Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

STUDI AL-QURAN

PENDEKATAN SEJARAH DAN FILOLOGI

Dosen Pengampu : Dian Muhammad Hakim, S.Pd.I.,M.Pd.I

Kelompok 2

Fitria : (22201011148)

Sulistiono : (22201011168)

Iftitahur Rohmah : (22201011154)

PROGTAM STUDI S1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS AGAMA ISLAM MALANG

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakattuh


Tiada kata terindah selain mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT sebab karena
limpahan rahmat serta anugerahNya kami mampu menyelesaikan makalah kami
dengan judul “Studi Al Qur’an” ini.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita,
yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT
untuk kita semua, yang merupakan sebuah pertunjuk yang paling benar yakni Syariah
agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi
seluruh alam semesta.
Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami sangat
menyadari, bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak
kekurangan.
Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga
rampungnya makalah ini.
Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah
kami buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Malang, 26 September 2022

2
DAFTAR ISI

JUDUL................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................iv
B. Rumusan Masalah......................................................................................iv
C. Tujuan..........................................................................................................iv
BAB II PEMBAHASAN
A. Studi Al-Qur’an...........................................................................................1
B. Pendekatan Sejarah dan Filologi.................................................................2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................12
B. Daftar Pustaka...........................................................................................13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Studi Al Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang segala sesuatu
yang ada kaitannya dengan Al Qur’an. Al Qur’an sebagai kitab suci umat
islam yang berlaku sepanjang zaman tidak akan pernah habis dan selesai
untuk dibahas. Inilah yang membuktikan kemukjizatan AlQur’an sekaligus
perbedaan Al Qur’an dengan kitab suci lainnya. Pengkajian studi ini sangatlah
penting bagi umat islam khususnya, agar dapat mengetahui berbagai hal yang
terkandung di dalam kitab suci tersebut.
Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu modern
untuk mengkaji Al-Qur’an mulai digemari, kita perlu memahami Al-Qur’an
melalui berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya
dengan pendekatan filologi dan sejarah yang akan dibahas dimakalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pendekatan Filologi?
2. Apa Pengertian Pendekatan Sejarah?
3. Memahami Apa Saja Pendekatan Sejarah Dalam Studi Al-Qur’an?

C. Tujuan
Untuk mengetahui apa pendekatan Filologi,mengetahui apa pengertian
sejarah,memahami apa saja pendekatan sejarah dalam studi Al-Qur’an

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Filologi

Secara etimologis, filologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu philos
yang berarti ‘cinta’ dan logos yang berarti ‘kata’. Dengan demikian, kata filologi
membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Shipley dalam Baroroh-Baried,
1985: 1). Arti tersebut kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, dan ‘senang
kasustraan atau senang kebudayaan’ (Baroroh-Baried, 1985: 1).[1]

Pendekatan filologi atau literal dalam studi Islam meliputi metode tafsir
sebagai pendekatan filologi terhadap alqur’an dalam menggali makna yang
dikandungnya, pendekatan filologi terhadap hadits atau sunnah Rasul dan pendekatan
filologi terhadap teks-teks klasik (hermeneutika) yang merupakan refleksi
kebudayaan kuno dalam tulisan-tulisan para intelek di masanya.

Filologi selama ini dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya
masa lampau yang berupa tulisan. Studi terhadap karya tulis masa
lampau dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam peninggalan aliran
terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini

5
B. Pendekatan Sejarah

Ditinjau dari sisi etimologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajarah (pohon)
dan dari kata history dalam bahasa Inggris yang berarti cerita atau kisah. Kata history
sendiri lebih populer untuk menyebut sejarah dalam ilmu pengetahuan. Jika dilacak
dari asalnya, kata history berasal dari bahasa Yunani istoria yang berarti pengetahuan
tentang gejala-gejala alam, khususnya manusia.

Melalui pendekatan ini, seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang


sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Pendekatan sejarah ini amat
diperlukan dalam memahami Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu turun dalam situasi
konkrit, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan
ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam,
hal ini Islam menurut pendekatan sejarah ketika ia mempelajari Al Qur’an sampai
pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan Al Qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian, yaitu; konsep dan kisah sejarah.

Pendekatan sejarah ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan


metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang. Menurut
Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu
empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama
dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah
yang menjadi rujukan.

Jika pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan hal-hal berkenaan Al-


Qur’an dengan menelusuri sumber-sumber sejarah, maka pendekatan ini bisa
didasarkan kepada personal historis. Pendekatan semacam ini berusaha untuk
menelusuri awal perkembangan turunnya Al-Qur’an, untuk menemukan sumber-
sumber dan jejak perkembangan Al-Qur’an, serta mencari pola-pola interaksi antara
agama dan masyarakat. Pendekatan sejarah pada akhirnya akan membimbing ke arah
pengembangan teori tentang evolusi agama dan perkembangan kelompok-kelompok
keagamaan.

2
Bersamaan dengan pendekatan filologis, pendekatan kesejarahan juga
sangat dominan dalam tradisi kajian islam modern. Kajian terhadap naskah-naskah
klasik keislaman telah merangsang mereka untuk mengoperasikan pendekatan
kesejarahan berdasarkan dokumen-dokumen yang telah ada.

C. Pendekatan Sejarah Dalam Studi Al-Qur’an

Berikut ini ada beberapa tema yang akan dibahas yeng bersangkutan dengan
pendekatan histories.

1. Sejarah Turunnya Al-Quran

Allah SWT menurunkan Al-Qur'an dengan perantaraan malaikat jibril


sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua
hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia / berumur 41 tahun
yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir alqu'an turun yakni pada
tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat 3.

Alquran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik
beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan
surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu
dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad SAW akan lebih mudah
menghafal serta meneguhkan hati orang yang menerimanya. Al Qur’an diturunkan
secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di
Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Penjelasan turunnya secara berangsur-angsur itu
terdapat dalam firman Allah;

“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian
demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)

Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan


kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya Al-Qur’an pertama kali pada
lailatul qadr merupakan pemberitahuan kepada alam samawi yang dihuni para

3
Malaikat tentang kemulian Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan
riasalah barunya agar menjadi umat paling baik. Turunnya Al-Qur’an kedua secara
bertahap. Rasulullah tidak menerima risalah besar ini dengan cara sekaligus.[4]

Turunnya Al-Qur’an sekaligus dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abbas.

“Al-Qur’an itu dipisahkan dari Az-Dzikr, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit
dunia. Maka Jibril mulai menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. (HR. Al-
Hakim)

“Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus ke langit dunia, pusat turunnya Al-Qur’an


secara gradual. Lalu, Allah menurunkannya kapada Rasul-Nya bagian demi bagian”
(HR. Al-Hikam dan Baihaqi)

Adapun Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sebagaimana Allah SWT


berfirman dalam kitabnya yang mulia QS. Al-Baqarah 185;

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”
(QS. Al-Baqarah: 185)

Dan firmanNya QS.Al-Qadr: 1

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan


(lailatul qadar).” (QS. Al-Qadr: 1)

Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-


macam cara dan keadaan, di antaranya:

a) Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w.
tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam
kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam
kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).

4
b) Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang
mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan
kata-kata itu.

c) Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat
berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat,
meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta
beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun
ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku
adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah
ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan
keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu,
barulah beliau kembali seperti biasa".

d) Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki,


tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah
(53) An Najm ayat 13 dan 14.

“Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli)
pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha” (QS. An Najm: 13-14).

2. Pengertian Al-Qur’an

Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal dari Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril sebagai pedoman
serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan lokasi. Alquran adalah
kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan
melalui para rasul.

"Quran" memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti


merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata
yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah, yaitu akar kata (masdar-
infinitif) dari qara’a, qira’atan wa qur’anan.[5] Allah menjelaskan di dalam Al Qur’an

5
sendiri, ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagai tersebut dalam
ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:

Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya17. Apabila Kami telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu.18 (QS. Al-Qiyaamah: 17-18)

Adapun definisi lain Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan
mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di
mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"

Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain
Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian
pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya
tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an

3. Kodifikasi (Pengumpulan) Al-Qur’an

Yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para


ulama adalah salah satu dari dua pengetian berikut:[6]

Pertama, Pengumpulan dalam arti hafazhahu (menghafalnya dalam hati).


Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang
menghafalkannya di dalam hati).

Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabuhu Kullihi (penulisan Al-Qur’an


semuannya) baik dengan memisahkan-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau
menertibkan ayat-ayatnya semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran yang
terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran
yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah bagian
yang lain.

a) Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Rasulullah

6
Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah yaitu dengan konteks
menghafal dan konteks menulis.

Rasulullah sangat menyukai wahyu, Ia senantiasa menunggu datangnya wahyu


dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis dengan yang dijanjikan
Allah;

“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan


(membuatmu pandai) membacanya”. (QS. Al-Qiyamah: 17)

Oleh karena itu, ia adalah hafizh (penghafal) Al-Qur’an pertama dan


merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menhafalnya, sebagai bentuk
cinta mereka kepada sumber agama dan risalah Islam.

Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah


SAW, bahkan sejak Al-Qur’an diturunkan. Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW
membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk
mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka.

Disamping menyuruh mereka untuk menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya, Nabi


SAW juga memerintahkan para sahabat untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah
kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang.

Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an, setiap tahun Jibril datang kepada Nabi
SAW untuk memeriksa bacaannya. Malaikat Jibril mengontrol bacaan Nabi SAW
dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan.
Kemudian Nabi SAW sendiri juga melakukan hal yang sama dengan mengontrol
bacaan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian terpeliharalah Al-Qur’an dari
kesalahan dan kekeliruan.

Para Hafidz dan Juru Tulis Al-Qur’a pada masa Rasulullah SAW sudah banyak
sahabat yang menjadi hafidz (penghafal Al-Qur’an), baik hafal sebagian saja atau
seluruhnya. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah,

7
Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin
Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti
Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal,
Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.

Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu antara lain adalah Abu
Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Amir bin
Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’b, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin
Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin As.

Tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka disimpan di rumah


Rasulullah, mereka juga menulis untuk disimpan sendiri. Saat itu tulisan-tulisan
tersebut belum terkumpul dalam satu mushaf seperti yang dijumpai sekarang.
Pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf baru dilakukan pada masa
kekhalifahan Umar bin Khattab, setelah Rasulullah SAW wafat.

b) Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Khalifah Abu Bakr

Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah sangat
pendek/dekat. Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah sembilan
hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masanya sangat relatif singkat,
yang tidak memungkinkan untuk menyusun atau membukukannya sebelum sempurna
turunnya wahyu.

Abu Bakar dihadapkan peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya


sejumlah orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya
untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah pada tahun
keduabelas hijriyah melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Al-Qur’an . dalam
peperangan ini tujuh puluh qari’ dari para sahabat gugur. Melihat itu Umar bin
Khaththab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu
Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-
Qur’an karena khawatir akan musnah

8
Akan tetapi, Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dari segi yang lain bahwasanya Abu Bakar Siddiq
adalah benar-benar orang yang bertitik-tolak dari batasan-batasan syari’at, selalu
berpegang menurut jejak-jejak Rasulullah SW, dimana ia khawatir kalau-kalau
idenya itu termasuk bid’ah yang tidak dikehendaki oleh Rasul Karena itulah maka
Abu Bakar mengatakan kepada Umar: “Mengapa saya harus mengerjakan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW? Barangkali ia takut terseret oleh
ide-ide dan gagasan yang membawanya untuk menyalahi sunnah Rasulullah SAW
serta membawa kepada bid’ah.

Abu Bakar juga khawatir kalau-kalau orang mempermudah dalam usaha


menghayati dan menghafal Al-Qur’an, cukup dengan hafalan yang tidak mantap dan
khawatir kalau-kalau mereka hanya berpegang dengan apa yang ada pada mushhaf
yang akhirnya jiwa mereka lemah untuk menghafal Al-Qur’an. Minat untuk
menghafal dan menghayati Al-Qur’an akan berkurang karena telah ada tulisan dan
terdapat dalam mushhaf-mushhaf yang dicetak untuk standar membacanya,
sedangkan sebelum ada mushhaf-mushhaf mereka begitu mencurahkan
kesungguhannya untuk menghafal Al-Qur’an.Namun Umar tetap membujuknya,
sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut.

Akhirnya kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, karena Zaid
adalah orang yang betul-betul memiliki pembawaan/kemampuan yang tidak dimiliki
oleh shahabat lainnya dalam hal mengumpulkan Al-Qur’an, ia adalah orang yang
hafal Al-Qur’an, ia seorang sekretaris wahyu bagi Rasulullah SAW, ia menyamakan
sajian yang terakhir dari Al-Qur’an yaitu dikala penutupan masa hayat Rasulullah
SAW.

Disamping itu ia dikenal sebagai orang yang wara’ (bersih dari noda), sangat besar
tanggungjawabnya terhadap amanat, baik akhlaknya dan taat dalam agamanya. Lagi
pula ia dikenal sebagai orang yang tangkas (IQ-nya tinggi). Demikianlah kesimpulan
kata-kata Abu Bakar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari tatkala ia memanggilnya
dengan mengatakan : “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas yang tidak kami

9
ragukan. Anda adalah penulis wahyu Rasul”. Kita diminta untuk membukukan Al-
Qur’an Zaid juga menolak, ia tidak bisa memgemban amanat yang begitu berat.
“Demi Allah, andaikata saya ditugaskan untuk memindahkan sebuah bukit tidaklah
lebih berat jika dibandingkan degan tugas yang dibebankan kepadaku ini”. (Al-
Hadits). kata Zaid bin Tsabit, Ia adalah seorang yang sangat teliti, dapat dilihat dari
kata-katanya tersebut.

Zaid bin Tsabit bertindak sangat teliti dan hati-hati dalam menulis Al-Qur’an.
Baginya tidak cukup mengandalkan pada hafalannya semata tanpa disertai dengan
hafalan dan tulisan para sahabat.

Al-Qur’an itu bukan saja dari tulisan-tulisan yang telah ada pada lembaran-
lembaran yang telah disebutkan di atas, bahkan juga didengarkan pula dari mulut
orang-orang yang hafal Al-Qur’an, kemudian dituliskan kembali pada lembaran-
lembaran yang baru, dengan susunan ayat-ayatnya tetapi seperti yang ditunjukkan
Rasulullah. Lembaran-lembaran ini kemudian diikat menjadi satu, lalu diberi nama
Mushaf, dan disimpan sendiri oleh khalifah Abu Bakar, kemudian oleh khalifah
Umar.

Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini
ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari
lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-
ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Rasulullah. Adanya mushhasf
ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an itu akan lebih
terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau pemalsuan
atau kehilangan sebagian ayat-ayatnya. Mushhaf ini disimpan oleh khalifah Abu
Bakar sendiri.

Lembaran-lembaran AlQur’an yang dikumpulakn menjadi satu mushhaf pada


zaman Abu Bakar mempunyai beberapa segi kelebihan yang amat penting:

1) Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.

10
2) Yang ditulis pada mushhaf hanya ayat yang sudah jelas tidak di nasakh
bacaannya.

3) Telah menjadi ilma’ umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-
ayat Al-Qur’an.

4) Mushaf itu memiliki Qira-ah Sab’ah yang dinuqil secara shahih

c.) Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Khalifah Utsman bin Affan

Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana


mestinya, sebab yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu
Bakar. Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup
berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal
qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk kampung itu.
Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah memakai qira’ah
Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari.
Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka,
sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri.
Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan
perbedaan qira’ah tersebut.[10]

Perbedaan tersebut ialah:

Perbedaan mengenai susunan surat. Naskah-naskah yang mereka miliki itu


tidak sama susunan atau tertib urut surat-suratnya. Hal ini disebabkan karena
Rasulullah sendiri memang tidak memerintahkan supaya surat-surat Al-Qur’an itu
disusun menurut tertib umat tertentu, karena masing-masing surat itu pada hakikatnya
adalah berdiri sendiri, seingga seolah-olah Al-Qur’an itu terdiri dari 114 kitab.
Rasulullah hanya menetapkan tertib urut ayat dalam masing-masing surat itu.

Perbedaan mengenai bacaan. Asal mula pertikaian bacaan ini adalah karena
Rasulullah sendiri memang memberikan kelonggaran kepada qabilah-qabilah Islam di
Jazirah Arab untuk membaca dan melafadzkan ayat-ayat Al-Qur’an itu menurut

11
dealek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Rasulullah agar
mudah bagi mereka untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an itu, tetapi
kemudian kelihatanlah tanda-tanda bahwa pertikaian tentang qiraat itu, kalau
dibiarkan berlangsung terus, tentu akan mendatangkan perpecahan yang lebih luas
dikalangan kaum kuslimin, terutama karena masing-masing qabilah menganggap
bahwa bacaan merekalah yang paling baik dan ejaan merekalah yang paling betul.
Lebih berbahaya lagi apabila mereka menuliskan ayat-ayat itu dengan ejaan yang
sesuai dengan dealek mereka masing-masing.[11]

Orang yang mula-mula mensinyalir dan menumpahkan perhatian kepada


keadaan ini ialah seorang sahabat bernama Hudzaifah Al-Yamani. Ia ikut dalam
pertempuran, ketika kaum muslimin menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Di dalam
perjalanan ia pernah mendengar perbedaan qiraat kaum muslimin, bahkan ia pernah
menyaksikan dua orang muslim sedang bertengkar mengenai bacaan tersebut, di
mana yang seorang berkata kepada yang lain:‫” قراءتي أحسن من قراءتك‬Bacaanku lebih
baik dari pada bacaanmu”. Hudzaifah merasa khawatir melihat kenyataan ini, sebab
itu ketika ia kembali ke Madinah, ia menghadap khalifah Usman dan melaporkan
apa-apa yang telah dilihat dan didengarnya. Mengenai perbedaan qiraat itu Hudzaifah
berkata (Al-Suyuti, I, 1979:61):

‫أدرك اآل مة قبل أن يختلفوا إختالف اليهود و النصاري‬

Tertibkanlah umat sebelum mereka berselisih, seperti perselisiannya orang-orang


Yahudi dan Nasrani.

Usul Hudzaifah ini diterima khalifah Usman.[12] Itulah sebabnya, Usman kemudian
berpikir dan merencanakan untuk membendung sebelum kegilaan itu meluas. Beliau
akan mengusir penyakit sebelum kesulitan mencari obat. Kemudian beliau
mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai
memadamkan dan meredakan fitnah dan persengketaan itu.

12
Usman ra telah melaksanakan ketetapan yang bijaksana ini. Beliau memilih
empat orang tokoh handal dari sahabat pilihan. Mereka adalah Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Hisyam.

Mereka dari suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid, ia dari golongan
Anshar. Usaha yang amat mulia ini berlangsung pada tahun 24 H.[13]

Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yaitu menuliskan atau


menyalin kembali ayat-ayat Al-Qur’an itu dari lembaran-lembaran yang telah ditulis
pada masa Abu Bakar, sehingga menjadi mushhaf yang lebih sempurna yang akan
dijadikan standar bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan
mereka.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendekatan filologi atau literal dalam studi Islam meliputi metode tafsir
sebagai pendekatan filologi terhadap alqur’an dalam menggali makna yang
dikandungnya, pendekatan filologi terhadap hadits atau sunnah Rasul dan pendekatan
filologi terhadap teks-teks klasik (hermeneutika) yang merupakan refleksi
kebudayaan kuno dalam tulisan-tulisan para intelek di masanya.

Pendekatan historis ini adalah suatu pandangan umum tentang pandangan


metode pengajaran secara suksesif sejak dulu sampai sekarang. Menurut
Kuntowijoyo, sejarah bersifat empiris sedangkan agama bersifat normatif. Sejarah itu
empiris karena bersandar pada pengalaman manusia. Sedangkan ilmu agama
dikatakan normatif bukan berarti tidak ada unsur empirisnya, melainkan normatiflah
yang menjadi rujukan.

Di dunia Islam sendiri pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu modern untuk


mengkaji Al-Qur’an mulai digemari, kita perlu memahami Al-Qur’an melalui
berbagai dimensi dan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya dengan pendekatan
filosofis dan sejarah yang dibahas dimakalah ini.

Salah satu pedoman hidup dalam beragama adalah kitab suci, kitab suci
agama Islam adalah Al-Qur’an. Al-Quran adalah firman atau wahyu yang berasal dari
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui malaikat jibril
sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa, bangsa dan
lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan
injil yang diturunkan melalui para Rasul

14
B. Daftar Pustaka

[1] http://mahrus-salim.blogspot.com/makalah-filologis-pendekatan-
histori.html/diakses pada 18-04-2014
[2] Zakiah Daradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996), hlm.1
[3] Dudung Abdurrahman. Pendekatan Sejarah, hlm. 49
[4] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Trjmh
H.Aubur Rafiq El-Mazni, Lc. MA. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006),
hlm.124
[5] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. ibid., hlm.16
[6] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Ibid., hlm.150-151
[7] Syeikh, Manna’ Al-Qaththan. Ibid.,hal.159
[8] A. Chairudji Abd. Chalik. Ulumul Qur’an. (Jakarta: Diadit Media, 2007),
hlm 56-58
[9] M. Qodirun Nur. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. (Jakarta: Pustaka
Amani, 2001), hlm 86
[10] M. Qodirun Nur. Ibid., hlm 89
[11] Chairudji Abd. Chalik. Op.cit., hlm 60-62
[12] Ibid.,
[13] Ibid., hlm 54-56

15

Anda mungkin juga menyukai