Penyusun
Fauziah Bilqis Khoiri NIM. 20102042
Faricha Cahya Fajrianti NIM. 20102048
Ananda Rizqa Beauty NIM. 20102094
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini, kita sering menilai sesuatu itu mustahil karena akal
manusia yang terbatas dan terpaku dengan hukum-hukum alam atau hukum sebab
akibat yang telah kita ketahui. Sehingga kita sering menolak suatu yang tidak sejalan
dengan logika atau hukum yang berlaku. Manusia dengan akal yang dimilikinya
tidak mampu merenungkan ciptaan Allah di muka bumi dan di alam semesta.
Mereka tidak mencoba untuk menyempatkan diri mentadabburi kebesaran Tuhan
yang terlukis pada alam semesta. Sehingga Allah mengutus setiap rasul pada
kaumnya. Kemudian bersamaan dengan itu Allah bekali setiap rasul dengan
mukjizat sebagai tandingan terhadap kemampuan diluar kebiasaan yang
berkembang ditengah-tengah kaumnya.
Kemampuan luar biasa atau yang lebih sering dikenal sebagai mukjizat yang
dimiliki oleh setiap rasul untuk menandingi dan mengalahkan kemampuan luar biasa
yang ada di kaum mereka sehingga dengan adanya itu mereka tidak sanggup
melawan dan muncullah perasaan lemah dalam diri mereka yang pada akhirnya
membawa mereka pada keimanan dengan risalah yang dibawa oleh rasul.
Pembicaraan tentang kemukjizatan al-Quran merupakan suatu mukjizat tersendiri,
dimana para peneliti tidak bisa mencapai kesempurnaan dari setiap sisi-sisi
kemukjizatannya.
Sejarah I’jāz Al Qur’an muncul sejak zaman Nabi Muhammad SAW. I’jāz
Alqurān sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjadi
populer untuk digunakan dalam menggungulkan Alqurān dari teks teks lain pada
budaya Arab bahkan mukjizat-mukjizat Nabi lain sebelum Nabi Muhammad.1
A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari I’jaz Al-Qur’an ?
2. Bagaimana Sejarah I’jaz Al-Qur’an dari masa ke masa?
3. Bagaimana Sejarah I’jaz Al-Qur’an menurut Issa J. Boullata?
1
Rosihon Anwar, ‘Ulūm Alqurān, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2013), h. 183.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian I’jaz Al-Qur’an
2. Mengetahui Sejarah I’jaz Al-Qur’an dari masa ke masa
3. Mengetahui Sejarah I’jaz Al-Qur’an menurut Issa J. Boullata
BAB II
PEMBAHASAN
2
Ahmad Fuad Pasya, 2004: 23
mengenai perkembangan I’jaz dari masa ke masa dengan menggunakan buku karya
Dr. Issa J. Boullata sebagai referensi utama yakni I’jaz al-Qur’an al-Karim ‘Abra at-
Tarikh yang telah diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia, dengan judul Al-
Qur’an yang Menakjubkan.
Konsep mengenai I’jaz Al-Qur’an sebenarnya sudah dikenal sejak zaman
Nabi dan para sahabat, walaupun tidak spesifik menggunakan istilah “I’jaz”. Istilah
I’’jaz baru dicetuskan pertama kali oleh Abul Hasan ar-Rummani pada tahun 996
M. dalam karyanya al-Nukat fi I’jaz al-Qur’an. Sejarah I’jaz timbul tidak terlepas
dari kedua kubu besar yang berseteru mengenai hakikat Al-Qur’an. Muktazilah dan
Sunni. Muktazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah Hadits (baru) dengan
dalih bahwa senyatanya Al-Qur’an ini terikat oleh huruf-huruf. Juga konsepsi
penurunan Al-Qur’an yang berarti bahwa Al-Qur’an merupakan perbuatan dari
Kalamullah. Sedangkan golongan Sunni yang diwakili oleh Abu al-Hasan al-
Asy’ariy, yang dulunya mengikuti aliran Muktazilah, dan Abu Manshur al-Maturidi.
Keduanya berpendapat bahwa Al-Qur’an yang dibawakan oleh Nabi Muhammad
merupakan kalam Allah yang majazy dan masih ada kalam Allah yang hakiki yang
bersifat Qadim yakni sifat Allah ‘kalam’. Dari sini timbul pemahaman bahwa
Muktazilah berpegang bahwa Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi yang bisa digali
sedalam-dalamnya oleh manusia karena telah turun dalam bahasa manusia (sifatnya
antroposentris). Sedangkan golongan Sunni memiliki pemahaman bahwa Al-Qur’an
merupakan bukti realitas dari Kalamullah yang hakiki yang berada di Lauh Mahfudz
sehingga manusia hanya bisa memahami sebagian makna Al-Qur’an saja.
Dalam konsep I’jaz, tokoh-tokoh yang berkembang nantinya banyak yang
bermunculan dari kubu Muktazilah. Hal ini karena pemahaman terhadap Al-Qur’an
yang memang menjadi landasan hidup bagi manusia sehingga penggalian terhadap
Al-Qur’an cukup serius dilakukan.
Konsep I’jaz pada awalnya condong kepada dakwah Muhammadiyah, yaitu
dalam rangka penyebaran agama Islam dengan cara mengalahkan hujjah-hujjah
yang diutarakan oleh lawan, biasanya permasalahan yang dibahas adalah masalah
teologi. Model lain I’jaz pada masa awal ini adalah penyampaian berita-berita gaib
dan kabar-kabar masa dahulu yang pada masa itu sangat sulit untuk ditemukan.
Kecondongan I’jaz ini sampai pada masa al-Jahiz dan ath-Thabari. Salah satu yang
cukup menarik adalah konsep sharfah yang dikeluarkan oleh an-Nazhzham, seorang
tokoh Muktazilah.
Masuk ke masa Abu al-Hasan ar-Rummani, konsep I’jaz lebih condong
kepada dunia Balaghah. Ar-Rummani adalah tokoh pertama yang menggunakan
istilah “I’jaz” yang disandingkan dengan lafal “Al-Qur’an”. Ar-Rummani
menegaskan bahwa balaghah Al-Qur’an berada pada puncak keindahan, sementara
manusia hanya mampu mencapai tingkat balaghah yang paling rendah. Seiring
berkembangnya masa, muncul tokoh-tokoh I’jaz Al-Qur’an yang pembahasan
Balaghah semakin terfokus. Seperti al-Baqillani yang fokus I’jaz-nya
pada uslub (gaya bahasa) Al-Qur’an. Ahli Balaghah lain yang menjadi sorotan
adalah Abdul Qahir al-Jurjani yang mengemukakan konsep nadzm dalam I’jaz Al-
Qur’an. Menurutnya, I’jaz Al-Qur’an terletak pada pemilihan kata (diksi) lalu
menyusunnya dengan pola tertentu hingga tampak makna yang dimaksudkan. Al-
Jurjani merupakan bapak strukturalisme yang pertama kali mengemukakan secara
final konsep penataan dan susunan (nazhm) Al-Qur’an.
Pada masa berikutnya muncul Muhammad Abduh dengan tafsirnya al-
Manar dan kitab teologinya Risalah Tauhid. I’jaz Abduh tidak terpaku dengan
kajian Balaghah yang menurutnya begitu rumit. Abduh mencoba memperkenalkan
pandangan baru dalam pemahaman I’jaz Al-Qur’an. Fokus yang diambil Abduh
lebih kepada bagaimana Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat
muslim, layaknya seperti pada zaman Nabi dan para sahabat yang menjadikan Al-
Qur’an sebagai sumber inspirasi. Hal ini terbukti dengan tafsirnya yang bercorak al-
adab al-ijtima’iy (civil society: orientasi kepada masyarakat).
Namun pada periode berikutnya muncul nama Sayyid Quthub yang
mengembalikan kembali pemahaman I’jaz Al-Qur’an ke dalam dunia Balaghah.
Menurutnya, Al-Qur’an mengungkapkan dengan gambaran konkrit imajinatif
terhadap makna-makna abstrak, suasana jiwa, pemandangan yang terlihat, dalam
setiap uslub-uslub-nya. Sehingga berpengaruh terhadap jiwa pendengar. Hal yang
hampir serupa muncul pada masa Aisyah Abdurrahman bintu Syathi. Dalam
kajian I’jaz-nya, Bintu Syathi (nama pena) mengemukakan bahwa I’jaz Al-Qur’an
bukan hanya sekedar keterkaitan antar kata, diksi, ataupun uslub-uslubnya. I’jaz Al-
Qur’an yang dikemukakan hingga mencapai tataran huruf-hurufnya, semisal adalah
huruf qasam (sumpah).
Berikutnya, karya dalam hal I’jaz Al-Qur’an pada masa sekarang adalah
karya M. Quraish Shihab. Di dalamnya terdapat tiga pembahasan I’jaz yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab yakni dalam tataran bahasa, isyarat ilmiah, dan
pemberitaan gaib. Hal baru yang diajukan oleh Quraish Shihab adalah bahwa Al-
Qur’an mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang ternyata banyak tersingkap dalam
perkembangan zaman. Bahkan hingga sekarang banyak peneliti yang mengkaitkan
penemuan-penemuan mereka dengan Al-Qur’an. Dalam bukunya Quraish Shihab
memberikan contoh ihwal reproduksi manusia, ihawal kejadian alam semesta, ihwal
pemisah dua laut, dan masih banyak yang lain3
3
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, hal. 169-196.
Boullata berpendapat bahwa istilah i’jaz muncul dalam literatur Islam sejak
awal abad III H/IX M dengan tokohnya yang bernama al-Jahizh (w. 255 H). Pada
abad tersebut, i’jaz mempunyai arti mukjizat dari Allah sebagai bukti kenabian
Muhammad. Kemudian, pengertiannya mengerucut kepada susunan balaghi
(retorik) al-Qur’an yang tak tertandingi. Namun, ada juga sebagian tokoh yang
memahami i’jaz tidak sesempit itu. Tokohnya adalah al-Nazham (w.232 H) yang
diikuti oleh Hisyam al-Fuwathi, Abbad bin Sulaiman, dan al-Rummani. Mereka
memahami i’jaz al-Qur’an dibangun atas dasar sharfah yakni Allah memalingkan
bangsa Arab dari tindakan menandingi alQur’an dengan cara merenggut ilmu
pengetahuan mereka tentang hal itu.
Boullata memulainya dengan membahas tokoh Mu’tazilah yakni al-
Rummani. Menurut tokoh ini, i’jaz memiliki tujuh segi yang salah satunya adalah
unsur balaghah dan sharfah. Namun, konsep sharfah ini ditolak oleh ulama Sunni
yang bernama alKhattabi (w. 388 H). Ia tidak menganggap sharfah sebagai bagian
dari unsur i’jaz alQur’an. Sebaliknya, ia menerima balaghah sebagai bagian darinya.
Ia mengatakan bahwa struktur al-Qur’an tidak terungguli oleh struktur apa pun, baik
dari segi keindahan susunan maupun eratnya pertalian. Kemudian, ia memberikan
contoh dari ayat-ayat al-Qur’an untuk membuktikannya.
Pendapat al-Khattabi didukung oleh al-Baqillani (w. 403 H). Di samping
mengakui balaghah sebagai unsur i’jaz, ia juga memasukkan informasi-informasi
alQur’an tentang hal gaib, peristiwa masa depan, dan kisah masa lalu sebagai i’jaz.
Sementara itu, Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H) menambahkan bahwa uslub al-
Qur’an merupakan salah satu segi utama dari i’jaz. Kefasihannya membuat bangsa
Arab tidak mampu menandinginya. Kefasihannya berada pada tingkat yang paling
tinggi.
Sementara itu, loncatan besar dalam istilah i’jaz dikemukakan oleh Abdul
Qahir al-Jurjani. Ia berhasil merumuskan teoritis-metodologis struktur al-Qur’an
dalam kitabnya Dalail al-I’jaz. Menurutnya, struktur lah yang menciptakan uslub
yang istimewa dengan cara pemilihan diksi dan menyusunnya menjadi sebuah
kalimat yang padat makna. Oleh karena itu, Al-Jurjani bisa dianggap sebagai tokoh
pertama yang mengkaji struktur al-Qur’an secara mendalam, menganalisis, dan
memaparkan teori makna dalam kajian stilistika Arab.
Tokoh Islam Klasik terakhir yang berpengaruh terhadap konsep i’jaz al-
Qur’an yang disebut Boullata adalah al-Zamakhsyari (w. 538 H). Ia menuangkan
idenya mengenai aspek balaghy al-Qur’an dalam tafsirnya al-Kasyaf. Al-
Zamakhsyari menafsirkan ayat demi ayat beserta unsur uslubnya yang memberikan
pengaruh keindahan. Dia juga memperlihatkan keutamaan struktur al-Qur’an yang
tak mungkin ditandingi. Setelah al-Zamakhsyari, perkembangan konsep i’jaz
mengalami stagnansi. Tidak ada tokoh selanjutnya yang memberikan sumbangan
yang signifikan terhadap pemahaman i’jaz.
Selanjutnya, Boullata langsung melompat pada awal abad 20 yang diawali
oleh Muhammad Abduh (w. 1905 M). Menurutnya, Abduh mengembalikan kajian
i’jaz kepada kesederhanaan. Ia menjauhi analisis yang bertele-tele. Setelah Abduh
muncul Shadiq al-Rafi’i, Abdul Muta’al ash-Shai’di, dan Sayyid Quthub. Sayyid
Quthub memberikan perbedaan pada era ini. Dia lebih tertarik pada segi estetika dan
retorika uslub al-Qur’an. unsur itu yang membuat orang Arab awal terpesona ketika
mendengar sedikit surah yang turun awal. Sejak mula, al-Qur’an memiliki pengaruh
kuat terhadap jiwa karena cara pelukisannya yang estetik.
Tokoh penting lain era ini adalah Aisyah Abdurrahman. Ia tidak sepakat jika
i’jaz hanya disandarkan pada selain gaya bahasa yang unik dan tidak tertandingi. Ia
berpendapat bahwa setiap huruf dan kata dalam al-Qur’an memiliki tugas tersendiri
dalam mengungkap makna dan menciptakan keanggunan. Kata tersebut tidak dapat
digantikan kata lain yang sinonim karena akan merusak maksud yang diinginkan. Ia
menganalisis struktur al-Qur’an yang terdiri dari huruf, kata, dan kalimat. Itulah
tokoh-tokoh yang berperan dalam konsep i’jaz al-Qur’an yang dikemukakan oleh
Boullata.4
4
ADDIM, Lukman Fajariyah. I’jaz Al-Qur’an Menurut Pandangan Orientalis J. Boullata. Ishlah: Jurnal
Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah, 2021, 3.1: 17-33.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah al-l'jaz al-Tmi (kemukjizatan ilmiah) Al-Qur’an atau al-Hadis misalnya
mengandung makna bahwa kedua sumber ajaran agama itu telah mengabarkan kepada
kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak diternukan dan dibuktikan oleh eksperiment
sains umat manusia, dan terbukti tidak dapat dicapai atau diketahui dengan sarana
kehidupan yang ada pada zaman Rasulallah saw.
Konsep mengenai I’jaz Al-Qur’an sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Nabi
dan para sahabat, walaupun tidak spesifik menggunakan istilah “I’jaz”. Istilah I’’jaz
baru dicetuskan pertama kali oleh Abul Hasan ar-Rummani pada tahun 996 M. dalam
karyanya al-Nukat fi I’jaz al-Qur’an. Sejarah I’jaz timbul tidak terlepas dari kedua kubu
besar yang berseteru mengenai hakikat Al-Qur’an. Muktazilah dan Sunni.
Boullata berpendapat bahwa istilah i’jaz muncul dalam literatur Islam sejak awal
abad III H/IX M dengan tokohnya yang bernama al-Jahizh (w. 255 H). Pada abad
tersebut, i’jaz mempunyai arti mukjizat dari Allah sebagai bukti kenabian Muhammad.
Kemudian, pengertiannya mengerucut kepada susunan balaghi (retorik) al-Qur’an yang
tak tertandingi. Namun, ada juga sebagian tokoh yang memahami i’jaz tidak sesempit
itu. Tokohnya adalah al-Nazham (w.232 H) yang diikuti oleh Hisyam al-Fuwathi,
Abbad bin Sulaiman, dan al-Rummani. Mereka memahami i’jaz al-Qur’an dibangun
atas dasar sharfah yakni Allah memalingkan bangsa Arab dari tindakan menandingi
alQur’an dengan cara merenggut ilmu pengetahuan mereka tentang hal itu.
DAFTAR PUSTAKA