Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam peradabannya, umat Islam selalu mengalami perubahan dan perbaikan.


Perubahan dan perbaikan tersebut, dimaksudkan untuk memberikan solusi bagi setiap
umat dari masing-masing zaman. Terkadang, pemikiran umat Islam dalam peradabannya
menjadikan umat Islam kuat dan bersatu, namun tidak jarang pula justru menjadikan umat
Islam berpecah belah dan terkotak-kotak.

Dari dulu hingga sekarang, pemikiran manusia menjadi persoalan yang memerlukan
kehati-hatian dalam menggunakannya, hal itu dikarenakan dampak dari fungsi akal itu
tidak selamanya positif. Malah justru terkesan banyak negatifnya, mengingat bahwa
manusia hanyalah seorang makhluk Tuhan. Hal itu, bukan hanya terjadi diluar orang
Islam, tetapi juga terjadi dalam tubuh Islam itu sendiri.

Dari banyaknya pemikir-pemikir umat yang peduli akan perkembangan dan perubahan
dunia, mereka memberikan gagasan-gagasannya bagi umat selanjutnya. Salah satunya
adalah Muhammad Iqbal yang dalam pemikirannya menjadi pembahasan para ulama dan
umat Islam lainnya dari masanya hingga sekarang, untuk diambil pelajaran yang positif
dari apa yang diuraikan dan diterangkan oleh Iqbal. Dalam uraian karya ilmiah ini akan
diuraikan tentang bagaimana pemikiran Iqbal bagi dunia Islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup (biografi)  Muhammad Iqbal ?
2. Bagaimana gerakan pemikiran dan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad
Iqbal?
3. Apa saja karya-karya Muhammad Iqbal ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui dan memahami riwayat hidup (biografi) Muhammad Iqbal.
2. Untuk mengetahui dan memahami gerakan pemikiran dan pembaharuan yang
dilakukan oleh Muhammad Iqbal.
3. Untuk mengetahui dan memahami karya-karya Muhammad Iqbal.

                                                                          

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Iqbal


Ada 2 pendapat mengenai kapan lahir dan meninggalnya Muhammad Iqbal. Pendapat
pertama mengatakan bahwa Muhammad Iqbal (Urdu: ‫داقبال‬66‫)محم‬ lahir pada tanggal 22
Dzulhijjah 1289 H/22 Februari 1873 M di Sialkot, Punjab. Dan meninggal pada tanggal
18 Maret 1938.
Sedangkan pendapat kedua mengatakan, bahwa beliau lahir pada tanggal 9 November
1877 dan meninggal pada tanggal 21 April 1938  di Lahore pada usia 60 tahun. Ia dikenal
juga sebagai Allama Iqbal (Urdu: ‫ال‬66‫)عالمہاقب‬, seorang penyair, filsuf, dan politisi yang
menguasai bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Dia adalah Inspirator kemerdekaan bangsa
India menjadi Pakistan.1
Muhammad Iqbal berasal dari keluarga Brahma Kashmir (keluarga golongan
menengah). Ayah muhammad Iqbal, Nur Muhammad adalah penganut islam yang taat
dan cenderung  pada ilmu tasawuf.  
Dengan lingkungan dan asuhan dalam rumah, Muhammad Iqbal sedikit banyak telah
menanamkan roh Islam dalam jiwanya. Ia masuk sekolah dasar dan menengah di Sialkot.
Pada masa yang sama, ia mendapatkan pendidikan agama secara langsung dari seorang
guru yang bernama Mir Hassan, dan dari gurunya inilah ia memahami Islam secara
mendalam, mengajarinya sikap kritis dan mengasah bakatnya dalam dunia kesusastraan.
Kemudian, untuk meneruskan studinya, pada tahun 1895 ia dikirim ke Lahore, yang
menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Ia  kemudian bergabung dengan
perhimpunan sastrawan dan belajar disana sampai mendapat gelar M.A. Dikota itulah, ia
berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang mendorong Iqbal untuk
melanjutkan studinya ke Inggris. Iqbalpun pergi kesana pada tahun 1905 dan masuk
Universitas Cambridge untuk mempelajari Filsafat. Dua tahun kemudian, ia pindah ke
Munich, Jerman. Dan disinilah ia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang tasawuf dengan
disertasi “The Development of Metaphysics in Persia” dengan nilai yang sangat
memuaskan.

1 Abdul Hamid, Yaya, “Pemikiran Modern dalam Islam”, Bandung:Pustaka


Setia,2010,hlm.205.

3
Pada tahun 1908, Iqbal kembali ke Lahore untuk menjadi pengacara merangkap dosen
filsafat dan sastra Inggris di Government College. Selanjutnya pada tahun 1930 Iqbal
terpilih menjadi presiden Liga Muslim India.2
Berbeda dengan pemikir pembaharuan yang lain, Muhammad Iqbal merupakan
seorang penyair-filsuf atau filsuf-penyair sekaligus reformer Islam India. Sebagai seorang
reformis, dengan kecerdasannya ia mengungkapkan bahwa kemunduran umat Islam
selama 500 tahun terakhir disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, dan yang paling
utama adalah karena hancurnya Baghdad yang telah menjadi pusat politik, kebudayaan,
kemajuan, dan pemikiran umat Islam pada pertengahan abad ke-13. Akibatnya, pemikiran
ulama pada saat itu hanya bertumpu pada ketertiban sosial. Mereka menolak pembaruan
di bidang hukum dan pintu ijtihad mereka tertutup. Kedua, timbulnya paham Patalisme
yang menyebabkan umat Islam pasrah pada nasib dan enggan bekerja keras. Ketiga,
pengaruh zuhud (zuhd) yang terdapat dalam tasawuf yang dipahami secara berlebihan dan
salah menyebabkan umat Islam tidak mementingkan persoalan kemasyarakatan. Mereka
berpikiran bahwa perhatian manusia harus dipusatkan pada Tuhan dan apa-apa yang
berada dibalik alam materi. Keempat, sikap jumud (statis) dalam pemikiran umat
Islam. Kelima, hilangnya semangat induktif dalam masyarakat Islam.3
B. Gerakan Pemikiran Filsafat Muhammad Iqbal
1. Filsafat Ego
Salah satu bukti pemikiran Iqbal adalah filsafat ego. Konsep dasar dari filsafat Iqbal
yang menjadi penopang keseluruhan pemikirannya adalah hakikat ego. Filsafat Iqbal
pada intinya adalah filsafat manusia yang berbicara tentang diri (ego). Karena bagi Iqbal
manusia itu adalah suatu kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari daya-daya yang
membentuk beragam susunan yang salah satu susunan pasti dari daya-daya tersebut
adalah ego.
Ego, kadang kala Iqbal menyebutnya dengan khudi,  adalah suatu kesatuan yang riil
atau nyata, yang merupakan pusat dan landasan dari semua kehidupan, dan merupakan
suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Karyanya ditulis dalam bahasa Persia
dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-I Khudi, kemudian dikembangkan dalam

2 Bhatti, Anil, “Iqbal and Goethe” , Yearbook of the Goethe Society of India, 2006.
3 Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 185-186.

4
berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul 
“The Reconstruction of Religious Thought in Islam”. Bahasa Persia lah yang dipakai
dalam suatu karyanya karena Iqbal juga pernah belajar bahasa Persia pada seorang guru
yang ahli dalam bahasa Persia dan Arab yang juga kebetulan teman ayahnya. Iqbal juga
menerangakan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari kehidupan.
Selain itu, Iqbal juga menjelaskan khudi dalam bukunya “The Reconstruction of
Religious Thought in Islam” bahwa Realitas Tertinggi (Ultimate Reality) sebagai suatu
ego, dan bahwa hanya Ego Tertinggi (Ultimate-Ego) itulah ego-ego bermula.
Salah satu filosof di Barat yaitu Descartes yang mengemukakan tentang ego. Aktivitas
ego menurut Iqbal pada dasarnya bukan semata-mata berfikir seperti yang dikemukakan
oleh Descartes, akan tetapi berupa aktivitas kehendak seperti tindakan, harapan dan
keinginan. Tindakan-tindakan tersebut spontan yang terefleksikan dalam tubuh. Dengan
kata lain, tubuh adalah tempat penumpukan tindakan-tindakan dan kebiasaan ego. Ego
adalah sesuatu yang dinamis, ia mengorganisir dirinya berdasarkan waktu dan terbentuk,
serta didisiplinkan pengalaman sendiri. Setiap denyut pikiran baik masa lampau atau
sekarang, adalah satu jalinan tak terpisahkan dari suatu ego yang mengetahui dan
memeras ingatannya.Watak esensial ego, sebagaimana konsepsi Islam adalah memimpin
karena ia bergerak dari amr (perintah) Ilahi. Artinya, realitas eksistensial manusia
terletak dalam sikap keterpimpinan egonya dari yang Ilahi melalui pertimbangan-
pertimbangan, kehendak-kehendak, tujuan-tujuan dan apresiasinya. Oleh karena itu kian
jauh jarak seseorang dari Tuhan maka kian berkuranglah kekuatan egonya. Bagi Iqbal,
agama lebih dari sekedar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral.
Fungsi sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia dimana etika dan
pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan
ego manusia yang selalu mendambakan kesempurnaan.4
Iqbal juga menekankan bahwa kekekalan ego bukanlah suatu keadaan melainkan
proses. Maksud hal tersebut adalah untuk menyeimbangkan dua kecenderungan yang
berbeda dari bangsa Timur dan Barat. Mengingat sejarah Iqbal yang berusaha untuk
menkombinasikan apa yang dipelajarinya di Timur dan di Barat, serta warisan intelektual
Islam untuk menghasilkan reinterpretasi pemahaman Islam, yang kebetulan ayahnya
sendiri dikenal sebagai seorang ulama di Sialkot. Bangsa Timur menyebut ego sebagai
bayangan atau ilusi, sementara itu Iqbal mengatakan bahwa Barat berada dalam proses
pencarian sesuai dengan karakteristik masing-masing. Dalam konteks inilah Iqbal
4 Jalaluddin dan Umar Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1994.
5
terlebih dahulu menyerang tiga pemikiran tentang ego, yaitu panteisme, empirisme, dan
rasionalisme.
Panteisme memandang ego manusia sebagai noneksistensi, sementara eksistensi
sebenarnya adalah ego absolute atau Tuhan. Namun apa kata Iqbal? Ia menolak
pandangan panteisme tersebut dan berpendapat bahwa ego manusia adalah nyata. Aliran
lain yang menolak adanya ego adalah empirisme, terutama yang dikemukakan oleh
David Hume yang memandang konsep ego itu yang poros pengalaman-pengalaman yang
datang silih berganti adalah sekadar penamaan (nominalisme) ketika yang nyata adalah
pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti dan bisa dipisahkan secara atomis.
Iqbal tidak begitu setuju dengan pendapat tersebut bahkan menolaknya dengan
mengatakan bahwa orang tidak bisa menyangkal terdapatnya pusat yang menyatukan
pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti tersebut. Iqbal juga menolak
rasionalisme Cartesian yang masih melihat ego sebagai konsep yang diperoleh melalui
penalaran dubium methodicum. Bahkan Iqbal juga menolak pendapat Kant yang
mengatakan bahwa ego yang terpusat, bebas dan kekal hanya dapat dijadikan bagi
postulat bagi kepentingan moral. Akan tetapi bagi Iqbal keberadaan ego yang unified,
bebas, dan kekal bisa diketahui secara pasti dan tidak sekedar pengandaian logis. Adapun
adanya ego atau diri yang terpusat, bebas, imortal bisa diketahui secara langsung lewat
intuisi.5

2. Konsep pendidikan islam menurut Muhammad Iqbal

Konsep Pendidikan Islam Iqbal Iqbal berbeda dengan pembaru-pembaru Islam yang
lain, sebab ia adalah seorang penyair dan filosof Timur yang telah mengukir hidupnya
sedemikian rupa, hingga akan dikenang umat manusia ratusan tahun yang akan datang.
Sebab, seluruh karyanya dalam bentuk puisi dan prosa yang berbahasa Urdu, Parsi
(Persia), dan Inggris telah terdokumentasi dengan baik. Intelektualisme Iqbal dapat
ditinjau dari berbagai bidang: filsafat, hukum, pemikiran Islam, politik, sastra, ekonomi,
kebudayaan dalam makna yang sempit, dan pendidikan Islam. Iqbal juga dianggap telah
meletakkan prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam modern dan kontemporer.

Jadi, secara tekstual, Iqbal memang belum pernah menulis buku tentang teori atau
filsafat pendidikan Islam, termasuk juga merumuskan teknik dan metode pendidikan
5 Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam : Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, Bandung :
Pustaka Setia, 2009.

6
secara operasional. Hanya saja, melalui gubahan sajak-sajaknya, Iqbal telah melakukan
kritik terhadap sistem pendidikan yang berlaku pada saat itu. Dalam salah satu sajaknya,
ia menulis: Aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh duka, Di situ tak kutemukan
kehidupan, Tidak pula cinta, Tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan,
Guru-guru sekolah adalah orang-orang yang tak punya nurani, Mati rasa, mati selera,
Dan kyai-kyai adalah orang-orang yang tak punya himmah, Lemah cita, miskin
pengalaman. Isi sajak tersebut merupakan kritikan Iqbal kepada sistem pendidikan Barat
dan sistem pendidikan Islam tradisional. Iqbal memandang, sistem pendidikan Barat
lebih condong kepada materialisme dan telah meninggalkan agama, suatu kecenderungan
yang nantinya merusak nilai-nilai spiritual manusia. Oleh karena itu, yang dapat diambil
oleh umat Islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya saja.

Menurut Iqbal, pendidikan Barat hanya dapat mencetak manusia menjadi output
dengan memiliki intelektual tinggi saja, tetapi tanpa memiliki hati nurani yang
berkualitas. Sistem pendidikan seperti itu pada akhirnya akan menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangan manusia tanpa keseimbangan antara aspek lahiriah
dengan aspek batiniah. Sementara itu, pendidikan Islam tradisional dikritik Iqbal karena
hanya mengajarkan otak dan jiwa manusia di dalam kurungan yang sempit. Dalam
pandangan Iqbal, pendidikan tradisional tidak mampu mencetak manusia intelek yang
dapat menyelesaikan berbagai persoalan keduniaan. Di mata Iqbal, pendidikan adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia. Bahkan, pendidikan sekaligus
menjadi substansi dari peradaban manusia. Oleh karenanya, lanjut Iqbal, pendidikan
sesungguhnya bertujuan untuk membentuk ‘manusia’ sejati.

Menurutnya, pendidikan yang ideal adalah yang mampu memadukan antara aspek
keduniaan dan aspek keakhiratan secara sama dan seimbang. Dengan dasar pemikiran
yang demikian itu, Iqbal kemudian mengkritik tajam kedua sistem pendidikan
(tradisional Islam dan Barat), karena keduanya dipandang telah gagal mencapai tujuan
ideal yang dimaksud.6

Menurut Iqbal, tujuan pendidikan meliputi:

6 Adian, Donny, Gahral, Muhammad Iqbal: Seri Tokoh Filsafat, Jakarta Selatan: Teraju,
2003.

7
a) Tujuan hidup yang mulia hendaknya mengilhami kegiatan insani dalam segala
bidang, lebih-lebih dalam dunia pendidikan yang bertugas untuk membina kata hati dan
intelek manusia yang tidak ada “defeatisme” (suatu pandangan yang serba menyerah-
kalah) atau pesimisme, sebab pendidikan itu merupakan perjalanan yang benar dalam
menggali berbagai kemungkinan yang tak terbatas;

b) Fungsi pendidikan adalah melahirkan interaksi yang dinamis dan progresif kedua
kutub tersebut (Islam tradisional dan barat modern), dengan maksud agar keduanya dapat
saling bertautan secara serasi;

c) Pendidikan hendaknya dinamis dan kreatif yang diilhami oleh suatu keyakinan
yang optimis tentang tujuan akhir manusia.

Iqbal sendiri telah mengemukakan delapan (8) pandangannya tentang pendidikan,


sebagaimana dipaparkan oleh K.G. Saiyidain dalam bukunya, Iqbal’s Educational
Philosophy, yang masingmasing adalah sebagai berikut:

a) Konsep Individu Iqbal menekankan bahwa hanya manusia yang dapat


melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu, menurut Iqbal, pendidikan harus dapat
memupuk sifat-sifat individualitas manusia (ego/aku) agar menjadi manusia sempurna.
Dalam pandangan Iqbal, manusia sempurna adalah manusia yang menjelmakan sifat-sifat
ketuhanan di dalam dirinya, berperilaku seperti Tuhan. Sifat-sifat itu diserap dan
menyatu secara total ke dalam diri manusia.

b) Pertumbuhan Individu Pendidikan harus dapat mengarahkan pertumbuhan dan


perkembangan individu secara optimal. Pertumbuhan dan perkembangan itu merupakan
suatu proses kreatif-aktif yang dilakukan individu sebagai aksi dan reaksinya terhadap
lingkungan.

c) Keseimbangan Jasmani dan Rohani Menurut Iqbal, perkembangan individu akan


berimplikasi pada pengembangan kekayaan batin dari eksistensinya. Pengembangan
kekayaan batin tidak dapat terlaksana bila terlepas dari kaitan dengan materi. Oleh
karenanya, antara jasmani sebagai realitas dengan ruhani sebagai idealitas, harus
dipadukan dalam pengembangan individu. Dalam mengejar nilai-nilai budaya dan
ruhaniah, hendaknya manusia memanfaatkan dunia fisik sebagai bahan bakunya dan
menggali/mengeksploitasi berbagai kemungkinan untuk meningkatkan derajat insan.

8
d) Pertautan Individu dengan Masyarakat Konsep ini menegaskan hakikat pertautan
antara kehidupan individu dengan kebudayaan masyarakat. Masyarakat adalah wahana
bagi presentasi eksistensial dari individu. Oleh karena itu, tanpa masyarakat, kehidupan
individu akan melemah dan tujuan hidupnya menjadi tidak terarah.

e) Kreativitas Individu Iqbal menolak kausalitas yang tertutup, sebab kausalitas yang
demikian menafikan munculnya hal baru atau kemungkinan berulangnya suatu fenomena
di dalam ruang dan waktu yang berbeda. Iqbal menggaris bawahi arti penting kreativitas
manusia yang berkembang secara evolusioner. Dengan kreativitas tersebut, manusia
mampu melepaskan diri dari keterbatasan dan menaklukkan waktu. Kreativitas seperti ini
hanya dapat tumbuh melalui proses pendidikan.

f) Peran Intelektual dan Intuisi Ada dua cara untuk menangkap realitas, yaitu melalui
cara intelektual dan melalui intuisi. Masing-masing cara mempunyai peran khusus dalam
memperkaya kreativitas manusia. Daya intelektual berperan besar dalam menangkap
realitas melalui panca indera. Sementara itu, peran intuisi adalah menangkap realitas
secara langsung dan menyeluruh. Menurut Iqbal, kebenaran metafisik tidak dapat diraih
melalui jalan melatih intelektual, tetapi dengan cara memusatkan perhatian pada hal-hal
yang hanya ditangkap oleh intuisi.

g) Pendidikan Watak (Integritas) Apabila manusia dapat melengkapi diri dengan sifat
individual yang dapat berkembang secara optimal, serta dilandasi dengan keimanan yang
tangguh, maka manusia dapat menjelma menjadi kekuatan yang tidak terkalahkan.
Manusia seperti itu akan dapat mengarahkan dirinya ke kebajikan, serta dapat
menyelaraskan diri dengan kehendak Tuhan. Itulah yang disebut Iqbal dengan watak
yang tangguh.

h) Pendidikan Sosial Iqbal menandaskan bahwa kehidupan sosial selayaknya


dilaksanakan, di atas prinsip tauhid. Ini berarti bahwa tauhid semestinya hidup di dalam
kehidupan intelektual dan emosional manusia. Di samping itu, Iqbal mengungkapkan
bahwa tata kehidupan sosial seharusnya secara aktif menguras dan menggali segala
kekuatan yag tersirat di dalam ilmu pengetahuan, dan pada saat yang sama juga
mengontrol dan mengawasi lingkungan kebendaan.

Kedelapan pandangan Iqbal tentang prinsip-prinsip pendidikan Islam tersebut,


merupakan suatu upaya untuk memahami proses pendidikan secara filosofis. Gagasan ini
dilontarkan Iqbal sebagai reaksi atas ketidakpuasannya pada totalitas peradaban India

9
khususnya, dan peradaban manusia umumnya. Dalam pandangan Iqbal, rekonstruksi
pendidikan perlu dilakukan, karena di dalam sistem pendidikan yang telah ada, telah
terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai kemanusian. Kritik Iqbal
terhadap sistem pendidikan Barat, sebenarnya bersifat reaktif dan defensif, yakni untuk
menyelamatkan pemikiran kaum Muslim dari pencemaran dan kerusakan yang mungkin
timbul dari gagasan Barat di berbagai disiplin ilmu. Kedatangan gagasan Barat dengan
kecenderungan pada pandangan materialistik, dimaknai sebagai hal yang mengancam
dan berpotensi menghancurkan standar-standar moralitas tradisional Islam. Di sisi lain,
kritik Iqbal terhadap sistem pendidikan tradisional Islam merupakan koreksi atas
kesalahpahaman kaum Muslim dalam memandang pendidikan Islam. Demi penyatuan
umat manusia di muka bumi, kata Iqbal, al-Qur’an mengabaikan perbedaan-perbedaan
kecil antar sesama.

Dari penjelasan di atas, bahwa pemikiran Iqbal sangat terobsesi oleh keinginannya
untuk menyatukan nilai-nilai kemanusian yang ada di Timur maupun di Barat, dan
menghilangkan perbedaan-perbedaan yang muncul pada saat itu. Hasil Pemikiran Iqbal
tentunya membawa dampak positif di dunia pendidikan Islam. Dapat dilihat implikasi
dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam, diantaranya: Pertama, pada proses
pembelajaran sangat mengedepankan nilai-nilai pendidikan dan moral, sehingga tidak
ada perbedaan dalam menuntut ilmu; Kedua, mengontrol perkembangan ilmu agar nilai-
nilai moralitas tetap terjaga keasliannya; Ketiga, menumbuhkan sikap kritis terhadap
suatu pemahaman yang muncul di masyarakat; Keempat, menumbuhkan sikap aktif
dalam proses perkembangan ilmu.7

Dalam perspektif Iqbal, pendidikan tidak semestinya mengenal atau mentolelir


klasifikasi pendidikan Timur dan Barat atau agama dan sekuler, karena justru akan
semakin menjauhkan dari tujuan fitrah sebuah pendidikan, bahkan akan menanamkan
bibit sektarianismeprimordial, yang oleh Iqbal diistilahkan sebagai “penyakit otak dan
penyakit hati”.8

7 Mukti, Muhammad, “Dasar-dasar Pendidikan Islam Modern dalam Filsafat Iqbal“, dalam
Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan: Insania, Vol. 14, No. 2, Mei-Agustus 2009.
8 Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Bagaskara, 2011.

10
C. Karya-Karya Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal adalah seorang yang kreatif berpuisi. Segala pemikiran dan
perjuangannya terpancar dalam puisinya yang bernafaskan Islam dengan pengolahan
bahasa dan bait syair yang indah. Oleh kerana itu beliau lebih dikenal sebagai sastrawan
besar Islam.

Diperkirakan ada sekitar 21 karya monumental yang ditinggalkan oleh Muhammad


Iqbal, dan  salah satu karyanya yang terkenal adalah Bal-I Jibril (Sayap Jibril) yang dibuat
pada tahun 1935.9 Karya yang lainnya yaitu:

1. Ilm al-Iqtitisad, (1903)


2. Development of Metaphisics I Persia: A Constribution to the History of  Muslim
Philosophy, (1908)
3. Islam as a Moral and Political Ideal, (1909)
4. Asrar-I Khudi [Rahasia Pribadi], (1915)
5. Rumuz-I Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri], (1918)
6. Payam-I Masyriq [Pesan dari Timur], (1923)
7. Bang-I Dara [Serua dari Perjalanan], (1924)

BAB III

9 Jalaluddin dan Umar Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1994.

11
PENUTUP

A. Kesimpulan

Muhammad Iqbal sejatinya adalah seorang filosof yang pemikirannya menjangkau


banyak aspek mulai agama, hukum, politik, sastra, ekonomi, kebudayaan, hingga
pendidikan. Iqbal memang tidak secara khusus berbicara tentang filsafat pendidikan
Islam, apalagi suatu program pendidikan kaum muslimin. Seperti yang dikritik Fazlur
Rahman, Iqbal hampir tidak memberikan sesuatu pun yang bisa disebut suatu perumusan
kebijakan pendidikan Islam. Meski demikian, Iqbal adalah pemikir langka pada
zamannya yang memiliki kesadaran adanya persoalan pendidikan, baik di dunia Islam
maupun di Barat. Menurut Iqbal sistem pendidikan tradisional memenjarakan otak dan
mengurung jiwa. Sebaliknya sistem pendidikan modern di samping memberikan
pendidikan materialistis yang tidak serasi dengan nilai kemanusiaan yang lebih tinggi,
khususnya budaya spiritual Islami, juga mengindoktrinasi generasi muda Islam dengan
superioritas kebudayaan Barat. Dari pemikiran itu Iqbal ingin mencari suatu sistem
pendidikan yang mampu menjadikan kepribadian manusia tidak saja “berpengetahuan”
tapi juga kreatif dan dinamis, karena bagi Iqbal tujuan pendidikan itu membentuk
manusia. Pendidikan tradisional Islam dinilai gagal mencapai tujuan ini selama berabad-
abad, dikarenakan telah terciptanya dualisme antara yang agamawi dengan yang sekuler,
atau yang duniawi dengan yang ukhrawi. Padahal bagi Iqbal, seseorang bisa dikatakan
sebagai spiritualitas sejati, bila ia mampu menyelesaikan masalah-masalah secara kreatif.
Pemikiran-pemikiran filsafat Iqbal banyak berbicara tentang masalah hidup manusia dan
tujuan hidup manusia. Inilah yang secara implisit mencerminkan prinsip-prinsip dasar
pendidikan. Artinya, secara tidak langsung Iqbal telah menyumbangkan pemikiran
tentang prinsip-prinsip dasar pendidikan, meskipun tidak secara operasional, bukan teknik
dan metode, tetapi pola orientasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Iqbal tidak menyetujui gagasan tentang dualisme, baik itu dualisme dikotomis antara
pendidikan agama dan non-agama ataupun dualisme Islam dan sekuler yang
dilambangkan antara Timur dan Barat. Karena itu, prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam
Iqbal berusaha mensintesakan antara pendidikan tradisional (ala ortodok dan sufi) dan
pendidikan modern (ala Barat) untuk membentuk kepribadian manusia yang utuh dan
mandiri (insan kamil).

12
DAFTAR PUSTAKA:

 Abdul Hamid, Yaya, “Pemikiran Modern dalam Islam”, Bandung:Pustaka


Setia,2010,hlm.205.
 Bhatti, Anil, “Iqbal and Goethe” , Yearbook of the Goethe Society of India, 2006.
 Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm.
185-186.
 Jalaluddin dan Umar Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1994.
 Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam : Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, Bandung :
Pustaka Setia, 2009.
 Adian, Donny, Gahral, Muhammad Iqbal: Seri Tokoh Filsafat, Jakarta Selatan:
Teraju, 2003.
 Mukti, Muhammad, “Dasar-dasar Pendidikan Islam Modern dalam Filsafat Iqbal“,
dalam Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan: Insania, Vol. 14, No. 2, Mei-Agustus
2009.
 Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Bagaskara,
2011.
 Jalaluddin dan Umar Said, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1994

13

Anda mungkin juga menyukai