Anda di halaman 1dari 20

KONSEP SHAUM DALAM AL-QUR’AN

(Telaah Kitab Tafsir Al-Manar)

Pendahuluan
Allah Ta’ala menjadikan ibadah yang beraneka ragam dengan tujuan menguji
manusia, apakah nantinya dia akan menjadi pengikut hawa nafsu atau menjadi hamba
yang ta’at dalam menjalankan perintah Rabbnya serta menjauhi semua larangan-Nya,
Karena pada dasarnya, ajaran yang terkandung dalam Islam itu sendiri merupakan teori
yang mesti diaplikasikan sebagai wujud ekspresi keta’atan makhluk atas Khaliqnya.
Puasa merupakan salah satu bagian dari point-point penting rukun Islam. Puasa
merupakan amal ibadah yang bersifat rahasia, yang tahu pasti hanya Allah SWT dan
pelakunya saja. Hal ini sangat jauh berbeda dengan amal ibadah lainnya.
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan puasa kepada kita selaku hamba-Nya
sebagaimana Dia juga mewajibkan atas umat-umat terdahulu sebelum kerasulan
Muhammad SAW. Puasa merupakan salah satu mediasi pengekspresian keta’atan
seorang hamba dan sarana taqarrub kepada sang khaliq, sekaligus berguna untuk
membersihkan jiwa.
Dalam ungkapan modern puasa merupakan salah satu ekspresi dari orang yang
bukan hanya cerdas secara spiritual, namun juga cerdas emosional. Hal ini dikarenakan
puasa akan membentuk kepribadian pelakunya dan membingkainya dalam perilaku dan
nilai-nilai positif. Jadi, pada hakikatnya, puasa itu berperan besar dalam membentuk
pribadi seseorang.
Demikian sedikit pengantar yang mengawali makalah kami kali ini. Pembahasan
kami sekarang dispesialisasikan tentang ayat-ayat puasa dan segala ketentuannya, baik
itu mengenai waktu, tata cara, rukhshah yang ada di dalamnya, dan berbagai ketetapan
serta batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh orang yang berpuasa. Kitab Tafsir yang
kami usung dalam penafsiran kami adalah Tafsir Al-Manar, karya M. Rasyid Ridha.

Sekilas tentang Rasyid Ridha dan Tafsirnya Al-Manar


Tafsir ini adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim, dan lebih dikenal dengan tafsir Al-
Manar. Pengarangnya adalah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Beliau lahir di
Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, tanggal 27 Jumadil ‘Ula
1282 H. Seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari
Sayyididina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.

1
Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat
beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal denagn
sebutan “Syaikh”.
Di samping orang tuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada banyak guru.
Di masa kecil ia belajar di al-kuttab di kampungnya; di sana diajarkan membaca al-
Quran, menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat, beliau dikirim oleh
orangtuanya ke Lebanon untuk belajar di madrasah Ibtidaiyyah yang mengajarkan
Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, berhitung dan ilmu Bumi. Karena kurang kerasan,
Rasyid Ridha tidak tertarik untuk terus belajar di sana. Setahun kemudian, ia pindah ke
sekolah Islam Negeri pimpinan ulama besar Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain al-
Jisr. Syaikh inilah yang mempunyi andil besar terhadap perkembangan pemikiran
Rasyid Ridha. Beliau memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di
beberapa surat kabar, dan kesenpatan itu kelak yang mengantarnya memimpin majalah
Al-Manar. Selain, berguru dan belajar kepada beliau, Rasyid Ridha juga belajar pada
guru-guru yang lain. Di antaranya Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-
Qawijiy, Syaikh Abdul Gani Ar-Rafi, Al-Ustadz Muhammad al-Husaini, dan Syaikh
Muhammad Kamil Ar-Rafi.
Di kemudian hari, dengan perantara majalah Al-‘Urwah Al-Wutsqa yang diterbitkan
oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha semakin
berkembang. Peran kedua tokoh ini, walaupun Rasyid Ridha hanya berguru pada salah
satunya, sangat besar dalam pembentukan pemikiran Rasyid Ridha, sehingga banyak
orang beranggapan bahwa Tafsir Al-Manar itu adalah bukan hanya buah karya Rasyid
Ridha sendiri, tapi merupakan gabungan pemikiran dari tiga tokoh yaitu Sayyid
Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan beliau sendiri. Memang pada
dasarnya, ketiganya memiliki peran masing-masing. Tokoh pertama merupakan
pemberi gagasan yang kemudian dicerna dan diolah sedemikian rupa dan disampaikan
melalui penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an oleh tokoh kedua. Oleh tokoh ketiga, ini
diringkas dan dijelaskan ulang. Ringkasan dan penjelasan ini dimuat dalam majalah Al-
Manar yang menjadi cikal bakal Tafsir Al-Manar.

2
Mengapa tafsir ini hanya dinisbahkan pada Rasyid Ridha saja sebagai
pengarangnya? Jawabnya karena disamping beliau yang lebih banyak menafsirkan 1, di
bagian yang sudah ditafsirkan pun diberi pendapat beliau sendiri.
Dalam segi metode, walaupun disebutkan dia mengikuti metode dari
gurunya(Abduh), ada beberapa hal yang membedakannya, yaitu:
a. Luasnya pembahasan ayat yang ditafsirkan dihubungkan dengan hadits-hadits
Nabi.
b. Luasnya pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.
c. Penyisipan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan
masyarakat di masanya.
d. Luasnya pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta
pengungkapan pendapat-pendapat ulama di bidang tersebut.2

Puasa Transformatif (Q. S. Al-Baqarah: 183)


        
     
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Makna Mufradat
‫اﻟﺼﯿﺎﻢ‬: Mengekang atau menahan diri dari sesuatu.3

Penafsiran Ayat
          

Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang beriman
pemeluk agama sebelum kalian, sejak Nabi Adam AS. Namun dalam hal penyerupaan
ini, tidak termasuk di dalamnya sifat dan jumlah harinya. Dalam kisah Nabi Zakariyya
dan Maryam, mereka berpuasa untuk tidak berkata-kata. Di sisi lain, ada juga puasa
dalam hal berhubungan suami-istri, serta berpuasa untuk tidak makan-minum.
Al-Baidhawi berkata bahwa puasa secara etimologi adalah menahan diri dari segala
hal yang bertentangan dengan nafs. Tapi menurut Jumhur, menahan diri di sini tidak

1
Abduh yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Al-Afghani hanya sempat menyampaikan kuliah
tafsirnya dari surah Al-Fatihah sampai dengan surah An-Nisa ayat 125, kemudian Rasyid Ridha
menafsirkan lagi yang pada garis besarnya mengikuti metode yang dipakai gurunya(Abduh) sampai
surah Yusuf ayat 52.
2
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 59-69
3
Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 2(Semarang: Karya Toha Putra,1993),
hlm. 115

3
mutlak. Adapun menurut Abu Ubaidah dalam kitabnya Ruwat al-Lughah, setiap orang
yang menahan diri dari makan, berbicara, dan berpergian, maka dia adalah orang yang
berpuasa.
 
Allah menjelaskan bahwa dalam berpuasa itu terkandung manfaat dan hikmah yang
besar. Pada hakikatnya, puasa adalah sarana mempersiapkan diri guna menuju taqwa
kepada Allah dengan meninggalkan syahwatnya walaupun itu halal, demi menjalankan
perintah-Nya dan mencari pahala dari-Nya. Apabila dia sudah terlatih dengan keadaan
demikian, niscaya akan lebih mudah baginya untuk meninggalkan godaan nafsu
syahwat yang diharamkan dan bersikap sabar atasnya. Rasululullah SAW. bersabda:
( ‫اﻟﺼﯿﺎم نﺼف اﻟﺼبر ) رواه ابن مﺎجه‬
“Puasa itu adalah sebagian dari sabar.” ( H.R. Ibnu Majah)
Lafazh ‫ ﻟعل‬yang digunakan pada ayat di atas menunjukkan pengharapan. Sedangkan
suatu pengharapan itu ada apabila berkenaan dengan suatu sebab. Jadi dengan
melakukan puasa, seseorang itu diharapkan akan bertaqwa pada-Nya. Akan tetapi puasa
di sini tidak dimaksudkan untuk menyiksa diri tapi lebih pada mendidik diri serta
mensucikannya.4
Kontekstualisasi
Puasa merupakan kunci sukses dan sarana untuk bertaqwa pada Allah, maka dalam
bahasa agama, puasa menjadi syariat semua rasul. Apalagi pada kenyataannya, ternyata
puasa tidak hanya merupakan tradisi agama, tapi juga menjadi fenomena kemanusiaan
universal sepanjang sejarah. Hal ini tersirat dari penggunaan kalimat pasif ‫( كتب‬kutiba)
dalam ayat dengan tanpa disertai penjelasan mengenai siapa yang diwajibkan. Sebab
kalaupun Allah tidak mewajibkan puasa, banyak perilaku dan peristiwa yang
mendorong manusia untuk berpuasa tanpa perlu motivasi agama, misalnya agar lebih
cantik dan langsing, sehat, dan lainnya.
Hal ini dperkuat dengan makna essensial puasa itu sendiri, yaitu pengendalian diri.
Pengendalian diri sangat diperlukan oleh semua orang tak terkecuali. Akibat negatif
dari tidak bisanya menahan dan mengendalikan diri sudah terbukti sejak masa Nabi
Adam dan Hawa. Dalam realitas sosial sekarang ini pun, banyak dijumpai berbagai
perilaku destruktif dan menyimpang, seperti kehamilan pra nikah, maraknya miras dan
obat-obatan terlarang, konflik agama dan sosial, dan lain-lain, yang tak lain dan tak
bukan disebabkan oleh minim dan hilangnya control pengendalian diri. Intinya, tidak
4
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim Jilid Dua, lebih terkenal dengan Tafsir Al-
Manar(Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 144-145.

4
bisa menahan diri akan berakibat pada kehancuran manusia, baik secara moral,
spiritual, dan jasmani.
Dalam ayat tentang puasa di atas juga dijelaskan bahwa tujuan dari puasa itu adalah
taqwa. Nilai-nilai taqwa yang dimiliki puasa antara lain, adalah:
a) Jujur. Perilaku menyimpang seperti selingkuh, berbohong, korupsi, dan lainnya
mencerminkan tidak adanya kejujuran sehingga menafikan kehadiran Tuhan dalam
perbuatannya.
b) Pengendalian diri. Nilai ini berkaitan dengan kenyataan bahwa setiap orang yang
hanya mementingkan diri sendiri dan mengumbar kemauannya sendiri bertentangan
dengan akhlak mulia. Orang yang tidak bisa mengendalikan diri dan
memperturutkan nafsunya adalah orang yang berkepribadian egois serta merupakan
titik tolak terjadinya degradasi moral. Dengan hilangnya fungsi control pada
manusia, maka ia akan tertarik untuk melakukan dosa, dan dosa inilah yang
membuat “radar jiwa” manusia(hati) menjadi gelap (zulm) dan tidak sensitive
terhadap kebenaran(tidak bisa membedakan antara yang benar dan salah).
c) Empatik dan solidaritas social. Puasa yang benar akan mendidik pelakunya untuk
memiliki rasa empatik pada orang lain yang terlantar dan tertindas. Hal ini tampak
pada adanya pengganti dispensasi berupa fidyah di ayat selanjutnya.
d) Berbaik sangka dan memiliki visi. Prasangka buruk merupakan kategori perbuatan
zhalim. Orang yang suka berburuk sangka dan lebih melihat diri orang lain adalah
cerminan orang yang kurang intropeksi diri. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan
kepada semua manusia, khususnya yang berpuasa untuk banyak melakukan
intropeksi diri, sebagaimana sabdanya: “Siapa yang berpuasa dengan penuh
keimanan dan instropeksi diri, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.”
Puasa juga mengajarkan pelakunya untuk rela menderita sementara dan menunda
kesenangan duniawi demi meraih keberhasilan ke depan. 5

5
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial(Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), hlm. 207-210

5
Rukhshah dalam Puasa Ramadhan (Q. S. Al-Baqarah: 184)
           
          
            
 
Artinya: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,
Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.”

Makna Mufradat :
 : Mereka mampu melakukan sesuatu itu tapi disertai dengan kepayahan.
 : Makanan yang diberikan pada fakir miskin sebagai pengganti hari seseorang
tidak puasa.

Sababun Nuzul
Ayat ini (Q. S. Al-Baqarah: 184) turun berkenaan dengan maula Qais bin as-Saib
yang memaksakan diri bershaum padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini,
ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin selama ia
tidak bershaum itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam Kitab ath-Thabaqat yang
bersumber dari Mujahid).6
Penafsiran ayat
 
Di ayat ini Allah menjelaskan puasa yang diwajibkan pada kita itu hanya di waktu
dan hari-hari tertentu saja yang dapat dihitung, yaitu pada hari-hari di bulan Ramadhan.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan selainnya, orang-orang itu dulu mengira bahwa
hari-hari yang dimaksudkan bukanlah hari-hari bulan Ramadhan tapi hari Asyura dan
tiga hari dalam setiap bulan dan sebagian mereka juga menduga bahwa yang dimaksud
adalah hari-hari putih yaitu hari ketiga belas setiap bulannya. Semua anggapan ini
kemudian dinasakh oleh ayat selanjutnya ‫) )شهر رمضﺎن‬.
          
Barangsiapa yang sedang dalam keadaan sakit atau safar(bepergian), kemudian dia
berbuka, maka wajib baginya membayar qadha di hari lain sejumlah hari dimana dia
tidak berpuasa. Namun dispensasi ini hanya dikhususkan pada dua keadaan di atas,
6
Qamaruddin Shaleh dan A. A. Dahlan, Asbabun Nuzul(Bandung: Diponegoro, 2000), hlm. 50-51

6
yang apabila dia berpuasa akan mengakibatkan kepayahan. Jumhur mengajukan syarat
bahwa dispensasi ini berlaku untuk sakit berat yang membuat seseorang sulit
mengerjakan puasa karenanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
       
Sebagian mufassir beranggapan bahwa potongan ayat-Nya (  ) menunjukkan
bahwa barangsiapa yang melakukan perjalanan pada pertengahan hari bulan Ramadhan
tidak boleh berbuka kecuali di hari kedua setelah perjalanannya (di saat dalam
perjalanan) itu dengan berpegang pada argumen bahwa orang yang bepergian itu
lelahnya datang apabila dia telah bepergian.
Diriwayatkan dari Bukhari dan selainnya, dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah SAW.
berangkat ke Hunain dan orang-orang berselisih apakah beliau berpuasa atau tidak.
Maka manakala naik ke atas kendaraannya, beliau mengambil bejana yang di dalamnya
ada susu atau air kemudian meletakkannya di atas kendaraan. Beliau lalu memandang
orang-orang. Orang-orang yang melihatnya pun lalu berbuka. (Hadits ini dari Anas dan
Abi Bashrah).
Pada hadits lain dari Ibnu Abbas, dalam kitab Bukhari dan lainnya, diriwayatkan
bahwasanya Rasulullah pergi ke Mekah di bulan Ramadhan, sementara beliau
berpuasa. Kemudian saat sampai di Kadid (daerah antara Ashfan dan Qadid), beliau
berbuka. Maka orang-orang pun ikut berbuka.
     
Golongan ini merupakan pengecualian kedua yang mendapat rukhsah, yaitu orang-
orang yang mampu puasa tapi dengan perjuangan yang berat(kepayahan yang amat
sangat) atau mereka itu sangat sulit untuk puasa. Maka bagi kedua golongan ini
hendaknya membayar fidyah, memberi makan orang miskin sejumlah hari dia berbuka
dengan makanan yang biasa dia makan, secukupnya(untuk satu kali makan atau
sekedar mengenyangkan).
Kemudian yang dimaksud dengan orang-orang yang mampu berpuasa tapi dengan
kepayahan di sini adalah orang-orang yang lanjut usia dan orang yang punya penyakit
menahun, juga para buruh yang di dalam mencari penghidupannya harus mengeluarkan
tenaga ekstra, seperti para penambang batu bara dan pesakitan yang dihukum kerja oleh
pemerintah selama-lamanya, dengan syarat puasa itu berat baginya. Sebagai gantinya,
mereka harus membayar fidyah.
Rasyid Ridha sendiri dalam hal ini berpendapat bahwa orang-orang mukmin dalam
kaitannya dengan puasa terbagi tiga golongan yaitu:

7
a) Orang yang mukim, sehat, dan mampu melakukan puasa tanpa adanya kesulitan
dan kepayahan. Bagi mereka ini, puasa merupakan suatu kewajiban sehingga
apabila meninggalkannya akan menjadi dosa besar. Qadhanya tidak akan diterima
sampai seumur hidup.
b) Orang yang sakit dan musafir. Dibolehkan bagi mereka untuk berbuka tetapi wajib
membayar qadha karena kedua keadaan di atas dapat mendatangkan kepayahan.
Namun, apabila udzurnya telah tiada(sudah sembuh ataupun mukim kembali) maka
wajib baginya membayar di hari-hari lain.
c) Orang yang kepayahan apabila berpuasa, karena sebab yang dianggap tidak akan
hilang(membaik), seperti usia lanjut, kondisi badan yang lemah, dan penyakit
menahun. Hal ini juga berlaku bagi wanita yang hamil dan menyusui. Mereka ini
dibolehkan berbuka dan tidak berpuasa. Sebagai gantinya mereka harus memberi
makan orang miskin setiap hari.
     
Setelah menjelaskan perihal di atas, Allah menerangkan bahwasanya terdapat
manfaat dan pahala yang banyak bagi orang-orang yang berinisiatif menambahkan
jumlah fidyah.
   
Dan puasa itu sesungguhnya merupakan suatu kebaikan yang besar, karena gunanya
melatih jiwa dan raga, mendidik keinginan, dan memperkuat iman dan taqwa serta
muqarabah dengan Allah.
  
Segi kebaikannya ini tak akan diketahui dan dirasakan oleh orang-orang yang hanya
puasa sementara mereka tidak paham ketentuannya, tidak memiliki ilmu untuk
memahami hukum dan hikmah di baliknya. Semua ini ditujukan semata-mata untuk
maslahah para mukallaf karena sesungguhnya Allah itu sendiri Maha Kaya, tidak
butuh sesuatu dari manusia.7
Kontekstualisasi
Allah dalam firman-Nya menunjukkan akan sifat kepemurahan-Nya
dengan memberlakukan rukhshah bagi orang yang udzur berpuasa.
Ini menunjukkan bahwa Allah itu welas asih, tidak mau membebani
hamba-Nya terlalu berat., selalu ada keringanan dalam mengerjakan
segala perkara ibadah. Namun, dalam hal dispensasi ini pun tetap

7
Tafsir Al-Manar, hlm. 150-158

8
ada syarat-syarat yang dipenuhi. Jadi, tidak sebatas hanya mengasih
rukhsah dengan gratis.
Tapi janganlah salah mengartikan ungkapan di atas. Tidak
mengasih rukhsah gratis itu berarti Allah memang meminta balasan,
namun pada hakikatnya balasan itu sendiri akan berguna bagi
manusia sendiri, karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan
balasan apapun dari manusia. Dalam hal puasa, boleh berbuka bagi
orang yang sakit dan bepergian dengan syarat harus mengganti
puasanya tersebut di hari-hari selain Ramadhan. Mengapa Allah
menyuruh mengganti puasa tersebut? Karena hakikat tujuan puasa
itu sendiri adalah melatih diri dan mendidik jiwa untuk bertaqwa, jadi
tidak masalah apabila dilakukan di hari selain Ramadhan. Kemudian
untuk orang-orang yang memang punya udzur “abadi”, disyaratkan
untuk membayar fidyah. Di dalamnya terkandung kebaikan. Di
samping sebagai bukti empati kita akan kondisi social, kita juga
dapat berbagi rezeki dengan orang-orang, terutama orang-orang
miskin di sekitar. Dari interaksi ini, niscaya terjalin tali silaturahmi
yang erat antara sesama dan menumbuhkan rasa syukur juga pada
sang Khaliq akan nikmat yang diberikan-Nya. Jadi, dapat dikatakan
bahwa manfaat rukhsah dalam berpuasa itu sendiri akan membawa
dampak positif bagi sesama.

Do’a (Q. S. Al-Baqarah: 186)


          
        
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-
Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran.”

9
Asbabun Nuzul
Ayat ini turun berkenaan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi SAW.
yang bertanya: “Apakah Tuhan kita itu dekat sehingga kami dapat bermunajat atau
memohon kepada-Nya, atau jauh sehingga kami harus menyeru pada-Nya?” Nabi SAW
terdiam hingga turunlah ayat ini (Q. S. Al-Baqarah: 186) sebagai jawaban atas
pertanyaan itu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, Abusy
Syaikh, dan lain-lain dari beberapa jalan, dari Jarir bin ‘Abdilhamid, dari ‘Abdah as-
Sajastani, dari ash-Shalt bin Hakim bin Muawiyah bin Jayyidah, dari bapaknya, yang
bersumber dari datuknya).
Menurut riwayat lain, ayat ini turun sebagai jawaban terhadap beberapa sahabat
yang bertanya kepada Nabi SAW. : “Dimanakah Rabb kita?”. (Diriwayatkan oleh
‘Abdurrazaq dari al-Hasan. Hadits ini mursal, tetapi ada beberapa sumber yang
menguatkannya).
Menurut riwayat lain, ayat ini turun berkenaan dengan sabda Rasulullah SAW. :
“Janganlah kalian berkecil hati dalam berdoa, karena Allah telah berfirman:
    
Artinya:“dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. (Q. S. Al-Mu’min: 60). Berkatalah salah seorang di antara
mereka: “Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan mendengar doa kita,atau bagaimana?”
Sebagai jawabannya, turunlah ayat ini. (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir yang
bersumber dari ‘Ali).
Menurut riwayat lain, setelah turun ayat Q. S. Al-Mu’min: 60, para sahabat tidak
mengetahui waktu yang tepat untuk berdoa, maka turunlah ayat ini (Q. S. Al-Baqarah:
186). (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari ‘Atha bin Abi Rabah).8

Penafsiran Ayat
     
Maksudnya adalah orang beriman itu harus percaya bahwa Allah itu dekat dengan
mereka, tidak ada hijab antara-Nya dan mereka.
Al-Baidhawi berkata dalam kitabnya Wajh al-Ittishal: “Ketahuilah bahwa Allah
Ta’ala tatkala menyuruh hamba-Nya untuk berpuasa di bulannya serta memperhatikan
jumlah hari-harinya, Dia juga menganjurkan untuk bertakbir dan bersyukur pada-Nya.
Ayat di atas berfungsi sebagai taukid yang menunjukkan bahwa Allah itu Maha

8
Asbabun Nuzul, hlm. 51-52

10
Mengetahui perkara hamba-Nya, Maha Mendengar perkataan mereka, Maha
Mengabulkan segala doa-doa hamba-Nya, dan Maha Membalas amal-amal mereka.
  
Allah sendiri yang akan mengabulkan doa orang yang berdoa di antara mereka
tanpa perantara apapun.
  
Apabila hamba-Nya tersebut benar-benar meminta pada-Nya semata, tanpa
menggunakan perantara apapun. Sesungguhnya Dialah Allah yang menciptakan
manusia dan mengetahui apa saja yang bergejolak dalam diri hamba-Nya, dan hanya
Dialah yang akan mengabulkan pinta mereka, menolongnya dan memenuhi kebutuhan
mereka. Para mufassir menafsirkan bahwa doa adalah meminta berbagai kebutuhan dan
mereka juga berpendapat bahwa mengabulkan doa merupakan sifat lazim bagi Allah.
    
Maksud potongan ayat ini lebih ditujukan pada syarat terkabulnya suatu doa. Allah
selalu berada dekat dengan orang-orang yang beriman, sehingga Dia akan mengabulkan
doa orang yang meminta pada-Nya. Namun syaratnya, mereka harus terlebih dahulu
memenuhi permintaan-Nya, yakni menjalankan perintah dan beriman pada-Nya,
dengan menjalankan berbagai macam ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain
yang meruoakan ajaran-Nya. Jika mereka telah mengerjakan semuanya, niscaya Allah
akan mengabulkan doa mereka.
  
Ar-Rusyd dan ar-Rasyad merupakan lawan kata al-Ghayyu dan al-Fasad, artinya
mendapat petunjuk, tidak sesat ataupun rusak. Sesungguhnya segala amal perbuatan
jika dilandaskan atas dasar iman dan ikhlas, para pelakunya diharapkan akan mendapat
petunjuk dan hidayah. Jadi barangsiapa yang berpuasa hanya untuk mengikuti adat dan
terbawa arus, maka puasanya tidak akan menjadi sarana taqwa dan mendapat petunjuk.
Bahkan kadang-kadang akan mengakibatkan semakin berkuasanya hawa nafsu dan
akhlak pun ikut menjadi rusak.9

9
Tafsir Al-Manar, hlm. 166-173

11
Kontekstualisasi
Banyak predikat yang diberikan pada bulan Ramadhan, berkaitan
dengan beberapa keistimewaan yang ditawarkan Allah kepada
manusia dalam bulan ini. Diantaranya adalah bulan maghfirah, bulan
penuh hikmah, bulan dimana pintu surga dibuka lebar-lebar dan
setan dibelenggu, bulan penyelamatan dari api neraka, dan tentu
saja bulan doa. Predikat tersebut hanya akan fungsional bila
dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa di bulan
Ramadhan, orang-orang berpuasa demi melatih dan mensucikan diri
menuju taqwa pada-Nya. Dengan berpuasa, niscaya jiwa dan ruhani
menjadi bersih dan tenang. Jadi, mengapa berdoa sangat dianjurkan
di bulan ini? Jawabnya karena doa akan lebih khusyu dan sungguh-
sungguh ketika dipanjatkan saat jiwa merasa tenang dan bersih,
serta keadaan hati selalu terjaga, ingat, dan dekat dengan Allah,
sehingga kemungkinan terkabulnya lebih besar. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi: “Ketahuilah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya Allah
tidak akan mengabulkan doa orang yang hatinya lupa.”10
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa dikabulkannya doa bukanlah
sesuatu yang mutlak, tapi ada syarat-syaratnya. Sebuah doa akan
terkabul atau terpenuhi, setidaknya memenuhi dua syarat yang telah
disebutkan dalam ayat, yaitu: seseorang tersebut harus
melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan Allah dan
beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, bagi yang melanggar dan
berbuat dosa, maka hendaknya dia bertaubat terlebih dahulu. Ini
karena dosa itu menutup “pintu” hubungan manusia dengan
Tuhannya, sebagaimana sabda Nabi: “Setiap doa muslim di muka
bumi ini akan diperkenankan Allah atau dihindarkan-Nya dia dari
kejahatan yang seimbang dengan yang dimintanya selama dia tidak
melakukan dosa dan memutuskan silaturahmi.” (H. R. At-Tirmidzi dan
Hakim). Kemudian sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain (Q. S. Al-
A’raaf: 55), doa juga harus dipanjatkan dengan berendah

10
Durratun Nasihin: 272

12
diri(tadharru’) dan suara yang lembut(khufyah), khusyu’ disertai
dengan rasa cemas dan harap.
Setelah memenuhi syarat-syarat tersebut, orang berdoa juga
harus memperhatikan etika dan adab berdoa. Imam Al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin menjelaskan etika berdoa, yaitu:
a) Memilih waktu dan tempat yang mustajab, antara lain: hari
‘Arafah, bulan Ramadhan, hari Jum’at, di hadapan ka’bah,
antara adzan dan iqamat, sedang berpuasa, ketika berbuka,
dan ketika dianiaya orang lain.
b) Memulai dan mengakhiri doa dengan memuji Allah dan
shalawat kepada Nabi.
c) Lebih utama menghadap kiblat.
d) Mengangkat tangan ketika berdoa dan mengusapkannya ke
muka sehabis doa.
e) Melirihkan suara antara terdengar dan berbisik, terutama doa
yang dipanjatkan secara personal, dengan khusyu’ dan penuh
penghayatan akan keagungan dan kebesaran Allah.
f) Tegas dalam berdoa.
g) Tidak berdoa dengan bersajak.
h) Doanya dibacakan berulang-ulang untuk menunjukkan bahwa
dia sangat membutuhkannya. Tidak bosan berdoa.
i) Susunan doa biasa dan sederhana, sopan, dan tepat mengenai
sesuatu yang dimintanya.
Terlepas dari semua itu, orang tidak hanya boleh mengandalkan
doa semata, harus ada usaha yang nyata untuk meraihnya. Doa itu
meskipun dapat mengubah ketetapan Allah, tapi pada hakikatnya dia
adalah (motivator) penuntun untuk mengubah diri. Oleh karena itu,
doa sudah semestinya diselaraskan dengan usaha secara
bersamaan. Ibarat tanaman, kekuatan untuk mengubah diri (usaha)
adalah bibitnya, sementara doa berperan sebagai pupuknya. Pupuk
akan membuat bibit tumbuh dengan baik, namun bila pupuk saja
yang terus ditebar tanpa adanya bibit, maka tidak akan ada yang
tumbuh. Jadi, kunci dikabulkannya doa itu selain syarat dan etika,

13
harus ada usaha konkret untuk mengubah apa yang dapat kita ubah
terlebih dahulu.11

Larangan dalam Puasa(Q. S. Al-Baqarah: 187)


         
         
       
         
         
         
          
    
Artinya:“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian
bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa.”

Makna Mufradat:
 : Bersetubuh dengan istri
 : Pakaian, tapi dalam konteks ayat ini maksudnya adalah teman bergaul.
 : Kalian mengkhianati diri sendiri dengan melakukan perbuatan
yang kalian sendiri tahu itu adalah haram.
  : Putihnya tanda siang pada permulaan, yang warna
sinarnya sama seperti benang putih yang tipis dan panjang kemudian lama kelamaan
menyebar.
 : Gelapnya matahari yang pada mulanya berwarna gelap
seperti benang di samping benang putih(sinar matahari).
 : Kerjakan secara sempurna.
 : orang yang berdiam di mesjid untuk beribadah dan mendekatkan diri
pada Allah.
 : jamak dari  yang artinya penghalang, tapi yang dimaksudkan adalah
hukum syar’i.

Asbabun Nuzul

11
Tafsir Sosial, hlm. 213- 218

14
Mengenai turunnya ayat ini (Q. S. Al-Baqarah: 187), terdapat beberapa peristiwa
yang melatarinya. Beberapa diantaranya yaitu:
a. Para sahabat Nabi SAW. menganggap bahwa makan, minum, dan menggauli
istri pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara
mereka belum tidur. Diantara mereka adalah Qais bin Shirmah dan ‘Umar bin
al-Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan
setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur,
sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar menggauli
istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya, ia
menghadap Nabi SAW. untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat ini.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, dari ‘Aburrahman bin
Abi Laila, yangbersumber dari Muadz bin Jabal. Hadits ini masyhur dari Ibnu
Abi Laila, walaupun ia tidak mendengar langsung dari Muadz bin Jabal, tetapi
ada sumber lain yang memperkuatnya).
b. Para Sahabat Nabi SAW. apabila tiba bulan Ramadhan tidak mendekati istrinya
sebulan penuh. Akan tetapi ada diantaranya yang tidak dapat menahan nafsu.
Maka turunlah ayat ini. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’).12
Penafsiran Ayat
      
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ayat di atas turun sehubungan dengan diri
para sahabat yang tidak makan, minum, dan menggauli istrinya di malam bulan
Ramadhan sehabis mereka ketiduran, padahal malam masih panjang. Pemahaman ini
mereka dapat dari Ahli Kitab dengan berpegang pada ayat sebelumnya Q. S. Al-
Baqarah: 183. Pemahaman ini kemudian dinasakh oleh ayat ini. Dihalalkan pada kalian
untuk melakukan hubungan suami istri di malam hari bulan Ramadhan. Kemudian
dalam ayat ini juga, Allah mengajarkan pada umat muslim tentang bagaimana cara
mengungkapkan kata-kata yang menunjukkan arti hubungan seksual(antara suami-
istri), yaitu dengan cara halus dan sindiran (tidak terang-terangan) dalam kata ‫اﻟرفث‬
yang artinya secara umum adalah segala sesuatu yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan. Adapun menurut az-Zuhri, kata ‫ اﻟرفث‬itu adalah istilah global tentang segala
sesuatu yang diinginkan laki-laki atas perempuan. Jadi, kata ‫ اﻟرفففث‬itu sendiri tidak
secara langsung menunjukkan kalau makna yang dikehendaki adalah hubungan
seksual.

12
Asbabun Nuzul, hlm. 52-53.

15
     
Di potongan ayat ini, Allah menjelaskan sebab-sebab tentang hukum melakukan
hubungan suami-istri itu boleh di malam bulan Ramadhan. Disebutkan bahwa
perempuan(istri) itu adalah pakaian bagi laki-laki(suami), begitu juga sebaliknya. Ini
mengisyaratkan bahwa hubungan dan ketergantungan antara keduanya itu sangat erat
dan tidak terpisahkan sehingga sangat sulit untuk memisahkannya. Hubungan suami-
istri(jima’) pun sudah menjadi suatu kebutuhan. Untuk itu, Allah memberikan
kemurahan-Nya dengan membolehkan melakukannya di malam bulan Ramadhan.
     
Sepenggal ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang mukmin itu mengkhianati
diri mereka sendiri. Awalnya mereka yakin bahwa melakukan jima’ di bulan Ramadhan
setelah mereka tertidur itu hukumnya haram, tapi kemudian mereka melanggarnya.
Inilah yang dimaksud dengan mengkhianati diri mereka sendiri. Keadaan mereka ini
sama dengan berbuat maksiat sehingga mereka harus bertaubat dan memohon ampun
kepada Allah. Lanjutan penjelasan ini ada di penggalan selanjutnya.
   
Allah menerima taubat orang-orang mukmin dan memberikan pengampunan atas
penkhianatan yang telah dilakukan atas diri mereka sendiri. Dosa mereka adalah
mengharamkan apa yang dibolehkan Allah di malam bulan Ramadhan. Ini disebabkan
karena kesalahan penafsiran atas Q. S. Al-Baqarah: 183 yang mereka itu
menisbahkannya pada orang-orang sebelum mereka(Ahli Kitab). Para Ahli Kitab di
saat berpuasa, mereka tidak makan, minum, dan menggauli istrinya di malam bulan
Ramadhan setelah bangun tidur.
      
Dengan adanya ketegasan Allah yang tertuang pada ayat di atas, maka telah halallah
bagi orang-orang mukmin melakukan jima’ di malam bulan Ramadhan. Oleh karena
itu, gaulilah mereka dan jadikan perbuatan tersebut bertujuan untuk mengembangkan
keturunan sebagaimana layaknya fitrah manusia yang telah ditetapkan-Nya. Jadi,
dengan melakukan jima’, itu berarti sama dengan menghidupkan Sunnatullah.
         
  
Potongan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum dibolehkannya makan dan
minum sebagaimana dibolehkannya jima’ di malam hari bulan Ramadhan, dengan batas
waktu sampai terbitnya fajar. Para Imam menarik kesimpulan berdasarkan penggalan
ayat ini bahwa puasa orang yang junub itu sah, karena bersetubuh itu dibolehkan hanya

16
sampai terbit fajar padahal mereka tidak mungkin melakukan mandi junub kecuali
setelah fajar. Demikian juga orang yang sedang makan dan minum kemudian terbit
fajar kemudian berhenti makan dan minum, puasanya juga sah. Dan seandainya dia
tidak menyadari fajar telah terbit, masih makan dan minum, kemudian setelah sadar
berhenti, maka puasanya tetap sah.
     
Penjelasan dari ditetapkannya batasan waktu makan dan minum di atas akan
memberikan pemahaman tentang kapan waktu dimulainya berpuasa itu. Oleh karena
itu, orang yang berpuasa harus menyempurnakan puasanya sampai terlihat tanda
datangnya waktu malam yang diawali tenggelamnya matahari dan tanda-tanda lain
yang sudah lazim. Nabi SAW. bersabda: “ Apabila siang berangsur-angsur menghilang,
disusul datangnya malam dan tenggelamnya matahari, maka orang yang berpuasa wajib
berbuka.” (Muttafaqun ‘Alaih).
     
Penggalan ayat ini merupakan pengecualian dari dibolehkannya menggauli istri.
Seseorang yang sedang i’tikaf di masjid tidak boleh menggauli istrinya walaupun
dengan tujuan ibadah meskipun dilakukan di malam hari. Sebab, persetubuhan akan
membatalkan i’tikaf sebagaimana batalnya puasa dikarenakan persetubuhan di siang
hari.
     
Ayat ini mengisyaratkan bahwa semua hukum itu meupakan ketetapan dan batasan
dari Allah. Digunakan kata hudud karena dia merupakan sesuatu yang membatasi amal
perbuatan. Apabila amal yang dilakukan itu keluar dari batasan-batasan yang
seharusnya maka amalnya itu tergolong suatu kebatilan. Yang dimaksud dengan hudud
dalam ayat adalah menggauli istri di siang hari Ramadhan dan di saat i’tikaf di masjid
walaupun waktunya di malam hari. ‫ فلتافربوها‬menunjukkan kalimat yang lebih balagh
dalam menunjukkan larangan daripada lafazh sejenisnya ‫ فلتاعتدوها‬di ayat lain, karena
“jangan mendekatinya” itu lebih menunjukkan kehati-hatian.
      
Demikianlah penjelasan tentang hukum puasa dari awal hingga akhir, hakikat,
azimah, dan rukhshah di dalamnya, di samping menjelaskan hikmah dan manfaatnya.
Semuanya agar manusia bertaqwa dan menjauhkan diri dari hawa nafsu.13
Kontekstualisasi

13
Tafsir Al-Manar, hlm. 173-179

17
Pada dasarnya, segala ibadah itu punya “aturan main” sendiri yang telah ditetapkan-
Nya. Oleh karena itu, hendaklah setiap hamba-hamba-Nya itu mengikuti aturan main
yang ada agar selamat menyelesaikan semua tahapan permainannya dan sampai pada
posisi puncak yaitu sebagai pemenang. Dalam hal meraih kemenangan, seseorang harus
melaksanakan dan melewati dahulu setiap tahap dari permainan itu dengan berpegang
pada aturan mainnya. Kalau puasa dianggap sebagai salah satu tahap untuk meraih
kebahagiaan hakiki, maka hendaklah sebagai pemain kita mengikuti aturannya,
menahan diri dari lapar dan dahaga dalam batas waktu sejak terbit fajar hingga
tenggelam matahari, tidak melakukan larangan-larangan-Nya, niscaya kita akan tampil
sebagai pemenang.

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting berkenaan
dengan ibadah puasa itu, yaitu:
a) Kewajiban puasa itu sudah ada sejak zaman dahulu yang dilakukan oleh umat-
umat sebelumnya, walaupun pada sifat dan jenisnya mungkin berbeda.
b) Banyak manfaat yang terkandung dalam diwajibkannya berpuasa itu, di
antaranya adalah melatih diri dan mendidik jiwa untuk bertaqwa.
c) Puasa yang diwajibkan Allah ini hanya di hari-hari tertentu saja yakni di bulan
Ramadhan, dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dan bagi orang-orang
yang punya udzur mendesak sehingga tidak dapat berpuasa, maka diberlakukan
rukhsah baginya, yaitu dibolehkan berbuka dengan syarat membayarnya di hari-
hari lain selain di bulan Ramadhan setelah sebab udzurnya tiada, ataupun
diganti dengan membayar fidyah bagi orang yang sebab udzurnya itu tidak
mungkin hilang.
d) Do’a di bulan Ramadhan itu sangat dianjurkan karena pada saat itu jiwa bersih,
tenang dan lebih khusyu beribadah pada-Nya, membuat kemungkinan do’a
terkabul lebih besar.
e) Sebelum berdoa itu, hendaknya seseorang itu telah mengerjakan setiap perintah-
Nya dan beriman pada-Nya, serta memenuhi syarat-syarat lain, meliputi etika
dan usaha yang dilakukan agar doanya itu terkabul.
f) Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Allah juga Maha
Pengasih dan Pemurah pada umat manusia. Di antara bentuk
keMahaPemurahan Allah adalah dihalalkannya berhubungan suami istri di

18
malam bulan Ramadhan dengan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut
merupakan suatu kebutuhan manusia yang apabila dilarang malah akan
membuat mereka berdosa.
g) Walaupun Allah itu memberikan kemurahan-Nya, tapi hudud berbentuk
ketentuan syar’i tetap mngekor di belakangnya. Jadi, dalam konteks ini, hudud
yang dimaksud adalah larangan menggauli istri, walaupun dalam malam hari
bulan Ramadhan, sementara dia i’tikaf di mesjid karena itu akan membatalkan
i’tikafnya sebagaimana makan-minum dan bersetubuh di siang hari akan
membatalkan puasa.

Penutup
Akhirnya makalah ini tiba di penghujungnya. Dengan segala kerendahan hati,
penulis sadar kalau makalah ini sangat jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi evaluasi untuk
makalah yang akan datang.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahnya.


Abdul Ghafur, Waryono. 2005. Tafsir Sosial. Yogyakarta: elSAQ Press.
Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 2. Semarang:
Karya Toha.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 2007. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bogor: Pustaka Litera
Antar Nusa.
Munawwir, Ahmad Warson. 2002. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Qur’an al-Hakim Jilid Dua, lebih terkenal dengan
Tafsir Al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr.
Shaleh, Qamaruddin dan A. A. Dahlan. 2000. Asbabun Nuzul. Bandung: Diponegoro
Shihab, M. Quraish. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.

20

Anda mungkin juga menyukai