C. Analisis
Dari surat Imam Malik tersebut di atas, dengan sangat gamblang terlihat bahwa
dijadikannya amal penduduk Madinah sebagai hujjah/ salah satu sumber hukum Islam
oleh Imam Malik dilandaskan kepada kondisi objektif sosial masyarakat Madinah pada
saat itu, yang mana mereka ahli waris-ahli waris tradisi generasi sebelum mereka yaitu
atba’ tabi’in sampai kepada era Rasulullah saw. Atau dengan kata lain, sebenarnya –
menurut Imam Malik – apa yang diamalkan oleh penduduk Madinah pada masa itu
tidak lain kecuali pengejawantahan dari sunnah-sunnah Rasulullah saw yang telah
dinukil dan diamalkan terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa: Betapa sangat wajar dalam pandangan Imam Malik
untuk berpegang kepada amal penduduk Madinah dan menjadikannya sebagai hujjah/
salah satu sumber hukum Islam.
VI. PENUTUP
Dari uraian yang berlalu dapat diambil kesimpulan:
1. Imam Malik adalah satu-satunya Imam Mazhab yang lahir, hidup, wafat dan
berkubur di kota suci Madinah.
2. Imam Malik di samping diyakini dalam dan luas ilmunya, terbukti sebagai seorang
ulama yang rendah hati, penuh kehati-hatian dan penuh keteladanan.
3. Bagi Imam Malik, amal penduduk Madinah yang dilandaskan kepada penukilan/
periwayatan, menempati posisi seperti hadits Mutawatir, sehingga dengan demikian dia
menjadi hujjah kedua sesudah al-Qur’an.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Abdul Muthalib, Rif’at Fawzy, Tawtsiq al-Sunnah fi al Qarn al-tsaniy al-Hijriy, Usus
wa Ittijahat, Mesir: Maktabah al-Khananji, 1400 H
Al-Atsqalaniy, Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-
‘Arabiy, juz V, 1403 H
‘Abdul Baqiy,Muhammad Fuad, Muwaththa’ Imam Malik, Beirut: Dar al-Fikr, juz I,
1405 H
Bewley, Aisha Abdurrahman, al-Muwaththa’ of Imam Malik Ibn Anas The First
Formulation of Islamic Law, terj, oleh Dwi Surya Atmaja, juddul terj: Al-Muwaththa’
Malik Ibn Anas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Bik, Muhammad khudhariy, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Beirut: Dar Ihya’ Turats al-
Islamiy, 1403 H
Dutton,Yasin, Malik’s Use of the Qur’an in the Muwatha’, terj, oleh Dedi Junaedi,
dengan judul: Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk Madinah, Jakarta: Akademika
Presindo, 1996
Al-Ja’fiy, Isma’il ibn Ibrahim, Kitab al-Tarikh al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, juz IV, t.t
Al-Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadits, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 2004
Al-Raziy, Abu Hatim, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, (Beirut: Dar al-Fikr, juz VIII, 1372 H
Taimiyah, Ibn, Shihhah Ushul Madzhab Ahl al-Madinah, Kairo: Maktabah al-
Mutanabbi, t.t
Al-Yashibi, ‘Iyadh ibn Musa ibn ‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik li
Ma’rifah Madzhab Malik, Beirut: Maktabah al-Hayah, juz I, t.t.
Al-Dzahabi, Syamsuddin, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-
‘Arabi, juz I, t.t
[1] Malik bin Anas, Kitab al-Muwaththa’, (Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafiyyah, 1414
H), h. 5
[2] Aisha Abdurrahman Bewley, al-Muwaththa’ of Imam Malik Ibn Anas The First
Formulation of Islamic Law, terj, oleh Dwi Surya Atmaja, juddul terj: Al-Muwaththa’
Malik Ibn Anas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 11
[6] Mengenai kerajaan Tubba’ ini dua kali disinggung oleh al-Qur’an, yaitu dalam surat
al-Dukhan ayat 37 dan dalam surat Qaf ayat 14.
[8] Ibid, h. 8
[9] Syamsuddin al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-
‘Arabi, juz I, t.t), h. 212
[10] Ibid, h.
[14] Abu Hatim al-Raziy, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, (Beirut: Dar al-Fikr, juz VIII,
1372 H), h. 206
[15] Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy, Muwaththa’ Imam Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, juz
I, 1405 H), h. 7
[16] Ibnu Hajar al-Atsqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-
‘Arabiy, juz V, 1403 H), h. 350
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy, Loc. Cit.
[20] Isma’il ibn Ibrahim al-Ja’fiy, Kitab al-Tarikh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, juz IV,
t.t.), h. 310
[21] Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy, Loc.Cit
[22] Ibid
[23] Muhammad khudhariy Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar Ihya’ Turats al-
Islamiy, 1403 H), h. 246
[24] Hadits mutawatir adalah hadits yang diterima secara inderawi dan diriwayatkan
oleh sekelompok orang yang mustahil menurut akal sehat mereka akan sepakat untuk
berdusta. (lihat Ajjaj al-Khatib: Ushul al-Hadits, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, (Beirut:
Dar al-Fikr, 2004), h. 36
[25] Hadits Ahad addalah hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang saja: ada
yang shahih, hasan dan dha’if ( Ibid, h. 38)
[26] Yasin Dutton, Malik’s Use of the Qur’an in the Muwatha’, terj, oleh Dedi
Junaedi, dengan judul: Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk Madinah, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1996), h. 11
[27] ‘Iyadh ibn Musa ibn ‘Iyadh al-Yashibi, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik li
Ma’rifah Madzhab Malik, (Beirut: Maktabah al-Hayah, juz I, t.t.), h. 64
[28] Ibid., h. 70-71
[29] Ibn Taimiyah, Shihhah Ushul Madzhab Ahl al-Madinah, (Kairo: Maktabah al-
Mutanabbi, t.t), h. 27
[30] Imam Malik, al-Muwaththa`, juz II, Op.Cit., h. 47-50
[31] Ibid.
SEKALI LAGI TENTANG HADITS AHAD; PARA 'ULAMA DAN PARA IMAM
MADZHAB: HADITS AHAD BUKAN DALIL DALAM MASALAH 'AQIDAH
Posted by Hisyam Ad dien Halaqoh Online, Tsaqofah Islam 6:37 AM
SEKALI LAGI TENTANG HADIS AHAD
Muhammad Lazuardi Al-Jawi
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam
dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, terus kami lakukan. Dan untuk
memberikan keyakinan tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi
dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang
mulia ini.
Salah satu argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka
adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka
telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan
pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.
Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas.
Faktanya tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan
para Ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan
mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa :
“Khobar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini
memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa
sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan,
tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil
yang memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah
aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang
tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam
ini membuat berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad,
dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang
telah menolak khobar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah
atau masalah amal perbuatan.
Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam
dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis
oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid
para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para
gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khobar ahad-pent)
merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai
pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan
mempelajari kitab para Ulama tersebut.
Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para
muridnya dan para Ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:
Imam Abu hanifah cenderung untuk berpegang dengan pendapat yang menyatakan
bahwa Hadis yang tidak sampai derajat Mutawatir terdapat kemungkinan terdapat
kesalahan didalamnya atau kelalaian dalam jalur periwayatannya, sehingga menjadikan
validitas hadis ahad diragukan dalam masalah aqidah.
Kontribusi yang paling berharga oleh Imam dalam bidang Ilmu Hadis adalah pembagian
hadis menjadi beberapa tingkatan dan cara penggalian hukum dari nash-nash syara’
berdasarkan pembagian diatas. Sumber hukum yang utama adalah Al-Qur’an dimana
tidak ada seorangpun yang mempermasalahkannya. Sumber hukum setelah Al-Qur’an
adalah As-Sunnah. Diantara keduanya tidak ada perbedaan yang substansial, dimana
salah satu diantara keduanyan menjadi Wahi Matlu dan lainnya menjadi Wahi Ghori
Matlu, tetapi ada perbedaan diantara keduanya berkaitan tingkat pembuktian. Jika hadis
terbukti shohih dan qoth’I maka ia mempunyai kedudukan seperti Al-Qur’an sebagai
sumber hukum.
Hadis, bervariasi tegantung dari tingkat kebenarannya dan variasi ini harus
diperhitungkan dalam proses penggalian hukum darinya. Klasifikasi hadis oleh para ahli
hadis menjadi Hadis Shohih, Hasan dan Dha’if adalah tidak mencukupi, karena belum
ada yang membagi hadis tersebut sebagai sumber hukum yang legal. Hanya hadis dha’if
saja yang tidak dapat dipercaya, selain hadis dha’if (hadis shohih dan Hasan-pent) dapat
digunakan sebagai dalil\hujjah. Beliau (Imam Abu hanifah-pent) sepakat untuk
membagi Hadis dari sudut pandangnya sebagai dalil menjadi tiga tingkatan:
a- Mutawatir :
hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan sejumlah besar orang pada tiap tobaqat
(generasi-pent) periwayatan sampai pada kolektor hadis (Para Imam yang
emmpunyai,kitab hadis-pent). Sehingga kesepakatan mereka tentang kemungkinan
adanya pernyataan yang salah telah ditolak dengan logika manusia. Contoh dari hadis
ini adalah hadis yang menggambarkan jumlah raka’at Sholat atau jumlah tertentu yang
harur dikeluarkan dalam zakat.
b- Mashur :
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh 1s\d 3 orang shahabat, tapi pada
masa sesudahnya yaitu pada masa Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, hadis ini menjadi terkenal
dan diterima secara umum oleh umat. Dari tobaqot ini (generasi-pent) keatas
diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, sehingga hampir mencapai derajat Mutawatir.
Contohnya: perintah yang tegas dari Syara’ (Pembuat Hukum yaitu Allah SWT-pent)
tentang hukuman bagi para pezina yang telah menikah dengan dilempari batu sampai
meninggal.
c- Ahad :
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi kepada satu orang
atau sekelompok orang, atau dari sekelompok orang kepada satu orang.
Sehingga pembagian hadis berdasarkan pendapat (ijtihad-pent) dari para Imam, yang
kemudian membawa perbedaan dalam penunjukan dalilnya. Status hukum yang digali
dari hadis Mutawatir adalah wajib dan fundamental. Sedang status hukum yang digali
dari hadis mashur adalah tidak wajib, tapi dapat membatasi (men-taqyid-pent) dari
kemutlakan ayat Al-Qur’an dan dapat menjadi suplemen dari Al-Qur’an. Pada Hadis
Ahad walaupun shohih tetapi sebatas dugaan keras, tidak ada jalan baginya untuk
mempengaruhi penunjukan yang jelah dari ayat Al-Qur’an.
Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan mengamalkan hadis ahad dengan beberapa
kriteria:
- Perawi tidak menyalahi apa yang diriwayatkannya, tetapi kalau menyalahi, maka
yang diambil adalah adalah pendapatnya, bukan yang ia riwayatkan. Sebab kalau perawi
menyalahi riwayatnya, berarti itu mendapat keterangan bahwa hadis\riwayat itu sudah
mansukh.
- Hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum bahwa seharusnya diriwayatkan
olen orang banyak.
- Murid dari Imam Hasan As-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya menyatakan
secara jelas: “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi sebagai
dalil amal perbuatan ”.
Imam besar Hanafiyah dan seorang Mujtahid, dalam kitabnya (Al-Usul Al-Sarkhasi juz
1\hal. 112, 321-333) membantah mereka yang menerima Khobar Ahad dalam masalah
Aqidah. Beliau menerangkan hakikat dari Khobar Ahad dan perbedaan antara dalil
Qoth’I dan dalil Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh dan Khobar. Untuk
mengilustrasikan beliau memberi contoh pada masalah adzab kubur.
Abdul Qohir Al-Baghdadi (w. abad 5 H)
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad Abu Zahra:
“ Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang pada dalil-
dalil syara’ ( secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau adalah
seorang Ulama Ahli Sunnah………..Maka Imam Ahmad berpegang pada nash yang
ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu Al-qur’an dan Hadis
Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang Qoth’I
juga berasal dari Allah SWT….” (Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah hal. 506).
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah Al-Maghdisi (w.
620 H) berkata :
“ Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad adalah tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal perbuatan” (Raudhatul Nadhar wa Jannatu Al-Manadzhar).
Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk
mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli Dzohhir
(pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar
Bc. Hk, hal. 31).
Imam Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I (w. 204), membedakan ilmu menjadi 2 jenis
Ilmu : Ilmu Dzahir dan Ilmu Batin. Beliau berkata :
Pertama terdiri dari keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir dan Ilmu Bathin.
Yang lainnya, jawaban yang benar pada Ilmu Dzahir saja. Keputusan yang benar (pada
Ilmu dzahir dan Ilmu Bathin) adalah yang didasarkan pada perintah Allh SWT atau
Sunnah Rarul SAW yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (mutawatir-pent) dari
generasi-generasi awal. Ini (perintah Allah SWT dan As-Sunnah) adalah dua sumber
kebaikan yang dengannya sesuatu ditetapkan sebagai sesuatu yang halal dan yang lain
ditetapkan sebagai sesuatu yang haram. Inilah (jenis ilmu pengetahuan) yang tidak
seorangpun diperkenankan untuk mengabaikan atau meragukannya (sebagai sumber
yang memberi kepastian).
Kedua, pengetahuan yang dimiliki oleh para Ahli yang bersumber dari hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh beberapa orang dan diketahui hanya oleh para Ulama, tetapi untuk
masyarakat umum tidak ada kewajiban untukuntuk memahaminya. Pengetahuan seperti
itu dapat ditemukan diantara semua atau sebagian orang Ulama, yang diriwayatkan oleh
para perawi yang terpercaya dari Nabi SAW. Inilah jenis ilmu pengetahuan yang
mengikat para Ulama untuk menerima dan menetapka keputusan yang benar pada Ilmu
Dzahir sebagaimana kita dapat menerima (validitas) persaksian dari dua orang saksi.
Inilah kebenaran (hanya ada) pada Ilmu Dzahir, karena ada kemungkinan (
dalil\petunjuk) dari dua orang saksi terdapat terdapat kesalahan (Risalah Fi Ushul Fiqh,
Bab Qiyas ( lihat juga hal. 357-359,478)).
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari
Al-Qur’an , karena Al-Qur’an adalah Mutawatir (Ilmu Mustholah Hadis ;
Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
Imam Ahmad Ibn Ali Ibn Abu Bakr Al-Khatib Baghdadi (w. 463), berkata :
“ khobar Ahad tidak memberikan faedah Ilmu\Dzoni (Khabar Ahad la yufidal ilm’)’’
(Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah).
Abdul Malik Ibn Yusuf Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H), menyatakan
berkaita dengan masalah Al-Bayan ( peryataan eksplisit-pent) :
‘’ Bayan dapat ditempatkan brdasarkan urutan berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Al-Ijma’,
Khobar Wahid dan Qiyas” (Nihaya Al-Matlab Fi Diraya Al-Madzab).
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w. 505 H)
berkata :
“ Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in tidak berfaedah
Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-
Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya : ‘’ Adapun pendapat para Ahli hadis
bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang
wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Qoth’I (yang
menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” ( Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -
pent).
Barang siapa menolak Ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur
pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara
masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul
dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang
mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan’’ (Lihat Al-
Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-
Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent).
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah Shohih
Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa
Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan :
‘’ Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun
hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir,
maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim
dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan Ib
Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah diatas (Syarah Shohih Muslim juz
1\hal. 130-131).
Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H) menyatakan :
‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau
Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya
yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).
Fakrudin Muhammad bin Umar bin Husain Ar-Razi (w. 606 H) mengilustrasikan poin
berkaitan dengan hadis Ahad sebagai berikut :
“ Saya katakan kepada seseorang bahwa hadis yang menyebutkan Ibrahim pernah
berbohong sebanyak 3 kali, adalah tidak benar, karena jika hadis ini diterima, maka
akan membuktikan Ibrahim sebagai seorang pendusta. Orang tersebut menyatakan
bahwa para perawi hadis ini adalah perawi yang terpercaya (tsiqoh –pent) dan tidak
dapat dinilai sebagai pendusta. Saya menjawab bahwa hadis ini, kalau kita terima akan
membuktikan bahwa Ibrahim adalah seorang pendusta dan kalau ditolak berarti para
perawi dianggap pendusta, dimana keterangan yang baik dan lebih disukai adalah untuk
diberikan pada Ibrahim AS ” ( Lihat Tafsir Al-Kabir dan Al-Mahshul fi Ilmi Al-Ushul).
Imam Al-Quramani menyatakan :
“ Hadis ahad tidak dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah”.
Al-Hafidz Al-Iraqi :
“Hadis Ahad tidak Qoth’I walaupun umat menyepakatinya”.
Imam Syaukani (w. 1255 H), berkaitan dengan sifat Allah SWT: Menukil pernyataan
Imam Haramain Al-Juwaini yang berkata : “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam
masalah aqidah”.
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang bertentangan dengan amal
Ahli Madinah (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 32).
Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata :
“ Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan hanya
dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah
ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama” ( Syarh Asnawi Nihayah as-Saul
Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214).
Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy- Syairazi (w. 476 H) menyatakan :
“ Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu Qoth’I)” ( At-Tabshirah fi Ushuli al-
Fiqh dan Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh).
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (w. 1255 H) mengatakan :
‘’ Hadis Ahad menghasilkan dzon’’ ( Irsyad Al-Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilmi Al-
Ushul, hal. 46 dst).
Syeikh Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-Athar (w. 1250 H) menyatakan :
‘’ Hadis Ahad menghasilkan Dzon’’ ( Hasiyah Al-Athar ala Syarh Al-Mahali ala Jam’i
Jawami’ As-Subki, juz 2\hal 146).
Syeikh Kamal bin Hamam (w. 861 H) dan Syeikh Ibn Amir Al-Haj (w. 879 H)
menyatakan :
‘’ Hadis Ahad menghasilkan Dzon ‘’ ( At-Taqrir wa At-Tahbir Syarh Kabir, juz 2\hal
235-236).
Syeikh Hafidz Tsanauullah Az-Zahidi tatkala menjelaskan tentang Bab Fardhu, beliau
berkata :
‘’Fardhu Amali atau dzon adalah apa yang ditetapkan dengan dalil Dzoni Tsubut dan
Qoth’i Dalalah, yang statusnya lebih kuat dari Al-Wajib Al-Istilahi dan lebih ringan dari
Al-Fardhu Al-Qoth’i’’. Selanjutnya beliau menambahkan : ‘’ Hukum Fardhu Amali
adalah wajib untuk diamalkan tetapi tidak untuk dalil untuk masalah I’tiqod ( la Al-
I’tiqod), maka tidak kafir orang yang mengingkarinya’’ (Taisiru Al-Ushul, hal. 156-
158).
Imam Abi Bakr Muhammad bin Ahmad bin Sahal As-Sarkhasi ( w. 490 H) menyatakan
;
‘’ Menurut Jumhur Ulama Hanafiyah wajib adalah apa yang telah ditetapkan dengan
dalil Qoth’i dalalah dan dzon tsubut (termasuk hadis ahad-pent) atau dzon dilalah dan
qoth ‘i tsubut dengan penegasan dan penekanan atas tuntutannya (Al-Syadah wa Al-
Jazm fi Ath-Tholab) atau dengan kata lain adalah apa dengan dalil yang mewajibkan
Ilmu untuk diamalkan tetapi tidak mewajibkan ilmu yaqin, karena ada stubhat\keraguan
dalam jalannya’’ ( Ushul As-Sarkhasi, juz 1\hal. 111).
Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim (w. 970 H) menyatakan hal sama dengan
Imam As-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzon Tsubut-pent) wajib diamalkan, tetapi tidak
untuk masalah I’tiqod (Aqidah-pent) (Lihat Fath Al-Ghaffar Al-Ma’ruf bi Misykah Al-
Anwari, juz 2\hal. 63).
Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam As-
Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status hadis ahad ( Lihat Kitab Al-Mughni fi Al-
Ushuli Al-fiqhi Li Al-Khobazi, hal. 84).
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis ahad
tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan
tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal (Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islam; hal 54).
Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis
ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah maupun
masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena
keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis
ahad hanya memberikan faedah Dzonni (Ilmu Mustholah Hadits, hal. 31).
Maulana M. rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan autentitasnya dari
serangan para orientalis :
“ Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang
perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada seorang
perawi”. Selanjutnya beliau mengatakanbahwa: “Hadis Ahad tidak menghasilkan
kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil
dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis”
(Izhar Al-Haq juz 4).
M. Muhammad Azami dalam (Studies in Hadis Methodology and Literature, hal. 43)
Sayid Qutb dalam tafsirnya ( Fi Dzilanil Qur’an\ juz 30)
Syeikh Hasan Attar
Syeikh Zakiudin Sha’ban
Imam Juzairi
Syeikh Abdullah Ibn Abdul Muhsin At-Turki (Rektor Univ. Medinah)
Syike Shu’ban Muhammad Ismail
Syeikh Abdul Wahab Kholaf (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Taqiyudin An-Nabhani (Mujtahid Abad Ini)
Syeikh Abdul Wahab Najjar
Syeikh Muhammad Abu Zahra (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Badran Abu Ainain badran
Syeikh Md. Salam Mudkur
Syeikh Umar Bakri Muhammad (Rektor Istitut Syari’ah Islam-London)
Syeikh Umar Abdullah
Syeikh DR. Muhammad Ujjaj Al-Khatib (Pakar Hadis)
Syeikh DR. Samih Athif Az-Zein (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Muhammad Muhammad Ismail (Guru Besar salah satu Univ. di Mesir)
Syeikh DR. Muhammad Husain Abdullah (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Muhammad Ali Hasan (Pakar Bahasa Arab)
Syeikh DR. Abdul Madjid Al-Muhtasib (Pakar Tafsir)
Syeikh DR. Abdurahman Al-Maliki (Pakar Hukum Islam)
Syeikh DR. Mahmud Al-Khalidi ( Staf pengajar Univ. Madinah)
Syeikh DR. Mahmud Abdul Karim Hasan (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Mahmud Thahan (Pakar Hadis)
Syeikh DR. Muhammad Wafa’ (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Muhammad Khoir Haikal (Pakar Hukum Islam)
Imam Jamaluddin Al-Qosimi (pakar Hadis)
Syeikh Musthafa As-Shibalah
Syeikh Md. Al-Khadari
Syeikh Ali Hasabulah
Syeikh Iyadh Hilal (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Atha’ Abi Rustha (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Abdul Aziz Al-Badri (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Abdul Qadim Zalum (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Fathi’ Salim (Pakar Hadis)
Syeikh Ishom Amirah (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Ahmad Mahmud
Syeikh M. Abdul Lathif Uwaidhah
Syeikh Fauzi Sanqarth
Syeikh Hafidz Sholeh (Master Bahasa Arab dan Studi Islam, Univ. Salafiyah Pakistan)
Syeikh Ali Raghib (Staf pengajar Univ. Al-Azhar-Mesir)
Syeikh Abdul Ghoni Sholah
Syeikh Muhammad Syakir Syarif
Syeikh Muhammad Musa
Syeikh Abdullah Ath-Tharablusi
Syeikh Tsabit Al-khawajan
Syeikh Al-Jibali (Pakar Hadis)
Syeikh Ahmad Iyadh Athiyah (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Dawud Hamdan
Syeikh Abdurrahman Muhammad Khalid
Syeikh Muhammad Syuwaiki (Imam Masjid Al-Aqsa)
Syeikh Muhammad Hasan Haitu
Syeikh Muhammad Izzat At-Thahthawi
Mayoritas Ulama Al-Azhar (Mesir) dan Universitas Islam terkemuka di negeri-negeri
kaum muslimin