Anda di halaman 1dari 2

FIQH MEDIA SOSIAL

Sinopsis/Abstrak
Media sosial merupakan wajah atau simbol eksistensi jayanya teknologi dalam
kehidupan manusia. Ia seakan hadir sebagai dunia baru, menggantikan dunia nyata
yang sedang berjalan. Dunia baru yang seakan mewakili –karena tidak sampai
menggantikan- dunia rill kehidupan manusia. Jika beberapa tahun kemaren demokrasi
mengakui bahwa suara rakyat suara Tuhan, maka dengan hadirnya dunia baru
bernama media sosial, pengakuan demikian berubah menjadi suara twittwr, facebook
suara Tuhan. Hal tersebut dikuatkan dengan peran media sosial sebagai ajang
pencarian, penguatan atau penumbuhan identitas baru. Identitas sebagai politisi,
agamawan, artis mendos (baca: selebgram), dan bahkan pembentukan pola
pendidikan baru dengan adanya beberapa tokoh lintas keilmuan yang melakukan
kuliah virtual (sehingga diantaranya melahirkan apa yang dikenal dengan “islam
virtual”) baik melalui akun pribadi berupa twitter, facebook atau akun yang dikelola oleh
tim.
Hadirnya media sosial sebagai dunia baru kehidupan manusia modern
menimbulkan masalah sosial, masalah baru bagi kehidupan nyata, yang sejatinya
diwakili tersebut. Adanya kesenjangan antara penulis dan pembaca serta adanya
kebebasan dalam berkomentar atas tulisan atau postingan, membuat media sosial
menjadi salah satu sumber masalah baru. Tidak sedikit kasus kriminal yang diproses
hukum berawal dari akun facebook. Tidak jarang pula pelecehan, penghinaan, fitnah
serta berita bohong (hoax) terjadi, seolah menjadi efek domino dari kelahiran dunia
media sosial tersebut. Hal demikian menyebabkan kontestasi yang dimainkan dalam
media sosial tidak sejaran dengan etika sosial, kemanusian bahkan religiusitas yang
berlaku di dunia nyata. Barangtentu ini perlu menjadi perhatian bagi agama, dimana ia
juga menjadikan media sosial sebagai komoditas baru, domain baru dalam
berkontestasi, yang diperankan oleh para pemeluknya.
Masyarakat muslim sebagai bagian dari aktor yang bermain di media sosial juga
menjadi poin bagi agama dalam lokus dunia modern. Sehingga, peran hukum agama
atau fiqh menjadi urgen dalam mewadahi perkembangan kehidupan muslim dengan
tantangan kehidupan baru, menghadirkan kemashlahatan bagi manusia modern,
mengcover kedamaian hidup serta menjadi akomodasi antara realitas baru dunia sosial
dengan ajaran-ajarn prinsipil agama. Jika fikih realitas (fiqh al-waqi’) hadir mewadahi
kemajuan kemanusiaan era modern dengan hukum agama yang aktual, maka fiqh
media sosial merangkul ruang dan domain yang lebih sempit, merespon segala
bentuk prilaku muslim di dunia maya. Ia juga menjadi wujud yang merespon
kondisi/realitas yang berkembang di masyarakat, karena realitas baru mengharuskan
terwujudnya suatu produk hukum yang baru.
Kehadiran fiqh media sosial dipandang penting, mengingat realitas kehidupan
umat Islam kekinian memperlihatkan aspek-aspek yang kurang kondusif, tidak
berkesusaian atau bertentangan dengan ajaran-ajaran keagamaan yang selama ini
sudah berjalan mapan. Keragamaan yang selama ini berjalan harus berhadapan dan
sering terjebak dengan dunia baru berupa media sosial yang karena perbedaan
akhirnya melahirkan konflik, saling menuduh, memfitnah, menyebarkan berita palsu,
merendahkan bahkan saling mencaci hingg berakhir pada saling melporkan kepada
pihak berwajib. Prilaku seperti ini terlihat masih berjalan hingga sekarang. Salah satu
jalan membenahi semua itu adalah jawaban hukum agama yang menjadi aturan
(jurisprudensi), rujukan keagamaan, terutama yang dibentuk oleh pemerintah itu
sendiri.
Tulisan ini akan menganalisis poin utama yang dipandangn menjadi dasar
dalam merumuskan fiqh media sosial: (1) fiqh sebagai pengendali diri (2) fiqh sebagai
aturan moral (3) fiqh sebagai hukum yang mengatur kehidupan dan kemashlahatan.
Dengan fokus yang spesifik, tulisan ini akan memahami dan merumuskan fiqh media
sosial sebagai upaya mewujulkan islam sebagai model for reality yang menempatkan diri
sebagai suatu ajaran yang umum, dengan peran ajaran Islam yang perlu dilabuhkan
pada realitas baru melalui upaya kontekstualisasi model for reality tersebut kedalam
pemaknaan yang berkorelasi dengan medan spesifik. Sehingga Islam sebagai agama
kehidupan benar-benar hadir dalam segala sisi kehidupan manusia. Kedua,
menekankan fiqh sebagai kebutuhan bersama bukan kekuasaan sektarian/ideologis,
karena ketika sudah menjadi ideologi, maka hanya akan menajdi medan laga yang
membuat moralitas dan akal menjadi korban di atas nafsu kemanusiaan.
Ketiga, melihat wujud fiqh sebagai jurisprudensi Islam yang menjadi tumpuan
moralitas kemanusiaan. Moral merupakan kebutuhan dasar, yang harus dilabuhkan
dalam kehidupan. Hal yang demikian begitu kering dalam ralitas baru media sosial,
akibat adanya jarak dan kekebasan tanpa kendali. Dengan demikian, fiqh mengenai
hal tersebut perlu diorientasikan kembali. Dengan kontribusi di atas, maka tulisan ini
diharapkan mampum menawarkan kajian fiqh Islam yang berorientasi pada kajian
Islam kekinian untuk kepentingan muslim itu sendiri. Dalam bahasa lain bisa disebut
reaktualisasi ajaran Islam, bagaimana eksistensi ajaran Islam pada masa Rasulullah
dan terus menjalani ruang dan waktu hingga abad-abad berikutnya, hingga sampai
masa sekarang yang dipenuhi dengan segudang masalah kehidupan. Memikirkan
kembali hukum Islam adalah hal yang perlu, karena pemikiran hukum Islam
berangkat dari keyakinan bahwa pengejawantahan hukum Islam sebagai pengendali
masyarakat (social control), perekayasa sosial (social engineering) dan pensejahtera sosial
(social welfare) telah memberikan fungsi penuh kepada manusia untuk
mengadaptasikakannya dengan lingkungan baru, dan tidak terkecuali media sosial.

Anda mungkin juga menyukai