
nash, maka teori istislahi dapat menjadi alternatif. Melalui teori maslahah al-mursalah
8

dan dzari’ah persoalan-persoalan kontemperer akan dapat diselesaikan dengan baik dan
dinamis.
Dalam Penggunaan Metode Ijtihad, Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi
tiga bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-
Muwafaqot, yaitu :
Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang
terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya
maupun dari segi penunjukannya.2
Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan
(semantik). Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian
makna teks: kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti
dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat yang khusus,
kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan laragan itu haram dan
kapan pula makruh dan seterusnya.
Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas
tersebut. Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang
dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.
Ijtihad Ta’lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan menggunakan
metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang tidak tersurat tetapi tersirat
dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut diperlukan ijtihad qiyasi.
Ijtihad Istislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istislahi adalah
pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan
menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum, yaitu mengenai masalah yang
mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang
khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula
diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada
dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
untuk kaidah-kaidah syara’.3

2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 hlm.267.
3
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm.201
9

Dalam ketiga metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan


beberapa prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan
kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut kemudian disusun menjadi tiga tingkatan yaitu:
daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer),tahsiniyyah (kebutuhan
kemewahan). Prinsip umum ini ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan
oleh nash.
Sedangkan Penggunaan Teori Pengetahuan (Epistimologi) dengan adanya persoalan-
persoalan pokok yang terkandung dalam adalah hakekat (esensi), eksistensi dan ruang
lingkup pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, metodologi ilmu tentang bagaimana
usaha untuk mengetahui suatu pengetahuan, sarana yang digunakan dalam rangka kerja
metodologis tersebut dan uji validitas pengetahuan tersebut. Dan hal inilah yang
menjadikan pentingnya Penggunaan Teori Pengetahuan (epistimologi) dalam hukum
Islam sehingga diharapkan dapat menyelesaikan dan menjawab persoalan-persoalan
kontemporer yang semakin banyak serta rummit.
Menelaah Mengenai Teori Pengetahuan (epistimologi), dikenal ada tiga Teori
Pengetahuan (epistimologi) yang diterapkan : Pertama, Teori Pengetahuan
(epistimologi) BAYANI yang Secara bahasa istilah memiliki makna tampak, jelas dan
terang dan dalam bahasa Indonesia berarti nyata, gambling, tegas, tidak ragu-ragu atau
bimbang. Maksudnya, mengeluarkan sesuatu dari tempat yang samar kepada tempat
yang jelas. Pengertian ini menunjukan bahwa bayani sifatnya mengeluarkan ketentuan
hukum yang terdapat didalam nash dimana keadaannya masih dalam keadaan samar
sampai tersingkap secara jelas sehingga dapat diamalkan secara utuh. Oleh karena itu,
metode ini bertumpu pada pembacaan teks nash dengan pendekatan linguistic (kaidah-
kaidah kebahasaan).
Hukum pada prinsipnya telah ada sebagaimana yang terkandung di dalam nash,
namun keadaannya ada yang tersurat, tersirat dan tersuruk. Dari tiga keadaan tersebut
jumlahnya yang sampai pada tingkatan pasti (qath’i) sangatlah terbatas. Justru yang
terbanyak adalah yang bersifat zhanni. Untuk mengungkap ketentuan hukum yang
masih tersembunyi (zhanni) tersebut diperlukan kerja keras dalam bentuk penalaran
dengan menggunakan metode yang tepat sehingga hukum yang tersembunyi tersebut
bisa disingkap secara jelas sesuai dengan yang dikehendaki oleh Syari’. Hal itu,
10

menunjukan bahwasannya metode bayani merupakan metode analisis penemuan hukum


dari nash yang dari sisi tunjukannya terhadap hukum berada pada ranah zhanni dengan
mencari dasar-dasar interpretasi atau tafsir Teori. Kedua, Teori Pengetahuan
(epistimologi) TA’LILI yang Digunakan untuk menjawab betapa Derasnya perubahan
sosial yang terjadi sebagai efek dari kemajuan ilmu pengetahuan dan sistem informasi
telah ikut mendorong untuk memicu adanya perubahan, penerapan dan penggalian
hukum. Dalam banyak peristiwa hukum, ada sebagian yang tidak terjangkau oleh
makna suatu lafaz dari suatu nash sebagaimana dipahami melalui metode bayani.
Ketidak terjangkauannya bisa jadi karena peristiwa tersebut memang baru sama sekali
atau kalaupun terjangkau tetapi tunjukannya tidak secara langsung sehingga diperlukan
upaya mencarikan jawabannya dalam perspektif yang lain. Hal ini dilakukan secara
maksimal dan hati-hati. Teori pengetahuan inilah yang kemudian disebut Teori
pengetahuan epistimologi ta’lili. Dan yang ketiga adalah Teori Pengetahuan
(epistimologi) Istislahi, Istislahi ini pada mulanya digunakan oleh ulama Hanabilah
dalam menyelesaikan suatu peristiwa hukum baru yang bertumpu pada kemaslahatan,
dimana nash-nya tidak ada yang menunjuk secara langsung tentang ketentuan hukum
tersebut. Sedangkan ulama Hanafiyah dengan maksud yang sama menggunakan istislah
istihsan, dan Begitu pula ulama Malikiyah menawarkan istislah lain berupa maslahah al-
mursalah. Dari Semua istislah yang digunakan ulama mujtahid tersebut tetaplah
bermuara pada maslahah meskipun nash-nya sendiri tidak menjelaskannya secara
ekplisit. Penyingkapan masalah yang dimaksud dilakukan oleh ulama ushul fiqh melalui
penalaran dan istiqra’. Dari Rumit dan komplitnya masalah yang timbul, efek dari
perkembangan dan kemajuan teknologi yang bermuara pada perubahan sosial, baik
secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi hukum Islam. Ada banyak sekali
masalah yang tidak bisa dijawab dan diselesaikan dengan metode bayani dan ta’lili
sebagaimana yang dikemukakan di atas baik karena adanya keterbatasan nash-nya
maupun faktor terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, kita mesti menerapkan metode lain secara inovatif. Adapun Metode yang dimaksud
adalah Istislahi. Sedangkan secara istilah istislah adalah penetapan hukum syara’ yang
tidak terdapat didalam nash dan ijma’. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk
mengelaborasi teori ini dari berbagai mazhab hukum baik klasik maupun kontemporer,
11

kemudian bagaimana pakar hukum menerapkannya dalam menyelesaikan persoalan-


persoalan yang dihadapi sehingga ditemukan hukum yang responsif.
Permasalahan yang akan penulis angkat didalam tulisan ini adalah bagaimana dengan
yang sudah banyak terjadi didunia ini tentang “PELAKSANAAN OPERASI KELAMIN”,
yang sudah pasti dan sangat bertolak belakang terhadap Alquran dan Hadist, dan
bagaimana menentukan suatu metode baru dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Metode Dalam Membaca Dan Memahami Teks Dan Makna Secara Umum atau
yang biasa disebut “Hermeneutika” Yang Dilakukan Bukan Hanya Digunakan Untuk
Mengubah Pola Dasar Penafsiran Tetapi Juga Dapat Mengubah Pola Dasar
Spiritualitas, Sehingga Dampaknya Adalah Terjadinya Perubahan Persepsi Tentang
Agama, Bahkan Telah Merubah Pola Kritik Seseorang. Hermeneutika ini juga dapat
dijadikan mekanisme untuk mengungkap sesuatu makna yang tertunda,untuk
mengembalikan komitmen wahyu Tuhan yang bersifat universal dan pluralis. Unsur
inilah yang kemudian menjadi perenungan para filosof secara mendalam. Dengan
demikian hermeneutika pada dasarnya merupakan metode atau cara untuk menafsirkan
simbol yang berupa teks untuk dicari maknanya, yang mengisyaratkan adanya suatu
kemampuan untuk menafsirkan yang dialami dimasa lampau yang tidak dialami
kemudian dan dibawa ke masa sekarang.
Filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan Islam
baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya, atau filsafat yang
digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara hukum Islam,
sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah SWT menetapkannya di muka
bumi yaitu untuk tujuan kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat ini
hukum Islam akan benar-benar “cocok sepanjang masa di semesta alam. Selanjutnya
pemahaman terhadap “nash Al-Qur’an dan Hadits”, para ahli hukum juga
dimungkinkan untuk bisa menggali dan menemukan hukum yang berakar pada
masyarakat. Upaya ini dalam literatur hukum Islam lazim disebut Ijtihad. Dalam
prosenya, ijtihad meniscayakan adanya penalaran yang serius dan mendalam
terhadap tujuan ditetapkannya aturan Allah SWT. Jelas dalam hal ini peranan akal
tidak dapat dihindari. Dapat dikatakan bahwa memahami tujuan ditetapkannya dalam
Islam sama pentingnya dengan memahami nas al-Qur’an dan al-Hadits. Tentu tujuan
12

hukum ini juga dipahami dari nilai dan semangat yang terkandung dalam wahyu
Allah SWT. Sedangkan peranan akal dan wahyu dalam menetapkan hukum Islam
merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam.
Metode pengambilan hukum juga berada dalam batas dan dalam pengertian
ia membantu manusia mengenal hukum Tuhan sesuai dengan batas kemampuannya
sebagai manusia. Dengan kata lain, ia menjadi ilmu yang mencoba untuk
menjembatani antara kehendak Tuhan dengan pemahaman yang bisa ditangkap oleh
manusia. Upaya penggalian hukum Islam dari sumber-sumbernya (istinbath al-
ahkam) tidak akan membuahkan hasil yang memadai, kecuali dengan menempuh
cara-cara pendekatan yang tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai
terutama menyangkut sumber hukum. Ali Hasaballah melihat ada dua cara
pendekatan yang dikembangkan oleh para ulama ushul al-fiqh dalam melakukan
istinbath, yaitu pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan pendekatan
melalui pengenalan makna atau maksud syariah (maqashid al-syari‘ah).4
Apa yang telah dikemukakan oleh Ali Hasaballah, telah disinyalir pula oleh Fathi al-
Daraini. Ia menyebutkan bahwa materi apa saja yang akan dijadikan objek kajian,
maka pendekatan keilmuan paling tepat yang akan diterapkan terhadap objek
tersebut hendaklah sesuai dengan watak objek itu sendiri. Sebab itu, jika yang akan
menjadi objek kajian ialah istinbath hukum yang menyangkut nash, jiwa dan tujuan
syariat, maka pendekatan yang akan diterapkan haruslah pendekatan yang
menyangkut ketiga hal tersebut. Untuk itu, pendekatan yang tepat ialah pendekatan
melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan maqashid al-syari‘ah. Penggunaan
pendekatan melalui kaidah kebahasaan ialah karena kajian akan menyangkut nash
(teks) syariat, sedangkan pendekatan melalui maqashid al-syari‘ah adalah karena
kajian akan menyangkut kehendak syari’, yang hanya mungkin dapat diketahui
melalui kajian maqashid al-syari‘ah.5 Penulis akan mengupas Penyelesaian Hukum
Islam Dengan Corak Pendekatan Bayani, Ta’lili Dan Isistislahi.
1.1. PENGERTIAN IJTIHAD

Secara bahasa, ijtihad ‫ اجتهاد‬berasal dari akar kata jahada. Bentuk kata

masdharnya terdiri dari dua bentuk yang berbeda artinya antara lain :
4
Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm. 3.
5
Fathi al-Daraini, Al-Manahij al-Ushuliyah fî al-Ijtihad bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’ al-Islam (Damaskus: Dar
al-Kitab al-’Arabi, 1975), hlm. 27.
13

a. Jahdun dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius. Seperti dalam Al-
Qur’an surat An- An’am ayat 109.

‫وَأ ْق َس ُموا بِاهَّلل ِ َج ْه َد َأ ْي َمانِ ِه ْم‬...


َ
Artinya : Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan
b. Jahdun dengan arti kesungguhan atau kemampuan yang didalamnya terkandung
arti sulit, berat dan susah.6 Seperti dalam Al-Qur’an surat An- Taubah ayat 79

‫ُون ِم ْنهُ ْم‬ َ ‫ون ِإاَّل ُج ْه َدهُ ْم فَيَس‬


َ ‫ْخر‬ َ ‫ َوالَّ ِذ‬....
َ ‫ين اَل يَ ِج ُد‬
Artinya : dan mereka ( mencela ) orang-orang yang tidak memperoleh ( untuk
Disedekahkan ) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu
menghina mereka.
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978: 480), ijtihad
ialah : Mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan sesuatu yang Zhanni dari
hukum-hukum syara’ dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usaha
itu.7
Menurut al-Imam al-Syaukani Ijtihad adalah : Mengerahkan kemampuan dalam
memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath.8
Sedangkan al-Gazali mendepenisikan ijtihad adalah : pengarahan segala kemampuan
seorang mujtahid dalam memperoleh hukum-hukum syar’i.9
Muhammad Abu Zahrah, mengartikan bahwa ijtihad ialah pencurahan segenap
kemampuan untuk sampai kepada suatu tujuan atau perbuatan.
Dari uraian tersebut dapat diuraikan bahwasanya ijtihad memiliki garis besar
seperti berikut :
Ijtihad, kegiatan, Pengarahan daya pikir sekuat-kuatnya, Pelakunya Ahli fiqih yang
memenuhi persyaratan, Lapangannya, Suatu masalah yang tidak terdapat nash dalam
Al-Qur’an, Tujuannya Mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah, Sifat
Hukumnya Zanny, bukan qhat’i (dugaan kuat, bukan kepastian). Sistem/kaedah
menurut jalan pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqh,
dibantu dengan qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan
sebagainya)
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat Jakarta, jilid 2, 1997, hlm. 223
7
Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-ahkam, Dar. Al-Fikri, 1981 Juz III, hlm. 204
8
Al- Syaukani , al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994
9
Al- Syaukani , al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994
14

1.2. DASAR-DASAR IJTIHAD


Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah :
Al-Qur’an

‫ُول َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَِإ ْن‬


َ ‫ين َءا َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرس‬ َ ‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذ‬
‫از ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا ِ َوال َّرسُول‬
َ َ‫تَن‬..
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Qs. An-nisa : 59).10

‫ار‬
ِ ‫ص‬َ ‫فَا ْعتَبِرُوا يَاُأولِي اَأْل ْب‬.......
Artinya : Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr (59) : 2)11
ْ ‫ان ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر هَّللا ِ لَ َو َج ُدوا فِي ِه‬
‫اختِاَل فًا َكثِيرًا‬ َ ‫ُون ْالقُرْ َء‬
َ ‫ان َولَ ْو َك‬ َ ‫َأفَاَل يَتَ َدبَّر‬
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.
Sunnah/Hadits
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya adalah hadits ‘Amr bin
al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad bersabda:

‫ وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر‬،‫إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب™ فله أجران‬
Artinya: apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar
maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad
itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.(HR. Bukhari dan Muslim,dari Ammar bin
al-‘As)12.
Hadits Rasulullah saw riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi

10
Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta : CV. Pustaka Agung Harapan hlm.114
11
Ibid, hlm.796
12
Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah al-Ma’arif, Bandung Juz
IV, hlm. 268
15

‫ (كيف تقضي إذا‬:‫™ قال له‬،‫ولما بعث النبي معاذ بن جبل إلى اليمن قاضيا‬
:‫ فإن لم تجد ؟ قال‬:‫ قال‬،‫ أقضي بكتاب هللا تعالى‬:‫عرض لك قضاء؟) قال‬
‫ أجتهد رأيي وال‬:‫ فإن لم تجد؟ قال‬:‫ قال‬،‫فبسنة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
:‫ فضرب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في صدري وقال‬:‫ قال معاذ‬،‫آلو‬
‫الحمد هلل الذي وفق رسول رسول هللا لما يرضي رسول هللا‬
Artinya: Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi
bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab:
Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan dalam
Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau tidak kamu
temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan tidak akan
melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan bersabda: Segala
puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya Rasulullah karena Nabi
menyukai sikap Muadz.( HR. Abu Dawud)13
Ketika Amr bin As bertugas sebagai pimpinan pasukan dalam suatu peperangan,
disuatu malam Amr bermimpi dan mengeluarkan sperma. Ketika akan melaksanakan
sholat subuh, ia hanya bertayamun, karena udara sangat dingin dan khawatir terhadap
kesehatan tubuhnya apabila terkena air. Hal tersebut disampaikan kepada Nabi
Muhammad dan ternyata Nabi Muhammad S.A.W tidak mengingkari sebagai hasil
ijtuhad. Secara logika dapat ditetapkan sebagai dasar adanya dan pentingnya ijtihad.14
1.3. HUKUM MELAKSANAKAN IJTIHAD
Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad pada semua bidang
hukum dan syari’ah, asalkan dia mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang
mujtahid. Para ulama’ membagi hukum untuk melakukan ijtihad dengan lima bagian,
yaitu :
1. Wajib ain, yaitu bagi seorang yang faqih yang mereka yang dimintai fatwa
hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, sedangkan hanya dia seorang faqih yang
dapat melakukan ijtihad dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian
hukumnya, maka hukum berijtihad baginya adalah wajib ain15
13
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol. III, h.330 Hadits No. 3594
14
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2013  hlm.258
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih ,hlm.228
16

2. Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai
suatu peristiwa, sedangkan hanya dia seorang faqih yang dapat melakukan ijtihad, yang
tidak dikhawatirkan peristiwa tersebut akan lenyap. atau selain dia masih terdapat
faqih-faqih lainnya yang mampu berijtihad. Maka apabila ada seorang faqih saja yang
berijtihad maka faqih yang lainnya bebas dari kewajiban berijtihad. Akan tetapi jika
tidak ada seorang faqihpun yang berijtihad maka faqih semuanya yang ada disitu
semuanya berdosa karena telah meninggalkan kewajiban kifayah.
3. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang
belum atau tidak terjadi. Tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya, untuk
mengantisipasinya. Artinya tidak berdosa seorang faqih tersebut meninggalkan ijtihad,
akan tetapi bila dia berijtihad maka dia mendapatkan pahala.
4. Mubah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang
belum atau sudah terjadi dalam kenyataan. Tetapi kasus tersebut belum diatur secara
jelas dalam nas al-Qur’an dan hadits. Sedangkan orang yang faqih tersebut ada bebrapa
orang, maka ia dibolehkan dalam berijtihad.
5. Haram, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang
telah ada hukumnya dan telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang sharih, dan qath’i.
atau bila seorang yang melakukan ijtihad tersebut belum mencapai tingkat faqih. Karena
ijtihad tidak boleh dilakukan bila telah ada dalil yang sharih dan qath’i, sedangkan dia
tidak punya kemampuan dalam berijtihad.
1.4. RUANG LINGKUP IJTIHAD
Berkaitan dengan ruang lingkup ijtihad para ulama ushul sepakat bahwasanya
ijtihad ini hanya terjadi pada ayat-ayat yang bersifat zhanniyah, karena sebagian dari
materi-materi hukum dalam Al-Qur’an dan Sunah, sudah terbentuk diktum yang
odentik, yakni tidak mengandung pengertian lain, atau sudah diberi interpretasi otentik
oleh sunah itu sendiri. Di samping itu, juga ada sebagian diantaranya yang sudah
memperoleh kesepakatan bulat serta diberlakukan secara umum dan mengikat semua
pihak atau berdasarkan ijma’.
Peraturan hukum Islam seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, berbakti
kepada orang tua, mengasihi orang miskin, serta menyantuni anak yatim dan larangan
berzina, mencuri, membunuh tanpa hak dan lain-lain, adalah termasuk kategori hukum
Islam yang sudah diketahui oleh umum dan bersifat mengikat semua pihak, serta tidak
17

memerlukan interpretasi lain lagi. Pengertiannya sudah begitu jelas dan otentik dalam
teori maupun praktek. Jenis peraturan tersebut disebut dengan mujma’’alaih wa ma’lum
min al-din bi al–dharrah dan bersifat qath’iyyah. Hal ini diketahui secara terus menerus
sejak dari masa Rasulullah S.A.W hingga saat ini. Pengetahuan yang demikian memang
sudah meyakinkan dan tidak perlu lagi interpretasi. Hal demikian tidak perlu lagi
diijtihadkan, sebagaimana disebutkan oleh ulama ushul dengan kaidah yang berbunyi:
“Tidak diperkenankan berijtihad ketika sudah ada ketetapan nash”.
Salah satu contoh suatu nash yang sudah tegas syarih lagi qath’i wurud dan qath’i
dalalahnya ialah seperti firman Allah S.W.T:

‫اح ٍد ِم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل َدة‬


ِ ‫ال َّزانِيَةُ َوال َّزانِي فَاجْ لِ ُدوا ُك َّل َو‬.....
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing keduanya seratus kali”
(Q.S.24. An-Nur 2).
1.5. BENTUK DAN CARA BERIJTIHAD
Ada tiga bentuk ijtihad, yaitu: Ijtihad intiqa’i, ijtihad insya’i dan ijtihad Muqorin
a. Ijtihad intiqa’i adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
untuk memilih pendapat para ahli fikih terdahulu mengenai masalah-masalah
tertentu, sebagai mana tertulis dalam kitab fikih, kemudian menyeleksi mana yang
lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi kita sekarang.16
Kemungkinan besar pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah yang
dipecahkan itu berbeda-beda, dalam hal ini para ulama bertugas untuk
mempertimbangkan dan menyeleksi dalil-dalil yang mereka pergunakan, kemudian
memberikan pendapatnya mengenai suatu permasalahan yang dianggapnya lebih
kuat dan lebih dapat diterima. Mereka itu terdiri dari ahli tarjih dalam klasifikasi
mujtahid yang dikemukan oleh ahli ushul fiqih pada umumnya.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam masalah talak atau perceraian. Menurut
mayoritas ulama fiqih terdahulu termasuk mazhab yang empat, bahwatalak yang
yang dinyatakan jatuh apabila diucapkan oleh suami dalam keadaan sadar dan atas
kehendak sendiri tanpa harus bergantung pada adanya saksi17. Akan tetapi menurut
pendapat kalangan fiqih Syiah, talak baru dianggap terjadi kalau disaksikan oleh

16
Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat fi al- Ijtihad al-
Mu’atsir, Kuwait, , Dar al-Qalam, 1985, hlm.115
17
 Pendapat mayoritas ahli fiqih ini berikut dalilnya dapat dilihat dalam buku Fiqhul al-Sunnat, Sayyid
Sabiq, Bairut, Dar al-Fikr, jilid II, hlm.220
18

dua orang saksi yang adil. Agaknya pada masa sekarang ini pendapat Syiah ini
mungkin lebih dapat diterima.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, talak baru
dianggap terjadi kalau dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. Sekirannya
talak di syaratkan adanya saksi sesuai pendapat Syiah, suami dimungkinkan untuk
dapat berpikir dengan baik, sebelum menjatuhkan talak, dengan demikian suami
tidak menjatuhkan talak kapan dan dimanapun ia berada. Karena itu dalam
melaksanakan ijtihad intiqa’i diperlukan analisis yang cermat dengan
memperhatikan faktor sosial budaya, kemajuan iptek yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Diperlukan kajian terhadap dalil-dalil yangdigunakan oleh
ahli fiqih terdahulu dan juga relevansinya dimasa sekarang.18
b. Ijtihad insya’i usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-
peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fikih terdahulu.19
Dalam ijtihad ini diperlakukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus
baru yang akan ditetapkan hukumnya.
Sebagai contoh dalam kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh manusia.
Guna menetapkan hukumnya maka perlu didengar lebih dahulu pendapat para ahli
dalam bidang kedokteran, khususnya ahli bedah, setelah diketahui secara jelas
perihal pencangkokan tersebut kemudian baru dimulai dibahas dalam disiplin ilmu
agama Islam, untuk kemudian diambil kesimpulannya. 20 Dalam Ijtihad Insya’i ini
diperlukan pemahaman tentang metode penetapan hukum diantara metode tersebut
adalah qiyas, istihsan, maslahat mursalat, dan saddu al-zari’at.
c. Ijtihad Muqorin (Komperatif) adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad
diatas ( intiqa’i dan Insya’i ) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau
mengkompromikan beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru
sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman. 21
1.6. METODE-METODE IJTIHAD
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya sesuai
dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :
18
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta
1995, hlm.34
19
Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat fi al- Ijtihad al-
Mu’atsir, , hlm.126
20
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, hlm.35
21
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, hlm. 387
19

A. Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang


terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi penetapannya
maupun dari segi penunjukannya.22
Metode ijtihad bayani upaya penemuan hukum melalui kajian kebahasaan
(semantik). Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian
pengertian makna teks: kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana
memilih salah satu arti dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan
mana pula ayat yang khusus, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula
sunat, kapan laragan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya.
Ijtihad ini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nas tersebut.
Umpanya menetapkan keharusan ber’iddah tiga kali suci terhadap isteri yang
dicerai dalam keadaan tidak hamil dan pernah dicampuri.berdasarkan firman Alalh

surat al-Baqarah ayat 228 : ‫قُرُو ٍء‬ َ‫ات يَتَ َربَّصْ َن بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَة‬
ُ َ‫ َو ْال ُمطَلَّق‬....
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
Dalam ayat ini memang dijelaskanbatas waktu iddah adalah tiga kali quru’ namun
tiga kali quru’ tersebut bisa berarti suci atau haid. Ijtihad menetapkan tiga kali quru’
dengan memahami petunjuk/Qarinah yang ada disebut ijtihad bayani
B. Ijtihad Ta’lili, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terdapat
permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan
menggunakan metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang
tidaktersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum tersebut
diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua orang tua yang diqiaskan

dengan mengatakan ucapan “akh.” ٍّ ‫فَاَل تَقُلْ لَهُ َما ُأ‬


‫ف َواَل تَ ْنهَرْ هُ َما َوقُلْ لَهُ َم™™ا‬
‫قَ ْواًل َك ِري ًما‬.
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
“akh” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua, diqiyaskan kepada hukum memukul
orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila
dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya
kepadanya.
22
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 hlm.267.
20

C. Ijtihad Istislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istislahi adalah


pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara’ (Islam) dengan
menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum, yaitu mengenai masalah yang
mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash
yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin
pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini,
pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah
(menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.23
Dalam metode ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa
prinsip umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan.
Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu: daruriyat (kebutuhan
esensial), hajiyat (kebutuhan primer),tahsiniyyah (kebutuhan kemewahan). Prinsip
umum ini ditujukan kepada persoalan yang ingin diselesaikan. Misalnya
tranplantasi organ tubuh, bayi tabung dan hal-hal lain yang tidak dijelaskan oleh
nash.
1.7. PEMBAGIAN IJTIHAD
Ada beberapa pendapat ahli ushul mengenai pembagian ijtihad di antaranya
yaitu : Menurut Mahdi Fadhl membagi ijtihad menjadi dua bagian:
1) Ijtihad mutlak, yaitu ijtihad yang melengkapi semua masalah hukum, tidak
memilah-milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum tertentu. Atau biasa di
sebut dengan ijtihad paripurna. Ulama yang mempunyai kemampuan dalam hal ini
disebut mujtahid mutlaq, yaitu seorang faqih yang mempunyai kemampuan ijtihad
meng-istinbath-kan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya; atau mempunyai
kemampuan meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumber hukum yang diakui secara
syar’i dan ‘aqli.
2) Ijtihad juz-i, karya ijtihad seperti ini adalah kajian mendalam tentang bagian
tertentu dari hukum dan tidak mendalam bagian yang lain. Pelaku (muhtahid)-nya
disebut mujtahid juz-i, yaitu faqih yang mempunyai kemampuan mengistinbathkan
sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang muktabar tanpa kemampuan
mengistinbathkan semua hukum.

23
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005) hlm.201
21

Imam mujtahid yang empat (Maliki, Syafi’I,Hambali dan Ahmad) termasuk kepada
bagian pertama(mujtahid mutlaq) dan kebanyakan mujtahid lainnya termasuk bagian
yang kedua(mujtahid juz-i).24
1.8.. BEBERAPA POLA IJTIHAD
a) Ijma’ ialah kesepakatan hukum yang diambil dari fatwa atau musyawarah
para Ulama tentang suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya didalam Al qur'an
ataupun hadis . Tetapi rujukannya pasti ada didalam Al-qur’an dan hadis. ijma’ pada
masa sekarang itu diambil dari keputusan-keputusan ulama islam seperti MUI.
Contohnya hukum mengkonsumsi ganja atau sabu-sabu adalah haram, karena dapat
memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta merusak pikiran.
b) Qiyas adalah menyamakan yaitu menetapkan suatu hukum dalam suatu
perkara baru yang belum pernah ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan
seperti sebab, manfaat, bahaya atau berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga
dihukumi sama. Contohnya seperti pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa
perkataan “ah” kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan dan
menghina, sedangkan memukul orang tua tidak disebutkan. Jadi diqiyaskan oleh para
ulama bahwa hukum memukul dan memarahi orang tua sama dengan hukum
mengatakan Ah yaitu sama-sama menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa.
c) Maslahah mursalah ialah suatu cara menetapkan hukum berdasarkan atas
pertimbangan kegunaan dan manfaatnya. Contohnya: di dalam Al Quran ataupun
Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran.
Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
d) Saddu adzari’ah adalah memutuskan suatu perkara yang mubah makruh
atau haram demi kepentingan umat.
e) Istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada
alasan yang mengubahnya. Contohnya: seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah
berwudhu ataupun belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang/yakin kepada keadaan
sebelum ia berwudhu’, sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila
tidak berwudhu.
f) Uruf yaitu suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara berdasarkan adat
istiadat yang berlaku dimasayarakat dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan

24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 284
22

hadis. Contohnya : dalam hal jual beli. sipembeli menyerahkan uang sebagai
pembayaran atas barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab Kabul, karena harga
telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
g) Istihsan yaitu suatu tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya, disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya. Contohnya: didalam syara’, kita dilarang untuk mengadakan jual beli
yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara’
memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual beli diperbolehkan
dengan sistem pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
2.1. EPISTIMOLOGI ATAU TEORI PENGETAHUAN.
Bayani, ta’lili dan istislahi merupakan model epistimologi yang selalu dan sudah
sejak lama digunakan ulama ushul fiqh dalam menyingkap, menemukan dan
merumuskan hukum yang bertumpu pada kemaslahatan. Hal ini sangat relevan dalam
menyelesaikan dan menjawab persoalan- persoalan kontemporer yang semakin komplit
dan rumit.
Teori bayani dilakukan dengan pendekatan teks nash melalui kaidah-kaidah
kebahasaan. Sedangkan ta’lili menggunakan penggalian terhadap suatu sifat yang dapat
dijadikan sebagai tambatan untuk dihubungkan antara dua peristiwa hukum sehingga
hukum yang sudah ada dapat diterapkan pada kasus baru. Begitu pula pada saat qiyas
biasa tidak diterapkan karena faktor lain yang lebih kuat, dapat beralih kepada qiyas
yang pengaruhnya lebih kuat. Dalam hal, teori bayani dan ta’lili tidak dapat diterapkan
pada kasus-kasus yang hukumnya tidak tidak terdapat pada nash, maka teori Istislahi
dapat menjadi alternatif. Melalui teori maslahah al-mursalah dan dzari’ah persoalan-
persoalan kontemperer akan dapat diselesaikan dengan baik dan dinamis.
Perkembangan hukum dalam prosesnya dibagi menjadi empat periode yaitu
periode Nabi, periode Sahabat, periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid serta
kemundurannya. Seperti diketahui bahwa dimasa Nabi umumnya penyelesaian kasus-
kasus hukum pada waktu itu diselesaikan oleh nabi melalui wahyu Ilahi. Dalam kasus
yang lain ketika nabi menghadapi berbagai persoalan ummat yang muncul ketika itu,
nabi tidak mendapatkan wahyu sedangkan persoalan tersebut harus segera diselesaikan,
maka ketika itu nabi menyelesaikannya dengan jalan berijtihad. Ijtihad yang diturunkan
nabi, diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui sunah atau tradisi Nabi.
23

Ketika rasul meninggal persoalan umat tidaklah berhenti tetapi terus


berkembang sehingga muncullah ijtihad baik bagi kalangan Sahabat, Tabi’in, Tabi’
Tabi’in dan generasi seterusnya sampai kepada ulama-ulama akhir zaman yang disebut
dengan ulama kontemporer. Karna itu ijtihad adalah merupakan solusi yang paling
efektif dan baik untuk dapat menyelesaikan permasalahan ummat. Dalam
perkembangan selanjutnya metode ijtihad terus berkembang sehingga dikenal metode
Ijtihad intiqa’i dan ijtihad insya’i. Disamping metode ijtihad, bentuk-bentuk ijtihad pun
mengalami perkembangan hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan
persolan ummat sesuai dengan sunnah Allah S.W.T dan rasulnya, demi untuk menjaga
kenyamanan dan kedamaian dalam beribadah dan bermuamalah.
2.2. EPISTIMOLOGI BAYANI

Secara bahasa istilah bayani (‫)البیان‬berasal dari akar kata ‫ بان‬-‫یبانا‬ yang

berarti ‫ظھر‬ (Haitsam Hilal, 2003:57) maknanya tampak, jelas dan terang (Ahmad
Warson Munawwir, 1997: 125). Jelas dan terang dalam bahasa Indonesia berarti nyata;
gamblang; tegas; tidak ragu-ragu atau bimbang (Departemen Pendidikan Nasional,
2002: 465). Hal ini menunjukan bahwa bayani secara bahasa adalah sesuatu yang sudah
nyata, terang dan tidak mengandung keraguan atau kebimbangan. Sedangkan secara

istilah bayani didefiniskan ulama ushul fiqh ‫إخراج الشىء من حیز اإلشكال إل‬
‫ حیزالوضوح‬:dengan (Haitsam Hilal, 2003:57). Maksudnya, mengeluarkan sesuatu
dari tempat yang samar kepada tempat yang jelas. Pengertian ini menunjukan bahwa
bayani sifatnya mengeluarkan ketentuan hukum yang terdapat didalam nash dimana
keadaannya masih dalam keadaan samar sampai tersingkap secara jelas sehingga dapat
diamalkan secara utuh. Oleh karena itu, metode ini bertumpu pada pembacaan teks nash
dengan pendekatan linguistic (kaidah-kaidah kakebahasaan).
Hukum pada prinsipnya sudah ada sebagaimana yang terdapat di dalam nash,
namun keadaannya ada yang tersurat, tersirat dan tersuruk. Pada tiga keadaan tersebut
jumlahnya yang sampai pada tingkat pasti (qath’i) sangat terbatas. Justru yang
terbanyak adalah yang bersifat zhanni. Untuk mengungkap ketentuan hukum yang
masih tersembunyi (zhanni) tersebut diperlukan kerja keras dalam bentuk penalaran
dengan metode yang tepat sehingga hukum yang tersembunyi tersebut dapat disingkap
secara jelas sesuai dengan yang dikehendaki oleh Syari’. Hal itu, menunjukan bahwa
24

metode bayani merupakan metode analisis penemuan hukum dari nash yang dari sisi
tunjukannya terhadap hukum berada pada ranah zhanni dengan mencari dasar-dasar
interpretasi atau tafsir (Asjmuni Abdurrahman, 2002: 113).
Dengan kata lain, metode bayani disebut juga dengan semantik, artinya metode
penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kebahasaan (Majelis Tarjih dan
Tajdid Pimpinan Pusat Muhamadiyah, 2000:10). Disebut pendekatan kebahasaan
karenamemang didalam penemuan hukum yang terdapat di dalam teks nash dilakukan
melalui pendekatan semantik, yaitu ilmu tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan
mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata; bagian struktur bahasa yang
berhubungan dengan makna ungkapan atau struktur makna suatu wicara (Departemen
Pendidikan Nasional, 2002:1025). Dengan demikian, jelas bahwa episteme ini lebih
terkonsentrasi pada pendalaman memahami lafaz-lafaz yang terdapat pada teks nash.
Yang menjadisasaran utamanya adalah teks nash yang berbahasa Arab. Oleh karena itu,
kaidah yang digunakan adalah kaidah-kaidah bahasa Arab (qawa’id al-lughawiyah)
bukan bahasa yang lain. Apalagi bahasa al-Qur’an memiliki keunikan tersendiri
dibandingkan dengan bahasa lain baik dalam bentuk cara pengungkapan maupun
sasaran yang menjadi objek pembicaraannya. Pada suatu tempat misalnya, Syari’
mengungkapkan dengan menggunakan bahasa kinayah dan majaz, tetapi ditempat lain
diungkapkan dengan bahasa haqiqat, yang langsung menukik kepada persoalan yang
diinginkan. Begitu pula, dalam hal tertentu diungkapkan secara samar-samar, tetapi
pada hal lain diungkapkan dengan sangat jelas sekali sehingga tidak diperlukan lagi ada
penjelasan dari luar lafaz itu baik dalam bentuk qarinah maupun yang lainnya. Dalam
hal kandungan perintah yang terdapat pada lafaz itu, juga diungkapkan dengan cara
yang berbeda- beda. Sebagian ada yang diungkapkan dengan cara langsung
memerintahkan atau melarang suatu perbuatan tertentu dengan sangat jelas sehingga
tidak memungkinkan lagi adanya pemalingan maknanya kepada yang lain.

2.3. EPISTIMOLOGI TA’LILI


Derasnya perubahan sosial yang terjadi sebagai efek dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan sistem informasi telah ikut mendorong dan memicu adanya perubahan
penerapan dan penggalian hukum. Dalam banyak peristiwa hukum, ada sebagian yang
tidak terjangkau oleh makna suatu lafaz dari suatu nash sebagaimana dipahami melalui
25

metode bayani. Ketidakterjangkauannya bisa jadi karena peristiwa tersebut memang


baru sama sekali atau kalaupun terjangkau tetapi tunjukannya tidak secara langsung
sehingga diperlukan upaya mencarikan jawabannya dalam perspektif yang lain. Pada
ranah yang demikian diperlukan upaya penalaran diluar Epistimologi bayani. Hal ini
dilakukan secara maksimal dan hati-hati. Epistimologi inilah yang kemudian disebut
Epistimologi ta’lili. Model ini dipandang salah satu bagian terpenting dalam hukum
Islam dalam rangka pencarian jawaban terhadap peristiwa yang terjadi. Istilah ta’lili ini
berasal dari kata ‘ilat yang berarti “sakit”, sesuatu yang menyebabkan berubahnya
keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya (Adil as- Syawaikh: 2000: 17).
Misalnya, luka atau penyakit itu dikatakan ilat karena dengan adanya penyakit tersebut

tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Oleh sebab itu, apabila dikatakan ‫اعتل‬
‫ فالن‬,maka hal itu berarti keadaannya berubah dari sehat menjadi sakit. Kata ilat oleh
sebagian ulama ushul fiqh dipersamakan dengan kata al- sabab, al-imarah, al-da’iy, al-
mustad’iy, al- baits, al-hamil, al-manath, al-dalil, al- muqtady, al-mujib dan al-muatssir.
(Badruddin al-Dzarkasyi: 1982: 150). Sedangkan bagi ulama ushul fiqh lainnya masing-
masing istilah tersebut dipahami berbeda satu sama lain. Sedangkan secara istilah ilat
berarti sesuatu yang menjadi sebab adanya hukum atau yang melatarbelakanginya (Abd
al-Wahhab Khallaf: 1993: 49). Dalam redaksi lain, ilat merupakan suatu keadaan atau
sifat yang jelas, yang relatif dapat diukur dan mengandung relevansi, sehingga kuat
dugaan ilat itulah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan oleh Allah atau rasul-
Nya (Tjun Surjaman: 1991: 179). Dengan demikian kriteria ilat bagi suatu hukum harus
memenuhi kriteria, diantaranya; sifatnya harus jelas, dapat diukur dan relevan antara
asal dengan furu’. Artinya, kriteria ini harus terpenuhi secara utuh, satu saja yang
kurang, tidak dapat disebut sebagai ilat. Jadi, yang dimaksud dengan Epistimologi ta’lili
adalah mekanisme atau prosedur dalam menemukan, merumuskan dan menggali hukum
melalui penalaran ilat. Dengan kata lain, Epistimologi ini merupakan upaya penggalian
hukum yang bertumpu pada penentuan‘illah-‘illah hukum yang terdapat dalam suatu
nash.
2.4. EPISTIMOLOGI ISTISLAHI
Istilah istilahi pada mulanya digunakan oleh ulama Hanabilah dalam hal
menyelesaikan peristiwa hukum baru yang bertumpu pada kemaslahatan, dimana nash
26

tidak ada yang menunjuk secara langsung tentang ketentuan hukumnya. Sedangkan
ulama Hanafiyah untuk maksud yang sama menggunakan istilah istihsan. Begitu pula
ulama Malikiyah menawarkan istilah lain berupa maslahah al-mursalah. Semua istilah
yang digunakan ulama mujtahid tersebut tetap bermuara pada maslahah meskipun nash
sendiri tidak menjelaskannya secara ekplisit. Penyingkapan masalah yang dimaksud
dilakukan oleh ulama ushul fiqh melalui penalaran dan istiqra’. Rumit dan komplitnya
masalah yang timbul, efek dari perkembangan dan kemajuan teknologi yang bermuara
pada perubahan sosial, baik secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi hukum
Islam. Ada banyak masalah yang tidak bisa dijawab dan diselesaikan dengan metode
bayani dan ta’lili sebagaimana yang dikemukakan di atas baik karena keterbatasan nash
maupun faktor terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya, persoalan
transplantasi, lalu lintas jalan raya, bayi tabung dan sebangsanya. Masalah ini cenderung
tidak bisa diselesaikan melalui metode bayani dan ta’lili. Oleh karena itu, mesti
menerapkan metode lain secara inovatif. Metode yang dimaksud adalah istislahi.
Istislah itu sendiri secara bahasa berarti mengganggap sesuatu itu baik, Di
samping itu, ada juga yang memaknai dengan mencari yang baik.
Sedangkan secara istilah istislahi adalah penetapan hukum syara’ yang tidak terdapat
didalam nash dan ijma’
Definisi ini menunjukan bahwa istislah merupakan penalaran yang digunakan
oleh ulama ushul fiqh dalam perumusan, penemuan dan penggalian hukum yang tidak
terdapat dalam nash secara langsung. Dalam redaksi lain istislah merupakan mencari
ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik
yang melarang maupun yang memerintah (menyuruh), dengan dasar kemaslahatan yang
akan dicapai. Itjihad dalam hal ini adalah melakukan penelitian sejauhmana maslahah
yang akan dicapai dan mafsadah yang yang harus dihindari
Pemahaman ini sejalan dengan yang dikemukakan al-Yasa’ Abu Bakar bahwa
istislah adalah penalaran yang menggunakan ayat atau hadis, namun untuk kasus kongrit
yang muncul pada zaman modern tidak mempunyai contoh pada masa Rasul, baik
langsung atau tidak langsung
Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah metode ini merupakan salah satu cara
yang diakui oleh syara’ dalam menemukan, merumuskan dan menggali hukum karena
tidak terdapat nash yang menunjuk secara langsung. Oleh karena pada setiap perintah
27

syara’ dapat dipastikan mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan, sebaliknya


dalam larangan syara’ jika dilaksanakan akan menimbulkan kemudharatan dan
kemafsadatan.
Namun Bagaimana dalam Pelaksanaan Operasi kelamin yang sudah pernah
dilakukan oleh manusia dimuka bumi ini, dan memungkinkan perbuatan yang
menjadikan seorang pria menjadi wanita atau sebaliknya, tentulah saat ini menjadi
polemik dalam menentukan ketentuan Hukum nya, apalagi didalam Hukum Islam
bahwa Transgender atau mengubah jenis kelamin hukumnya haram. Berkenaan hal ini
yang masih sulit diterima di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Tidak hanya
rumit, operasi ini juga memiliki risiko kesehatan yang tinggi dan sangat bertolak
belakang dengan ketentuan Alquran.
"Allah S.W.T menciptakan setiap ciptaannya serba sempurna”, tetapi ada juga
suatu kejadian yang bisa menyebabkan seseorang tidak sempurna, seperti kelamin
ganda. Menurut KH. Ahsin Sakho, “Mengenai hal itu boleh dilakukan suatu operasi,".
Tetapi dalam konteks mengubah jenis kelamin karena faktor medis, umumnya yang
biasa terjadi dan dialami adalah adanya suatu penyakit kelamin ganda pada seseorang.
Hal ini disebut khuntsa musykil (samar atau tidak jelas) atau tidak dapat ditentukan
jenis kelaminnya. Kondisi yang demikian rupa diperbolehkan untuk dioperasi dengan
memilih jenis kelamin yang lebih mendominan pada orang yang bersangkutan,
berdasarkan pemeriksaan ahli medis yang dilakukan.
Kendati demikian, menurut KH. Ahsin, seseorang yang berkelamin ganda yang
belum dilakukan operasi pun tetap bisa mendapatkan haknya dalam hukum Islam sesuai
dengan dominasi dari salah satu alat kelamin. "Untuk hak waris itu, masalah perwalian
dan pernikahan terlebih dahulu harus ditentukan oleh seorang dokter spesialis dan
ulama ahli. Karena yang paling tahu mana dominan itu dokter, lalu ke ulama," ujar KH
Ahsin. Menentukan Metode-metode dan Hukum atas permasalahan ini adalah hal yang
sangat sulit.
Operasi ganti kelamin adalah perlakuan pembedahan medis yang bertujuan
untuk mengubah jenis kelamin laki-laki menjadi seorang perempuan dan sebagainya.
Dalam fase pertama saat mengubah jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan, dokter
akan mengangkat zakar (penis) dengan kedua buah pelirnya. Selanjutnya tim dokter
akan membuat vagina dan membesarkan payudara pasien tersebut, Sedangkan ketika
28

merubah perempuan menjadi laki-laki, dokter akan mengangkat payudara,


mendisfungsikan alat reproduksi wanita dan membuat zakar (penis). Selanjutnya pasien
harus menjalani terapi mental dan hormonal. Operasi seperti ini banyak terjadi di
negara-negara barat. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor seperti pasien yang sudah tidak
betah dengan jenis kelamin atau kesalahan didik sejak kecil seperti yang pernah
diungkapkan oleh sejumlah dokter. Orang yang sengaja melakukan operasi ganti
kelamin dengan faktor-faktor tersebut sesungguhnya memiliki jenis kelamin jelas,
mereka bukanlah manusia-manusia berkelamin ganda. Sudah sangat jelas bahwa operasi
ganti kelamin sangat diharamkan oleh Islam sebab termasuk dosa besar karena
menghianati Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat
Penciptaan Manusia , Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut
Islam.
Berikut adalah dalil-dalil yang mengatur hukum operasi ganti kelamin dalam
Islam :
Dalil Al-Quran :
QS An-Nisa’ 4:119-120
Aku (iblis) akan berusaha menyesatkan manusia, membuai mereka dengan
angan kososong dan menyuruh manusia untuk memotong telinga hewan ternak dan
menyuruh mereka merubah ciptaan Allah. Dan barangsiapa yang menjadikan syaitan
sebagai pelindung selain daripada Allah, maka ia akan merugi. Syaitan memberi janji
dan angan padahal hanya sebuah tipuan belaka. Apabila perbuatan dinisbat…
QS AL-Baqarah 2:216
Boleh jadi kalian sangat membenci sesuatu, padahal sesuatu itu baik bagi
kalian; dan boleh jadi sesuatu yang sangat kalian cintai adalah hal yang buruk bagi
kalian. Allah yang tahu, sedang kalian tidak tahu. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa alasan utama seorang yang berganti jenis kelamin adalah mereka
yang tidak suka dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah dan mengganggap
bahwa mereka lebih cocok menjadi lawan jenisnya. Perasaan ini adalah perasaan batil
yang manusia sendiri tidak mengetahui apa yang cocok bagi dirinya. Imam Ibnu Jarir
ath-Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa ada beberapa wanita mengatakan
“Andai saja kami laki-laki, kami akan ikut berjihad dan mencapai apa yang dicapai
kaum lelaki!”
29

QS An-Nisa’ 4:32
Janganlah kalian iri pada kelebihan yang Allah berikan kepada orang lain.
Bagi lelaki ada bagian yang diusahakan, dan bagi perempuan ada bagian pula yang
diusahakan. Mohon karunia kepada Allah, sebab Allah adalah Maha Mengetahui
segala sesuatu.
Dalil Sunnah :
Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihai wa sallam melaknat lelaki yang menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai lelaki. Dalam hadist ini sudah sangat jelas bahwa
mnyerupai lawan jenis adalah haram bahkan pelakunya dilaknat.
Sebab operasi ganti kelamin bertujuan untuk menyerupai lawan jenis, maka
menjadi haram juga. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, terlaknatnya orang yang
menyerupai lawan jenis disebabkan karena akan mengeluarkan sesuatu dari yang sudah
ditetapkan oleh Allah SWT.
Hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :
Rasulullah bersabda, Allah melaknat wanita bertato, minta ditato, mencabut
alis dah merenggangkan giginya agar lebih cantik. Allah melaknt manusia yang
merubah ciptaan-Nya. Dalam hadist ini jelas …
KESAMAAN ‘ILLAH (ALASAN) MENGUBAH CIPTAAN ALLAH S.W.T
Nabi Muhammad menjelaskan perbuatan yang dilakukan wanita pada masa
beliau seperti menato, mencukur alis dan merenggangkan gigi. Namun, tidak
disebutkannya laki-laki pada hadits ini bukan berarti mereka tidak dilarang, namun hal
ini jarang dilakuakn oleh laki-laki, Bila ada mereka juga dilaknat.
KONSEKUENSI HUKUM BAGI YANG MELAKUKAN OPERASI GANTI
KELAMIN.
Jika dalam penggantian kelamin bertujuan untuk mengobati kelainan, maka hal
ini tidak dilarang. Sebab Allah mencipatkan jenis kelamin laki-laki atau wanita dan
tidak ada selain itu. Jika ada seseorang memiliki organ lelaki sekaligus perempuan,
maka ia hanya lelaki atau perempuan saja. Jika dalam suatu diagnosis menunjukkan
sifat yang dominan, maka itulah jenis kelamin yang sebenarnya.
a. Jika operasi ganti kelamin yang dilakukan hanya untuk menyerupai jenis kelamin,
tidak memiliki masalah pada alat kelamin, maka perbuatannya haram. Meskipun
30

orang tersebut nekat melakukannya, maka statusnya tetap pada jenis kelamin
sebelumnya atau statusnya di mata Islam tidak berubah, lebih jelasnya, apabila
sebelum operasi ganti kelamin adalah seorang wanita maka setelah operasi
dilaksanakan, ia tetap adalah wanita dimana aturan-aturan wanita masih berlaku
baginya. Ia akan jelas dilarang menikah kecuali dengan laki-laki, tidak boleh
berduaan kecuali dengan mahram, tidak menjadi imam laki-laki baligh, bukan wali
dalam pernikahan, kesaksiannya separuh kesaksian laki-laki dan jatah warisannya
adalah sebagai perempuan, demikian pula halnya dengan laki-laki.
b. Operasi ganti kelamin yang diperbolehkan adalah operasi kelamin akibat dari mereka
yang memiliki organ kelamin ganda yakni penis dan vagina, maka untuk
menegaskan jenis kelamin, ia boleh melakukan operasi ganti kelamin dengan cara
menghidupkan organ kelamin dan mematikan organ kelamin yang lain.
c. Jika seseorang memiliki penis dan vagina, rahim dan ovarium, maka disarankan
untuk mengganti jenis kelaminnya yakni mengangkat penis dan tidak mematikan
vaginanya sebab hal ini sesuai dengan organ bagian dalam kelamin yakni rahim dan
ovarium. Dan apabila seseorang memiliki ketidak sempurnaan pada bentuk organ
kelamin, misalnya vagina yang tidak berlubang, namun ia memiliki rahim dan
ovarium, maka dalam islam, ia boleh melakuan pemberian lubang pada vagina
tersebut.
Mahmud Syaltut mengatakan bahwa seorang wanita yang melakukan operasi ganti
kelamin menjadi laki-laki, maka ia tidak akan menerima warisan sama ukurannya
dengan wanita begitu juga sebaliknya. Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa menyatakan apabila hukum waris orang dengan
kelamin ganda berdasarkan kecenderungan sifat dan tingkah laku, maka setelah
melakukan operasi ganti kelamin, hak-hak tersebut menjadi lebih tegas. Dalam
penilaian penulis bahwasannya melakukan operasi kelamin yang tidak didasarkan oleh
adanya suatu penyakit dan yang hukum nya haram seperti yang terdapat didalam
Al’quran dan Hadits, adalah tidak diperbolehkan walaupun dengan alasan apapun
bentuknya.

KESIMPULAN
31

Berdasarkan uraian yang sudah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa


epistimologi bayani, ta’lili dan istislahi apakah bisa menjadi dasar kuat di dalam
menyelesaikan dan menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul akibat
perkembangan tekhnologi dan perubahan sosial.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Epistimologi bayani pendekatannya
lebih pada kaidah kebahasaan (linguistik/semanttik) khususnya kaidah bahasa Arab.
Metode ini digunakan untuk mengeluarkan dan menyingkap ketentuan hukum yang
masih tersembunyi didalam nash sehingga substantif hukum dapat dikeluarkan sesuai
dengan yang dikehendaki oleh syara’. Sedangkan epistimologi ta’lili digunakan dalam
menentukan adanya sifat yang sama pada dua peristiwa hukum. Hal ini digunakan
karena tidak ada nash yang secara langsung menunjuk tentang hukum perbuatan
tertentu. Selain menggunakan pendekatan ilat, epistimologi ini juga menggunakan
metode istihsan, yang pada dasarnya juga bertumpu qiyas. Hal ini digunakan pada saat
terjadinya kesulitan dalam menggunakan qiyas biasa sehingga maslahah tidak dapat
terwujud bahkan yang muncul adalah kemudaratan kalau masih memaksakan penerapan
qiyas secara kaku. Oleh karena itu, seorang ulama ushul fiqh beralih kepada qiyas yang
lebih kuat. Selajutnya epistimologi Istislahi digunakan pada saat bayani dan ta’lili tidak
bisa digunakan dalam penyelesaian dan menjawab persoalan yang dihadapi. Episteme
ini bertumpu pada kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Metode yang
digunakan dalam hal ini adalah maslahah al-mursalah dan dzari’ah. Maslahah yang
maksud ditetapkan atas dasar hasil kajian, analisa dan penelitian yang mendalam,
berkaitan dengan kemaslahatan masyarakat banyak (maslahah al-’ammah) bukan
bersifat individual dan tidak boleh bertentangan dengan nash karena bertujuan untuk
mencapai kemaslahatan. Begitu pula dzari’ah, digunakan dalam mengantisipasi agar
tidak sampai pada perbuatan yang menimbulkan mafsadah meskipun pada mulanya
perbuatan yang menjadi medianya dibolehkan. Ketiga epistimologi ini digunakan oleh
ulama ushul fiqh secara dinamis di dalam menyelesaikan dan menjawab persoalan
persoalan hukum dan semakin penting lagi di dalam menghadapi isu-isu kontemporer,
seperti Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, bio-teknologi, kawin beda agama, kawin
sesama jenis, pendidikan seks dan sejenisnya. Meskipun secara teoritis dan aplikatif
terdapat sisi-sisi perbedaan dikalangan ulama ushul fiqh.
32

Dari uraian yang telah dikemukakan ini, dapatlah diambil suatu kesimpulan
bahwa Ijthad adalah : pengarahan daya pikir yang sekuat-kuatnya, yang dilakukan oleh
ahli fiqih, yang mempunyai kemampuan mengggali hukum-hukum syara’ yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an hadis. Hukum melaksanakan ijtihad ada 5 yaitu wajib ain’,
Fardu kifayah, sunat, mubah dan haram. Hukum ini tergantung kepada pelaku ijtihad
tersebut dan hukum yang di ijtihadkan. Bentuk-bentuk Ijtihad tersebut antara lain dalam
bentuk ijtihad intiqa’i, yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memilih pendapat
para ahli terdahulu mengenai masalah tertentu kemudian diseleksi mana dalil yang kuat
yang relevan dengan perkembangan zaman. Bentuk lain dalam berijtihad adalah melalui
ijtihad insya’i yaitu usaha menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa-peristiwa
yang baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqih terdahulu, sedangkan bentuk lain
adalah melalui ijtihad komperatif yaitu penggabungan antara ijtihad intiqa’i dan ijtihad
insya’i. Metode-metode ijtihad yaitu ijtihad bayani, ijtihad qiyasi (ta’lili) dan ijtihad
istislahi. Sedangkan langkah-langkah berijtihad adalah pertama mereka merujuk
kepada al-Qur’an, jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an mujtahid merujuk kepada
sunnah, jika tidak ditemukan dalam sunnah mujtahid merujuk kepada sahabat, bila tidak
ada kesepakatan dari para sahabat maka seorang mujtahid harus menggunakan daya
dan ilmunya untuk melakukan ijtihad untuk merumuskan sebuah hukum.
Melakukan Perbaikan dan penyempurnaan masalah hukum operasi ganti kelamin dalam
Islam, sangat dibutuhkan untuk kejelasan dan ketegasan status hukumnya di mata
syariat Islam, dimana Dunia Menurut Islam bukan tujuan kebahagiaan yang hakiki,
Untuk itu Sukses Dunia Akhirat Menurut Islam adalah suatu hal yang harus dicapai.
Semoga bermanfaat.
33

DAFTAR PUSTAKA
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol. III, h.330 Hadits No. 3594
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan : STAIN Press, 2005)
hlm.201
Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), hlm. 3.
Al-Amidi, al-Ihkam fi usul al-ahkam, Dar. Al-Fikri, 1981 Juz III, hlm. 204
Al- Syaukani , al-Irsyad al-fuhul, Dar al-Kutub al-il-miyyah, Bairut, 1994
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat Jakarta, jilid
2, 1997, hlm. 223
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih ,hlm.228
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2 hlm.267.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 284
Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta : CV. Pustaka
Agung Harapan hlm.114
Ibid, hlm.796
Fathi al-Daraini, Al-Manahij al-Ushuliyah fî al-Ijtihad bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’
al-Islam (Damaskus: Dar al-Kitab al-’Arabi, 1975), hlm. 27.
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, Logos
Publishing House, Jakarta 1995, hlm.34
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah, hlm.35
Imam al-Bukhari, Matan al-Bukhari Masykul bi Hasyiyah as-Sindi, Syirkah al-
Ma’arif, Bandung Juz IV, hlm. 268
34

Pendapat mayoritas ahli fiqih ini berikut dalilnya dapat dilihat dalam buku
Fiqhul al-Sunnat, Sayyid Sabiq, Bairut, Dar al-Fikr, jilid II, hlm.220
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, hlm. 387
Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat
fi al- Ijtihad al-Mu’atsir, Kuwait, , Dar al-Qalam, 1985, hlm.115
Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syariat al- Islamiyyah ma’a nazharatin tahliliyyat
fi al- Ijtihad al-Mu’atsir, , hlm.126
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, Penamadani, Jakarta, 2013  hlm.258

Anda mungkin juga menyukai