Anda di halaman 1dari 25

ISLAM SEBAGAI AGAMA DAN PERADABAN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam II

Dosen Pengampu:
Atep Abdurrofiq, M.Si.

1. Afif Syarif Anwari (11200480000002)


2. Dinda Annisa Fitria Setiawan (11200480000043)
3. Sifa Alfyyah Asathin (11200480000085)
4. Tsuroyya Permata Sanlia (11200480000138)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Studi Islam II
dengan judul “Islam Sebagai Agama dan Peradaban”. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Atep Abdurrofiq, M.Si selaku dosen pengampu
mata kuliah Studi Islam II yang telah memberikan pengantar kepada kami
dalam penyusunan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Tangerang Selatan, 15 Maret 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................3

A. Latar Belakang..............................................................................................3

B. Rumusan Masalah.........................................................................................4

C. Tujuan...........................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

A. Islam Sebagai Peradaban..............................................................................5

B. Islam Sebagai Agama...................................................................................7

C. Islam Sebagai Peradaban..............................................................................9

D. Corak Masyarakat yang Berdasarkan Nilai Nilai Agama Islam (Masyarakat


Madani)........................................................................................................18

BAB III PENUTUP...............................................................................................23

A. Kesimpulan.................................................................................................23

B. Saran............................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban dalam bahasa Arab disebut dengan “al-hadārah” atau “al-


madaniyyah”. Akar kata al-hadārah adalah al-hadar, al-hadrah, al-
hādirah yang berarti kota. Sedangkan al-madaniyyah itu berakar dari kata
“al-madīnah” yang juga berarti kota.

Sedangkan peradaban menurut definisi Dr. Ahmad Syalabi, “ Peradaban


adalah hasil karya dalam bidang ilmu secara ilmiah dan percobaan,
seperti kedokteran, arsitektur, kimia, pertanian, dan produksi serta
penemuan yang bernilai. Selain itu Raghib As-Sirjani berpedapat
bahwa peradaban adalah hasil interaksi antara manusia dan Tuhannya
dari satu sudut, juga interaksi antara manusia dengan lingkungan sekitar
seperti hewan , burung ikan, pohon, dan bumi tambang.

Nabi Muhammad SAW yang merupakan seorang revolusioner akhlak


bangsa Arab yang penuh dengan kekacauan menuju kepada keteraturan
melalui ajaran yang dibawa yaitu agama Islam, sesuai dengan
ungkapannya bahwa nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia, secara kontekstual tidak hanya pada masa hidupnya,
melainkan ajaran yang dibawanya merupakan sebuah sarana untuk
menyempurnakan nilai akhlak hingga saat ini yaitu dengan ajaran agama
Islam.

Melihat urgensi peranan agama Islam tersebut dalam korelasinya dengan


aneka permasalahan yang telah diuraikan, maka terkait dengan nilai Islam
di dalam kehidupan serta berkaitan dengan materi mata kuliah Studi
Islam dalam pembahasan Islam sebagai agama peradaban.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan dari makalah ini adalah
sebagai berikut;
1. Apa sajakah fungsi Islam sebagai agama?
2. Apa sajakah fungsi Islam sebagai peradaban?
3. Adakah hubungan antara Islam dan peradaban?
4. Bagaimana corak masyarakat Madani berdasarkan nilai-nilai agama
Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui fungsi Islam sebagai agama.
2. Untuk mengetahui fungsi Islam sebagai peradaban.
3. Untuk mengetahui adanya hubungan antara Islam dan peradaban.
4. Untuk mengetahui corak masyarakat Madani berdasarkan nilai-nilai
agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam Sebagai Peradaban


1. Pengertian Islam Sebagai Peradaban
Islam dan peradaban merupakan satu kesatuan yang tak mungkin
dipisahkan. Sejak kehadirannya, Islam telah membawa konsep dan
misi peradaban yang inheren dalam dirinya. Peradaban Islam
bersumber pada din (agama) yang berasal dari wahyu Allah. Itu
sebabnya peradabannya biasa dikenal dengan istilah tamaddun atau
madaniyyah, karena bersumber dari din tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan sebagai dua arti
peradaban; 1) kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin; bangsa-
bangsa di dunia ini tidak sama tingkat peradabannya dan 2) hal yang
menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu
bangsa. Peradaban dalam bahasa Arab disebut dengan al hadharah
atau al tamaddun atau al umran. Menurut Ibnu Khaldun, al hadharah
adalah sebuah periode dari kehidupan sebuah masyarakat yang
menyempurnakan periode primitif (al badawah) dari masyarakat itu,
karena al hadharah adalah puncak dari al badawah.
Konsepsi Islam sebagai sebuah peradaban yaitu bahwa peradaban
Islam bersumber dari din (agama) yang berasal dari wahyu Allah.
Substansi peradaban Islam adalah pokok-pokok ajaran Islam yang
tidak terbatas pada sistem kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tetapi
merupakan super sistem yang meliputi keseluruhan pandangan
tentang wujud, terutamanya pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu
teologi (aqidah) dalam Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata
nilai dan seluruh kegiatan kehidupan muslim.
Islam Sebagai Peradaban Rahmatan Lil ‘Alamin, kalimat Rahmatan
Lil ‟Alamin, berasal dari gabungan dari tiga kata, yaitu Rahmatan, Li,
dan al-‟Alamin. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya
Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan
bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin,
apalagi sesama manusia. Istilah Islam rahmatan lil ‘alamin sudah
mengalami penyempitan makna, yakni menjadi Islam yang lembut
dan damai. Sedangkan Islam sebagai peradaban Rahmatan Lil’alamin
dikenal dengan ciri toleran ajaran dan dan risalahnya yang universal
tentang kesatuan bentuk atau jenis manusia.
2. Fungsi Islam Sebagai Peradaban
a. Pertama, adanya transmisi pandangan hidup dan keyakinan (al-
naqlah al-tas}awwuriyyah al-i’tiqâdiyyah). Ini adalah transmisi
paling penting yang mendasari perubahan apapun dalam satu
masyarakat. Di mana keyakinan dalam bentuk politeisme
berubah menjadi tauhid; dari penyembahan kepada manusia
menjadi penyembahan hanya kepada Allah; dari mengabdi
kepada batu, patung, dan berhala, menjadi menyembah Allah
yang tak dapat disentuh tangan dan tak dapat diindra oleh mata.
Dalam bahasa alQur’an adalah min al-z}ulumât ilâ al-nûr (dari
gelap menuju cahaya). Satu bentuk perubahan sempurna: dari
hitam ke putih. Karena Islam datang untuk membebaskan
seluruh anak keturunan Adam.
b. Kedua, transmisi keilmuan (al-naqlah al-ma’rifiyyah). Ini yang
disebut dengan tah}awwul ma’rifî (perubahan ilmiah): masuk
ke dalam nalar untuk “mencelupnya” dengan “celupan” yang
memungkinkannya dapat berinteraksi dengan alam (al-kaun),
dunia (al-‘alam), dan wujud/being (al-wujûd). Dan transmisi ini
telah dimulai sejak wahyu pertama turun, Iqra’! Dari sana
kemudian seruan al-Qur’an terus berjalan, memancar dari
aktivitas membaca dan berpikir, menggunakan nalar
(alta’aqqul), kontemplasi (al-tadabbur), dan seterusnya,
memancar dalam “tenunan” Kitabullah. Pancarannya tidak
padam, baik di Periode Makkah maupun Periode Madinah.
Maka, bukan suatu kebetulan jika kata iqra’ menjadi kata
pertama dalam al-Qur’an. Dan bukan tanpa makna jika ia
berulang sebanyak 2 kali dalam 3 ayat. Dan bukan tanpa tujuan
penting pula jika kata ‘ilm diulang sebanyak 3 kali, kemudian
disusul dengan kata qalam (pena): alat yang dengannya
manusia belajar.
c. Ketiga, transmisi metodologis. Satu transmisi penting yang tak
mungkin diceraikan dengan dua transmisi sebelumnya.
Diyakini secara jamak bahwa ‘metode’ (manhaj) berperan
penting dalam gerak pemikiran manusia, peradaban secara
umum. Karena tanpa metode, tujuan apapun sukar untuk
digapai, meskipun usaha sudah besar dikeluarkan. Dan
transmisi metodologis dalam Islam harus masuk ke dalam nalar
Islam yang mencakup tiga hal penting ini: hukum kasualitas
(al-sababiyyah), hukum sejarah (al-qânûn al-târîkhî), dan
metode eksperimental (al-tajrîbî).

B. Islam Sebagai Agama


1. Pengertian Islam Sebagai Agama
Islam merupakan agama yang dibawa oleh nabi muhammad saw,
yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam
semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia
seperti yang dijelaskan pada q,s al-anbiya : 107. Islam juga melarang
manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah. lihat saja
sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam Hadis riwayat al-
Imam al-Hakim,
:
“Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan
lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungj
awaban kepadanya”

Begitu indahnya Islam itu. Dengan haiwan saja tidak boleh sewenang-
wenang, apalagi dengan manusia. Jika manusia memahami dan
mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh indah dan
damainya dunia ini. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
diutus dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan
lil’alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia. Rahmat artinya
kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Dengan kata lain rahmat
dapat diartikan dengan kasih sayang.
2. Fungsi Islam Sebagai Agama
a. Islam berfungsi sebagai tuntunan bagi manusia agar memiliki al-
akhlāq al-karīmah (perangai yang mulia dan terpuji).
b. Islam itu berfungsi sebagai jalan untuk mengapai kemaslahatan,
ketenangan dan kedamaian serta keselamatan, baik di dunia
maupun di akhirat.
c. Islam mengandung ajaran-ajaran yang moderat, seimbang dan
lurus, atau al-dīn al-qayyim. Islam menyeimbangkan anatara
urusan dunia dan akhirat.
d. Islam berfungsi sebagai pemersatu umat yang berbeda-beda, baik
dari segi keagamaan, suku dan adat istiadat, karena islam
mengajarkan bagaimana berprilaku dan bersikap secara baik
terhadap orang-orang yang berbeda-beda itu.
C. Islam Sebagai Peradaban
Islam dan peradaban tidak dapat dipisahkan. Sejak kehadiran nya, Islam
telah membawa konsep dan misi yang berada melekat di dalamnya.
Peradaban Islam bersumber dari Din (agama) yang berasal dari Wahyu
Allah SWT. Di Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk
dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu
yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk
kedalam pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka dalam
kehidupan secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar bukan
melulu karena pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelamatkan
(mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan yang didudukinya.
Tidak ada eksploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah darimana
Islam berasal. Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak
ada kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya.
Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan ummat Islam justru
menjadi kaya dan makmur. Itulah watak peradaban Islam yang sangat
berbeda dari peradaban Barat yang eksploitatif.

1. Konsepsi Islam Sebagai Peradaban


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan dua arti peradaban;
Kemajuan (Kecerdasan, Kebudayaan), Hal yang menyangkut sopan
santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa.Tanda wujudnya
peradaban, menurut Ibnu Khaldun adalah berkembangnya ilmu
pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi,
optic, kedokteran dsb. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban
tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya ilmu pengetahuan.
Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam teori Ibnu Khaldun
adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tidak mungkin
hidup tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya.
Karena itu suatu peradaban atau suatu umran harus dimulai dari suatu
“komunitas kecil” dan ketika komunitas itu membesar maka akan
lahir umran besar. Komunitas itu biasanya muncul di perkotaan atau
bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah akan terbentuk
masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang timbul
dari suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu Negara.
Kota Madinah, kota Cordova, kota Baghdad, kota Samara, kota Cairo
dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari
komunitas yang kemudian melahirkan Negara. Tanda-tanda lahir dan
hidupnya suatu umran bagi Ibnu Khaldun di antaranya adalah
berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan papan / arsitektur),
kegiatan eknomi, tumbuhnya praktek kedokteran, kesenian (kaligrafi,
musik, sastra dsb). Di balik tanda-tanda lahirnya suatu peradaban itu
terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu
pengetahuan.
Namun di balik faktor aktivitas dan kreativitas masyarakat masih
terdapat faktor lain yaitu agama, spiritualitas atau kepercayaan. Para
sarjana Muslim kontemporer umumnya menerima pendapat bahwa
agama adalah asas peradaban, menolak agama adalah kebiadaban.
Sayyid Qutb menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban.
Meskipun dalam peradaban Islam struktur organisasi dan bentuknya
secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai
asasinya adalah satu dan permanent. Prinsip-prinsip itu adalah
ketaqwaan kepada Tuhan (taqwa), keyakinan kepada keesaan Tuhan
(tauhid), supremasi kemanusiaan di atas segala sesuatu yang bersifat
material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari
keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, menyadari
fungsinya sebagai khalifah Allah di Bumi berdasarkan petunjuk dan
perintah-Nya (syariat).
Sejalan dengan Sayyid Qutb, Syeikh Muhammad Abduh menekankan
bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban. Bangsa-
bangsa purbakala seperti Yunani, Mesir, India, dll, membangun
peradaban mereka dari sebuah agama, keyakinan atau kepercayaan.
Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual (batiniyah)
adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan
manifestasi lahiriyah (outward manifestation) yang kemudian disebut
sebagai peradaban itu.
Jika agama atau kepercayaan merupakan asas peradaban, dan jika
agama serta kepercayaan itu membentuk cara pandang seseorang
terhadap sesuatu yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tindakan
nyatanya atau manifestasi lahiriyahnya, maka sejalan dengan teori
modern bahwa pandangan hidup (worldview) merupakan asas bagi
setiap peradaban dunia.
Jika makna worldview adalah konsep nilai, motor bagi perubahan
sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktivitas ilmiah,
maka Islam mengandung itu semua. Islam bahkan memiliki
pandangan terhadap realitas fisik dan non fisik secara integral. Ayat-
ayat al-Qur’an jelas-jelas adalah konsep seminal yang
memproyeksikan pandangan Islam tentang alam semesta dan
kehidupan yang disebut pandangan hidup atau pandangan alam Islam
(worldview, al-taÎawwur al-Islami, al-mabda al-Islami) itu. Bukan
hanya itu, konsep-konsep itu diberi medium pelaksanaannya yang
berupa institusi yang disebut din, yang di dalamnya terkandung
konsep peradaban (Tamaddun).
Oleh sebab itu dalam Islam worldview memiliki istilahnya sendiri.
Bagi al-Mawdudi worldview Islam adalah Islami Nahzariyat (Islamic
Vision) yang berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep
keesaan Tuhan (syahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan
kegiatan kehidupan manusia di dunia….secara menyeluruh”. Menurut
Sayyid Qutb worldview Islam adalah al-tashawwur al-Islami, yang
berarti “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran
dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus tentang
wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.” Worldview dalam
istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-Islami yang lebih
cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia
mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu kepercayaan yang
berdasarkan pada akal. Sebab baginya iman didahului dengan akal.
Namun Shaykh Atif juga menggunakan kata-kata mabda untuk
ideologi non-Muslim. Ini berarti bahwa tidak selamanya berarti
aqidah fikriyyah. S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam
sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak
oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena
apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total, maka
worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-
Islam li al-wujud).
Jadi sebagaimana peradaban lainnya, substansi peradaban Islam
adalah pokok-pokok ajaran Islam yang tidak terbatas pada sistem
kepercayaan, tata pikir, dan tata nilai, tapi merupakan super-sistem
yang meliputi keseluruhan pandangan tentang wujud, terutamanya
pandangan tentang Tuhan. Oleh sebab itu teologi (aqidah) dalam
Islam merupakan fondasi bagi tata pikir, tata nilai dan seluruh
kegiatan kehidupan Muslim. Itulah pandangan hidup Islam. Jika
pandangan hidup itu berakumulasi dalam tata pikiran seseorang ia
akan memancar dalam keseluruhan kegiatan kehidupannya dan akan
menghasilkan etos kerja dan termanifestasikan dalam bentuk karya
nyata. Dan jika ia memancar dari pikiran masyarakat atau bangsa
maka ia akan menghasilkan falsafah hidup bangsa dan sistem
kehidupan bangsa tersebut. Jadi substansi peradaban Islam adalah
pandangan hidup Islam. Namun elemen pandangan hidup yang
terpenting adalah pemikiran dan kepercayaan.
Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk
dari akumulasi tiga elemen penting yaitu :
1. Kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan
teknologi
2. Kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan
militer
3. Kesanggupan berjuang untuk hidup. Jadi kemampuan berfikir
merupakan elemen asas suatu peradaban.
4. Suatu bangsa akan beradab (berbudaya) hanya jika bangsa itu
telah mencapai tingkat kemapuan intelektual tertentu. Sebab
kesempurnaan manusia ditentukan oleh ketinggian pemikirannya.
Suatu peradaban hanya akan wujud jika manusia di dalamnya
memiliki pemikiran yang tinggi sehingga mampu meningkatkan
taraf kehidupannya. Suatu pemikiran tidak dapat tumbuh begitu
saja tanpa sarana dan prasarana ataupun supra-struktur dan infra-
struktur yang tersedia. Dalam hal ini pendidikan merupakan
sarana penting bagi tumbuhnya pemikiran, namun yang lebih
mendasar lagi dari pemikiran adalah struktur ilmu pengetahuan
yang berasal dari pandangan hidup. Untuk menjelaskan
bagaimana pemikiran dalam peradaban Islam merupakan faktor
terpenting bagi tumbuh berkembangnya peradaban Islam, kita
rujuk tradisi intelektual Islam.

2. Tradisi Intelektual Islam


Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang
dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan
sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis
tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh)
terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,
secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan
periode Madinah. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan
alam Islam. Di dalam al-Qur’an ini terkandung konsep-konsep
seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh
para sahabat, tabiin, tabi’ tabiin dan para ulama yang datang
kemudian. Konsep ‘ilm yang dalam al-Qur’an bersifat umum,
misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki
berbagai definisi. Cikal bakal konsep Ilmu pengetahuan dalam Islam
adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan kedalam
berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk
peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir
dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi
intelektual.
Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki
medium tranformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut
al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di
lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan
hadith-hadith Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang
efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek
kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan
kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi
diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan
tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan
Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Ashab al-
Suffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar-
mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual
dalam Islam. Hasil dari kegiatan ini adalah munculnya, katakan,
alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadith Nabi, seperti
misalnya Abu Hurayrah, Abu Dzarr al-Ghiffari, Salman al-Farisi,
‘Abd Allah Ibnu Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadith telah berhasil
direkam oleh anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadith ini dilanjutkan oleh
generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari dua
abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam
berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Surayh
(w.80H/ 699M), Muhammad Ibnu al-hanafiyyah (w.81/700), Umar
Ibnu ‘Abd al-’Aziz (w.102/720) Wahb Ibnu Munabbih
(w.110,114/719,723), Hasan al-Bashri (w.110/728), Ja’far al-Sidiq
(w.148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik Ibnu Anas (179/796),
Abu Yusuf (w.182/799), al-Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa kegiatan keilmuan tersebut di atas, secara
epistemologis wujud karena adanya pandangan alam (worldview),
yaitu pandangan alam yang memiliki konsep-konsep yang canggih
yang menjadi asas epistemologi untuk aktivitas keilmuan tersebut.
Dengan adanya konsep yang canggih para ilmuwan anggota
masyarakat yang terlibat akhirnya dapat mengembangkan istilah-
istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu. Bahkan konsep tersebut
berkembang menjadi struktur konsep keilmuan atau scientific
conceptual scheme. Dari konsep ‘Ilm ini pula kemudian lahir berbagai
disiplin ilmu pengetahuan seperti Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadith, Falak,
Hisab, Mawarith, Kalam, tasawwuf dsb.
Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan dalam Islam
dirasakan oleh masyarakat Eropa pada zaman Bani Umayyah di
Andalus Spanyol. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan
intelektual di sana sebagai berikut : pada masa peradaban agung
[wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu
yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali
problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan
jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-
tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di
Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki
puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan
matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa
universtias penting berada.
Di zaman kekhalifahan Bani Umayyah, misalnya Muslim telah
banyak mentransmisikan pemikiran Yunani. Karya Aristotle, dan juga
tiga buku terakhir Plotinus Eneads, beberapa karya Plato dan Neo-
Platonis, karya-karya penting Hippocrates, Galen, Euclid, Ptolemy
dan lain-lain sudah berada di tangan Muslim untuk proses asimilasi.
Puncak kegiatan transmisi terjadi pada era kekhalifahan Abbasiyyah.
Menurut Demitri Gutas proses transmisi (penterjemahan) di zaman
Abbasiyah didorong oleh motif sosial,politik dan intelektual. Ini
berarti bahwa seluruh komponen masyarakat dari elit penguasa,
pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga
dampaknya secara kultural sangat besar.
Jadi Muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani
tersebut. Mereka mengkaji teks-teks itu, memberi komentar,
memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Jadi
proses asimilasi terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Artinya
ummat Islam mengadapsi pemikiran Yunani ketika peradaban Islam
telah mencapai kematangannya dengan pandangan hidupnya yang
kuat. Di situ sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga
masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Produk dari
proses ini adalah lahirnya pemikiran baru yang berbeda dari
pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran
Yunani. Bandingkan misalnya konsep jawhar para mutakallimun
dengan konsep atom Democritus. Jadi, tidak benar, kesimpulan
Alfred Gullimaune yang menyatakan bahwa framework, ruang
lingkup dan materi Filsafat Arab dapat ditelusuri dari bidang-bidang
dimana Filsafat Yunani mendominasi sistem ummat Islam. Sejatinya
pemikiran Yunani tidak dominan, sebab jika demikian maka Muslim
tidak mampu melakukan proses transmisi. Oleh karena itu Muslim
lebih berani memodifikasi pemikiran Yunani ketimbang masyarakat
Kristen Barat Abad Pertengahan. Muslim bahkan mampu
mengharmonisasikan dengan Islam sehingga akal dan wahyu dapat
berjalan seiring sejalan dan pemikiran Yunani tidak lagi
menampakkan wajah aslinya. Berbeda dari Muslim, masyarakat
Kristen Barat Abad Pertengahan yang mengaku mengetahui karya-
karya Yunani, ternyata tidak mampu mengharmoniskan filsafat, sains
dengan agama. Kondisi ini kelihatannya yang mendorong para teolog
Kristen menggunakan tangan pemikir Muslim untuk memahami
khazanah pemikiran Yunani. Terpecahnya kalangan teologi Kristen
kedalam aliran Averoesm dan Avicennian merupakan bukti bahwa
Kristen memahami Yunani melalui pandangan hidup Muslim.
Jika benar asumsi orientalis selama ini bahwa pemikiran Muslim
didominasi pemikiran Yunani, maka wajah peradaban Islam di
Spanyol mestinya adalah wajah Yunani. Tapi realitanya, Spanyol
adalah satu-satunya lingkungan kultural Muslim yang dominan,
padahal kawasan itu merupakan tempat pertemuan kebudayaan
Kristen, Islam dan Yahudi. Yang pasti karakteristik penting
peradaban Islam baik ketika di Andalusia maupun di Baghdad adalah
semaraknya kegiatan keilmuan. Oleh karena itu dalam
menggambarkan peradaban Islam Ibnu Khaldun membahas secara
panjang lebar ilmu-ilmu yang berkembang dan dikembangkan di
kedua pusat kebudayaan Islam itu, seperti misalnya ilmu bahasa dan
agama, aritmatika, aljabar, ilmu hitung dagang (bussiness arithmetic),
ilmu hukum waris (fara’idh), geometri, mekanik, penelitian, optik,
astronomi, dan logika. Termasuk juga ilmu fisika, kedokteran,
pertanian, metafisika, ramalan, ilmu kimia dan sebagainya.
Namun, seperti yang diteorikan oleh Ibnu Khaldun di atas, pemikiran
yang berkembangan menjadi tradisi intelektual bukanlah satu-satunya
faktor tumbuh berkembangnya suatu peradaban. Kemampuan
berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer serta
kesanggupan berjuang untuk meningkatkan kehidupan merupakan
faktor lain yang mendukung tumbuhnya pemikiran dan peradaban.
Selain itu Ibnu Khaldun juga mensinyalir adan hubungan kausalitas
antara peradaban dan sains. Artinya semakin besar volume urbanisasi
(’umran) semakin tumbuh pula peradaban dan sains, demikian pula
sebaliknya. Ilmu akan berkembang hanya dalam peradaban
(hadharah) menjadi besar yang penduduk perkotaannya meningkat.
D. Corak Masyarakat yang Berdasarkan Nilai Nilai Agama Islam
(Masyarakat Madani)
Pada dasarnya, masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang beradab
dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupan demi menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Istilah masyarakat madani sendiri memiliki beberapa padanan kata yang
beraneka ragam diantaranya yaitu, civil society berarti masyarakat yang
berperadaban, masyarakat sipil, masyarakat warga, dan masyarakat
kewarganegaraan. Dalam Bahasa Arab konsep masyarakat madani ini
dikenal dengan istilah Al-Mujtama’ Al-Madani yang artinya Civil atau
Civilized (beradab).
Beberapa ahli turut memberikan pernyataannya atas definisi dari
masyrakat madani. Menurut Dawam Rahardjo masyarakat madani adalah
suatu proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai nilai
kebijakan bersama. Konsep dari masyarakat madani disini yaitu dengan
membangun ikatan social yang produktif, solidaritas tinggi dan
berkemanusiaan. Dengan begitu, persatuan yang didasarkan akan pedoman
hidup bersama akan tercapai dan tentunya akan menghindarkan diri dari
konflik yang memecahkan suatu persaudaraan.
Beda halnya dengan pendapat seorang cendikiawan Muslim yakni
Muhammad A.S Hikam yang mengatakan bahwa masyarakat madani
merupakan suatu wilayah kehidupan social yang terorganisasi dan adanya
kesukarelaan, keswasembadaan yaitu sikap yang tidak bergantung pada
orang lain, sikap kemandirian yang tinggi serta keterkaitan dengan norma
dan hukum terkait. Secara umum, masyarakat madani dapat dikatakan
sebagai suatu konsep bermasyarakat yang merujuk pada masyarakat di
Madinah pada zaman Nabi Muhammad Saw, yakni masyarakat yang
mengacu pada nilai nilai kebijakan umum yang disebut dengan Al-Khair.
Civil Society dalam perspektif history memiliki proses yang panjang
dengan bermuara pada pemikiran refleksi dari para filosof Yunani Cicero,
Pluto dan Aristoteles. Walaupun demikian, seiring dengan berjalannya
waktu konsep dari civil society ini mengalami polarisasi pemikiran antara
Antonia Gramci, Karl Marx, dan Hegel yang memperjuangkan konsep
mereka yakni sosialisme dengan konsep demokratisasisnya oleh Adam
Ferguson, John Locke, dan J.J. Rousseau. Sedangkan istilah Masyarakat
Madani itu tidak memiliki titik sejarahnya sendiri, melainkan hanya suatu
istilah terjemahan dari civil society yang dikemukakan oleh Prof. Naquib
al-Attas. Dengan demikian, masyarakat madani sendiri merupkan civil
society yang memiliki konsep serupa.
Sesungguhnya dasar muasal terbentuknya masyarakat madani dalam Islam
berawal pada zaman Rasulullah Saw. Sesampainya di kota hijarah yaitu
Yastrib, beliau kemudian menggantikan nama kota tersebut menjadi
Madinah. Dengan tindakan tersebut, secara tidak langsung Rasulullah Saw
telah merintis dan memberi teladan kepada seluruh umat manusia untuk
menciptakan dan membangun masyarakat yang berperadaban, tunduk,
patuh kepada ajaran agama yang kemudian dinyatakan dalam supermasi
hukum dan peraturan. Saat itu, Rasulullah Saw membentuk suatu konsep
masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis berlandaskan pada
ketakwaan dan ketaatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt.
Ketakwaan disini berarti semangat ketuhanan yang biasa disebut dengan
semangat Rabbaniyah (Qs. Al-Imran:79). Semangat itulah yang akan
membentuk suatu konsep dasar masyarakat madani dengan memegang
teguh semangat perikemanusiaan hingga membangun suatu tatanan hidup
yang sejahtera.
Sebagai suatu corak kehidupan dengan sistem yang mengedepankan moral
dan norma, masyarakat madani memiliki beberapa unsur pokok yang
menjadi prasyarat terwujudnya tatanan tersebut. Sebagaimana
diungkapkan oleh antropologi Amerika Robbert Hefner dalam bukunya
“Civil Islam” yaitu Pertama, free public sphere. Adanya ruang publik yang
bebas, dimana setiap warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan
yang bersifat publik. Disanalah semua masyakarat dapat menyalurkan dan
mengemukakan pendapatnya dengan bebas tanpa harus merasa takut.
Ruang public yang bebas ini juga menjadi sarana bagi semua warga
negara, dimana mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dan setara.
Mereka dapat melakukan berbagai transaksi social dan politik secara bebas
tanpa memiliki kekhawatiran dan terancam kekuataan di luar civil society.
Kedua, demokrasi dimana merupakan suatu tatanan sosial politik yang
bersumber dan dilakukan dari, oleh, dan untuk rakyat. Hal ini juga menjadi
syarat mutlak terciptanya suatu sistem kehidupan yang bercorak
masyarakat madani. Dengan ini, suatu negara haruslah menjadikan rakyat
sebagai suatu titik utama dalam menjalankan laju pemerintahannya dalam
upaya mencapai tujuan bersama. Komponen rakyat dalam tatanan
masyarakat madani haruslah memperoleh peran utama, dengan kata lain
kekuasaan dalam sistem demokrasi bukan hanya dipegang oleh pengusaha
melainkan juga di tangan rakyat. Ketiga, Toleransi. Konsep masyarakat
madani disini haruslah menjunjung tinggi sikap saling menghargai dan
menghormati antar perbedaan baik itu suku, ras, budaya maupun agama.
Toleransi memungkinkan masyarakatnya untuk menumbuhkan kesadaran
dan mampu menerima adanya keberagaman dalam hidup tanpa adanya
paksaan.
Keempat, kemajemukan atau biasa dikenal dengan istilah pluralisme.
Pluralisme dalam konteks tatananan madani tidak hanya diartikan sebagai
suatu sikap yang menghargai, mengakui, dan menerima kemajemukan
tetapi juga harus menerima dengan tulus dan sejati bahwa perbedaan
tersebut merupakan suatu hal yang alamiah dan berasal dari rahmat Tuhan
yang tentunya memiliki nilai positif bagi kehidupan manusia di masa
mendatang. Kelima, sebagai syarat terakhir dalam membangun tatanan
masyarakat madani ialah keadilan sosial. Dalam menumbuhkan suatu
tatanan social yang tumbuh atas dasar prinsip moral, maka perlulah adanya
keseimbangan hak dan kewajiban antar semua warga negara yang
mencakup segala sesuatunya baik itu ekonomi, politik, social maupun
pengetahuan.
Adapun karateristik dari sistem social madani menurut Nabi Muhammad
Saw adalah dengan bercorak pada kesetaraan, istiqomah, menjunjung
tingggi sikap partisipasi, dan demokratisasi. Konsep tersebut juga dapat
diterapkan dalam tatanan pemerintahan di Indonesia tanpa
mengesampingkan kepentingan minoritas lainnya. Dengan menerapkan
sistem masyarakat madani ini, maka akan terwujudnya masyarakat yang
demokratis sebagai bagian dari penggerak reformasi terhadap tekanan
politik dan ekonomi yang berkembang baik dari dalam maupun luar
negara.
Bermuara pada suatu komunitas yang mengedepankan prinsip keadilan
dan kesetaraan inilah yang membuat sistem politik madani menjadi sistem
yang banyak dicita-citakan di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia.
Sebenarnya, konsep mayarakat madani di Indonesia sudah mulai dicita-
citakan sejak terjadinya perubahan social dan ekonomi pada masa kolonal,
khususnya saat kapitalisme mulai dijalankan oleh Belanda. Namun, dari
zaman orde lama hingga sekarang, rencana tersebut belum lah nampak
terlihat jelas. Hal ini disebabkan adanya permasalahan permasalahan yang
muncul menjadi suatu hambatan untuk mewujudkan masyarakat madani di
Indonesia. Adapun hambatan tersebut diantaranya yaitu:

a. Masing-masing organisiasi Masyarakat Sipil (OMS) masih mengola


isu isu berdasar kepentingan masing-masing dan belum bekerjasama
permanen dan konsisten.
b. Terdapat beberapa organisasi masyarakat sipil yang bekerja di ranah
advokasi RSK hanya mengerti masalah mikro.
c. Organisasi masyarakat sipil daerah tidak merasa terintegrasi,
tersosialisasi dan kurang mengetahui perkembangan.

Disamping itu, terdapat pula beberapa tantangan yang harus dihadapi


Indonesia dalam mewujudkan pola masyarakat madani di negaranya.
Pertama, masih rendahnya minat pasrtisipasi warga masyarakat terhadap
kehidupan politik dan kurangnya rasa nasionalisme. Hal ini dapat
menghambat dan mempersulit masyarakat untuk mendapatkan akses
penuh dalam kegiatan politik. Kedua, kurangnya sikap toleransi baik
dalam hubungan bermasyarakat ataupun beragama. Ketiga, Kurangnya
kesadaran dalam keseimbangan dan pembagian proposional antara hak
maupun kewajiban. Keempat, masih kurangnya kualitas SDM di Indonesia
hingga menyebabkan tingginya pengangguran dan banyaknya PHK.
Kelima, rendahnya pendidikan politik pada masyarakat. Keenam. Kondisi
ekonomi dan social politik yang masih belum stabil.
Dengan adanya berbagai rintangan dan hambatan tersebut, maka perlulah
suatu strategi khusus dalam mengupayakan terbentuknya masyarakat
madani di Indonseia. Menurut Rahardjo, proses pemberdayaan tersebut
dapat dilakukan melalui tiga model yang diantaranya:
a. Mementingkan integrasi nasional dan politik.
b. Mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
c. Lebih memilih pembangunan masyarakat madani sebagai basis yang
kuat untuk menuju kearah demokratisasi.
Dari pernyataan diatas dapat kita ketahui bahwasannya, rencana
mewujudkan sistem masyarakat madani di Indonesia memanglah tampak
sulit. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti
sistem ini dapat diterapkan di Indonesia. Dalam prosesnya menuju
masyarakat madani, Indonesia tidak menempuh jalur radikal dan cepat
(revolusi), melainkan proses sistematis dan bertahap yang cenderung
lambat (evolusi) yaitu dengan upaya pemberdayaan masyarakat dalam
berbagai aspek kehidupan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam dan peradaban tidak dapat dipisahkan. Sejak kehadirannya, Islam
telah membawa konsep dan misi peradaban yang melekat di dalamnya.
Peradaban Islam bersumber dari din (agama) yang berasal dari Wahyu
Allah. Di Indonesia, Islam masuk tanpa peperangan. Islam masuk dan
diterima oleh masyarakat yang telah memiliki kepercayaan Hindu yang
kuat. Namun, karena kekuatan konsepnya Islam mudah merasuk kedalam
pandangan hidup masyarakat nusantara waktu itu, maka dalam kehidupan
secara menyeluruh. Ini bukti bahwa Islam tersebar, bukan melulu karena
pedang. Islam tersebar, menguasai dan menyelematkan(mengIslamkan)
masyarakat di kawasan yang didudukinya. Tidak ada eksploitasi sumber
alam untuk dibawa ke daerah darimana Islam berasal. Tidak ada
pertambahan kekayaan bagi jazirah arab. Tidak ada kemiskinan akibat
masuknya Muslim ke kawasan yang didudukinya. Daerah daerah yang
dikuasai atau diselamatkan umat Islam justru menjadi kaya dan makmur.
Itulah watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat
yang eksploitatif. Selain itu,Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang
artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan
bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin,
apalagi sesama manusia. Bukti-bukti Islam sebagai peradaban di berbagai
dunia pun sangat banyak diberbagai bidang baik dalam bidang politik,
kesehatan, astronomi dsb. Islam juga menyuruh umatnya untuk masuk
kedalamnya secara kaffah. Meyakini dan mengamalkannya dalam seluruh
aspek kehidupan. Itulah yang membuktikan bahwa Islam selain menjadi
sebuah agama, juga merupakan sebuah peradaban.

B. Saran
Kami berharap makalah yang telah kami susun akan memiliki manfaat dan
dapat menambah khasanah pengetahuan yang selalu berkembang dinamis.
DAFTAR PUSTAKA

Charis, Irfan. 2015. Pendidikan Islam dalam Masyarakat Madani Indonesia.


Jurnal Kajian Pendidikan Islam, 07(2), 1-30.
Dhiyah’s.2016. Makalah Islam Sebagai Agama dan Peradaban.
https://dhiystory.blogspot.com/2016/05/makalah-islam-sebagai-agama-
dan.html. (Diakses tanggal 14 Maret 2021)
Dzulhadi, Nursheha Qosim. 2015. Islam Sebagai Agama dan Peradaban.
Tsaqafah, 11(1),151-168.
Fadlurrohman, Fadol, M. 2009. Islam Sebagai Peradaban.
http://muhammadfadol.blogspot.com/2009/06/islam-sebagai-
peradaban.html?m=1. (Diakses tanggal 14 Maret 2021).
Ramdani, Ahmad. 2018. “Konsep Maysrakat Madani Dalam Perspektif
Pendidikan Islam [Tesis]”. FTIK, Pendidikan Agama Islam (PAI),
Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung.
Syamsuddin, Sahiron. 2016. Fungsi Agama Islam.
https://www.researchgate.net/publication/332409576_Fungsi_Agama_Isla
m. (Diakses tanggal 14 Maret 2021)
Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani
(Perspektif Pengembangan Masyarakat Islam), 26(1), 1-10.
Shofiyullah, Moch. 2020. Manfaat Masyarakat Madani Bagi Suatu Negara.
(diakses tanggal 13 Maret 2021).
Suroto. 2015. Konsep Masyarakat Madani di Indonesia dalam Masa
Postmodern (Sebuah Analitis Kritis). Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan, 05(9), 1-8.

Anda mungkin juga menyukai