Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu tafsir adalah salah satu ilmu yang paling tinggi dan sebaik-baik ilmu. Ilmu yang
paling diwajibkan dan paling dicintai oleh Allah SWT, sebab Dia telah memerintahkan
kepada umat manusia supaya merenungkan Kitab Suci-Nya, memahami makna-
maknanya dan menjadikan ayat-ayat-Nya sebagai petunjuk. Dan hal tersebut hanya
dimungkinkan jika seseorang mempelajari dan memahami Ilmu Tafsir. Dengan
keutamaan tersebut, semua disiplin ilmu yang terkait dan menunjang dalam memahami
ilmu tafsir juga memiliki peranan yang sangat urgen. Salah satu di antara ilmu penunjang
tersebut adalah Kaidah-kaidah Tafsir. Ilmu ini mencakup masalah-masalah yang terkait
dengan beberapa kaidah-kaidah yang digunakan Al-Qur’an.

Dalam makalah ini, pemakalah mencoba mengangkat beberapa pembahasan yang


terkait dengan kaidah-kaidah tafsir, mulai dari pengertiannya sampai pada contoh
aplikatif dari kaidah yang dipergunakan di dalam Al-Qur’an. Makalah ini tidaklah dapat
membahas secara lengkap dan tuntas masalah yang terkait dengan kaidah-kaidah tafsir,
tetapi setidaknya makalah ini dapat menggambarkan secara ringkas dan global kaidah-
kaidah tafsir berikut permasalahannya. Yang terpenting adalah kita dapat mengetahui
kaidah yang benar dalam memahami ayat-ayat al-quran melalui Mukhathib/ Penyampai
informasi/ Pembicara, Mukhathab/ Mitra bicara, dan Khithab/ Kandungan pembicaraan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dan Batasan makalah ini adalah:

1. Apa itu Wujuh Al-Mukhathabat dan Contoh nya dalam al-Qur’an?


2. Apa Faidah nya mengetahui Wujuh Al-Mukhathabat ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wujuh Al-Mukhathabat dan Contoh nya Dalam AL-Qur’an

Khithabat adalah bentuk jamak dari khitab, kata ini seakar dengan kata khutbah yang


berarti penyampaian/pidato, yang biasanya digunakan untuk penyampaian hal-hal yang
bersifat penting kepada sasaran tertentu. Penyampaian tentang keinginan menikah
dinamai khitbah karena penyampaian tersebut dinilai sebagai sesuatu yang penting.
Wahyu-wahyu Allah dalam al-Qur’an yang disampaikan untuk umat manusia
dinamakan khitbah/ khithabat karena apa dan bagaimana pun bentuk penyampaian-Nya,
maka itu adalah hal yang penting. Setiap percakapan memiliki beberapa unsur
yaitu: Mukhatib (penyampai informasi/ pembicara), Mukhathab (mitra bicara yang
kepadanya ditujukan Khithab), dan Khithab (kandungan pembicaraan).1

1. Mukhathib

Ayat-ayat al-Qur’an adalah Kalam Allah, Dialah “Pembicaranya”. Namun,


harus digarisbawahi bahwa Kalam siapa pun, termasuk Kalam Allah, dapat
menjadi:

a. Ucapan si Pengucap Sekaligus Pemiliknya

Firman Allah yang ditujukan kepada Nabi Musa as :

ِ ‫<ال َوا ِد ْال ُمقَ < َّد‬


‫س‬ ْ <ِ‫ك إِنَّكَ ب‬ َ ُّ‫إِنِّي أَنَ<<ا َرب‬
ْ <َ‫ك ف‬
َ < ‫<اخلَ ْع نَ ْعلَ ْي‬
‫طُ ًوى‬

“Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka bukalah alas kakimu,


sesungguhnya engkau berada di lembah suci yang penuh berkah” (QS. Thaha
[20]: 12).

Ucapan si pengucap/ penyampai dan sekaligus pemilik-nya dapat merupakan


pesan atau informasi, seperti perintah Allah untuk shalat, dan dapat juga merupakan
pengajaran untuk diucapkan. Surah al-Fatihah adalah firman Allah sekaligus Dia
Pemiliknya, tetapi disana Allah mengajar kita untuk mengucapkan kata-kata tertentu.

1 Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Quwait : Darul Qalam, 1997

2
Karena itu, jangan pahami bahwa ada Tuhan yang disembah Allah dengan dalih
bahwa di sana Allah berfirman:

ُ‫ك نَ ْعبُ ُ<د َوإِيَّاكَ نَ ْستَ ِعين‬


َ ‫إِيَّا‬

“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu memohon bantuan”

Khithab ini adalah salah satu bentuk pengajaran-Nya agar kita mengucapkan seperti
itu, paling tidak dalam shalat.

b. Ucapan Si Pengucap Tetapi Bukan Dia Pemiliknya

Siapa yang menyampaikan informasi, boleh jadi dia sekadar


menyampaikan, tetapi bukan dia pemiliknya. Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah
bahwa:

‫إِنَّهُ لَقَ<<<<<<وْ ُل َر ُس<<<<<<و ٍل‬


‫ َك ِر ٍيم‬  

“Sesungguhnya dia (al-Qur’an) adalah ucapan Rasul yang mulia (yakni


malaikat Jibril (QS. At-Takwir [81]: 19).

Yang dimaksud dengan ucapan di sini adalah penyampaian, yakni Jibril hanya
menyampaikan, bukan dia pemiliknya.2

2. Mukhathab

Mitra bicara dapat bermacam-macam, baik hadir maupun tidak.


Ada Mukhathab yang tertuju kepada semua manusia tanpa kecuali, ada juga yang
hanya kepada yang beriman, ada lagi kepada manusia dalam kedudukannya
sebagai suku, seperti Bani Israil, atau penganut agama, seperti Ahli Kitab, gender
dan lain-lain.

a. 'Am

‘Am dalam pengertian kebahasaan berarti menyeluruh. Dalam


pandangan Ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan istilah ‘Am adalah kata
yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh, sesuai dengan pengertian
kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.   ‘Am adalah kata yang
mencakup semua makna yang terkait tanpa batas.

2 Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

3
b. Khash

Lafadz  Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak


meliputi arti umum. Menurut istilah, definisi khas adalah: Al-khash adalah
lafadz yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti
Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan
beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah
masyarakat, dan lafadz-lafadz lain yang menunjukkan bilangan beberapa
satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.

Dalam konteks ini para pakar al-Qur’an menemukan bahawa ada khithab al-


Qur’an yang: 

1) Menggunakan redaksi yang bersifat umum dan yang dimaksudnya memang


umum, seperti Firman-Nya:

‫هَّللا ُ الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ثُ َّم َر َزقَ ُك ْم ثُ َّم يُ ِميتُ ُك ْم ثُ َّم‬


‫يُحْ يِي ُكم‬

“Allah yang menciptakan kamu, lalu memberi kamu rezeki, lalu


mematikan kamu, lalu menghidupkan kamu kembali” (QS. ar-Rum [30]: 40).

2) Menggunakan redaksi khusus dan yang dimaksud adalah yang khusus itu
saja, seperti:

‫اس ِإ َّن هَّللا َ اَل يَ ْه< ِدي ْالقَ<<وْ َم‬ ِ ‫ك َوإِ ْن لَ ْم تَ ْف َع<<لْ فَ َم<<ا بَلَّ ْغتَ ِر َس<الَتَهُ َوهَّللا ُ يَع‬ ُ ُ ‫يَاأَيُّهَ<<ا الر‬
ِ َّ‫ك ِمنَ الن‬
َ ‫ْص< ُم‬ ِ <‫َّس<و ُل بَلِّ ْغ َم<<ا أ ْن‬
َ <‫<ز َل إِلَ ْي‬
َ ِّ‫ك ِم ْن َرب‬
َ‫ْال َكافِ ِرين‬

“Wahai Rasul (Nabi Muhammad SAW.), sampaikanlah apa yang


diturunkan kepadamu. Jika engkau tidak melakukan itu, maka engkau belum
menyampaikan risalah-Nya (Jangan khawatir!) Allah akan melindungimu dari
gangguan manusia.” (QS. al-Ma’idah [5]: 67).

3) Menggunakan redaksi umum, tetapi maksudnya khusus, seperti:

‫يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا َربَّ ُكم‬

“Wahai seluruh manusia bertaqwalah kepada Tuhan kamu” (Q.S. an-Nisa’ (1).

4) Redaksinya khusus, tetapi kandungannya ditujukan untuk umum, seperti


Firman-Nya:

4
َ ‫يَاأَيُّهَ<<<<ا النَّبِ ُّي إِ َذا‬
‫طلَّ ْقتُ ُم النِّ َس<<<<ا َء فَطَلِّقُ<<<<وه َُّن‬
‫لِ ِع َّدتِ ِه َّن‬

“Wahai Nabi! Jika kamu hendak menalak istri-istri kamu, maka talaklah
mereka pada waktu mereka (menghadapi) ‘iddah mereka (dalam keadaan
suci)” (QS. ath-Thalaq [65]: 1).3

3. Khithab

Para ulama Bahasa telah membuat suatu kaidah berkaitan dengan al-


khithab dengan menggunakan ism (kata benda) dan al-khithab dengan
menggunakan fi’il (kata kerja). Masing-masing dari keduanya mempunyai tempat
tersendiri yang tidak ditempati oleh yang lainnya.

Khithab dengan menggunakan kata benda berbeda konotasinya jika


menggunakan kata kerja. Hal itu disebabkan oleh perbedaan dalalah antara kata
benda  dan kata kerja tersebut. Di mana kata benda mengandung makna tetap dan
terus menerus tanpa terputus, sebaliknya kata kerja tidak mengandung makan
serupa itu, melainkan menunjuk kepada suatu peristiwa yang terjadi pada waktu
tertentu, masa lampau, sekarang, dan akan datang.

a. Kaidah al-Khithab bi al-ism dalam al-Qur’an

Diantara teks al-Qur’an yang menggunakan al-khithab bi al ism, seperti lafazh iman


yang terdapat dalam Firman-Nya:

ِ ِ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ الَّ ِذينَ آ َمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه ثُ َّم لَ ْم يَرْ تَابُوا َو َجاهَدُوا بِ<<أ َ ْم َوالِ ِه ْم َوأَ ْنفُ ِس < ِه ْم فِي َس <ب‬
‫يل‬
ِ ‫هَّللا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang ang beriman


kepada Allah dan Rasulnya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang
benar” (QS. al-Hujurat [49]: (15).

Lafazh al-mu’minun (orang-orang yang beriman) pada ayat di atas


diungkapkan dengan menggunakan bentuk ism. Ini menunjukkan bahwa keimanan
merupakan sesuatu yang sifatnya tetap dan terus berlangsung selama keadaan masih
menghendakinya.4
3 Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara, 2005
4 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

5
b. Kaidah al-Khithab bi al-Fi’il dalam al-Qur’an

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu bahwa


lafazh fi’il menunjukkan arti tajaddud (timbul tenggelam) dan khuduts (temporal).
Contoh mengenai hal ini dal al-Qur’an di antaranya dalam Firman-Nya:

ِ َّ‫الض<<<رَّا ِء َو ْال َك<<<ا ِظ ِمينَ ْال َغيْ<<<ظَ َو ْال َع<<<افِينَ ع َِن الن‬
ُّ‫اس َوهَّللا ُ يُ ِحب‬ َّ ‫الَّ ِذينَ يُ ْنفِقُ<<<ونَ فِي‬
َّ ‫الس<<<رَّا ِء َو‬
َ‫ْال ُمحْ ِسنِين‬

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang


maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. ‘Ali
Imran [3]: 134).

Lafazh nafaqah pada ayat di atas dituangkan dalam


bentuk fi’il, yaitu yunfiquna (menafkahkan sebagian harta). Sebab, nafaqah merupakan
suatu perbuatan yang bersifat temporal. Artinya, perbuatan menafkahkan tersebut
terkadang ada dan terkadang juga tidak ada.5

B. Faidah mengetahui Wujuh Al-Mukhathabat


Dari pembahasan diatas mengenai faidah faidah yang dapat kita ketahui ada
beberapa faidah nya, antara lain :
1. Kita dapat mengetahui makna dari Wujuh Al-Mukhathabat
2. Kita dapat mengetahui unsur-unsur dari Wujuh Al-Mukhatabat
3. Kita dapat mengetahui contoh contoh Al-Mukhathabat dalam Al-Qur’an

5 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati 2013.

6
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Khithabat adalah bentuk jamak dari khitab, kata ini seakar dengan kata Ikhutbah


yang berarti penyampaian/pidato, yang biasanya digunakan untuk penyampaian
hal-hal yang bersifat penting kepada sasaran tertentu. Penyampaian tentang
keinginan menikah dinamai khitbah karena penyampaian tersebut dinilai sebagai
sesuatu yang penting. Wahyu-wahyu Allah dalam al-Qur’an yang disampaikan
untuk umat manusia dinamakan khitbah/ khithabat karena apa dan bagaimana pun
bentuk penyampaian-Nya, maka itu adalah hal yang penting.

Setiap percakapan memiliki beberapa unsur yaitu:

a. Mukhatib (Penyampai informasi/ Pembicara)


a. Pengucap sekaligus dia pemiliknya
b. Pengucap tetapi bukan dia pemiliknya
b. Mukhathab (Mitra Bicara, yakni yang kepadanya ditujukan Khithab)
a. Menggunakan redaksi yang bersifat umum dan yang dimaksudnya memang umum
b. Menggunakan redaksi yang bersifat khusus dan yang dimaksudnya memang khusus
itu saja
c. Menggunakan redaksi umum, tetapi maksudnya khusus
d. Mnggunakan redaksi khusus, tetapi maksudnya umum
c. Khithab (Kandungan pembicaraan)
a. Khitab bi al-Ism
b. Khithab bi al-Fi’il

7
DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Quwait : Darul Qalam, 1997


 Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
 Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: PT LKis Pelangi
Aksara, 2005.
 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang: Lentera Hati 2013.

Anda mungkin juga menyukai