Anda di halaman 1dari 30

3.

Pengujian Hadis Ahad dengan Amal Sahabat


Di kalangan Hanafi dan Maliki amal sahabat memiliki kekuatan atas pengujian hadis
ahad. Tetapi berbeda dengan Hanafi, Maliki mengkhususkan amal sahabat yang menjadi
penduduk Madinah, yang diteruskan oleh generasi berikutnya hingga Imam Malik.
Kriteria ini digunakan, karena hadis yang diriwayatkan oleh sabahat di mana seorang
sahabat tersebut tidak mengamalkannya mengindikasikan hadis tersebut lemah. Dalam
hal ini Imam Hanafi menolak hadis riwayat Abu Hurairah yang menyatakan pencucian
bejana yang dijilat anjing sebaganya 7 kali, sementera dalam prakteknya Abu Hurairah
hanya membasuh jilatan anjing sebanyak 3 kali saja (al-Damini, 1984: 407) .
Imam Malik menggunakan amal ahli madinah karena menurutnya amal penduduk
Madinah merupakan rekaman ulang amal kehidupan Rasulullah saw. Argumennya
adalah karena Rasulullah hidup di Madinah, di mana wahyu banyak diturunkan dan
hadis disabdakan Rasul. Imam Malik misalnya menolak hadis yang menyatakan tidak
sah nikah tanpa wali, karena masyarakat Madinah melaksanakan pernikahan tanpa wali.
Imam Syafi’i menolak amal sahabat dan amal penduduk Madinah sebagai kriteria
pengujian hadis ahad. Amal sahabat dan penduduk negeri lainnya juga bersumber dari
Rasulullah yang diajarkan dan disampaikan oleh sahabat-sahabat Nabi (Abd al-
Muthalib, 1981: 381).
IV. AMAL AHL AL-MADINAH
Dimaksud dengan amal ahl al-Madinah adalah praktek hukum yang disepakati atau
minimal dipraktekkan oleh sebagian besar/kebanyakan penduduk Madinah.[23]
Sejarah mencatat bahwa Madinah merupakan sebuah kota yang sangat spesifik
posisinya di antara kota-kota Islam lainnya di muka bumi, terutama manakala tinjauan
difokuskan kepada dua abad pertama Hijriyyah.
Kota Madinah dapat dilihat spesifikasinya sebagai berikut:
1. Merupakan kota tujuan hijrah Nabi SAW dan para shahabat beliau.
2. Kota tempat berdirinya negara Islam.
3. Kota tempat turunnya wahyu (surat-surat Madaniyyah).
4. Masyarakatnya menjadi saksi turunya wahyu.
5. Sebagian masyarakatnya adalah “penyebab” turunnya sebagian wahyu.
6. Penduduknya dikenal sebagai masyarakat yang taat mengamalkan wahyu.
7. Setelah Nabi SAW wafat, tiga kekhalifahan sesudah beliau berpusat di Madinah,
yaitu kekhalifahan Abu Bakar,Umar dan Utsman bin ‘Affan.
8. Penduduk Madinah sangat kokoh berpegang dengan sunnah Nabi; dimulai dari
generasi Shahabat, Tabi’un dan Atba’ Tabi’un.
9. Praktek hukum yang diamalkan oleh penduduk Madinah jauh lebih baik, dalam
arti lebih dapat diyakini sesuai sunnah dibanding praktek penduduk di daerah lain
termasuk sesama di daerah Hijaz.
10. Bila selama periode Makkah, aturan Islam, baik berupa ayat al-Qur’an maupun
berupa sunnah Nabi SAW masih menyangkut masalah ‘Aqidah, maka pada periode
Madinah, aturan Islam sudah berupa tatanan dan tuntunan di bidang hukum, jadi dengan
demikian, praktek hukum penduduk Madinah tentu dengan sendirinya jauh lebih baik
dibanding praktek hukum yang diamalkan oleh penduduk Makkah.

V. PANDANGAN IMAM MALIK TERHADAP ‘AMAL AHL AL-MADINAH

A. Eksistensi ‘Amal Ahl al-Madinah


Bagi Imam Malik, amal penduduk Madinah merupakan resapan/destilasi atau
kristalisasi dan pengejawantahan dari sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena posisi yang
demikian, maka bagi Imam Malik amal penduduk madinah setara dengan hadits
Mutawatir.[24] Karena itu posisi amal penduduk Madinah lebih tinggi daripada hadits
Ahad.[25] Apalagi bila kandungan hadits Ahad tersebut jelas-jelas bertentangan atau
minimal tidak sejalan dengan salah satu ayat al-Qur’an atau dengan hadits Mutawatir,
termasuk dengan amal penduduk Madinah, maka hadits Ahad itu harus ditinggalkan,
bahkan tidak dapat diyakini bila itu benar-benar berasal dari Nabi. Sebab yang
Mutawatir sebagai riwayat orang banyak dan telah diamalkan dari generasi shahabat
hingga generasi atba’ tabi’in tentu lebih meyakinkan dan lebih kuat untuk diperpegangi
dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perorangan dan tidak menjadi
amalan masyatakat luas di Madinah.[26]
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas terlihat bahwa bagi Imam Malik, amal
penduduk Madinah itu adalah:
1. Merupakan pengejawantahan dari sunnah Nabi SAW.
2. Posisinya setara dengan hadits Mutawatir, karena menjadi amalan yang luas.
3. Bila berbenturan antara amal penduduk Madinah dengan hadits Ahad, maka hadits
Ahad harus ditinggalkan dan amalan penduduk Madinah yang harus diperpegangi
sebagai hujjah.

B. Resistensi terhadap ‘Amal Ahl al-Madinah dan Pembelaan Imam Malik

Beberapa ulama kelihatannya tidak sepaham dengan Imam Malik dalam


memposisikan amalan penduduk Madinah yang setara dengan hadits Mutawatir. Di
antara mereka adalah dua orang murid Imam Malik, yaitu Imam al-Syafi’i dan al-Laits
ibn Sa’ad.
Alasan kenapa Imam Malik sangat kukuh untuk menjadikan ‘amal ahl al-
Madinah sebagai salah satu hujjah/ sumber hukum Islam, kelihatannya didasarkan
kepada kondisi sosial masyarakat Madinah pada saat itu. Hal ini tergambar dari isi surat
yang dikirimkan oleh Imam Malik kepada salah seorang muridnya al-Laits ibn Sa’ad
(w. 175 H).
Madinah al-Munawwarah adalah tanah tempat hijrah Rasul saw, Madinah juga
basis bagi Daulah Islamiyah, di Madinah al-Qur`an diturunkan, di Madinah yang halal
dihalalkan dan yang haram diharamkan oleh Nabi saw, Rasulullah saw berada di
tengah-tengah penduduk Madinah yang menyaksikan turunnya wahyu, apa yang
diwajibkan oleh Rasul saw mereka taati, apa yang disunnahkan Rasul saw mereka ikuti.
Setelah wafatnya Rasul saw, para sahabat beliau mengambil peran sebagai pengganti
beliau, dan mereka adalah manusia yang paling ditiru amalannya oleh ummat (tabi’in).
Semua wahyu yang diturunkan kepada mereka, mereka terapkan. Apa yang tidak
diketahui oleh ummat (tabi’in) mereka tanyakan kepada para sahabat, lalu mana yang
terkuat, itulah yang mereka amalkan. Para tabi’in sebagai generasi pengganti sahabat
benar-benar melalui dan memperpegangi manhaj yang telah diwariskan oleh para
sahabat, yang kemudian diwariskan pula kepada generasi atba’ tabi’in hingga ke masa
kita sekarang ini.[27]

C. Analisis
Dari surat Imam Malik tersebut di atas, dengan sangat gamblang terlihat bahwa
dijadikannya amal penduduk Madinah sebagai hujjah/ salah satu sumber hukum Islam
oleh Imam Malik dilandaskan kepada kondisi objektif sosial masyarakat Madinah pada
saat itu, yang mana mereka ahli waris-ahli waris tradisi generasi sebelum mereka yaitu
atba’ tabi’in sampai kepada era Rasulullah saw. Atau dengan kata lain, sebenarnya –
menurut Imam Malik – apa yang diamalkan oleh penduduk Madinah pada masa itu
tidak lain kecuali pengejawantahan dari sunnah-sunnah Rasulullah saw yang telah
dinukil dan diamalkan terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa: Betapa sangat wajar dalam pandangan Imam Malik
untuk berpegang kepada amal penduduk Madinah dan menjadikannya sebagai hujjah/
salah satu sumber hukum Islam.

D. Hadis Ahad dan Amal Penduduk Madinah


Sehubungan dengan hadis ahad yang terkait dengan amal penduduk Madinah,
menurut pandangan Imam Malik, sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi ‘Iyadh,
dapat dikategorikan kepada tiga hal berikut:
1. Bila amal penduduk Madinah itu sejalan dengan hadis ahad maka amal penduduk
madinah tersebut dipandang oleh Imam Malik sebagai penguat bagi keshahihan hadis
ahad tersebut, dengan catatan bila diketahui bahwa amal penduduk Madinah itu
didasarkan pada penukilan/ periwayatan. Namun bila amal penduduk Madinah itu
diketahui bahwa landasannya adalah ijtihad, maka Imam Malik memandang hadis ahad
itu lebih kuat dari amal penduduk Madinah.
2. Bila terdapat lebih dari satu hadis ahad tentang suatu kasus hukum yang sama,
sedangkan antara sesama hadis ahad tersebut terjadi ta’arudh/ kontradiksi, sementara
amal penduduk Madinah sejalan dengan salah satu hadis ahad yang saling bertentangan
itu, maka dalam hal ini amal penduduk Madinah berperan sebagai penguat bagi hadis
ahad yang sejalan tersebut. Keadaan ini membawa akibat bahwa hadis ahad yang
diperkuat oleh amal penduduk Madinah, oleh Imam Malik dipandang lebih kuat
daripada hadis yang tidak sejalan dengan amal penduduk Madinah
3. Manakala amal seluruh penduduk Madinah menyalahi bahkan bertentangan
dengan hadis ahad, maka dalam keadaan ini:
a. Seandainya amal penduduk Madinah itu diketahui landasannya berdasarkan
penukilan/ periwayatan, maka hadis ahad tersebut ditinggalkan/ tidak diperpegangi
sebagai hujjah. Alasannya adalah amalan penduduk Madinah secara menyeluruh itu
sudah sama posisinya dengan hadis mutawatir, dan hadis mutawatir itu memfaedahkan
qath’i dan yakin, sehingga dengan sendirinya hadis ahad yang hanya memfaedahkan
zhanni, harus ditinggalkan.
b. Seandainya amal keseluruhan penduduk Madinah itu diketahui landasannya
adalah ijtihad, maka dia menempati posisi ijma’, dalam hal ini ijma’ ‘amali. Dalam hal
terjadi benturan/ pertentangan antara ijma’ ‘amali dengan hadis ahad, maka yang
diperpegangi adalah hadis ahad. Sebab dalam struktur sumber hukum Islam, ijma’
menempati posisi ketiga sesudah hadis/ sunnah.[28]
E. Analisis
Dari ketiga kategori tersebut di atas, terlihat bahwa Imam Malik ternyata tidak
memandang seluruh amal penduduk Madinah sebagai hujjah/ salah satu sumber hukum
Islam. Imam Malik membatasi kriteria amal penduduk Madinah yang bisa dijadikan
hujjah hanya pada dua keadaan:
1. Bila amal penduduk Madinah itu diketahui berlandaskan kepada penukilan/
periwayatan.
2. Amal penduduk Madinah yang tidak berlandaskan kepada penukilan/ periwayatan,
melainkan hanya kepada ijtihad, maka:
a. Bisa dijadikan hujjah hanya pada saat tidak ditemukan hadis yang mengatur
tentang hal itu.
b. Dipandang hanya sebagai penguat, bila ditemukan hadis yang mengatur tentang
hal itu.
c. Dalam keadaan ditemukan beberapa hadis yang mengatur tentang suatu masalah
yang sama, maka amal penduduk Madinah berperan sebagai penguat bagi salah satu
hadis yang sejalan dengannya. Sedangkan hadis yang tidak sejalan dengannya, harus
ditinggalkan.
F. Catatan
Kelihatannya Imam Malik tidak menjadikan seluruh amal penduduk Madinah
sebagai salah satu sumber hukum Islam, karena ternyata yang diperpegangi hanya amal
yang merujuk/ dinukil dari masa Rasul saw hingga akhir masa kekhalifahan ‘Utsman
ibn ‘Affan saja. Dasar pertimbangan oleh Imam Malik, bahwa sesudah periode ‘Utsman
ibn ‘Affan, ummat Islam sudah terpecah belah kepada berbagai firqah dan sudah banyak
bermunculan hadis-hadis maudhu’/ palsu. Misalnya yang dibuat-buat oleh kaum Syi’ah
(pendukung ‘Ali), kaum Khawarij, maupun oleh pendukung Mu’awiyah ibn Abi
Sufyan.[29]
Dari penjelasan di atas kembali terlihat betapa Imam Malik sangat
mempertimbangkan kondisi objektif sosial masyarakat setempat dalam mengambil
setiap keputusan hukum, termasuk untuk menjadikannya sebagai hujjah.
G. Beberapa Contoh ‘Amal Ahl al-Madinah
Ada beberapa amal penduduk Madinah yang sudah merata menjadi
pengetahuan dan amalan penduduk Madinah, sehingga Imam Malik memposisikannya
sama seperti ijma’ penduduk Madinah. Di antaranya adalah:
1. Menggunakan sha’ dan mudd sebagai alat untuk menakar benda zakat seperti
gandum, kurma dan lain-lain.
2. Panggilan adzan yang dua kali pada waktu subuh
3. Membaca al-Fatihah dalam shalat tanpa menjaharkan basmalah.
4. Tidak memungut zakat dari hasil pertanian berupa sayur-sayuran, dengan alasan
tidak pernah jumlahnya mencapai angka nishab, yaitu lima wasaq (lebih kurang 629
kg).
5. Kebolehan menjama’ dan mengqashar shalat bagi tentara yang akan pergi berperang.
Menurut Imam Malik bahwa hal-hal tersebut di atas sudah jadi tradisi lokal
penduduk Madinah yang diamalkan secara turun temurun semenjak zaman Nabi saw
sampai era Imam Malik.[30]
Lebih jauh menurut pandangan Imam Malik bahwa semua contoh amal tersebut
di atas sudah menempati posisi ijma’ lokal penduduk Madinah, dan tidak seorangpun
yang diketahui mengingkarinya.
Bila dilihat dari lamanya tradisi tersebut berlangsung secara merata di kalangan
penduduk Madinah, dapat pula dikatakan bahwa derjatnya sudah sampai ke tingkat
mutawatir, karena persyaratan mutawatir itu sudah terpenuhi.
Dalam menggambarkan setiap perbuatan yang landasannya adalah amalan
penduduk Madinah, maka istilah yang digunakan Imam Malaik dalam kitabnya al-
Muwaththa’ adalah sbb:
1. As-Sunnatu ‘Indana (sudah menjadi tradisi di kalangan kami)
2. As-Sunnatu al-Lati la Ikhtilaafa fiha ‘Indana (sudah menjadi tradisi yang tidak ada
lagi perselisihan di kalangan kami)
3. Al- Amru ‘Indana (sudah menjadi praktek di kalangan kami)
4. Al-Amru al-Mujtama’ ‘alaih ‘Indana (sudah menjadi praktek yang disepakati
dalam masyarakat kami).[31]

VI. PENUTUP
Dari uraian yang berlalu dapat diambil kesimpulan:
1. Imam Malik adalah satu-satunya Imam Mazhab yang lahir, hidup, wafat dan
berkubur di kota suci Madinah.
2. Imam Malik di samping diyakini dalam dan luas ilmunya, terbukti sebagai seorang
ulama yang rendah hati, penuh kehati-hatian dan penuh keteladanan.
3. Bagi Imam Malik, amal penduduk Madinah yang dilandaskan kepada penukilan/
periwayatan, menempati posisi seperti hadits Mutawatir, sehingga dengan demikian dia
menjadi hujjah kedua sesudah al-Qur’an.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

‘Abdul Muthalib, Rif’at Fawzy, Tawtsiq al-Sunnah fi al Qarn al-tsaniy al-Hijriy, Usus
wa Ittijahat, Mesir: Maktabah al-Khananji, 1400 H

Anas, Malik bin, Kitab al-Muwaththa’, Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafiyyah, 1414 H

Ashshiddieqy, Hasbi, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab II, Jakarta: Bulan


Bintang, 1974

Al-Atsqalaniy, Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-
‘Arabiy, juz V, 1403 H

‘Abdul Baqiy,Muhammad Fuad, Muwaththa’ Imam Malik, Beirut: Dar al-Fikr, juz I,
1405 H

Bewley, Aisha Abdurrahman, al-Muwaththa’ of Imam Malik Ibn Anas The First
Formulation of Islamic Law, terj, oleh Dwi Surya Atmaja, juddul terj: Al-Muwaththa’
Malik Ibn Anas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999

Bik, Muhammad khudhariy, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Beirut: Dar Ihya’ Turats al-
Islamiy, 1403 H
Dutton,Yasin, Malik’s Use of the Qur’an in the Muwatha’, terj, oleh Dedi Junaedi,
dengan judul: Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk Madinah, Jakarta: Akademika
Presindo, 1996

Al-Ja’fiy, Isma’il ibn Ibrahim, Kitab al-Tarikh al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, juz IV, t.t

Al-Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadits, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr, 2004

Al-Raziy, Abu Hatim, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, (Beirut: Dar al-Fikr, juz VIII, 1372 H

Taimiyah, Ibn, Shihhah Ushul Madzhab Ahl al-Madinah, Kairo: Maktabah al-
Mutanabbi, t.t

Al-Yashibi, ‘Iyadh ibn Musa ibn ‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik li
Ma’rifah Madzhab Malik, Beirut: Maktabah al-Hayah, juz I, t.t.

Al-Dzahabi, Syamsuddin, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-
‘Arabi, juz I, t.t

[1] Malik bin Anas, Kitab al-Muwaththa’, (Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafiyyah, 1414
H), h. 5

[2] Aisha Abdurrahman Bewley, al-Muwaththa’ of Imam Malik Ibn Anas The First
Formulation of Islamic Law, terj, oleh Dwi Surya Atmaja, juddul terj: Al-Muwaththa’
Malik Ibn Anas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 11

[3] Malik bin Anas, Op.Cit

[4] Hasbi Ashshiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab II, (Jakarta:


Bulan Bintang, 1974), h. 223
[5] Rif’at Fawzy ‘Abdul Muthalib, Tawtsiq al-Sunnah fi al Qarn al-tsaniy al-Hijriy,
Usus wa Ittijahat, (Mesir: Maktabah al-Khananji, 1400 H), h. 801

[6] Mengenai kerajaan Tubba’ ini dua kali disinggung oleh al-Qur’an, yaitu dalam surat
al-Dukhan ayat 37 dan dalam surat Qaf ayat 14.

[7] Aisha Abdurrahman Bewler, Op.Cit, h. 6

[8] Ibid, h. 8

[9] Syamsuddin al-Dzahabi, Kitab Tadzkirat al-Huffazh, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-
‘Arabi, juz I, t.t), h. 212

[10] Ibid, h.

[11] Ibid, h. 207

[12] Ibid, h. 208

[13] Ibid, h. 209

[14] Abu Hatim al-Raziy, Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, (Beirut: Dar al-Fikr, juz VIII,
1372 H), h. 206

[15] Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy, Muwaththa’ Imam Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, juz
I, 1405 H), h. 7

[16] Ibnu Hajar al-Atsqalaniy, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turats al-
‘Arabiy, juz V, 1403 H), h. 350
[17] Ibid

[18] Ibid
[19] Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy, Loc. Cit.
[20] Isma’il ibn Ibrahim al-Ja’fiy, Kitab al-Tarikh al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, juz IV,
t.t.), h. 310
[21] Muhammad Fuad ‘Abdul Baqiy, Loc.Cit
[22] Ibid
[23] Muhammad khudhariy Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar Ihya’ Turats al-
Islamiy, 1403 H), h. 246
[24] Hadits mutawatir adalah hadits yang diterima secara inderawi dan diriwayatkan
oleh sekelompok orang yang mustahil menurut akal sehat mereka akan sepakat untuk
berdusta. (lihat Ajjaj al-Khatib: Ushul al-Hadits, ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, (Beirut:
Dar al-Fikr, 2004), h. 36

[25] Hadits Ahad addalah hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang saja: ada
yang shahih, hasan dan dha’if ( Ibid, h. 38)

[26] Yasin Dutton, Malik’s Use of the Qur’an in the Muwatha’, terj, oleh Dedi
Junaedi, dengan judul: Sunnah, Hadits dan Amal Penduduk Madinah, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1996), h. 11
[27] ‘Iyadh ibn Musa ibn ‘Iyadh al-Yashibi, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik li
Ma’rifah Madzhab Malik, (Beirut: Maktabah al-Hayah, juz I, t.t.), h. 64
[28] Ibid., h. 70-71
[29] Ibn Taimiyah, Shihhah Ushul Madzhab Ahl al-Madinah, (Kairo: Maktabah al-
Mutanabbi, t.t), h. 27
[30] Imam Malik, al-Muwaththa`, juz II, Op.Cit., h. 47-50

[31] Ibid.

SEKALI LAGI TENTANG HADITS AHAD; PARA 'ULAMA DAN PARA IMAM
MADZHAB: HADITS AHAD BUKAN DALIL DALAM MASALAH 'AQIDAH
Posted by Hisyam Ad dien Halaqoh Online, Tsaqofah Islam 6:37 AM
SEKALI LAGI TENTANG HADIS AHAD
Muhammad Lazuardi Al-Jawi

Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam
dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, terus kami lakukan. Dan untuk
memberikan keyakinan tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi
dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang
mulia ini.

Salah satu argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka
adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka
telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan
pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.

Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas.
Faktanya tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan
para Ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan
mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa :
“Khobar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini
memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa
sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan,
tetapi tidak dalam masalah aqidah.

Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil
yang memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah
aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang
tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam
ini membuat berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad,
dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang
telah menolak khobar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah
atau masalah amal perbuatan.
Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam
dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis
oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid
para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para
gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khobar ahad-pent)
merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai
pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan
mempelajari kitab para Ulama tersebut.

Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para
muridnya dan para Ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:

PENDAPAT PARA ULAMA HANAFIYAH

Imam Abu hanifah ( w. 150 H)

Imam Abu hanifah cenderung untuk berpegang dengan pendapat yang menyatakan
bahwa Hadis yang tidak sampai derajat Mutawatir terdapat kemungkinan terdapat
kesalahan didalamnya atau kelalaian dalam jalur periwayatannya, sehingga menjadikan
validitas hadis ahad diragukan dalam masalah aqidah.

Kontribusi yang paling berharga oleh Imam dalam bidang Ilmu Hadis adalah pembagian
hadis menjadi beberapa tingkatan dan cara penggalian hukum dari nash-nash syara’
berdasarkan pembagian diatas. Sumber hukum yang utama adalah Al-Qur’an dimana
tidak ada seorangpun yang mempermasalahkannya. Sumber hukum setelah Al-Qur’an
adalah As-Sunnah. Diantara keduanya tidak ada perbedaan yang substansial, dimana
salah satu diantara keduanyan menjadi Wahi Matlu dan lainnya menjadi Wahi Ghori
Matlu, tetapi ada perbedaan diantara keduanya berkaitan tingkat pembuktian. Jika hadis
terbukti shohih dan qoth’I maka ia mempunyai kedudukan seperti Al-Qur’an sebagai
sumber hukum.
Hadis, bervariasi tegantung dari tingkat kebenarannya dan variasi ini harus
diperhitungkan dalam proses penggalian hukum darinya. Klasifikasi hadis oleh para ahli
hadis menjadi Hadis Shohih, Hasan dan Dha’if adalah tidak mencukupi, karena belum
ada yang membagi hadis tersebut sebagai sumber hukum yang legal. Hanya hadis dha’if
saja yang tidak dapat dipercaya, selain hadis dha’if (hadis shohih dan Hasan-pent) dapat
digunakan sebagai dalil\hujjah. Beliau (Imam Abu hanifah-pent) sepakat untuk
membagi Hadis dari sudut pandangnya sebagai dalil menjadi tiga tingkatan:

a- Mutawatir :
hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan sejumlah besar orang pada tiap tobaqat
(generasi-pent) periwayatan sampai pada kolektor hadis (Para Imam yang
emmpunyai,kitab hadis-pent). Sehingga kesepakatan mereka tentang kemungkinan
adanya pernyataan yang salah telah ditolak dengan logika manusia. Contoh dari hadis
ini adalah hadis yang menggambarkan jumlah raka’at Sholat atau jumlah tertentu yang
harur dikeluarkan dalam zakat.

b- Mashur :
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh 1s\d 3 orang shahabat, tapi pada
masa sesudahnya yaitu pada masa Tabi’in dan Tabiut Tabi’in, hadis ini menjadi terkenal
dan diterima secara umum oleh umat. Dari tobaqot ini (generasi-pent) keatas
diriwayatkan oleh sejumlah besar orang, sehingga hampir mencapai derajat Mutawatir.
Contohnya: perintah yang tegas dari Syara’ (Pembuat Hukum yaitu Allah SWT-pent)
tentang hukuman bagi para pezina yang telah menikah dengan dilempari batu sampai
meninggal.

c- Ahad :
Jenis hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi kepada satu orang
atau sekelompok orang, atau dari sekelompok orang kepada satu orang.
Sehingga pembagian hadis berdasarkan pendapat (ijtihad-pent) dari para Imam, yang
kemudian membawa perbedaan dalam penunjukan dalilnya. Status hukum yang digali
dari hadis Mutawatir adalah wajib dan fundamental. Sedang status hukum yang digali
dari hadis mashur adalah tidak wajib, tapi dapat membatasi (men-taqyid-pent) dari
kemutlakan ayat Al-Qur’an dan dapat menjadi suplemen dari Al-Qur’an. Pada Hadis
Ahad walaupun shohih tetapi sebatas dugaan keras, tidak ada jalan baginya untuk
mempengaruhi penunjukan yang jelah dari ayat Al-Qur’an.

Imam Abu Hanifah juga mensyaratkan mengamalkan hadis ahad dengan beberapa
kriteria:
- Perawi tidak menyalahi apa yang diriwayatkannya, tetapi kalau menyalahi, maka
yang diambil adalah adalah pendapatnya, bukan yang ia riwayatkan. Sebab kalau perawi
menyalahi riwayatnya, berarti itu mendapat keterangan bahwa hadis\riwayat itu sudah
mansukh.
- Hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum bahwa seharusnya diriwayatkan
olen orang banyak.

- Riwayat itu tidak bertentangan dengan qiyas.


(Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31)
Issa ibn Aban (w. 220 H)

- Murid dari Imam Hasan As-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya menyatakan
secara jelas: “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi sebagai
dalil amal perbuatan ”.

Ali ibn Musa al –Qummi (w. 305 H)


Dalam kitabnya (Khobar Ahad) menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam
masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.

Imam At-Thobari (w. 310 H)


Dari Imam Al-Sarkhasi (Ushul Al-sarkhasi), Imam At-Thobari menyatakan: “Hadis
Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal
perbuatan ”.
Imam Al-Karabasi Al-Najafi (W. 322 H)
Beliau berkata : “ Ahad hanya berfaedah Ilmu Dzohir”.
Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl Abu Bakar Shams al-A’ima al-Sarkhasi (w.
483)

Imam besar Hanafiyah dan seorang Mujtahid, dalam kitabnya (Al-Usul Al-Sarkhasi juz
1\hal. 112, 321-333) membantah mereka yang menerima Khobar Ahad dalam masalah
Aqidah. Beliau menerangkan hakikat dari Khobar Ahad dan perbedaan antara dalil
Qoth’I dan dalil Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh dan Khobar. Untuk
mengilustrasikan beliau memberi contoh pada masalah adzab kubur.
Abdul Qohir Al-Baghdadi (w. abad 5 H)

Ibn Athir Al-Jazari (w. 606) dalam (Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadis)


Imam Al-Izz Ibn Abd Al-Salam (w. 660 H) : “Tidak mengambil Hadis Ahad sebagai
dalil dalam masalah Aqidah”.
Ala Al-Din Ibn Abidin (w. 1306 H)

PARA ULAMA HAMBALIYAH

Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad Abu Zahra:
“ Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang pada dalil-
dalil syara’ ( secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau adalah
seorang Ulama Ahli Sunnah………..Maka Imam Ahmad berpegang pada nash yang
ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu Al-qur’an dan Hadis
Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang Qoth’I
juga berasal dari Allah SWT….” (Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah hal. 506).

Al-Qodhi dalam Kitab Al-Iddah menyatakan:


“ Hadis Ahad tidak berfaedah ilmu Qoth’I” ( Al-Iddah)
Abu Bakar Al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr menyatakan, bahwa
Imam Ahmad telah berkata :
“ Jika ada hadis ahad mengenai hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan
demikian, tetapi saya tidak menyaksikan bahwa nabi SaW benar-benar menyatakan
demikian” ( Ma’anil Hadis).
Abu Ya’la , menyatakan :
“ Apabila umat sepakat atas hukumnya dan sepakat untuk menerimanya, maka hadis
ahad berfaedah yakin dan tidak ada keraguan didalamnya ( jika umat tidak sepakat,
berarti hadis ahad kembali pada status asalnya yaitu dalil yang menghasilkan Dzon –
pent)”.

Abu Muhammad, menegaskan :


“Hadis Ahad tidak berfaedah qoth’i. Dan inilah pendapat kebanyakan pendukung dan
Ulama Mutaakhirin dari pengikut Imam Ahmad” (lihat Kitab Raudhah).

Ibn Abdil bar memandang bahwa :


“ Hadis Ahad mewajibkan amal, tetapi tidak mewajibkan ilmu Qoth’I”.

Ibnu Badran menegaskan :


‘’ Apa yang ditudukan kepada Imam Ahmad oleh Ibnu Hajib, Al-wasithi dan lainnya,
yang menyatakan bahwa Imam Ahmad menyatakan setiap hadis ahad yang
diriwayatkan perawi yang adil walaupun tanpa qarinah adalah qoth’i. Ini tidak benar,
bagaimana seorang tokoh sunni mengaku berpendapat seperti ini dan dalam kitab yang
mana pendapat seperti ini diriwayatkan dari Beliau’’.

Abu Khatab ( Murid Imam Hambali) menyatakan :


“ Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai dalil
masalah amal perbuatan”.
Abu Khatab juga menyatakan dalam (At-Tamhid fi Takhriji Al-Furu’I ‘ala Al-Ushul) ,
pendapat yang sama dengan Ibn Qudamah Al-Maqdisi, tetapi berbeda tentang apakah
Umat sepakat atau tidak.
Ahmad Ibn Al-Muthanna Al-Tamimi Al-Qodi Abu Ya’la Al-Mausuli (w. 307 H) : yang
meriwayatkan dalam (Al-Iddah) bahwa dia melihat dalam kitab (Manin Al-Hadis) dari
Abi Bakar Al-Athram (murid dari Imam Ahmad) pernyataan dari Imam Ahmad :
“ Jika saya melihat hadis shohih, saya akan berbuat berdasarkan hadis itu, tapi saya
tidak bersumpah bahwa Nabi SAW mengatakan demikian”.
Ahmad Ibn Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Qudamah Al-Maqdisi (w. 689) pengarang
kitab Al-Mughi menyatakan dari Abu Khatab :
“ Imam Ahmad berkata bahwa Hadis Ahad adalah dalil yang Qoth’I kalau Umat
menyepakatinya” (Al-Mughni- Bab Khobar Ahad)

Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibn Qudamah Al-Maghdisi (w.
620 H) berkata :
“ Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad adalah tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal perbuatan” (Raudhatul Nadhar wa Jannatu Al-Manadzhar).

Abu Al-Abbas Taqiyudin Ibn Taimiyah (w. 728 H)


Shihabudin Abbas Ibn Taimiyah Al-Hambali (w. 745 H)

Abu Abdullah Al-Zura’I Ibn Qoyyim Al-Jawziyya (w. 751 H) menyatakan :


“ Ijma’ yang diriwayatkan secara ahad adalah tidak Qoth’I. Tetapi digunakan sebagai
dalil dalam masalah amal perbuatan” (Sawaiq Al-Mursala).

Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk
mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli Dzohhir
(pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar
Bc. Hk, hal. 31).

PENDAPAT PARA ULAMA SYAFI’IYAH

Imam Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I (w. 204), membedakan ilmu menjadi 2 jenis
Ilmu : Ilmu Dzahir dan Ilmu Batin. Beliau berkata :

Pertama terdiri dari keputusan yang benar pada Ilmu Dzahir dan Ilmu Bathin.
Yang lainnya, jawaban yang benar pada Ilmu Dzahir saja. Keputusan yang benar (pada
Ilmu dzahir dan Ilmu Bathin) adalah yang didasarkan pada perintah Allh SWT atau
Sunnah Rarul SAW yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (mutawatir-pent) dari
generasi-generasi awal. Ini (perintah Allah SWT dan As-Sunnah) adalah dua sumber
kebaikan yang dengannya sesuatu ditetapkan sebagai sesuatu yang halal dan yang lain
ditetapkan sebagai sesuatu yang haram. Inilah (jenis ilmu pengetahuan) yang tidak
seorangpun diperkenankan untuk mengabaikan atau meragukannya (sebagai sumber
yang memberi kepastian).

Kedua, pengetahuan yang dimiliki oleh para Ahli yang bersumber dari hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh beberapa orang dan diketahui hanya oleh para Ulama, tetapi untuk
masyarakat umum tidak ada kewajiban untukuntuk memahaminya. Pengetahuan seperti
itu dapat ditemukan diantara semua atau sebagian orang Ulama, yang diriwayatkan oleh
para perawi yang terpercaya dari Nabi SAW. Inilah jenis ilmu pengetahuan yang
mengikat para Ulama untuk menerima dan menetapka keputusan yang benar pada Ilmu
Dzahir sebagaimana kita dapat menerima (validitas) persaksian dari dua orang saksi.
Inilah kebenaran (hanya ada) pada Ilmu Dzahir, karena ada kemungkinan (
dalil\petunjuk) dari dua orang saksi terdapat terdapat kesalahan (Risalah Fi Ushul Fiqh,
Bab Qiyas ( lihat juga hal. 357-359,478)).

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari
Al-Qur’an , karena Al-Qur’an adalah Mutawatir (Ilmu Mustholah Hadis ;
Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).

Imam Ahmad Ibn Ali Ibn Abu Bakr Al-Khatib Baghdadi (w. 463), berkata :
“ khobar Ahad tidak memberikan faedah Ilmu\Dzoni (Khabar Ahad la yufidal ilm’)’’
(Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah).
Abdul Malik Ibn Yusuf Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w. 478 H), menyatakan
berkaita dengan masalah Al-Bayan ( peryataan eksplisit-pent) :
‘’ Bayan dapat ditempatkan brdasarkan urutan berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Al-Ijma’,
Khobar Wahid dan Qiyas” (Nihaya Al-Matlab Fi Diraya Al-Madzab).

Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w. 505 H)
berkata :
“ Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in tidak berfaedah
Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-
Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya : ‘’ Adapun pendapat para Ahli hadis
bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang
wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Qoth’I (yang
menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” ( Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -
pent).

Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata :


‘’ Bahwa maslah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah furu’
cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni’’. Lalu menambahkan: ‘’

Barang siapa menolak Ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur
pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara
masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul
dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang
mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan’’ (Lihat Al-
Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-
Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent).

Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah Shohih
Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa
Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan :
‘’ Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun
hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir,
maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim
dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan Ib
Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah diatas (Syarah Shohih Muslim juz
1\hal. 130-131).

Imam Sa’diudin Ibn Umar Al-Taftazani (w. 792) berkata :


“ Ahad la yufiddal Ilm’, karena ada kemungkinan dalam khobar ini terdapat
kesalahan’’.
Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam Yusuf Al-
Kirmani bahwa : “ Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah’’ (Fathul bari
juz 8, bab khobar Ahad).

Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H) menyatakan :
‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau
Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya
yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).
Fakrudin Muhammad bin Umar bin Husain Ar-Razi (w. 606 H) mengilustrasikan poin
berkaitan dengan hadis Ahad sebagai berikut :
“ Saya katakan kepada seseorang bahwa hadis yang menyebutkan Ibrahim pernah
berbohong sebanyak 3 kali, adalah tidak benar, karena jika hadis ini diterima, maka
akan membuktikan Ibrahim sebagai seorang pendusta. Orang tersebut menyatakan
bahwa para perawi hadis ini adalah perawi yang terpercaya (tsiqoh –pent) dan tidak
dapat dinilai sebagai pendusta. Saya menjawab bahwa hadis ini, kalau kita terima akan
membuktikan bahwa Ibrahim adalah seorang pendusta dan kalau ditolak berarti para
perawi dianggap pendusta, dimana keterangan yang baik dan lebih disukai adalah untuk
diberikan pada Ibrahim AS ” ( Lihat Tafsir Al-Kabir dan Al-Mahshul fi Ilmi Al-Ushul).
Imam Al-Quramani menyatakan :
“ Hadis ahad tidak dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah”.

Ibn Syafi’I menyataakan :


“Hadis Ahad bernilai Qoth’I kalau Umat sepakati atasnya” (Al-Muqadama Fil Ulumil
hadis) .

Al-Hafidz Al-Iraqi :
“Hadis Ahad tidak Qoth’I walaupun umat menyepakatinya”.
Imam Syaukani (w. 1255 H), berkaitan dengan sifat Allah SWT: Menukil pernyataan
Imam Haramain Al-Juwaini yang berkata : “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam
masalah aqidah”.

PENDAPAT PARA ULAMA MALIKIYAH

Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Isfahani (w 430 H) berkata :


“ Hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu\dzoni, tetapi dapat dijadikan dalil dalam cabang
Hukum Syari’at”.
Imam Abul Husain Ibn Ali At-tayyib (w 436 H)
Imam Yahyariyah Al-Ansari
Imam Al-Kasa’I (w abad ke-6 H)

Imam Shamsudin Ibn Ahmad Al-Mullai


Imam Abdurrahman Ibn Jad Al-Magrib Ibn Al-Banani

Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang bertentangan dengan amal
Ahli Madinah (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 32).

Imam Malik ra. menegaskan :


“ Hadis Ahad apabila bertentangan dengan Qowa’id (kaidah-kaidah), maka ia tidak
diamalkan (Fathul Bari juz 4\hal. 156).

PERNYATAAN ULAMA DZOHIRI

Imam Ibn Hazm (w 456 H) menyatakan :


“ Seluruh Ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah telah sepakat (Ijma’) tentang
masalah hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu\Dzoni (Ahad la yufidal ilm’). Lalu beliau
menambahkan : ‘’ Kewajiban pertama atas setiap orang, yang mana Islamnya tidak sah
sebelum melakukannya, adalah dia harus mengetahui dengan hati yang yakin dan ikhlas
yang tidak ada keraguan didalamnya (dibangun dengan dalil-dalil Qoth’I -pent)’’ (Al-
Muhalla juz I\hal. 2).
Menurut Ahli Dhohhir bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis ayat-
ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh sebagian Ulama Hambaliyah
(Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).

PERNYATAAN DARI ULAMA LAINNYA:

Imam Abu Ishak Sya’tibi (w. 790 H) menyatakan :


“ Bahwa Ushul fiqh dalam agama harus dibangun dengan dalil-dalil qoth’I, bukannya
dengan dalil-dalil dzoni. Seandainya boleh menjadikan dalil dzoni sebagai dalil dalam
masalah Ushul seperti Ushul Fiqh maka juga membolehkan (hadis ahad-pent) sebagai
dalil dalam masalah Ushul Ad-din (Aqidah –pent) dan hal ini jelas tidak diperbolehkan
menuruj ijma’ (kesepakatan-pent). Karena masalah Ushul fiqh juga dinisbahkan dalam
masalah Ushul Ad-din” (Al-Muwafaqat fi Ushuli Asy-Syar’iyah -pent).

Imam Asnawi menyatakan :


“ Syara’ memperbolehkan dalil dzoni dalam masalah-masalah amaliyah yaitu masalah
furu’ tanpa amaliyah dalam masalah Qowaid Ushul Ad-din. Demikianlah Qowaid Ushul
Ad-din sebagaimana dinukil oleh Al-Anbari dalam Kitab Syarah burhan dari para
Ulama yang terpercaya” ( Nihayah Fi Ilm’ Al-Ushul).

Imam Ibn Taimiyah berkata :


“ khobar ahad yang telah diterima (terbukti shohih-pent) wajib mewajibkan ilmu
menurut Jumhur sahabat Abu hanafi, Imam Malikl, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad.
Dan ini merupakan pendapat kebanyakan sahabat Imam Asy’ari seperti Al-Asfaraini
dan Ibn faruk. Tetapi hadis Ahad hukum asalnya tidak berfaedah kecuali dzoni. Bila ia
didukung dengan ijma’ ahlul ilmi dengan hadis lainnya maka ia dapat memberi faedah
yang pasti (naik derajatnya menjadi hadis mutawatir maknawi –pent) (Lihat Majmu
Fatwa juz 18, hal. 41).
Imam Al-Zamakhsari, menambahkan :
“ Imam Malik Berpendapat barang siapa sholat dengan membaca Qira’at (bacaan –pent)
Ibn Mas’un yang tidak Mutawatir dan tidak termasuk Qira’at Para Shahabat, maka ia
telah menyelisihi mushfah (Mushhaf Imam yang mutawatir-pent) dan janganlah sholat
dibelakangnya” (Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an juz I\hal. 222)

Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan :


“ Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah
mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis
ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib
diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat
ilmu (yakin)” (Qawaidut Tahdis, hal. 147-148).

Imam Kasani menyatakan :


“ Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta
diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun
dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah
amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja” ( Badaa’iu shanaa’I juz 1\hal.
20).

Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata :

“ Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan hanya
dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah
ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama” ( Syarh Asnawi Nihayah as-Saul
Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214).

Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf Asy- Syairazi (w. 476 H) menyatakan :
“ Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan (ilmu Qoth’I)” ( At-Tabshirah fi Ushuli al-
Fiqh dan Al-Luma’ fi Ushul Al-Fiqh).

Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (w. 1255 H) mengatakan :
‘’ Hadis Ahad menghasilkan dzon’’ ( Irsyad Al-Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilmi Al-
Ushul, hal. 46 dst).

Syeikh Hasan bin Muhammad bin Mahmud Al-Athar (w. 1250 H) menyatakan :
‘’ Hadis Ahad menghasilkan Dzon’’ ( Hasiyah Al-Athar ala Syarh Al-Mahali ala Jam’i
Jawami’ As-Subki, juz 2\hal 146).

Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani mengatakan :


“ Hadis ahad tidak berfaedah kecuali dzon, apabila tidak sampai derajat mutawatir
(Fathul Bari, juz 13\hal. 238)

Imam Al-Amidi menyatakan :


“ Sebagian sahabat kami menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah dzon (Al-
Ihkam Lil Amidi, 2\hal 34)

Syeikh Shadr Asy-Syarif Ubaidilah bin Mas’ud (w. 747 H) menyatakan :


‘’ Hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan\Dzon’’ ( At-Talwih Syarh At-Taudhih li
Matan At-Tanqih, juz 2\hal. 303).

Syeikh Kamal bin Hamam (w. 861 H) dan Syeikh Ibn Amir Al-Haj (w. 879 H)
menyatakan :
‘’ Hadis Ahad menghasilkan Dzon ‘’ ( At-Taqrir wa At-Tahbir Syarh Kabir, juz 2\hal
235-236).

Imam Alaudin bin Abdi Al-Aziz Al-Bukhari (w.730 H) menyatakan :


‘’ Hadis Ahad menghasilkan keraguan\Dzon ‘’ ( Kasfu Al-Asrar An Ushul Al-Bazdawi,
juz 2\hal 360).

Dr. Wahbah Zuhaili menegaskan bahwa :


‘’ Hadis Ahad menghasilkan Dzon ‘’ ( Ushul Al-Fiqh Al-Islami, juz 1\hal. 451).
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan :
‘’ Hadis Ahad berfaedah Dzon ‘’ ( Ushul Al-Fiqh, hal. 83-84).

Syeikh Muhammad Al-Khudhari berkata :


‘’ Hadis ini (hadis ahad –pent) adalah menghasilkan Dzon ‘’ ( Ushul Al-Fiqh, hal. 214-
215).

Syeikh Muhammad Musthafa Syalbi menyatakan :


‘’ Hadis Ahad menghasilkan Dzon ‘’ ( Ushul Al-Fiqh Al-Islami, hal. 139).

Syeikh Hafidz Tsanauullah Az-Zahidi tatkala menjelaskan tentang Bab Fardhu, beliau
berkata :
‘’Fardhu Amali atau dzon adalah apa yang ditetapkan dengan dalil Dzoni Tsubut dan
Qoth’i Dalalah, yang statusnya lebih kuat dari Al-Wajib Al-Istilahi dan lebih ringan dari
Al-Fardhu Al-Qoth’i’’. Selanjutnya beliau menambahkan : ‘’ Hukum Fardhu Amali
adalah wajib untuk diamalkan tetapi tidak untuk dalil untuk masalah I’tiqod ( la Al-
I’tiqod), maka tidak kafir orang yang mengingkarinya’’ (Taisiru Al-Ushul, hal. 156-
158).

Imam Abi Bakr Muhammad bin Ahmad bin Sahal As-Sarkhasi ( w. 490 H) menyatakan
;
‘’ Menurut Jumhur Ulama Hanafiyah wajib adalah apa yang telah ditetapkan dengan
dalil Qoth’i dalalah dan dzon tsubut (termasuk hadis ahad-pent) atau dzon dilalah dan
qoth ‘i tsubut dengan penegasan dan penekanan atas tuntutannya (Al-Syadah wa Al-
Jazm fi Ath-Tholab) atau dengan kata lain adalah apa dengan dalil yang mewajibkan
Ilmu untuk diamalkan tetapi tidak mewajibkan ilmu yaqin, karena ada stubhat\keraguan
dalam jalannya’’ ( Ushul As-Sarkhasi, juz 1\hal. 111).

Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim (w. 970 H) menyatakan hal sama dengan
Imam As-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzon Tsubut-pent) wajib diamalkan, tetapi tidak
untuk masalah I’tiqod (Aqidah-pent) (Lihat Fath Al-Ghaffar Al-Ma’ruf bi Misykah Al-
Anwari, juz 2\hal. 63).
Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam As-
Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status hadis ahad ( Lihat Kitab Al-Mughni fi Al-
Ushuli Al-fiqhi Li Al-Khobazi, hal. 84).

PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER

Imam Shuhaib Al-Hasan menukil Imam Ahmad yang menyatakan:


“ Jangan tulis hadis Gharib ini (hadis Ahad), karena dia tidak diterima dan kebanyakan
diantaranya adalah Dha’if” (Musthala hadis).

Syeikh DR. Rif’at Fauzi menegaskan :


‘’ Hadis semacam ini (hadis ahad) tidak berfaedah yakin dan qoth’i. Ia hanya
menghasilkan Dzon’’.

Syeikh DR. Abdurahman Al-Baghdadi, menyatakan :


“ Para Ulama sepakat bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak
digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah” (Lihat Kitab Radu’ alal Kitab Ad-
Da’wah Al-Islamiyah hal 191).

Syeikh DR. Muhammad Wafa’ menegaskan bahwa :


‘’ Menurut Mayoritas Ulama hadis-hadis Rasul SAW terbagi menjadi dua, yaitu hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad. Sedang Ulama Hanafiyah menambahkan satu, yaitu hadis
masyhur ‘’. Kemudian veliau melanjutkan pembahasannya : ‘’ Sedang Hadis Ahad
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak mencapai
batas Muatawatir. Ia memberikan keraguan, serta tidak dapat memberikan ketenangan
dan keyakinan’’ (Lihat kitab Ta’arudh al-adilati As-Syar’iyati min Al-Kitabi Wa As-
Sunnahi Wa At-Tarjihu Bainaha, hal. 70).

Syeikh DR. Thoha Jabir Al-Ulwani :


Sumber hokum Islam ada yang Qoth’I Tsubut (Memberi faedah pasti –pent)seperti Al-
Qur’an dan Hadis Mutawatir . Dan ada juga sumber hukum yang Dzonni Tsubut seperti
hadis Ahad (memberi faedah Dzon –pent) (Adab Al-Ikhtilaf\Bab Khatimah).

Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis ahad
tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan
tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal (Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islam; hal 54).

Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis
ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah maupun
masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena
keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis
ahad hanya memberikan faedah Dzonni (Ilmu Mustholah Hadits, hal. 31).

Maulana M. rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan autentitasnya dari
serangan para orientalis :
“ Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang
perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada seorang
perawi”. Selanjutnya beliau mengatakanbahwa: “Hadis Ahad tidak menghasilkan
kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil
dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis”
(Izhar Al-Haq juz 4).

M. Muhammad Azami dalam (Studies in Hadis Methodology and Literature, hal. 43)
Sayid Qutb dalam tafsirnya ( Fi Dzilanil Qur’an\ juz 30)
Syeikh Hasan Attar
Syeikh Zakiudin Sha’ban
Imam Juzairi
Syeikh Abdullah Ibn Abdul Muhsin At-Turki (Rektor Univ. Medinah)
Syike Shu’ban Muhammad Ismail
Syeikh Abdul Wahab Kholaf (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Taqiyudin An-Nabhani (Mujtahid Abad Ini)
Syeikh Abdul Wahab Najjar
Syeikh Muhammad Abu Zahra (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Badran Abu Ainain badran
Syeikh Md. Salam Mudkur
Syeikh Umar Bakri Muhammad (Rektor Istitut Syari’ah Islam-London)
Syeikh Umar Abdullah
Syeikh DR. Muhammad Ujjaj Al-Khatib (Pakar Hadis)
Syeikh DR. Samih Athif Az-Zein (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Muhammad Muhammad Ismail (Guru Besar salah satu Univ. di Mesir)
Syeikh DR. Muhammad Husain Abdullah (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Muhammad Ali Hasan (Pakar Bahasa Arab)
Syeikh DR. Abdul Madjid Al-Muhtasib (Pakar Tafsir)
Syeikh DR. Abdurahman Al-Maliki (Pakar Hukum Islam)
Syeikh DR. Mahmud Al-Khalidi ( Staf pengajar Univ. Madinah)
Syeikh DR. Mahmud Abdul Karim Hasan (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Mahmud Thahan (Pakar Hadis)
Syeikh DR. Muhammad Wafa’ (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh DR. Muhammad Khoir Haikal (Pakar Hukum Islam)
Imam Jamaluddin Al-Qosimi (pakar Hadis)
Syeikh Musthafa As-Shibalah
Syeikh Md. Al-Khadari
Syeikh Ali Hasabulah
Syeikh Iyadh Hilal (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Atha’ Abi Rustha (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Abdul Aziz Al-Badri (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Abdul Qadim Zalum (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Fathi’ Salim (Pakar Hadis)
Syeikh Ishom Amirah (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Ahmad Mahmud
Syeikh M. Abdul Lathif Uwaidhah
Syeikh Fauzi Sanqarth
Syeikh Hafidz Sholeh (Master Bahasa Arab dan Studi Islam, Univ. Salafiyah Pakistan)
Syeikh Ali Raghib (Staf pengajar Univ. Al-Azhar-Mesir)
Syeikh Abdul Ghoni Sholah
Syeikh Muhammad Syakir Syarif
Syeikh Muhammad Musa
Syeikh Abdullah Ath-Tharablusi
Syeikh Tsabit Al-khawajan
Syeikh Al-Jibali (Pakar Hadis)
Syeikh Ahmad Iyadh Athiyah (Pakar Ushul Fiqh)
Syeikh Dawud Hamdan
Syeikh Abdurrahman Muhammad Khalid
Syeikh Muhammad Syuwaiki (Imam Masjid Al-Aqsa)
Syeikh Muhammad Hasan Haitu
Syeikh Muhammad Izzat At-Thahthawi
Mayoritas Ulama Al-Azhar (Mesir) dan Universitas Islam terkemuka di negeri-negeri
kaum muslimin

Anda mungkin juga menyukai